Friday, February 19, 2016

Mediaselebriti.Com | Supernova IEP | Februari, 2016 | by Ajie Fabregas

-->
Apa makna di balik judul Inteligensi Embun Pagi di Supernova terakhir ini?

Agak sulit mengungkap makna Inteligensi Embun Pagi tanpa membuka sebagian isi cerita, yang mana saat ini menjadi perihal sensitif karena bisa dianggap spoiler. Yang jelas, Inteligensi Embun Pagi (IEP) menyiratkan kecerdasan alam semesta sebagai salah satu kekuatan yang menggulirkan kehidupan, dan itu punya keterkaitan konteks dengan isi cerita. Selain itu, saya menyukai rangkaian kata Inteligensi Embun Pagi dan bagaimana kalimat itu dibunyikan.

Kenapa warna dasar kovernya berbeda dari seri-seri yang sebelumnya? Ada makna di balik itu?

Warna kover IEP bukan pilihan estetis, tapi berkaitan erat dengan konten cerita. IEP akan mengungkap sebuah tokoh baru, yang pada saat ini hanya akan hadir sebagai “intro” atau “teaser” awal saja, dan tokoh baru tersebut punya kaitan dengan warna mutiara, jadi secara teknis lebih tepat disebut putih mutiara ketimbang hanya putih saja.  

Boleh tahu latar tempat di Supernova IEP? Apakah di negeri yang jauh lagi? Apakah langsung riset tempat sendiri, atau melalui perantara orang lain?

Sebagaimana yang sudah diindikasikan di kelima episode sebelumnya, pada akhirnya puncak cerita akan terjadi di Indonesia. Jadi, di IEP hampir tidak ada setting di luar Indonesia. Kalau pun ada, hanya sepintas. Sebagian besar cerita terjadi di Indonesia, di setting yang selama ini sudah dikenal sebelumnya oleh pembaca, seperti Elektra Pop, rumah Dimas dan Reuben, rumah Zarah di Batu Luhur, dan sebagainya.

Ada pesan yang ingin Dee sampaikan kepada para pembaca? Kenapa harus baca Inteligensi Embun Pagi ini?

Bagi yang pernah mengikuti serial Supernova, tentunya membaca Inteligensi Embun Pagi adalah satu-satunya cara untuk tahu betul keseluruhan cerita. Saya penulis yang cenderung tidak punya pesan, setidaknya saya tidak meniatkan itu dengan sengaja. Supernova adalah hasil imajinasi dan penelusuran saya atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial, orang boleh sepakat, boleh terinspirasi, boleh juga tidak. Jadi, tidak ada yang “harus begini” atau “harus begitu”. Bagi saya pribadi, Supernova IEP adalah buku saya yang paling seru sejauh ini. Sayang kalau dilewatkan. Itu saja.

Kapan novelnya bakal mengisi rak-rak di toko buku seluruh Indonesia?

Tanggal 26 Februari rencananya. Mungkin untuk luar Jawa akan ada perbedaan waktu karena faktor distribusi, tapi untuk Pulau Jawa, bisa dipastikan tanggal 26 sudah ada.

Kabarnya ada pre-order edisi Supernova IEP yang bertandatangan, bisa dikasih tahu cara pesannya?

Ada toko-toko buku online yang bekerja sama dengan distributor (Mizan Media Utama) untuk membuka pre-order Supernova sejak tanggal 5 Februari hingga tanggal 23 Februari. Saat ini di beberapa toko buku, stok buku ber-TTD sudah habis. Melihat perkembangan terakhir, toko-toko buku konvensional juga ikut bergabung di promo pre-order ini. Kelebihan PO adalah peluang besar untuk mendapatkan edisi ber-TTD (selama persediaan masih ada, tentunya). Tapi, buku tetap akan dikirim sesudah tanggal 23 Feb, supaya rilisnya tetap kurang lebih bersamaan dengan toko buku konvensional. Jadi, bukan berarti yang PO baca duluan.

Tambahan, apa rencana ke depan setelah Supernova tamat? Bikin prekuelnyakah?

Saya tidak berpikir ke arah prekuel, sebenarnya. Setelah membaca IEP, pembaca akan menyadari bahwa sebenarnya KPBJ (episode pertama) adalah “intro” atau bisa dibilang prekuel. Kalaupun ada pengembangan, saya lebih tertarik untku mengembangkan cerita ke depan, bukan ke belakang. Hanya saat ini saya masih belum ingin menkonkretkan rencana proyek kreatif apa pun. Saya ingin istirahat dulu dari proses kreatif yang intens karena bisa dibilang saya menulis maraton dari tahun 2011 (mengerjakan manuskrip Partikel) hingga akhir 2015 (manuskrip IEP).

Terakhir, apa yang ingin seorang Dewi Lestari raih dalam 10 tahun ke depan?

Saya agak sulit menjawab pertanyaan futuristik. Untuk hal-hal seperti ini, dan untuk fase hidup saat ini, saya cenderung bertarget pendek-pendek saja. Dalam sepuluh tahun ke depan, mungkin saya sudah punya novel serial baru. Mungkin.


Wednesday, February 17, 2016

Bentang Pustaka | Supernova IEP Part 2 | Januari, 2016 | by Fitria C. Farisa


Kalau diminta menyebut satu judul dari keenam Serial Supernova, Dee paling memfavoritkan Supernova yang mana? Kenapa?

Saya punya kecenderungan untuk merasa paling suka dan dekat dengan karya yang paling baru saya garap. Nah, karena IEP adalah yang paling gres saya kerjakan, otomatis itu menjadi favorit saya. Secara konten, IEP ini memang sangat seru, banyak twist, ketegangan, dan juga ada bumbu humor dan romantisme, pokoknya semua unsur yang saya sukai ada di sana.

