Friday, May 12, 2017

WOOP.ID | Kepingan Supernova | April, 2017 | Yaya Sitanggang



Bagaimana rasanya setelah menyelesaikan "Kepingan Supernova”? Apa hal pertama yang dilakukan setelah berhasil menyelesaikan novel tersebut? Apa yang menjadi ide atau inspirasi utama dari "Kepingan Supernova”? Tantangan terbesar dalam proses pembuatan "Kepingan Supernova"?

Untuk Kepingan Supernova, pekerjaan saya lebih mensupervisi karena sebetulnya semua materi sudah ada, tinggal dikurasi, diedit, dan didesain. Jadi, saya lebih berada dalam posisi urun saran. Sebagian besar dilakukan oleh tim editor Bentang Pustaka dan desainer saya, Fahmi Ilmansyah. Rasanya tentu saja senang, karena sebetulnya kumpulan kutipan ini adalah ide saya sejak lama, bahkan dari sejak Supernova 1, tapi baru terealisasi sekarang. Saya rasa momennya juga lebih tepat karena serial Supernova sudah tamat, jadi kumpulannya sudah lebih lengkap dan kaya. Kami luncurkan sekaligus memperingati setahun selesainya serial Supernova.

Selama proses pembuatan pernahkah mengalami writer's block dan biasanya apa yang dilakukan?

Writer’s block bergantung dari definisi kita sebetulnya. Bagi saya, yang terjadi lebih seperti “macet sesaat” ketika proses menulis panjang, yang mana hal itu wajar terjadi. Untuk macet seperti itu biasanya yang dilakukan hal-hal sederhana misalkan istirahat sejenak, olahraga, rekreasi. Yang jelas, ketika sudah punya deadline maka kita coba patuhi itu, jadi ketika terjadi macet, kita tidak memundurkan deadline melainkan kita coba terus di hari berikutnya, dan seterusnya.

Sebagai seorang penulis Indonesia yang sudah aktif selama bertahun-tahun, bagaimana pendapat Mbak Dewi tentang dunia literatur Indonesia, terutama fiksi? Apakah ada hal yang masih harus ditingkatkan, digali, dan diperbincangkan? Bagaimana tanggapan Mbak Dewi tentang budaya membaca di Indonesia?

Pekerjaan rumah dari industri buku masih banyak, dari mulai masalah pajak, harga buku, retail, penerjemahan, dsb. Secara kultur dan sistem, kita masih perlu meningkatkan minat baca. Sebagai profesi, penulis juga masih perlu advokasi, asosiasi yang profesional, regenerasi, dan meningkatkan skill.

Sebagai penulis dan juga ibu, apakah tips untuk memperkenalkan dan mendorong anak untuk lebih tertarik membaca buku?

Dengan menjadikan kegiatan membaca sebagai kegiatan menyenangkan, kita berikan sudut membaca yang nyaman, akses kepada buku yang mudah, dan kita juga menjadikan buku sebagai hadiah bagi momen-momen tertentu hingga mereka punya persepsi bahwa buku itu berharga dan membahagiakan.

Seberapa sering dan banyak Mbak Dewi membaca? Satu buku biasanya bisa diselesaikan dalam berapa lama? Adakah target jumlah buku yang harus diselesaikan dalam, misalnya, setahun atau sebulan?

Saya membaca biasanya berdasarkan kebutuhan. Tidak berdasarkan target bulanan atau tahunan. Saya bisa break panjang dari membaca, tapi begitu saya harus riset misalnya, saya bisa baca puluhan buku secara kontinu. Secara umum biasanya sih dalam sebulan pasti ada judul baru yang saya baca.

Selama tahun 2016 kemarin, adakah judul-judul buku yang menjadi favorit? Selain itu apakah judul buku favorit sepanjang Mbak Dewi?

“The Emperor of Scent” – Chandler Burr, buku nonfiksi yang sifatnya reportase seorang wartawan yang mengikuti perjalanan seorang ilmuwan bernama Luca Turin yang hendak membuktikan teori baru tentang penciuman. Buku itu kebetulan bagian dari riset saya untuk manuskrip baru. Kalau yang sepanjang masa nggak hanya satu, tapi saya sebutkan satu saja, yakni “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono.

Apakah akan ada seri Supernova selanjutnya?

Serial Supernova sudah tamat, tapi ceritanya masih bisa berlanjut. Kalau saya lanjutkan maka judul serialnya sudah bukan Supernova lagi.

CewekBangetID | Hari Kartini | April, 2017 | Natalia Simanjuntak


Mbak Dewi sekarang dikenal sebagai penulis novel best-seller, tapi banyak yang belum tahu bagaimana Mbak Dewi melewati masa-masa remajanya. Apakah sejak remaja Mbak Dewi sudah suka menulis? Apa atau siapa yang menjadi influencer terbesar Mbak Dewi saat itu?

