Friday, April 3, 2009

JEUNE | Feature / Profile | Feb, 2009 | By Che Cupumanik

Dee's Note:Inilah kali pertama saya 'dikeroyok' oleh 16 penanya sekaligus dalam satu wawancara. 16 orang dengan karakter dan latar belakang berbeda-beda hingga otomatis pertanyaannya pun sangat bervariasi dan cenderung tidak tertebak. I hope you enjoy this unique interview as much as I did :)


Q&A with CHE - Chief Editor JEUNE:


1. Setelah melewati proses waktu dan perenungan atau atau pencarian jati diri, tolong uraikan siapakah seorang Dee itu sebenarnya?

Saya juga nggak tahu. Haha! Dan itulah indahnya. Sejauh yang saya temukan, yang namanya “diri” itu berubah-ubah, bahkan pernah juga saya merasa “diri” itu tidak ada.

2. Kira-kira apa sesungguhnya peran Dee dan untuk apa Dee di dunia ini?

Saya pun tidak tahu persis apa manfaat saya ada di dunia. Yang jelas mengapa saya bisa terlahir pasti ada penyebabnya, ada karmanya, tapi detailnya bagaimana tidak tahu, tujuan pastinya apa juga tidak tahu. Yang saya jalankan sekarang ini ya peran saya sebagaimana yang saya bisa: menulis, menulis lagu, bernyanyi, menjadi ibu, menjadi istri, menjadi Dewi yang terus berubah dan berevolusi.

3. Sudahkan menemukan jati diri pada akhirnya? Seperti apa bentuknya?

Ya itu tadi. Yang sejauh ini saya telusuri, ternyata “diri” itu cuma bentukan konsep dan fenomena yang kita anggap sebagai identitas permanen kita. Penemuan jati diri, sejauh pengalaman saya, berujung bukan pada jawaban, melainkan usainya “keinginan mencari” itu sendiri.

4. Duka atau bahagia keduanya tidak permanen, lalu apa yang permanen bagi seorang Dee?

Tidak ada.

5. Dee kabarnya seorang yang tidak ingin berpuas diri melihat sebuah fenomena, apakah anda sudah cukup puas dengan menjadi seorang Buddha atau atas agama yang kamu anut saat ini? (koreksi kami jika memang Dee bukan seorang beragama Buddha)

Metaforanya begini: seseorang berjalan lalu menemukan sepeda, dipakailah sepeda itu untuk meneruskan perjalanan, lalu perjalanan itu membawa dia ke sebuah sungai, jadi sepeda tidak cocok lagi untuk dipakai, toh? Sepeda pun harus ditinggalkan. Di pinggir sungai itu ada perahu, ya jadinya seseorang itu pakai perahu, nanti kalau sungai itu berujung lagi entah di mana, si perahu barangkali tidak akan berguna lagi. Jadi, masalahnya bukan puas atau nggak puas, tapi cocok atau nggak cocok. Sejauh ini, saya merasa cocok dengan ajaran Buddha. Saya jalankan dengan serius tapi santai. Karena ujung perjalanan ini kita nggak akan pernah tahu.

6. Kabar terbaik atas novel terbaru sejauh ini, mungkin penjualan, respon, atau dampak baiknya yang di dapat? Kabar terburuknya apakah juga ada?

(Koreksi: “Rectoverso” adalah kumpulan cerita pendek, bukan novel). Sejauh ini penjualannya cukup bagus, buku sudah memasuki tiras 45.000, CD sekitar 25.000. Tantangannya adalah stamina saya yang cukup terkuras. Soalnya saya bentar lagi mau nulis “Supernova: Partikel”, dan mulai ingin menarik diri alias masuk gua, tapi promosi “Rectoverso” masih harus dijalankan.