Siapa tokoh favorit Dee dari Serial Supernova? Alasannya?

Sulit memilih, jujur. Di IEP saya sangat menyukai Toni alias Mpret, tapi secara keseluruhan Alfa Sagala tetap yang paling berkesan buat saya. Mungkin karena saya sangat menikmati proses menulis Gelombang dan merasa ikut dalam pertumbuhan Alfa. Dia itu gigih, cerdas, cerdik, kadang bisa jadi kelihatan menyebalkan, tapi di beberapa aspek dia bisa sangat polos dan lugu. Dan, itu yang membuat karakter Alfa ini menjadi mengasyikkan sekali untuk digarap.

Dari keenam seri, yang paling banyak menemui kendala saat proses penulisan yang mana? Bisa disebutkan apa saja kendalanya?

Setiap episode berbeda-beda, karena kondisi lingkungan saya juga berubah-ubah terus. Waktu Partikel, misalnya, kesulitan utamanya adalah memulai lagi proses kreatif yang sempat tertunda bertahun-tahun, dan saya masih punya anak balita (saat itu Atisha baru 3 tahun). Waktu Gelombang, saya mulai menyempurnakan sistem kerja saya, tapi itu pun masih banyak yang harus saya perbaiki. Waktu IEP, sistem kerja saya sudah jauh lebih efisien dan strategis, tapi volume IEP yang besar ini sangat menyita fokus dan tenaga. Saya nggak terlalu banyak problem dengan konten maupun jalan cerita. Yang lebih menantang adalah menyelaraskan proses menulis dengan aspek kehidupan saya yang lain.

Dari keenam seri, yang paling cepat ditulis yang mana? Apa yang membuatnya bisa menjadi paling cepat?

Petir yang paling cepat. Rata-rata untuk tiap episode saya menghabiskan tujuh hingga satu tahun. Untuk Petir, mungkin sekitar lima bulan. Tapi, secara cerita, Petir memang tidak menuntut riset yang terlalu kompleks. Setting-nya Bandung, tempat yang saya sangat familier, dan jalan ceritanya juga cenderung mengalir, tidak banyak konflik.

Dari banyaknya setting tempat dalam Serial Supernova, Dee paling suka setting tempat di mana? Alasannya?

Salah satu yang berkesan adalah Tanjung Puting. Lucunya, saya sendiri sampai sekarang belum pernah ke sana. Hanya mengandalkan riset dan narasumber. Tapi, pada dasarnya saya sangat senang menulis setting yang sifatnya alami, hutan, dsb. Jadi, menuliskannya pun membuat saya merasa berada di tempat itu, sekaligus terkagum-kagum atas keindahannya. Nah, ajaibnya, banyak orang tergerak mengunjungi Tanjung Puting setelah baca Partikel dan melapor ke saya, mereka merasa deskripsi di buku sangat mendekati asli. Saya juga sangat terkesan dengan Sianjur Mula-mula. Gara-gara Gelombang, jadi banyak juga pembaca saya yang tergerak ke Sianjur Mula-mula. Bahkan tempat itu sekarang sering diliput media.

Dari beberapa kisah cinta yang ada dalam Serial Supernova, Dee paling suka kisah cinta siapa? Kenapa?

Saya pengin kasih tahu tapi nggak mau spoiler. Pokoknya yang paling saya suka itu ada di IEP.

Dari keenam seri, mana yang membutuhkan paling banyak referensi, baik literatur maupun wawancara narasumber?

Akar adalah salah satu yang paling ekstensif karena melibatkan banyak tempat sekaligus. Ada banyak elemen-elemen yang saat itu saya juga belum familier, seperti seni tato, komunitas punk, Buddhisme, dsb. Zaman itu juga informasi di internet belum semelimpahruah sekarang ini, jadi pekerjaan mencari datanya lebih berat dan lebih manual. Saya terpaksa bayar teman saya untuk ikut jadi staf riset. Saya bahkan masih wawancara menggunakan tape recorder. Sekarang, kaset sudah jadi barang vintage!  

Dari keenam seri, mana yang paling membuat Dee deg-degan sebelum dirilis? Ada alasan khusus?
Seingat saya, Partikel. Sepertinya karena ada jeda panjang dari Petir, dan karya-karya saya sebelum itu (Perahu Kertas, Rectoverso, Filosofi Kopi) cenderung lebih mudah dibaca, Partikel kembali menjadi “pertaruhan”. Untungnya, Partikel diterima dengan baik, bahkan serial Supernova seperti punya basis pembaca baru (yang lebih muda) pasca terbitnya Partikel dan dirilis ulangnya semua episode Supernova oleh Bentang Pustaka.

Jika diminta menyebutkan satu simbol favorit dari keenam simbol yang ada, Dee paling menyukai yang mana? Mengapa?

Beberapa simbol Supernova mengambil dari simbol sakral yang memang sudah ada sebelumnya, seperti Flower of Life (Akar), Antahkarana (Petir), dan Bumi (Partikel). Tapi beberapa memang saya rancang sendiri dibantu seorang desainer langganan saya, Fahmi Ilmansyah. Saya paling suka IEP sih, karena maknanya sangat kaya, dan pilihan warnanya juga unik (baru ketahuan kalau nanti bukunya sudah keluar, hehe).

Mungkin ada hal-hal unik yang Dee ingat waktu menulis masing-masing seri? Kalau IEP, konon Dee sampai harus ‘mengungsi’ ke hotel, nah, adakah hal-hal unik lain yang mba ingat ketika proses penulisan Serial Supernova selain IEP?