Saya suka menulis sejak kecil. Seingat saya, dari kelas 5 SD saya sudah mulai membuat novel-novelan. Waktu remaja, SMP-SMA, saya juga suka menulis, tapi tidak terlalu serius karena saat itu saya lebih fokus ke musik. Waktu kecil hingga remaja saya banyak membaca buku-buku Enid Blyton, komik drama Jepang, dan sedikit-sedikit mulai menyukai puisi. Salah satu supporter terbesar saya adalah ibu saya sendiri. Dulu, beliau yang meyakinkan saya bahwa saya punya bakat menulis.

Bagaimana respon orang-orang terdekat terhadap hobi Mbak Dewi ini? Adakah keluarga atau teman-teman yang menentang?

Menentang sih tidak, tapi mungkin tidak menganggap terlalu serius. Mereka cuma tahu bahwa saya punya hobi menulis. Keluarga dan sahabat-sahabat dekat juga menjadi para pembaca pertama ketika saya membuat cerita. Semuanya menyambut positif bahkan kegandrungan dengan cerita yang bikin. Tapi, ya, itu tadi. Mereka pun tampaknya tidak membayangkan bahwa menulis akan menjadi profesi saya kelak. Saya juga saat itu tidak terbayang ke arah sana. Yang saya tahu hanya saya suka menulis dan berangan-angan satu hari nanti menerbitkan buku.

Sebagai remaja, apakah Mbak Dewi juga pernah merasa insecure terkait dengan fisik atau lainnya? Bagaimana proses Mbak Dewi struggling dengan hal tersebut sampai akhirnya bisa menerima diri sendiri sebagaimana adanya?

Tentu saja pernah. Pernah jerawatan, pernah merasa kurang kurus, pernah merasa kurang modis, dan sebagainya. Untungnya, karena saya terlibat cukup banyak di kegiatan lain, soal penampilan tidak pernah jadi fokus saya terus menerus. Saya lebih banyak mengasah hobi saya, khususnya musik dan berorganisasi. Jadi, orang-orang akhirnya lebih mengenal saya karena kemampuan saya, bukan karena penampilan, dan itu membuat saya tetap percaya diri ketika berelasi dengan orang lain.

Menurut Mbak Dewi, apa hal utama yang seharusnya dimiliki oleh seorang perempuan khususnya di Indonesia supaya bisa berhasil mewujudkan mimpinya?

Memelihara rasa ingin tahu, ingin belajar. Menurut saya itulah modal besar untuk seseorang bisa maju, terlepas gendernya apa. Ketika sudah menemukan passion kita apa, jangan berhenti di situ. Asah terus hingga menjadi skill. Itulah modal terbesar untuk kita mencapai potensi terbaik kita kelak.

Apa pandangan Mbak Dewi mengenai feminisme?

Pandangan saya netral-netral saja. Karena pernah ada masanya perempuan mengalami represi besar-besaran, maka gerakan feminisme secara alamiah akan lahir seiring dengan pengetahuan perempuan—dan manusia pada umumnya—yang menginginkan perubahan ke arah lebih baik. Saat ini, feminisme sudah mapan seperti isme-isme lainnya yang sudah lama ada di sekitar kita dan teruji waktu. Dan, masih akan terus berkembang. Saya pribadi tidak pernah menganggap diri feminis, lebih ke humanis.

Sekarang ini, sudahkah perempuan setara dengan laki-laki? Apa yang bisa perempuan lakukan supaya bisa keluar dari stigma "dapur, sumur, dan kasur"? Pernahkah Mbak Dewi diremehkan sebagai seorang perempuan?

Saya cukup beruntung karena sepanjang ingatan saya, saya tidak pernah merasa diremehkan sebagai seorang perempuan. Mungkin karena itu juga saya pribadi tidak punya isu dengan kesetaraan meski saya tahu bahwa isu tersebut nyata terjadi di kehidupan masyarakat umum. Untuk bisa keluar dari stigma, tentu yang pertama harus ada adalah kesadaran bahwa stigma itu melekat pada dirinya. Karena jika problem belum diidentifikasi, solusi pastilah belum bisa lahir. Jika kesadaran sudah ada, maka perkayalah diri dengan jaringan dan informasi yang dapat membantu kita lepas dari stigma tersebut. Banyak organisasi atau LSM yang mengadakan pelayanan terhadap isu represi gender, memberikan pelatihan, pemberdayaan, dsb. Kalau soal setara, saya rasa dalam banyak bidang kesetaraan yang ideal dan sempurna tentu belum dicapai. Tapi kita juga perlu mengidentifikasi lebih jelas kesetaraan apa yang ingin dicapai dan perlu ada. Saya rasa ada banyak perspektif mengenai hal tersebut. Saya sendiri lebih fokus kepada bagaimana kita, sebagai manusia, dapat mencapai potensi maksimal kita dalam bidang apa pun.