7. Silahkan kabarkan kepada pembaca Jeune, apa yang harus mereka tunggu dari karya baru Dee setelah ini?

Novel digital saya “Perahu Kertas”, yang diluncurkan lewat XL tahun lalu, tahun ini akan diluncurkan ulang lewat Indosat. Jadi pelanggan Indosat berkesempatan untuk menikmati “Perahu Kertas” lewat ponselnya. Pertengahan tahun versi cetak “Perahu Kertas” akan keluar. Dan tahun ini saya akan menulis “Supernova: Partikel”, kalau lancar ya mudah-mudahan bisa rilis tahun ini juga.

8. Terakhir, rutinitas apa yang saat ini sedang di kerjakan dengan penuh gairah dan ambisi? Mengapa mengerjakan itu?

Yang sedang dikerjakan dengan penuh gairah dan ambisi adalah: mengurangi waktu kerja dan meningkatkan waktu bermalas-malasan, tapi tetap produktif. Hehe.
Saya sebetulnya merasa sangat beruntung karena bisa punya profesi yang sekaligus juga hobi saya. Tapi belakangan saya punya pendekatan lain terhadap hidup. Yang utama bagi saya bukan lagi karier, melainkan menjadi manusia seutuhnya. Yang artinya, hidup seimbang, natural, dan apa adanya. Di dalamnya tentu ada keluarga, karier, hubungan dengan teman-teman, lingkungan, dll. Namun untuk menjalankan semua itu nggak kepingin ngoyo, cukup dijalankan dengan kesadaran sebaik-baiknya.
Yang sedang rutin saya jalankan sekarang adalah meditasi. Tapi itu pun tidak dengan ambisi.


Q&A with MOAMMAR EMKA:

1. Kaka Dee, pernah patah hati? Gimana rasanya? Please, ekspresikan lewat kata-kata indah.

Tentu pernah dong, Kakak Emka. Siapa sih yang nggak pernah? ☺
Patah hati adalah terjun bebas ke sebuah jurang tanpa tali pengaman, tanpa parasut, tanpa tahu berapa kedalaman jurang, bahkan tanpa tahu jurang itu ada dasar atau tidak, dan kemudian meluncur cepat mencium tanah, hancur berantakan, berkeping-keping, terburai dan terserak. Dan setelah itu dengan ajaibnya masih punya kekuatan untuk memanjat ke atas dan melakukan terjun bebas lagi jika ada kesempatan.

2. Seumpama cuma ada 3 pilihan dalam hidup Kaka Dee, mana yang akan dipilih: (1) menikah lagi, (2) pacaran saja sampai tanpa batas waktu atau, (3) single parent (tanpa ikatan dengan laki-laki mana pun). Alasannya kenapa, yuuk?

Hmm. Kalau per saat ini, jawabannya adalah menikah (sudah dilakukan). Kenapa? Sebetulnya, relationship—apa pun itu, mau nikah, single parent, atau pacaran, hanyalah kemasan sosial buat saya. Tinggal saya rasa-rasa saja, kemasan sosial mana kira-kira yang cocok untuk hidup saya saat ini. Di jantungnya, semua relationship kan sama-sama saja. Yang namanya relationship pasti ada dinamika, pasti ada jatuh-bangun, turun-naik, dan masing-masing bentuk relationship punya tantangan tersendiri. Saat saya memilih menikah ya semata-mata karena itulah kemasan sosial yang saya rasa pas untuk mewadahi hubungan saya dan orang yang saya cintai. Tapi saya sendiri tidak melihat kemasan atau bentuk hubungan sebagai sebuah tujuan akhir, melainkan kendaraan. Sama seperti metafora naik sepeda dan perahu tadi. Mana yang cocok untuk perjalanan saat ini, itulah yang saya pakai.


Q&A with IZABEL JAHJA:

1. Mendadak kuingin bertanya apakah kau sudah menemukan apa yang kau cari?

Sebetulnya saya sendiri lupa, apa ya yang saya cari? Hehe. Kalau sekarang ini, jujur, saya sedang tidak melihat hidup sebagai sebuah pencarian, walaupun unsur menelusuri selalu ada dalam keseharian saya, tapi pendekatannya lebih seperti: hari ini, hidup mau kasih lihat apa lagi sama saya? Ketimbang sebuah pencarian aktif dari pihak saya. Saya lebih senang mengamati ketimbang mencari. Membiarkan apa pun yang sudah menjadi ‘jatah’ saya dalam hidup hadir dan menghadapinya satu demi satu.