Waktu penulisan IEP, di lingkungan rumah saya kebetulan lagi banyak pembangunan, jadi agak berisik di rumah. Sementara slot waktu saya menulis hanya bisa di pagi sampai siang hari. Akhirnya di IEP ini saya banyak tur dari kafe ke kafe, sampai akhirnya saya menemukan “kantor” favorit saya. Namanya kedai kopi Rosso Micro Roastery, yang kebetulan lokasinya sangat dekat dari rumah, hanya sekitar 15 menit. Jadi, di Rosso ini saya seperti punya tempat keramat, yang kata baristanya, pengunjung lain sampai segan duduk di situ karena tahu biasanya saya bakal datang dan duduk di tempat sama selama berjam-jam. Satu hari, pernah ada rombongan arisan di Rosso dan semua meja full, banyak anak kecil juga. Akhirnya saya diungsikan ke kantor/gudang staf, nulis di sana. Saya nulis adegan puncak IEP justru di gudang itu, dikelilingi karung-karung isi biji kopi. Terharu banget ketika adegannya selesai, saya sampai nangis. Syukur juga saya kerja sendirian di gudang, jadi nggak ada lihat saya mewek, hehe.


Bentang Pustaka | Supernova IEP - Part 1 | Januari, 2016 | by Fitria C. Farisa


Bagaimana ide awal Dee menulis Supernova? Mungkin bisa diceritakan sejarah lahirnya Supernova sendiri?

Supernova bisa dibilang adalah gabungan dari topik  maupun hal-hal yang saya suka, yang saat itu tidak saya temukan di kepustakaan Indonesia, yakni fiksi yang menampung perihal spiritual, sains, konflik percintaan, persahabatan, dengan setting urban kontemporer. Saya terpicu oleh konflik religius yang pada akhir tahun 90-an terjadi di banyak tempat di Indonesia, dan karena saya memang hobi menulis fiksi sejak kecil, jadi menuangkan kegelisahan lewat karya fiksi adalah refleks saya. Saya pikir, dengan fiksi, perenungan-perenungan yang cenderung “berat” bisa dicairkan. Fiksi menjadi jembatan bagi saya untuk mengomunikasikan ide-ide saya. Target saya waktu itu juga bukan untuk meraup sebanyak-banyaknya pembaca, tapi lebih ke katarsis personal saja, karenanya Supernova KPBJ saat itu saya terbitkan sendiri karena mengejar momentum ulang tahun ke-25. Supernova adalah kado bagi diri saya sendiri. 

Apa memang dari awal udah rencana membuat Supernova menjadi berseri?

Sudah. Itu sudah saya umumkan sejak merilis Supernova KPBJ tahun 2001. Saya mulai membuat sketsa Akar hingga Gelombang dari tahun 2002. Bahkan judul episode terakhir, Inteligensi Embun Pagi, juga sudah saya umumkan begitu saya merilis Akar tahun 2002.

Supernova kan sci-fi, sedangkan Dee sendiri studinya adalah HI. Saya pribadi terheran-heran banget gimana seorang yang nggak menjalani studi formal sains bisa menulis teori Fisika, Biologi, dsb, dengan begitu luar biasa. Nah, dari mana saja Dee belajar tentang sains?

Saya pribadi selalu percaya bahwa pendidikan formal kita seringkali tidak menentukan minat dan ketertarikan personal kita dalam kehidupan sehari-hari. Ketertarikan terbesar yang menggerakkan saya menulis Supernova sebenarnya adalah spiritualitas. Pada tahun 2000 saya mulai membaca karya-karya sains yang ditulis oleh para ilmuwan yang juga berusaha mendedah spiritualitas dari sudut pandang berbeda. Sejak itu saya jadi lebih banyak baca buku sains. Pada dasarnya saya cukup suka ilmu alam. Jadi, meski secara formal saya tidak belajar sains, saya tidak merasa terlalu kesulitan memahami buku-buku tersebut. Mungkin karena ketertarikan saya sesungguhnya bukan ke teknisnya tapi cenderung ke makna filosofisnya. Kalau disuruh kerja di laboratorium, saya belum tentu suka. Hehe.

Untuk proses kreatif Supernova sendiri, berapa rata-rata waktu yang Dee butuhkan untuk menulis naskah?

Rata-rata satu tahun untuk satu buku, termasuk masa penyuntingan.

Bagaimana cara Dee menggali ide-ide gila yang dimunculkan di Supernova? Nggak berlebihan, pertama kali saya baca Supernova, saya pikir ide di dalamnya gila banget, liar, dan out of the box.

Sebetulnya tidak banyak berbeda dengan penulisan cerita pada umumnya, segala ide dan informasi teknis yang saya miliki harus ditempatkan dalam kerangka cerita. Ide adalah konten yang ketika sudah masuk ke cerita harus lebur dan subtil. Gerbong dan lokomotifnya tetap elemen-elemen fiksi seperti karakter, konflik, setting, dsb. Misalnya, tentang fungi. Banyak sekali hal menarik tentang fungi, tapi tidak semuanya bisa dikawinkan dengan elemen fiksi yang tengah saya garap, jadi pada akhirnya saya hanya memasukkan hal-hal yang mendukung cerita. Dari enam atau tujuh buku yang saya baca untuk riset fungi, ketika sudah masuk ke dalam cerita paling jadinya hanya beberapa halaman saja.

Lalu, bagaimana cara Dee mendalami karakter yang Dee buat sendiri?

Ketika saya menulis tentang satu karakter, saya menyetel mindset saya sedemikian rupa untuk bisa melihat dunia dari sudut pandang karakter saya, bukan lagi Dee Lestari. Mungkin kasarnya seperti “dirasuki”. Dan, itu terjadi berbulan-bulan sepanjang saya menulis. Dalam bercerita, sebisa mungkin saya menahan “Dee Lestari” untuk muncul, dan membiarkan karakter saya yang menonjol. Meski karakteristik  saya dalam menyusun kata, memilih diksi, pasti terasa oleh para pembaca yang sudah familier dengan tulisan saya, akan beda rasanya jika saya dengan sadar menahan ego saya muncul. Pembaca akan lebih mudah terhubung dengan karakter; mereka bisa jatuh cinta, tergila-gila, simpati, sebal, dsb. Emosi-emosi riil seperti itu yang menurut saya menghidupkan karakter di benak pembaca. Mereka punya akses penuh untuk punya hubungan dengan karakter secara langsung tanpa saya “menginterupsi”.