Belia - Pikiran Rakyat | Hari Kartini & Menulis | April, 2017 | Dhiany Nadya Utami

--> -->
Sebagai pembuka, karena di bulan ini kita memperingati Hari Kartini, menurut Mbak Dee bagaimana sih seharusnya tokoh Kartini itu?

“Seharusnya” bukanlah konsep yang saya miliki tentang Hari Kartini maupun sosok Kartini. Namun, sebagaimana Kartini pada saat itu, saya merasa Kartini menyimbolkan pemikiran kritis terhadap kemajuan dan harkat perempuan. Ia sosok yang cerdas dan melampaui zaman, walaupun akhirnya menyerah kepada keterbatasan yang mengungkungnya saat itu. Saya merasa pergelutan Kartini itu lebih di tataran intelektual.

Dalam pandangan Mbak Dee, apa yang sebenarnya menjadikan seorang wanita itu hebat?

Perempuan yang bersentuhan dekat dengan potensinya, kekuatannya, dan mampu memanifestasikannya dalam kehidupan nyata, bidang apa pun itu, termasuk dalam berumah tangga dan membesarkan anak-anaknya.

Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk memberdayakan (empowering) sesama perempuan?

Saling berbagi informasi, pengetahuan, pemikiran. Saya rasa itu juga yang kurang lebih dilakukan Kartini dulu. Saat ini tentu kita sudah bisa melangkah jauh, ada yang memilih berorganisasi, bergerak melalui LSM, dsb. Namun, intinya adalah bagaimana kita menciptakan kesadaran akan kekuatan dan potensi kaum perempuan.

Kembali ke Kartini, kita tahu ia dikenal salah satunya karena ia mendokumentasikan pemikirannya dalam tulisan dan mengirimkannya dalam bentuk surat pada temannya, bagaimana Mbak Dee memandang hal tersebut?

Bagaimana pandangan Mbak Dee jika Mbak disebut disebut sebagai Kartini Literasi?
Saya merasa predikat seperti itu merupakan hak dari pembaca atau siapa pun yang berada di luar dari saya sendiri, tentunya. Jika saya kembali ke diri saya sendiri, saya berkarya bukan demi predikat, melainkan karena kecintaan dan kegemaran saya pada seni bercerita. Tentu pada akhirnya, ketika seorang konsisten berkarya dan mulai memiliki gaung di tengah masyarakat, akan ada banyak predikat yang disandangkan. Saya merasa itu sesuatu yang patut diapresiasi, tapi bukan sesuatu yang saya kejar, jadi saya terima saja.

Oh ya, Mbak Dee sendiri sejak kapan suka menulis dan mengapa memutuskan untuk berkarya lewat tulisan?

Saya mulai menulis “novel-novelan” sejak kelas lima SD, dan sering mengkhayal cerita-cerita bahkan lebih muda dari itu. Setelahnya saya menulis terus sebagai hobi, sampai lulus kuliah, berkarier di bidang musik, dan akhirnya tahun 2001 saya menerbitkan buku (Supernova episode Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh).

Bagi Mbak, menulis itu apa?

Saluran berekspresi dan pekerjaan yang saya cintai.

Siapa (atau apa) yang menjadi inspirasi Mbak Dee dalam menulis?

Inspirasi saya didapat dari hidup itu sendiri. Ketika menjalani hidup dan mengalami berbagai pengalaman, banyak hal yang renungkan, ingin saya bagikan, dan komunikasikan ke pihak lain. Medium yang saya pilih adalah menulis. Sama halnya dengan pelukis yang memilih melakukannya lewat lukisan, atau musikus yang berekspresi lewat musik.

Karya seperti apa sih yang ingin dihasilkan oleh seorang Dewi Lestari?

Karya yang saya sendiri sukai. Saya hanya menulis buku yang ingin saya baca, dan lagu yang ingin saya dengar.

Adakah pesan atau tips dari Mbak Dee untuk pembaca Belia yang ingin atau sudah  mulai menulis?

Menulis itu seperti otot. Jika kita ingin tangguh, ingin bertumbuh, ingin terus bertambah kuat, satu-satunya cara adalah dilatih, sering, dan sebisa mungkin rutin. Setelah sering latihan, tentu kita juga ingin tahu cara berlatih yang benar dan efektif, maka carilah ilmu menulis yang baik, lewat membaca, ikut workshop, dan sebagainya. Intinya jadikan itu bagian dari hidup seperti halnya kita makan dan minum.

UPH Conservatory of Music - Skripsi | Menulis Lagu | Januari, 2017 | Novia Arifin


Apakah latar belakang Dewi Lestari sehingga dapat berkarya tidak hanya sebagai penulis namun juga sebagai pencipta lagu?