2. Malaikat pun tahu kamu juaranya, memang kamu ikut kompetisi apa siiiiy? :)

Kompetisi sulap antar RT… wakakak! ☺


Q&A with ANDRE SUMUAL – TRAX Magazine:

1. Karya-karya Dee membawa pembaca novel maupun pendengar lagu seperti terhipnotis masuk ke dalam lubang spiritual yang dalam. Sejauh apa pemahaman agama menjamah spiritualitas Dee?

Gerbang spiritualitas baru terbuka buat saya justru ketika saya melepaskan semua pemahaman saya tentang agama—apa pun itu. Tahun 1999 saya memutuskan untuk menjalankan hidup dengan cita rasa ‘netral’, tanpa kekangan dogma apa pun. Dan sejak itu justru segala hal sederhana pun jadi luar biasa, dan kehidupan ini memunculkan keindahan yang selama ini entah bersembunyi di mana. Dan itulah yang banyak muncul dalam karya saya, yakni kekaguman, ketercengangan, keterpanaan, dan kontemplasi saya tentang hal-hal sederhana dalam hidup dan semesta. Bagi saya, itulah spiritualitas.


2. Malaikat Juga Bisa. Brilian. Kenapa bisa buat lagu begitu bagus?

(Hihi. “Malaikat Juga Tahu” kaliii…) Jujur, saya juga nggak tahu. Terutama dalam penciptaan lagu, seringnya saya merasa seperti “saluran” yang dimanfaatkan. Sejak lama saya memang sudah merasa bahwa sebetulnya istilah yang lebih tepat daripada “mencari inspirasi” adalah “dicari inspirasi”. Jadi kalau ada lagu yang tercipta lewat saya, rasanya lagu itulah yang kepingin “lahir” lewat saya, dan bukan saya yang menciptakan. Makanya sampai sekarang saya susah terima order bikin lagu, berhubung sistem wangsit begitu. Saya nggak pernah tahu pasti kapan ada lagu yang muncul, bagus atau tidak, dsb. Memang ada proses dinamika antara saya dan sebuah karya; filter pemahaman, pengalaman, dan selera pribadi saya, turut mewarnai lagu atau karya yang saya ciptakan. Tapi pada prakteknya, saya lebih merasa “digiring” oleh lagu, ketimbang menggiringnya.


Q&A with PAY – BIP:

1. Menurut lo kita ini menentukan takdir kita sendiri ga?

Saya percaya pada hukum karma, sebab-akibat. Apa yang jadi “takdir” kita sekarang adalah hasil dari perbuatan kita di masa lampau. Dan apa yang jadi “takdir” kita di masa depan adalah hasil dari perbuatan kita hari ini. Jadi kalau sepintas dilihat, kita menentukan karma hidup kita sendiri. Masalahnya, apa yang kita sadari hanyalah 1% dari gudang karma kita, 99% sisanya tersimpan di bawah sadar. Makanya tidak semudah itu membalikkan arah “takdir” kita. Kunci perubahan hidup tidak hanya dengan mengarahkan tindakan-tindakan kita sesuai tujuan yang kita inginkan. Faktor-faktor yang bermain sangatlah banyak dan kompleks, bahkan di luar kemampuan nalar kita. Dan faktornya bukan cuma apa yang kita sadari, banyaknya justru yang kita tidak sadari.

2. Percaya dengan kebetulan ga?

Tidak. Seindah dan senyata apa pun sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan, di balik itu semua pasti ada penyebab.


Q&A with REMY SOETANSYAH:

1. Waduh, saya kenal Dee, waktu awal-awal kariernya di RSD, abis itu beberapa kali ketemu, dan setelah itu gak ngikutin perjalanan kariernya. Paling yang patut dicatat adalah novel Supernovanya yang meledak, ya. Jadi pertanyaannya: Sekarang dia agak terdengar setelah merilis Malaikat Juga Tahu. Lagunya bagus, tapi kok liriknya sangat personal, ya? Dan kesannya pembelaan diri setelah bercerai dengan Marcell?