Bukan cuma mendalami karakter, bagaimana Dee bisa menggambarkan suatu tempat di negara lain dengan begitu detail? Menggambarkan suatu profesi, bahkan tradisi agama dengan sangat spesifik. Riset seperti apa yang Dee lakukan?

Sebetulnya apa yang saya kumpulkan dalam sebuah riset pasti berlipat-lipat jumlahnya dibandingkan apa yang akhirnya masuk ke cerita. Seperti yang saya sebutkan tadi, untuk topik fungi, saya bisa membaca enam sampai tujuh buku tapi pada kenyataannya yang masuk ke dalam cerita paling hanya beberapa halaman. Jadi, ke mana sisanya? Menurut saya, riset punya beberapa fungsi. Pertama, untuk menjadi bahan keyakinan bagi penulis, sama halnya kita belajar untuk ujian. Semakin banyak yang kita pelajari, kita cenderung lebih pede menghadapi ujian, walaupun belum tentu yang kita pelajari bakal keluar semua di soal. Kedua, riset yang strategis akan memperkuat keyakinan pembaca kepada tulisan kita. Strategis di sini maksudnya adalah tidak perlu banyak, tapi tepat guna. Riset kita harus mendukung elemen cerita, memperkuat deskripsi, menstimulasi panca indra pembaca. Dengan keleluasaan informasi seperti zaman sekarang ini, sebenarnya sudah sangat mudah untuk riset. Tinggal kitanya yang tahu bagaimana melakukan riset dengan tepat. Saya melakukan riset pustaka, video, wawancara dengan narasumber, atau datang ke tempatnya langsung. Yang terakhir paling jarang saya lakukan karena kendala waktu, tapi menurut saya bukan penghalang untuk kita bisa punya bahan yang meyakinkan.


Lalu, bisa diceritakan apa saja makna simbol dari setiap seri Supernova?

Kover KPBJ: Jaring Laba-laba, melambangkan keterhubungan.
Kover Akar: Flower of Life, melambangkan mekanisme dasar bagaimana hidup ini bertumbuh kembang.
Kover Petir: Antahkarana, melambangkan keterhubungan holistik antara dua level kesadaran; pikiran/intelek dan jiwa/kesadaran lebih tinggi.  
Kover Partikel: simbol dari Bumi.
Kover Gelombang: simbol dari gelombang kesadaran yang kemudian membentuk realitas.
Kover IEP: tripel heliks dalam bingkai heksagonal, melambangkan penggabungan tiga frekuensi dimensi dalam wadah formasi para Peretas (yang berjumlah enam orang). 
Kover Supernova sebetulnya mewakili masing-masing tokoh utama. Beberapa simbol ada yang saya rancang sendiri dibantu desainer (KPBJ, Gelombang, IEP), beberapa ada yang saya ambil dari simbol kuno (Akar, Petir, Partikel).

Apa saja kesulitan yang Dee alami selama menulis Supernova?

Banyak, tapi kesulitannya lebih banyak ke masalah jadwal dan distraksi dari tawaran-tawaran pekerjaan yang bermunculan sepanjang proses menulis. Jadi tantangannya lebih kepada menjaga fokus saya sepanjang menulis. Karena itulah sejak Partikel hingga IEP saya tidak mengambil proyek kreatif apa pun. Sekalinya saya terlibat dalam sesuatu, saya bisa berhenti menulis sampai sebulan, seperti waktu rilis film Filosofi Kopi, padahal keterlibatan saya di film itu cuma sebatas musik, promosi, dan penggarapan ide dasar cerita. Kalau sampai saya nulis skenario seperti waktu Perahu Kertas, saya bisa-bisa off setahun. Saya memang nggak bisa menjalankan beberapa proyek kreatif sekaligus, harus pilih satu.

Ada kebiasaan-kebiasaan tertentu saat menulis Supernova?

Kebiasaannya berganti-ganti tergantung sikon. Waktu Partikel, saya nulis sambil ngasuh anak saya yang masih kecil. Waktu Gelombang, saya menulis subuh. Waktu IEP, saya menulis di luar rumah. Yang jelas, semenjak Partikel, saya mulai punya sistem kerja yang jauh lebih baik dari buku-buku sebelumnya, yang terus saya perbaiki hingga IEP kemarin ini. Yang terpenting adalah punya rekam jejak perkembangan pekerjaan kita, punya deadline, dan menerjemahkan target-target kita ke dalam hitungan jam atau hari yang terukur.

Fans Supernova kan luar biasa, nih. Ada nggak kejadian-kejadian unik dari fans Supernova yang berkesan untuk Dee?

Waktu Supernova KPBJ, sempat tercipta sebuah milis para pembaca Supernova (milis Truedee), yang kemudian berkembang serius sampai akhirnya mereka menerbitkan buku, dan bahkan sampai sekarang masih sering ngumpul, yang berarti sudah 15 tahun lamanya.

Mungkin ada hal-hal unik yang nggak banyak diketahui orang tentang proses kreatif Supernova?

Saat penyelesaian akhir IEP, saya sempat ngungsi ke hotel agar bisa fokus menulis.

Pertanyaan terakhir, apa arti Supernova untuk Dee?

Supernova bagi saya adalah penelusuran ke dalam. Supernova adalah salah satu cara saya bertanya tentang hal-hal mendasar tentang diri dan eksistensi.

Rula.Co.Id | Vegetarian | Januari, 2015 | by Natasha Tampi

Alasan Dee memilih menjadi vegetarian?