Dorongan ataupun ketertarikan mencipta lagu sudah saya rasakan sejak kecil. Seingat saya, saya pertama kali coba-coba bikin lagu sejak kelas 2 SD, tapi tentunya belum terstruktur dengan baik. Baru kelas 5 SD saya mencoba lebih serius dan berhasil membuat dua lagu pada saat itu. Sehabis itu, terus coba-coba di bangku SMP. Namun, baru saat kuliah saya mulai lebih serius lagi. Lagu pertama saya yang masuk dapur rekaman adalah Satu Bintang di Langit Kelam, saya tulis tahun 1994, dan masuk ke album perdana Rida Sita Dewi tahun 1995. Saya menulis juga sejak kecil, sejak SD. Kelas 5 SD pertama mencoba bikin novel, dan terus coba-coba. Jadi, sejarahnya kurang lebih sama dan berjalan paralel. Intinya, passion saya adalah story-telling. Fiksi atau lagu, hanya perkara mediumnya saja.

Bagaimana pengalaman Dewi Lestari saat membuat karya musik pertama/lagu pertama? Urgensi/inspirasi apa yang dirasakan? Kronologi pembuatannya seperti apa?

Bagi saya, proses bikin lagu itu selalu “balap-balapan” antara melodi dan lirik. Terkadang lirik membuka pemicu untuk melodi baru, terkadang melodi yang memicu lirik. Jadi, datangnya silih berganti. Baru setelah rampung, saya punya kesempatan untuk mengedit lirik agar lebih rapi dan sempurna. Inspirasinya biasanya datang dari merasakan sebuah emosi. Bisa dari pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain. Tapi, saya selalu melihat frame sebuah cerita untuk bisa dijadikan lagu. Jadi, tetap ada unsur story-telling.

Bagaimanakah proses kronologi pembuatan lagu yang sering dilakukan atau sudah menjadi kebiasaan bagi Dewi Lestari?

Mirip dengan jawaban di atas. Biasanya, muncul potongan sedikit melodi, lalu beberapa kata untuk lirik. Kemudian, saya lanjutkan di piano. Proses merampungkannya jarang sekali jadi. Biasanya, bisa makan waktu beberapa hari. Bahkan beberapa minggu. Jadi, saya bolak-balik mengunjungi draf lagu, hingga rampung. Baru, saya edit ulang lirik agar rapi; efisien dalam penggunaan kata, enak dinyanyikan, ceritanya lebih runut.

Apakah inspirasi yang biasanya memicu Dewi Lestari sebelum membuat sebuah lagu?

Emosi, yang kemudian saya kembangkan menjadi cerita.

Bagaimana proses pembuatan lirik yang diterapkan dalam pembuatan lagu bagi Dewi Lestari?

Mirip dengan jawaban-jawaban di atas. Kalau sudah ada bingkai cerita maka biasanya lebih mudah. Sama dengan prinsip bercerita, awal itu biasanya set-up, di bait kedua sudah ada “persoalan” lagu, dan biasanya pesan utamanya muncul di reffrain.

Dalam pembuatan lirik adakah teori yang dipakai khususnya teori dalam ilmu sastra? Misalnya semantic atau rima, apakah rima penting untuk membuat lirik?

Tidak berdasarkan teori tertentu. Lebih banyak feeling. Rima biasanya saya terapkan karena bagi kuping saya lirik yang punya rima lebih enak didengar.

Apakah keberadaan teori sangat berperan dalam pembuatan lagu secara keseluruhan atau tidak sama sekali?

Karena saya otodidak, saya tidak menjalankan teori tertentu. Belakangan baru saya baca-baca buku tentang songwriting, dan ternyata sebagian besar sudah saya terapkan tanpa disadari. Misalnya, tentang prosody, yakni kesesuaian melodi dan lirik. Bagi saya, prosody sangat penting. Dan, itu terasa ketika saya mendengar lagu yang menurut saya baik. Dan juga terasa ketika saya mendengar lagu yang prosody-nya nggak pas, contohnya lagu dengan melodi cerah tapi diberi lirik yang sendu. Jadi, nggak terasa “kawin”.

Manakah yang lebih didahulukan dalam membuat lagu, lirik atau melodi lagu?

Sama seperti jawaban no 2.

Jika lirik dibuat terlebih dahulu, adakah pemberlakuan/treatment yang sering digunakan saat membuat melodi berdasarkan lirik yang ada?

Saya tidak pernah membuat lagu (melodi) dengan lirik yang sudah rampung terlebih dahulu. Selalu overlapping.

Jika melodi dibuat terlebih dahulu, adakah pemberlakuan yang sering digunakan saat membuat lirik?

Sama dengan jawaban no 9.

Lirik yang menyesuaikan melodi atau melodi yang menyesuaikan lirik? Manakah yang biasanya ‘dikorbankan’?

Keduanya saling menyesuaikan.