Yah, memang banyak yang tertipu. Hehe. Dari sebelas lagu di Rectoverso, “Malaikat Juga Tahu” adalah salah satu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan pribadi saya. Kesannya personal mungkin karena yang bikin liriknya jagoan. Haha!

2. Apa yang kamu tidak suka dari sistem bisnis di dunia industri musik kita?

Bisnis adalah bisnis. So, kalau dari kaca mata bisnis semata, saya nggak menemukan sesuatu yang saya sukai atau tidak sukai secara khusus dari industri musik. Yang mengusik saya justru attitude para penikmatnya, yang masih beli barang bajakan. Karena itu jadi pukulan berat bagi industri, termasuk para artis. Produksi musik nggak mudah dan nggak murah, dan musisi di sini sedikit sekali yang bisa hidup dari royalti. Jadi saya melihat relasi yang kurang sehat antara penikmat musik dan para musisi. Seperti kurang apresiasi. Kurang menghargai. Pembajakan bisa subur karena didukung oleh mental peminatnya.

3. Apa opini kamu soal boomingnya artis (band/solois/duo) di Indonesia. Apakah musikalitasnya menurut kamu masih tetap terjaga? Terlepas dari selera tentunya?

Rasanya semua industri sama. Ibarat main selancar, kalau ada satu ombak sedang naik, maka yang dirasa logis tentunya adalah numpang sebanyak dan selama mungkin di ombak tsb. Tapi namanya ombak, pastinya nanti turun lagi, lalu akan ada ombak baru, beserta gelombang pengikut baru yang numpang ikut momentum. Dalam tiap ombak ini, isinya pasti bervariasi. Ada yang bagus, ada yang lumayan, ada yang mengkhawatirkan. Jadi, kalau soal musikalitas terjaga atau tidak, pastinya ada yang iya dan ada yang tidak. Sulit bagi saya untuk menggeneralisasi. Yang jelas, yang paling diuntungkan adalah mereka yang pionir. Yang ngikut, kalau nasib dan timing-nya bagus, tetap bisa terangkat, tapi banyak juga yang jadi “lost in the mass” alias hilang karakter karena jadi pasaran.


Q&A with TERE:

1. Kalau pada suatu hari tiba-tiba kamu tidak bisa bersuara karena ada masalah dengan pita suara kamu, apa yang akan kamu lakukan?

Mungkin jadi penulis aja. Dan kayaknya juga masih bisa nulis lagu, selama masih bisa pakai notasi tertulis.

2. Apa makna pernikahan buat kamu?

Ada di jawaban buat Kakak Emka.

3. Apa yang akan kamu perbuat jika ternyata dalam 24 jam dari sekarang planet Bumi yang kita tinggali ini harus lenyap karena suatu alasan yang tidak mungkin bisa diatasi oleh umat manusia?

Menghabiskan waktu yang tersisa dengan orang-orang yang paling saya cinta, dan hidup seperti biasa. Mungkin ditambah berpelukan dan tertawa lebih banyak.


Q&A with QIBIL – THE CHANGCUTERS:

1. Dulu kan basket happening banget, cewek-cewek pasti tergila-gila sama pemain basket, pertanyaannya: Siapa pemain basket favorit Dewi Lestari? Kenapa?

Nggak ada. Haha! Saya dulu lebih tertarik sama anak band daripada anak basket.

2. Kira-kira siapa penemu retsleting?

Whitcomb L. Judson, tapi namanya waktu itu masih “Clasp Locker”, belum “zipper”. Baru kemudian Gideon Sundback menyempurnakannya menjadi resleting modern seperti sekarang. Yang menamakannya jadi “zipper” adalah perusahaan B. F. Goodrich yang waktu itu memakai resletingnya Gideon Sundback untuk produksi sepatu-sepatunya.