Saya mulai bervegetarian tahun 2006 karena alasan lingkungan hidup. Saat itu saya banyak riset tentang lingkungan hidup untuk buku saya, Supernova Partikel. Dan, dari riset tersebut saya menemukan informasi tentang dampak konsumsi daging, khususnya hewan ternak, terhadap pemanasan global. Jadi, waktu itu saya putuskan untuk mencoba bervegetarian.

Bisa diceritakan pengalaman Dee menjadi vegetarian?

Secara fisik, saya bisa merasakan tubuh lebih ringan. Memang ada proses adaptasi karena kenyangnya beda. Waktu awal-awal bervegetarian, berat saya sempat naik karena saya selalu merasa kurang kenyang. Ternyata memang kalau vegetarian itu kenyangnya di perut tidak terasa berat, jadi saya sempat terkecoh karena mengira perut saya masih lapar. Belanja lebih simpel karena otomatis dengan bervegetarian pilihan makanan saya menyempit. Bervegetarian juga akhirnya memaksa saya belajar masak, karena tidak terlalu gampang mencari menu vegetarian kalau take-away, dan kalau resep pengolahannya tidak diulik bisa jadi membosankan karena itu-itu lagi.

Alasan berhenti menjadi vegetarian?

Kira-kira tiga tahun yang lalu, saya merasakan tubuh saya seperti bergeser keinginannya. Timbul “craving” untuk makanan non-vegetarian. Saya sempat coba diamkan dulu tapi ternyata malah makin menguat. Karena saya prinsipnya lebih mendengarkan ke kebutuhan tubuh dan tidak fanatik terhadap satu gaya diet tertentu, saya coba ikuti saja pelan-pelan. Tentu, tidak bisa sekaligus juga supaya badan saya tidak kaget. Sekarang saya tetap bervegetarian dua kali seminggu karena saya sadar dampak mengurangi daging sangat baik dan efektif untuk lingkungan hidup. Jadi, walaupun tidak lagi tiap hari, saya tetap mendedikasikan waktu tertentu untuk pola makan vegetarian.

Bagaimana dukungan keluarga saat menjadi ataupun berhenti menjadi seorang vegetarian?

Awalnya tidak mudah, karena satu keluarga kami vegetarian, kecuali anak saya yang paling besar. Saat ini jadinya yang full vegetarian adalah suami dan anak saya yang bungsu, sementara saya dan anak saya yang paling besar tidak full. Tantangannya adalah jadi butuh lebih banyak variasi makanan di rumah. Ada yang vegetarian dan tidak. Tapi, lama-lama terbiasa juga, bahkan saya senang dengan variasi ini karena saya jadi tertantang untuk menguasai berbagai macam pengolahan jenis masakan.

JAWA POS Deteksi | Menulis Cerpen ala Dee | November, 2015 | by Wicak

-->  
Bagaimana sih komposisi membuat cerita pendek ala Mbak Dee? Saya harap bisa dibagi minimal tiga komposisi saja.

Saya rasa semua cerita, baik novel maupun cerpen, komposisinya kurang lebih sama, yakni struktur 3 babak. Dimulai dengan tesis, kemudian anti-tesis, dan terakhir sintesis. Bedanya, dalam cerpen biasanya ditekankan unsur kejutan, sebuah pertanyaan atau perenungan yang mengusik. Jika dalam novel kita punya banyak kesempatan untuk mengungkapkan back-story atau cerita latar, dalam cerpen kita biasanya fokus cerita utama saja. Kalau dalam novel kita bisa leluasa memainkan karakter dengan jumlah banyak, dalam cerpen saya cenderung memakai karakter yang lebih sedikit.

Hal apa yang menginspirasi Mbak Dee sehingga dapat membuat cerita yang menarik?

Banyak sebetulnya, saya tidak bisa terlalu memformulasikannya. Yang jelas, ada hal-hal yang menurut saya punya unsur fiksi. Bisa dikembangkan menjadi sebuah drama. Fakta yang kering baru bisa punya drama ketika kita memasukkan unsur emosi, dramatisasi. Potensi itu yang saya lihat ketika saya memilih satu topik untuk dikembangkan. Dalam Filosofi Kopi, misalnya, sekadar segelas kopi belum tentu bisa berkembang menjadi drama, tapi ketika dilihat dari perspektif seseorang yang terobsesi dengan kopi dan punya ambisi membuat kopi terbaik, itu menjadi drama.

Isu seperti apa sih yang cocok diangkat oleh generasi muda khususnya pelajar SMP/SMA agar menciptakan plot cerita yang menarik? 

Setiap penulis, terlepas dari usianya, menurut saya sudah punya ketertarikan “bawaan”. Sesuatu yang menarik dan menggelisahkannya. Terkadang, penulis harus mengalami satu momen dramatis dalam hidupnya terlebih dahulu yang lantas mendorongnya untuk bercerita. Tiap orang tentu beda-beda, bergantung apa yang terjadi dalam hidupnya dan bagaimana ia mencernanya. Jadi, tidak bisa kita generalisasi topik-topik yang cocok untuk segmentasi usia tertentu. Pilihan tema atau isu adalah pilihan yang sangat personal. Ketertarikan seseorang tidak bisa dipaksakan. Namun, untuk menjadikannya cerita yang menarik dibutuhkan skill, pengetahuan, dan latihan. Hal ini bisa dilatih dan dipertajam dengan membaca, ikut workshop, dan terus menulis.

Majalah TEMPO | Musik & Memori '90-an | November, 2015 | by Aisha Shaidra

Sebagai salah satu musisi yang terkenal di era 90-an adakah musisi di era yang sama yang jadi idola Dee Lestari? Siapa dan kenapa?