Apakah lirik dan melodi memiliki posisi yang sederajat atau ada yang lebih penting diantara keduanya?

Bagi saya sama penting. Lirik indah tapi melodi tidak menggugah sama lemahnya dengan melodi indah tapi lirik tidak menggugah.

Hal apakah yang paling penting dalam sebuah lagu sehingga lagu dapat dikatakan matang?

Strukturnya rapi, jelas. Baik dari segi melodi, bagan lagu, hingga cerita/konten lagu.

Apakah makna lirik berhubungan dengan pergerakan melodi dalam lagu?

Itu yang tadi saya sebut dengan prosody. Salah satu lagu dengan prosody terbaik konon adalah I Don’t Have The Heart (James Ingram). Bisa dipelajari bagaimana ketika melodi dan lirik sudah “kawin” atau terintegrasi, maka yang terjadi adalah cerita. Tidak lagi bisa kita pisahkan melodi dan liriknya. Keduanya saling memberi penekanan yang tepat hingga baik melodi dan lirik sama-sama kuat bagi pendengar.

Apa pendapat Dewi Lestari tentang lagu yang memiliki makna lirik yang buruk/negatif? (Contohnya: Yura – Cinta dan Rahasia dll.)

Saya punya definisi berbeda tentang makna lirik yang negatif. Bagi saya, lirik yang sampai taraf negatif itu kalau sudah sampai ke taraf menghasut ke tindakan kriminal seperti membunuh, dsb. Namun, apa yang diungkap dalam contoh lagu yang kamu berikan, saya rasa masih sangat realistis dan banyak dialami oleh orang-orang. Jadi, saya merasa netral-netral saja dengan lagu tsb.

Apakah cerita lagu diutamakan dalam pembuatan lagu?

Bagi saya, iya.

Apakah ada pemberlakuan yang berbeda antara verse, pre chorus maupun chorus dalam hal lirik maupun melodi?

Saya belum terlalu jelas dengan makna “pemberlakuan” dalam konteks pertanyaan di atas. Tapi tentu saja karakteristik verse, pre-chorus, dan chorus berbeda. Verse sifatnya membuka, pre-chorus sebagai jembatan, dan chorus biasanya punya kekuatan ekstra, nadanya lebih klimaks. Secara lirik, bergantung pendekatan penulis lagunya seperti apa. Kalau saya, prinsipnya seperti story-telling. Ada set-up, ada masalah, ada penyelesaian/kesimpulan.

Apakah pencipta lagu terbiasa mengerjakan lagu secara individual atau lebih menyukai bekerja sama dengan musisi lainnya? Jika bekerja sama dengan musisi, bagaimanakah prosesnya? Dan apakah sulit karena tentu saja memiliki perbedaan selera dan pendapat.

Hal tersebut sifatnya individual. Jawaban saya tentu tidak bisa mewakili penulis lagu lain. Kalau saya sejauh ini selalu bekerja sendiri.

Apa latar belakang dari lagu Firasat yang dibuat oleh Dewi Lestari?

Banyak lagu saya yang tidak punya “latar belakang” atau “misi”, lebih ke lahir begitu saja. Firasat, adalah salah satunya. Yang saya ingat, waktu itu saya diminta bikin lagu untuk album Marcell. Dan, karena suara Marcell cenderung lebih R&B, saya kemudian membayangkan melodi yang kira-kira cocok dilantunkan Boyz II Men, dan lalu muncullah potongan melodi di reffrain Firasat, yang tak lama kemudian saya pasangkan dengan kata-kata “Cepat pulang”. Setelah itu mulai terbingkai sebuah cerita yang lebih lengkap.

Adakah interaksi yang terjadi antara lirik dengan melodi dari lagu Firasat? Jika ada, seperti apakah interaksi tersebut?

Sama seperti jawaban sebelum-sebelumnya. Karena saya menciptakan lagu secara overlapping, keterkaitan antara melodi dan lirik otomatis jadi sangat kuat karena saling mendorong terciptanya satu sama lain. Begitu juga dengan Firasat.

Bagaimanakah kronologi pembuatan lagu Firasat?

Sama seperti jawaban no 19. Sekadar tambahan, Firasat adalah lagu yang sepenuhnya saya ciptakan di “kepala”, tanpa bantuan alat musik. Karena saya bikinnya waktu itu di luar kota. Baru ketika saya pulang ke rumah, saya coba mainkan di piano untuk tahu chord-nya.

Lebih penting mana, membuat lagu untuk disukai orang yang mendengar atau membuat lagu agar orang mengetahui pesan lagu tersebut, suka atau tidak suka?

Pada prinsipnya, saya hanya menulis lagu yang ingin saya dengar. Artinya, patokannya adalah saya sendiri. Saya harus suka duluan sama lagunya. Orang lain suka, saya anggap bonus. Tapi, saya tidak pernah bikin lagu yang saya sendiri nggak suka.