Q&A with ADIB HIDAYAT – ROLLING STONE INDONESIA:

1. Jika ada beberapa partai politik akan menjadikan Anda sebagai "Menteri Urusan Peranan Wanita". Apa partai paling ideal yang akan Anda masuki?

Kehidupan partai saya sudah berhenti di usia 15 saat terakhir kali menjabat Ketua P.A.P-DUM (Partai Anti Pacaran Dalam Usia Muda). Hingga saat ini saya tidak tertarik untuk memasuki kehidupan politik atau berpartai. Saya percaya segala sesuatu yang kita lakukan punya dampak politis, dan karena itu saya lebih tertarik untuk bergerak dari kehidupan sehari-hari, yang meski tidak punya wadah politik tetap memiliki kekuatan politis yang tidak bisa diremehkan.

2. Apa hal paling 'kurang ajar' yang Anda lakukan terhadap orang yang Anda cintai?

Menghajarnya habis-habisan dengan bantal.


Q&A with KIKAN – COKELAT:

1. What's the best "quote" that you've ever read or heard?

“To write is to write is to write is to write is to write is to write is to write is to write” – Gertrude Stein.
“Men plan. God laughs.” – Anonymous.

2. What's your definition for Hapiness?

Kebahagiaan buat saya adalah keberanian untuk melepaskan, termasuk melepaskan kebahagiaan itu sendiri.


Q&A with EVAN SANDERS:

1. What do u want, to choose or to be chosen?

Neither.

2. How do you want your egg in the morning?

Omelet, pakai keju, tomat, jamur, paprika, dan ditaburi lada hitam.


Q&A with DEDY LISAN – THE BACKBONE:

1. Seberapa mudah menulis lirik lagu setelah sukses buat novel laris?

Terus terang, buat saya lebih mudah menulis lirik daripada bikin novel. Bikin lirik paling lama seminggu, bikin novel bisa berbulan-bulan.

2. Ada niat reuni dengan Rida & Sita?

Untuk bikin album sih sepertinya belum ada rencana, karena Rida dan Sita juga lagi mengeksplorasi kemungkinan album solo. Tapi untuk tampil bareng atau konser bareng, kita sih senang banget (selama jadwal pas dan harga pas, hekhek). Bagi saya, justru sekarang ini adalah “golden moment”-nya RSD, karena ketika kami disuruh nyanyi, udah nggak ada beban sama sekali, nggak ada ambisi sama sekali, murni untuk senang-senang aja. Dan ini adalah momen yang sangat mahal bagi semua musisi.


Q&A with ANJI – DRIVE:

1. Mana yang lebih dulu ingin kita capai dalam hidup? Kesuksesan, ketenangan, kedamaian atau kebahagiaan?

Semua orang prioritasnya pasti beda-beda. Kalau saya sih nggak masalah mana yang duluan, karena toh pada akhirnya kita harus terbebas dari semuanya. Kesuksesan tak tetap, ketenangan tak tetap, kedamaian tak tetap, kebahagiaan pun tak tetap. Yang paling gampang dan realistis adalah membiarkan mana duluan yang sampai, lalu dinikmati saja sebisanya.

2. Dee dikenal sebagai penulis lirik lagu agak puitis yang cenderung kurang komersil, Tapi saat ini siapa yang tidak tahu lagunya 'Malaikat Juga Tahu' dengan keanehan bahasa liriknya? Kira-kira kesuksesan lagu itu apakah akan mempengaruhi cara pandang Dee akan konsep penulisan lirik? Karena pada saat kita dihadapkan pada sebuah kesuksesan secara komersial, pandangan dan 'tuntutan' kita akan sesuatu cenderung agak bergeser. Saya minta pendapatnya...