Banyak. Pada umumnya saya menyukai para penulis/pencipta lagu (singer-songwriter) seperti Sarah McLachlan dan Paula Cole. Untuk band saya menyukai Tears For Fears (walaupun mereka lebih 80’s ketimbang 90’s). Dan, secara umum saya menyukai musik-musik 90’s seperti Pearl Jam, Blind Melon, Crowded House, dsb. Untuk musik Indonesia tahun segitu saya senang juga Sheila On 7, Padi, Tic Band, Jikustik.

Banyak lagu yang diciptakan Dee untuk RSD, jika bisa kembali ke era 90-an adakah lirik lagu yang ingin diubah dari lirik atau segi musiknya? Kenapa?

Nggak, sih. Saya rasa, baik lirik maupun musik, memang akan selalu mencirikan sebuah zaman. Kalau diubah malah bisa jadi berubah nuansa waktunya. Kecuali kalau konteksnya re-make untuk dibuat lebih dekat ke zaman sekarang. Tapi kalau konteksnya “menyesal”, andaikan dulu dibikin begitu dan begini, nggak ada perasaan seperti itu, sih.

Banyak orang dewasa saat ini mengelu-elukan banyaknya tontonan menarik pada masa kecil mereka dibandingkan dengan tontonan saat ini, bagi Dee sendiri tontonan di era 90-an apa yang saat itu paling menarik dan berkesan? Kenapa?

Saya bukan penonton televisi. Tapi, yang saya ingat, tahun 90’an adalah masa kejayaan MTV Indonesia. Selain itu, sitkom Friends juga sangat terkenal. Saya juga ingat beberapa sinetron di Indosiar pada awal mereka berdiri itu bagus-bagus, seperti Abad 21, Kipas-Kipas Asmara, dll.

Pertanyaan serupa berlaku juga untuk beragam jenis permainan dan jajanan, jenis permainan dan jajanan apa yang di era 90-an banyak dimainkan dan sangat berkesan buat Dee?

Tahun ‘93 saya sudah kuliah, jadi nggak terlalu lagi melakukan permainan kanak-kanak dan jajan. Tapi, yang saya ingat sih, saya main PS dan sering ke warnet untuk browsing karena waktu itu belum punya koneksi internet sendiri. Jajanan rasanya nggak ada yang terlalu spesifik, tapi saya ingat itu adalah awal-awalnya kuliner di Bandung mulai terkenal ke Jakarta. Banyak yang datang untuk memborong pisang molen, batagor, dan variasi serabi mulai macam-macam, bukan cuma oncom dan gula merah.

Barang seperti apa yang pada era tersebut menurut Dee sangat keren (barang di sini misalnya mainan, atau benda-benda pakai yang hits pada saat itu)? Kenapa?

Sepatu Doctor Marten. Keren, karena memang keren, sih. Sampai sekarang juga model sepatu Docmart tetap tidak lekang oleh zaman, dan kualitasnya memang bagus. Juga jins Levi’s 501 yang pakai kancing (bukan ritsleting). Bagi saya, model jins seperti itu lebih manusiawi ketimbang model skinny jeans zaman sekarang yang mencekik kaki.

Kalau misalnya Dee diberi kesempatan untuk menjadi salah satu tokoh kartun anak yang terkenal di tahun 90-an Dee pilih menjadi siapa? Kenapa?

Saya nggak ingat tokoh kartun terkenal tahun ’90-an. Seingatku, Doraemon. Tapi sampai sekarang Doraemon tetap beken. Saya nggak pengin jadi Doraemon, tapi mau kalau punya teman kayak Doraemon

Seantusias apa Dee menyiapkan diri untuk berpartisipasi dan menyambut konser 90-an (The 90's Festival di Istora Senayan)?

Buat saya sih, dibawa santai saja. Tidak terlalu tegang juga, karena toh, sebetulnya orang datang kebanyakan untuk nostalgia. Kami nyanyi juga bukan untuk lagi mengejar ambisi tertentu atau ingin eksis, tapi karena untuk bersenang-senang.

KOMPAS | Kompas Kita: Q&A Dee Lestari | Mei, 2015 | by Susie Berindra


Sudah lama Dee menuangkan ide lewat cerita dan juga lagu. Jika harus memilih, manakah yang paling memuaskan bagi Dee? - Anggun Gita Sari

Saya juga punya kebutuhan berbeda untuk setiap pendekatan bercerita. Bagi saya fiksi dan lagu itu komplementer sifatnya, tidak saling menggantikan. Kepuasan yang dihasilkan masing-masing format juga berbeda, meski pada intinya sama-sama bercerita.

Apakah ada misi khusus Dee dibalik penulisan Supernova sampai 5 jilid dan bahkan akan menerbitkan lagi yang keenam? Sejak awal sudah direncanakan Supernova akan sampai 6 jilid? - Iko Boangmanalu

Sudah direncanakan dari awal. Misinya sederhana: menyelesaikan cerita. Supernova episode pertama hanya sepotong dari keseluruhan cerita dalam kepala saya.

Apa yang menjadi resep Dee selalu produktif berkarya, baik itu dalam literasi atau musik? Lalu syarat apa yang mesti dipenuhi agar sebuah karya dapat diterima masyarakat? Bagus Setyoko Purwo

Tujuan saya berkarya semata-mata karena banyak yang ingin saya ungkapkan. Mungkin kalau sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, baru saya berhenti. Saya rasa tidak ada syarat khusus agar karya kita diterima masyarakat, yang jelas karya yang disukai adalah karya yang mampu menciptakan ikatan dengan penikmatnya.

Sebagai penulis, pernahkan Anda  mengalami kebuntuan ide? Lalu bagaimana cara mengatasinya? Christina M

Kebuntuan yang ringan cukup diatasi dengan hal-hal yang sederhana, seperti istirahat, mandi, atau baca buku. Kalau cerita stagnan berkepanjangan, biasanya perlu dirombak secara teknis. Elemen fiksinya dikaji ulang dan diganti, bahkan ditulis ulang.