Menurut pendapat Dewi Lestari, apa perbedaan musik instrumental dengan musik ber-lirik? Apakah ada yang lebih bermanfaat/bagus/komunikatif?

Saya rasa musik instrumental lebih mengedepankan pada penekanan pada instrumen tertentu atau sebuah aransemen/komposisi multi-instrumen. Sama halnya dengan musik yang berlirik, keduanya tentu punya cerita yang ingin dikomunikasikan. Hanya saja pada musik instrumental, cerita itu tidak disampaikan secara verbal. Jadi, bukan soal lebih bagus atau tidak. Kembali kepada tujuan maupun preferensi kreatornya. Yang jelas, biasanya musik instrumental punya interval melodi yang lebih luas dan kompleks karena tidak perlu memperhitungkan rentang maupun kenyamanan vokal sebagai salah satu instrumen. Sementara musik yang berlirik biasanya memperhitungkan kecocokan dan kenyamanan vokalis untuk membawakan lagu.

TinkerBell Writing Club | Teknik Menulis | Februari, 2017


Apa yang akan Anda lakukan jika merasa kurang yakin/puas dengan naskah cerita Anda?

Biasanya, saya akan terus mengolahnya hingga puas. Hanya kalau saya sudah puas maka saya akan memberikan naskahnya ke penerbit. Tentu saja, biasanya akan tetap terjadi proses editing, baik dari pihak saya maupun penerbit, dan pada akhirnya tidak ada naskah yang benar-benar sempurna atau pun “bersih” dari kesalahan. Kadang, saya bisa saja menjadi tidak puas ketika naskahnya sudah terbit karena menyadari hal-hal yang seharusnya bisa saya perbaiki, tapi setelah sekian kali menerbitkan buku saya sudah bisa menerima bahwa itu adalah wajar dan normal terjadi dalam proses berkarya.

Karya Anda yang berjudul Supernova sempat booming ketika tahun 2000-an, genrenya pun menurut saya anti mainstream dan pemilihan katanya membuat saya terpukau. Apakah ada rintangan ketika menulis Supernova?

Saat itu saya tidak melihatnya sebagai rintangan, tapi lebih kepada tantangan. Motivasi saya menerbitkan Supernova dulu sangatlah lugu, hanya untuk sekadar memberi kado ultah ke-25 bagi diri sendiri. Karena ada tenggat waktu seperti itu (mengejar hari ulang tahun), maka tantangannya lebih kepada produksi. Waktu itu saya self-publish, jadi banyak hal yang harus saya tangani langsung, dari mulai percetakan hingga distribusi. Namun, dari segi penulisannya sendiri saya tidak merasakan ada rintangan tertentu. Mungkin karena pada intinya saya menulis bagi diri saya sendiri jadi tidak merasa ada beban ekspektasi maupun aturan orang/pihak lain

Siapa saja yang memotivasi Anda untuk tetap lanjut menulis?

Dari kecil saya memang suka menulis dan bercita-cita menulis buku. Tanpa ada yang menyuruh pun saya akan tetap menulis. Setahun sebelum menulis Supernova, ada satu sahabat saya yang mengingatkan saya akan niat saya menulis buku, dia cuma bilang, “Jadi, kapan?” Itu jadi semacam cambuk bagi saya untuk membulatkan tekad.

Bagaimana caranya agar kita tetap konsisten dengan satu cerita hingga tamat? Apalagi Supernova butuh banyak waktu untuk selesai. Tidakkah Anda merasa bosan atau kehabisan ide ketika ingin melanjutkannya?

Rasa bosan pasti ada. Ide bukan soal habis atau tidak, tapi bagaimana menyusun logika cerita yang kuat dengan menggunakan ide-ide yang ada. Saya rasanya nggak pernah kehabisan ide, lebih banyak kebanyakan ide. Jadi, tantangan saya justru memilah dan memilih ide yang tepat untuk membangun cerita yang solid. Dalam penulisan serial, menurut saya kita harus sudah punya sistem, nggak bisa lagi mengandalkan kapan kita mau nulis atau tidak. Ada deadline, ada target harian. Konsistensi itu semata-mata ketekunan kita untuk sudi mengerjakan hal besar dalam porsi kecil-kecil secara rutin. 

Apa pendapat Anda mengenai banyaknya novel-novel jebolan Wattpad (yang kebanyakan diberi label jutaan pembaca) yang sudah diterbitkan?

Saya belum terlalu banyak membaca novel jebolan Wattpad jadi belum bisa berkomentar banyak secara konten. Namun, sebagai sebuah fenomena, menurut saya ini cukup menarik. Wattpad menjadi semacam ajang berlatih bagi para penulis, dan karena dikerjakan secara mencicil, otomatis itu memicu penulis untuk tekun, berinteraksi dengan pembaca, dan merasakan bagaimana sensasi bisa menamatkan sebuah kisah. Sensasi itu menurut saya penting karena itulah yang sering menjadi tantangan para penulis pemula. Mereka mudah memulai tapi kesulitan ketika harus menyelesaikan.