Kira-kira tahun 2003 saya mulai tertarik untuk bikin lagu yang punya cerita spesifik. Dan itu bukan karena pertimbangan komersial, melainkan secara alamiah perkembangan selera lirik saya bergerak ke arah sana. Contohnya lagu saya “Satu Bintang Di Langit Kelam” (RSD) dengan “Malaikat Juga Tahu”. Dua-duanya sama-sama puitis, tapi “Satu Bintang…” lebih abstrak, sementara “Malaikat…” lebih langsung dan lugas. Dan kalau soal lirik saya nggak terbebani kesuksesan komersial karena bagi saya setiap lagu itu punya cerita sendiri yang ingin dibagi, lagu itu punya “nyawa”. Dan saya respek sama “nyawa” itu. Kalau memang liriknya nggak komersil ya nggak pa-pa, yang penting sayanya puas dan merasa bahwa lagu itu sudah menuntaskan pesannya. Prinsip saya, tulislah buku yang ingin kita baca, dan buatlah lagu yang ingin kita dengar. Itu saja sudah lebih dari cukup. Kalau ada orang lain yang suka, itu adalah bonus.


Q&A with IMEL – TEN TO FIVE:

1. What love means to you?

As unromantic as it sounds, for me love is pure energy. Everything in life is love. No matter how ugly or pretty, no matter how good or evil. It’s all energy.

2. What does loyalty means to you, regards to your beautiful song “Malaikat Juga Tahu”?

Kesetiaan adalah niat yang mulia, yang sebaiknya tetap dijadikan niat dan bukan janji dengan harga mati. Bagi saya, kejujuran lebih penting daripada kesetiaan. Karena kita bisa hidup selamanya dalam ingkar dan dusta hanya karena menjunjung tinggi kesetiaan di atas segalanya. Dan kita bisa hidup dalam kebencian dan neraka karena menuntut orang setia pada kita di atas segalanya. Untuk hidup dalam kesengsaraan seperti itu, hanya atas nama kesetiaan, bagi saya rasanya membatalkan semua manfaat dan tujuan kita hidup.


Q&A with JOE – ST. LOCO:

1. Kapan pertama kali lo ngerasa hidup lo berarti buat orang lain?

Saya nggak tahu ini jawaban relevan atau bukan. Tapi saat saya jadi juara kelas waktu kelas 1 SD, dan mendengar nama saya dipanggil di hadapan satu sekolah, mendadak saya merasa hidup saya ini kok punya arti ya buat orang lain? Kok bisa-bisanya mereka tepuk tangan? Memangnya saya ngapain aja? Mendadak saya tersadar bahwa manusia punya kepedulian yang aneh. Hehe.

2. Kalo lo dikasih kesempatan untuk ngulang masa lalu, bagian hidup lo yang mana yang mau lo ulang untuk lo perbaiki?

Detik terakhir sebelum saya memutuskan untuk lompat dari kereta yang sedang berjalan di stasiun Gambir, sembilan tahun yang lalu. Kalau dipikir-pikir sekarang, lebih baik saya terbawa ke Bogor saat itu dan ketinggalan kereta terakhir ke Bandung, daripada akhirnya lompat dan cedera lutut.


Q&A with MARCELL:

1. Apa yang terlintas di kepala kamu kalo mendengar kata 'Kartu Diskon'?

GRGGHHHH… ARGGHHHH… GRRRMMMM… GROOOOWWWLLLGHH!!! (bebunyian binatang buas yang dikerangkeng dan sedang kelaparan dan sekonyong-konyong dikasih lihat bongkahan daging).

2. Kalo disuruh milih: belajar renang sama Ian Thorpe (atlet renang Internasional) atau belajar Wing Chun sama Sifu Ip Chun (anaknya Master Ip Man)? Alasannya?

Ip Chun! Ip Chun! Ip Chun! Ip Chun! (sambil tepuk-tepuk tangan).
Setelah nonton film “Ip Man” (Donny Yen), saya memutuskan untuk jadi perenang di kehidupan selanjutnya dan kalau bisa sekalian jadi ikan paus jadi sudah pasti mengalahkan segala ikan di laut termasuk Ian Thorpe, dan di kehidupan sekarang belajar Wing Chun aja jika ada kesempatan, karena bela diri tersebut (setidaknya dalam film) sangat keren dan bikin ngiler.