Bermusik dan menulis adalah kanal untuk berekspresi, itu yang saya baca dalam sebuah artikel ttg Mbak Dee. "Ritual" seperti apa sih yang selalu dilakukan untuk mendapatkan ekspresi yang mendalam saat bercerita lewat novel? Apa secangkir kopi punya "dongeng" tersendiri yg mempengaruhi setiap karya Mbak Dee Lestari? – Uniqa Wardhani

Tidak ada ritual khusus selain disiplin mendedikasikan waktu dan fokus sampai proyeknya selesai. Bekerja dengan takaran yang terhitung dan punya deadline. Kadang ditemani kopi, kadang tidak. Saya berusaha tidak fanatik pada satu ritual khusus karena saya tidak ingin menciptakan ketergantungan yang merepotkan. Kalau nggak ada kopi lalu jadi nggak bisa kerja, kan repot jadinya.

Kira-kira apa yang menginspirasi Dee sehingga film Filosofi Kopi berhasil ditayangkan? Apakah ada tokoh sehingga membuat Dee terinspirasi untuk membuat film tersebut? – Hesrianus Cengga
              
Keberhasilan Filosofi Kopi sebagai film adalah hasil kerja keras tim dari Visinema. Saya hanya melepas hak adaptasi dan membantu pembangunan cerita pada tahap awal. Cerpen Filosofi Kopi sudah saya tulis lama sekali, dari tahun 1996. Saya tidak membasiskannya pada siapa-siapa. Hanya ingin membuat cerita seputar kopi, itu saja.

Sejak kapan Anda menekuni aktivitas menulis? Apa motivasi Anda terjun ke dunia literasi? – Ardiansyah Bagus Suryanto

Sebagai hobi, dari kecil. Dari usia 9 tahun saya sudah mulai mencoba menulis cerita panjang. Secara profesional, baru tahun 2001 ketika Supernova terbit. Saya menulis karena saya merasa tema-tema yang saya suka belum banyak ditemukan di pustaka Indonesia. Pada dasarnya saya menulis apa yang saya ingin baca.

Membuat tulisan bertema science fiction tidaklah mudah. Kendala apa saja yang muncul ketika menulis? – Dwi Atika Sari

Intinya, membuat novel memang tidak mudah. Kita harus punya komitmen, intuisi bercerita, paham struktur dan menguasai teknik menulis. Mau itu science fiction atau chick lit, akan susah kalau penulisnya tidak punya minat kuat atas apa yang ia tulis. Selama penulisnya suka dan tertarik dengan tema tulisannya, ia akan menggali dengan semangat. Kesulitan utama menulis bukan di tema, tapi bagaimana bercerita sebaik dan sejernih mungkin.

Dee, walaupun hanya bisa berjumpa lewat tulisan ini, aku ingin menyampaikan bahwa aku apreciate dengan karya-karyamu. Kamu telah merampas tiga malamku untuk menyelesaikan tiga karyamu! Melalui media Kompas Kita ini, aku mau bertanya kepadamu, passion apa yang paling membuatmu berkarya sampai saat ini? Sekaligus apa yang Dee lakukan untuk menjaganya tetap ada dan membara? – Jois Efendi

Terima kasih untuk apresiasinya. Banyak ide dalam kepala saya. Medium yang saya suka adalah lagu dan tulisan. Keduanya adalah skill yang menarik dan menantang. Setiap karya adalah ajang saya untuk belajar dan melepas ide-ide dalam kepala saya.

Saat ini semakin banyak para penulis novel seperti Dee yang saling berebut untuk memenangkan hati para pembaca. Bagaimana Dee menanggapi hal ini, apa saja yang dilakukan Dee agar karya Dee dapat mendapat tempat di hati para pembaca untuk selalu menunggu karya-karya Dee selanjutnya? – Nurus Syarifah

Berusaha memuaskan pembaca adalah motivasi berbahaya bagi penulis. Pertama, karena kita tidak mungkin memuaskan semua orang. Kedua, kita kehilangan otensisitas atas apa yang menurut kita paling penting. Tulislah apa yang bagi kita penting, mendesak, menggemaskan. Dan, tulislah sebaik dan sejernih yang kita bisa. Itu saja resep saya.  

Saya baru baca Filosofi Kopi dan Madre. Dulu baca Supernova (Akar) tapi nggak ngeh dan pusing, hehe. Kapan bikin novel true story tentang Tuhan versi Dee yang teologinya kayaknya ‘timur’ banget? Atau tentang kehidupan pribadi Dee bagaimana kegetiran perceraian dan tentang anak-anak, atau cerita-cerita tentang riak-riak kehidupan di rumah? – Amin Nurrokhman

Belum tahu. Sekarang belum tergerak.

Saya sangat antusias membaca karya Mbak. Madre, Filosofi Kopi, adalah salah satu kegemaran saya. Materinya ringan tapi sarat dengan makna. Yang ingin saya tanyakan, pertama, apa arti menulis buat Mbak? Kedua, apakah Mbak merasakan apa yang Mbak tulis? – Nordin                   

Menulis bagi saya adalah seni menyampaikan ide. Merasakan dalam arti emosi, tentu pernah. Kalau saya menulis tentang hal yang sedih tapi tidak ikut merasakan kesedihannya, berarti tulisan itu belum berhasil.  