Ketika membaca suatu karya sastra anak bangsa, apa yang paling utama Anda nilai?

Patokan saya terhadap cerita sebetulnya sama, siapa pun penulisnya dan dari mana pun asalnya, yakni cerita yang mengikat pembaca dan solid secara logika. Tolok ukurnya mudah saja, jika kita tergerak untuk terus membuka halaman demi halaman, dan ketika menutup halaman terakhir kita mendapatkan sesuatu, entah itu ilmu baru, emosi, perenungan, dsb, maka kisah itu berhasil.

Sejak kapan Anda menyukai dunia tulis menulis?

Sejak kecil. Seingat saya, saya mulai menulis panjang (novel-novelan) dari kelas 5 SD.

Menurut Anda, bagaimana cara membuat plot twist yang tidak mudah ditebak?

Plot itu adalah rangkaian logika cerita. Twist yang berhasil hanya bisa terjadi ketika keseluruhan logika cerita kuat dan nggak bolong-bolong. Semakin tak tertebak biasanya logika ceritanya semakin rapi. Rumusnya sih sebetulnya gampang, walaupun belum tentu mudah dilakukan, yakni narasi besar perlu menggiring pembaca ke arah tertentu, sementara ada narasi bayangan yang hanya diketahui oleh penulis. Dan ketika kedua narasi itu bertemu dan jalur pembaca tahu-tahu tergiring ke narasi bayangan, pada saat itulah pembaca tersentak karena tidak menyangka perjalanan cerita tahu-tahu berubah. Namun, kalau dirunut balik, sebenarnya narasi bayangan itu sudah ada di sepanjang cerita, hanya saja tidak kentara karena penulis berhasil menyembunyikannya. Tentu ini dibutuhkan teknik. Tapi, yang lebih dibutuhkan lagi adalah logika cerita yang baik dan rapi.

Menulis bagi Anda sendiri adalah?

Kapasitas istimewa dari spesies manusia.

Pertanyaan terakhir, pesan apa yang ingin Anda sampaikan untuk anggota grup kepenulisan Tinker Wattpad Club?

Persepsikanlah menulis sebagai otot. Agar otot kita kuat dan bertumbuh, maka kita harus melatihnya. Wattpad bisa menjadi ajang berlatih yang efektif, manfaatkan sebaik-baiknya. Jangan cepat merasa puas dan teruslah belajar. Agar menulis bisa menjadi sebuah seni, maka kita terlebih dahulu harus menguasai tekniknya dengan baik.

Tirto.ID | Supernova IEP & Serial Supernova | Januari, 2017 | Aulia Adam


Selamat ulang tahun, Supernova. Selamat ulang tahun juga, Ibu Suri.

Terima kasih banyak.

Februari nanti tepat satu tahun dirilisnya IEP, bagaimana kabar tokoh-tokoh di dalamnya – para peretas, infiltran, dan sarvara?

Kabarnya baik. Seperti saya, mereka tampaknya menikmati betul petualangan yang mereka alami dalam IEP.

Dalam rentang 15 tahun, sejak KPBJ pertama kali dirilis hingga IEP, rupanya karakter-karakter dalam Supernova berkembang tak hanya jadi sekadar tokoh dalam novel. Bak novel saga lainnya seperti Harry Potter, Twilight, atau Fifty Shade of Gray, mereka bahkan punya basis penggemar masing-masing. Apakah Ibu Suri memang merakit karakter-karakter ini supaya demikian?

Saya mulai merancang “plot berbasis karakter” itu setelah menulis Supernova 1 (KPBJ). Di KPBJ saya merasa ruang gerak karakter-karakternya agak sempit, terutama Dimas dan Reuben yang bahkan tidak keluar dari rumah mereka, dan untuk episode selanjutnya saya ingin memberikan ruang luas bagi setiap karakter. Artinya, saya bercerita dari sudut pandang mereka, kemudian saya menggambarkan kehidupan mereka sejak kecil, dsb. Dengan demikian, pembaca bisa benar-benar paham peristiwa-peristiwa penting yang membentuk setiap karakter. Saya juga merancang agar setiap karakter memiliki sifat, latar belakang, kelebihan dan kelemahan, yang berbeda dari satu sama lain. Waktu kecil, saya pernah menonton serial Yogi Bear edisi khusus berjudul Laff-A-Lympics. Puluhan karakter dari serial kartun produksi Hanna-Barbera yang berbeda-beda tiba-tiba disatukan dan ditandingkan. Bagi saya, sensasinya luar biasa. Saya biasanya mengenal karakter-karakter itu di “dunia” mereka masing-masing, dan tiba-tiba mereka dipersatukan. Sensasi itu yang kira-kira ingin saya bangkitkan ketika merancang episode-episode berikut (2 sampai 5), dan puncaknya mereka bertemu di 6. Otomatis, seiring waktu, setiap pembaca sudah memiliki “jagoan” masing-masing. Dan, di buku 6 mereka akan melihat sisi-sisi baru dan segar dari jagoannya setelah berinteraksi dengan tokoh-tokoh dari episode lain.

