Monday, December 22, 2014

Wawancara Skripsi | Supernova KPBJ | April, 2013 | by Nursa Bania


Apa yang mendorong Dee untuk menulis Supernova?

Saya tergerak menulis Supernova awalnya karena terjadi pergeseran paradigma dalam diri saya mengenai ketuhanan dan spiritualitas. Pada saat itu saya melihat bahwa akar segala konflik dan perpecahan manusia adalah karena pemahaman akan diri dan Tuhan yang  terpecah pula. Manifestasinya bisa dilihat di mana-mana, salah satunya adalah perpecahan antara sains dan agama. Saya mulai bergeser menuju paradigma holistik yakni melihat realitas sebagai fenomena utuh yang melampaui dualitas hitam-putih. Dan Supernova menjadi wahana bagi saya untuk berbagi sudut pandang ini. Pada dasarnya, Supernova adalah ‘sharing’ saya perihal spiritualitas yang dikemas dalam bentuk fiksi.

Apa yang melatarbelakangi Anda membuat tokoh Diva?  Mengapa Diva di sini berprofesi sebagai PSK?

Sebetulnya hal ini sudah saya ungkapkan dalam buku lewat percakapan Dimas - Reuben. Bahwa Diva adalah tokoh yang menggambarkan paradoks. Di satu sisi, ia memiliki profesi yang identik dengan pelacuran, tapi di sisi lain ia memiliki kebebasan dengan derajat amat tinggi. Dalam perspektifnya, ia melihat dunia yang penuh dengan pelacuran yang tak disadari. Semua orang melacurkan dirinya dalam satu dan lain hal. Mereka yang melacur pikiran dan waktu demi uang, demi jabatan, dan status sosial. Sementara bagi Diva, apa yang ia lakukan hanyalah pelacuran fisik, sesuatu yang menurut dia paling layak dilacurkan, tapi ia tidak pernah melacurkan pikiran dan kebebasannya berpikir.

Mengapa diberi nama Diva?

Saya suka nama itu.

Dalam novel ini, disebutkan Diva sebagai Bintang Jatuh, mengapa demikian?

Kembali, hal ini sudah diungkapkan langsung oleh Dimas dan Reuben dalam percakapan mereka. Semua tokoh dalam dongeng yang mereka susun secara paralel memiliki manifestasi di realitas lain. Seperti halnya Ferre adalah Kesatria, Rana adalah Puteri, dan Diva adalah Bintang Jatuh.