Apakah ide dari cerita yang Dee tuangkan dalam novel merupakan ide murni dari pemikiran Dee sendiri ataukah ditambah ide yang telah ada di novel kebanyakan? Saya juga sering mendapatkan ide untuk cerita tetapi ketika dituangkan rasanya sulit sekali. Pernahkah Dee mengalami hal seperti itu dan bagaimana solusinya? – Dharmana Dhini Cipta Telaga

Yang saya tulis selalu kombinasi dari imajinasi, hasil pengamatan, hasil pengalaman. Termasuk mungkin di dalamnya buku-buku yang pernah saya baca. Kesulitan menuangkan ide biasanya karena kurang latihan dan jam terbang, begitu sering dilakukan, kita akan tahu sendiri tekniknya.  

Adakah di antara karya Dee, baik buku maupun lagu, yang merupakan pengalaman pribadi Mbak Dewi? Saya mengusulkan bagaimana kalau yang menjadi tokoh utama dalam layar lebarnya adalah Mbak sendiri. – Zenny Anaria

Kalau pun ada pengalaman pribadi, biasanya sudah tercampur unsur lain. Saya belum pernah berkarya yang sifatnya otobiografis. Untuk menjadi tokoh utama dalam layar lebar, sejauh ini belum terpikir dan belum tertarik. 

Bagi saya novel-novel Mbak Dee adalah sebuah alternatif. Alternatif dari miskinnya gagasan di Indonesia kontemporer. Saat ini adalah eranya pragmatisme, materialisme, dan budaya instan. Jadi, novel, juga film yang diadaptasi dari novel Mbak Dee-lah jawaban atas budaya yang diusung dunia modern tadi. Saya berharap Mbak Dee terus menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk novel. Pertanyaan buat Mbak Dee, apa pendapatnya tentang kemalasan berpikir, budaya baca yang rendah, dan tradisi menulis yang belum mengakar dalam masyarakat Indonesia saat ini? – Darwinto

Terima kasih atas apresiasinya. Kalau kita bicara kultur, tentu kita bicara proses ratusan tahun, dan untuk membalikkannya tidak bisa dalam waktu singkat. Kita bisa menjadi agen perubahan dengan ikut aktif menjadi pelaku komunitas baca dan tulis. Mulai dari diri sendiri dan keluarga sendiri, misalnya. Setelah itu kita bisa melangkah lebih jauh dengan berkarya, bisa lewat blogging atau tulisan singkat. Dari level pemerintah juga banyak kebijakan yang bisa diberlakukan, salah satunya adalah bagaimana pemerintah bisa memproduksi buku lebih murah, mendorong penerjemahan, dan meningkatkan jumlah perpustakaan. 

Setiap penulis mempunyai diferensiasi pada karyanya, dan diferensiasi karya Dee ada pada tema yang selalu mengusung pencarian jati diri. Bagaimana defferensiasi itu awalnya terjadi? Apakah sengaja dibuat untuk membedakan karya Dee dgn karya-karya lain, atau ada dengan sendirinya? – Muh Turmudi              

Setiap penulis umumnya umumnya berkarya diawali oleh kegelisahan. Kegelisahan itu tidak bisa “diatur”. Segala bentukan lingkungan dan konstruksi batin seseorang akan memicu adanya kegelisahan yang kemudian diburu lewat mempertanyakan, lewat ekspresi seni, lewat kreasi, dan seterusnya. Kegelisahan saya yang terbesar memang sejak dulu berpusat di aspek spiritualitas.

Siapa sajakah yang menjadi inspirasi Dee dalam menulis novel ? – Laras Kusumaningtyas

Saya mengamati banyak orang, dan biasanya orang-orang yang saya temui bercampur menjadi karakter. Saking banyaknya saya tidak bisa lagi menyebutkan satu-satu.

Saya penasaran, dari mana nama pena "Dee" itu, serta apakah ada makna terselip di dalamnya? Bagaimana Dee menjalani multiperannya, yaitu ibu, penulis, penulis lagu, penyanyi? Mengalir saja, ataukah ada manajemen waktu sedemikian rupa sehingga tetap dapat menjalankan tugas di dalam rumah sekaligus menjalankan karier-kariernya? – Hesty Puji Rahayu

Waktu kuliah dulu, saya pakai ransel dengan inisial “D”. Sejak itu mulai suka dipanggil “D” (Dee) oleh beberapa orang. Saya senang dengan sebutan itu karena simpel. Menjalani multiperan mengalir saja dengan banyak trial and error, tentunya. Yang menantang adalah bagaimana menyusun prioritas dari waktu ke waktu, dan konsisten menjalaninya. Misal, ketika saya sudah harus intensif menulis, saya harus berani menolak banyak tawaran pekerjaan dan proyek kreatif lain, sebab waktu saya untuk rumah dan keluarga juga sudah memakan besar porsi hari-hari saya. Kalau saya ambil semuanya, pasti ada yang keteteran. Saya tidak ingin keluarga saya jadi korban hanya karena saya mengejar karier. Waktu 24 jam sehari tidak bisa ditambah, jadi saya harus memaksimalkan ketersediaan waktu yang ada.

Dee dan Arina (Mocca) kan adik kakak kandung, bagaimana bisa jadi figur yang keduanya penuh karya dan menginspirasi? Kalau boleh tahu bagaimana kebiasaan didikan keluarga sehingga bisa menjadi figur yang menginspirasi banyak orang? – Nida Hadaina Farida

Ketika kami kecil, kami tidak terpikir untuk bercita-cita jadi seniman. Tapi hidup kami sehari-hari memang sudah dipadati kegiatan seni, dari main musik, nyanyi, menggambar, dan sebagainya. Orang tua kami sangat mengutamakan soal akademis, dan itu jadi syarat untuk kami tetap meneruskan hobi seni. Di sisi lain, orang tua kami juga sangat suportif. Kami semua diberi kesempatan les musik. Rumah kami menjadi markas besar untuk kegiatan musik, latihan paduan suara sekolah, gereja, vokal group, band, dan lain-lain. Jadi, kegiatan berkesenian itu sudah seperti atmosfer tetap di rumah kami.