Ibu Suri sendiri punya karakter Favorit? Siapa?

Sulit sebenarnya dijawab karena saya menyukai semuanya hampir sama rata. Tapi, saya amat menikmati proses menulis Alfa Sagala (Gelombang).

Kalau ada, apa yang membuatnya menarik?

Saya merasa karakter Alfa itu menggemaskan. Pintar tapi lugu. Pergelutan batinnya sebagai pionir yang memulai pemberontakan Peretas terhadap Sarvara juga membuat Alfa memiliki banyak lapisan menarik untuk dieksplorasi.

Ada banyak sekali teori, budaya, dan gaya bercerita yang berbeda Dee paparkan dalam heksalogi ini. Semua riset mendalam itu yang akhirnya jadi salah satu daya tarik Supernova. Apakah semua itu memang dirancang sejak awal?

Pada awalnya, saya hanya menentukan tema, jadi sifatnya sangat global. Misalnya, tema lingkungan untuk Partikel. Atau, tema alam mimpi untuk Alfa. Namun, ketika ditulis begitu banyak sudut pandang sekaligus informasi yang harus dipilih dan dipilah. Subjek-subjek pendukung seperti mikologi, konservasi orang utan, fotografi alam, dsb, saya pilih melalui proses. Mana subjek yang memiliki unsur “drama” yang kemudian menunjang kehidupan si karakter, itulah yang saya pilih. Jadi, mirip menyusun puzzle. Kepingan puzzle itu tidak sekaligus hadir, tapi bertahap. Gaya bercerita saya tentukan sesuai karakter. Cara bercerita Elektra, misalnya, pasti harus berbeda dengan Alfa atau Zarah. Bagi saya itu jadi tantangan yang menarik. Terutama ketika mereka semua berkumpul. Setiap karakter tetap harus menyuarakan keunikannya masing-masing, rasanya seperti menata orkestra.

Sebagai penutup, IEP sebenarnya terkesan 'penuh'. Sebab hampir semua penjelasan yang tak terjelaskan di buku-buku sebelumnya justru dijawab satu per satu oleh IEP. Bahkan IEP masih belum menjawab siapa Peretas Puncak, dan apa yang akan terjadi setelah kehadirannya tiba. Apakah ini memang akhir yang dirancang? Atau akan ada 'keping' baru yang akan mengejutkan penggemar Supernova?

IEP adalah akhir dari “babak”-nya Supernova. Ceritanya sendiri masih akan berlanjut. Kenapa Supernova berakhir babaknya? Karena Supernova sebagai sebuah permasalahan saya anggap sudah selesai dengan terbongkarnya siapa Diva dan apa tujuannya. Babak berikutnya akan fokus kepada Peretas Puncak dan ke pertarungan besar Sarvara vs Infiltran.

Dee pernah bilang, kalau tak menutup kemungkinan kelanjutan kisah ini--tapi, tak lagi dalam rangkaian Supernova. Boleh kasih bocoran tentang kelanjutan nasib Peretas Puncak? Siapa dia? Atau Bagaimana kelanjutan kisah cinta Gio-Zarah? Alfa-Isthar? Atau Mpret-Etra?

Peretas Puncak adalah anak dari Gio dan Zarah. Dan karena dia adalah bagian dari gugus Asko yang melibatkan nama-nama yang disebut di atas, otomatis yang lainnya itu akan terceritakan juga. Walau fokusnya mungkin tidak akan sebanyak tokoh utama yakni si Peretas Puncak.

Jika punya kesempatan, dari sekian banyak tokoh di IEP, siapa yang paling memungkinkan punya cerita sendiri untuk dibuatkan novel sendiri? Kira-kira apa judulnya?

Saya merasa Liong punya potensi untuk itu. Realitas yang dikisahkan dari sudut pandang Infiltran pasti akan berbeda dengan sudut pandang Peretas. Dan, Liong punya masa lalu yang masih misteri. Dia pernah menjadi Peretas. Rasanya sih akan menarik, walau belum tentu akan saya wujudkan beneran menjadi novel. Judulnya belum terbayang. Sesuatu yang berhubungan dengan Naga, barangkali.

Supernova KPBJ sudah pernah dibuatkan film. Adakah rencana melanjutkan buku-buku selanjutnya untuk diterjemahkan dalam rol film?

Saya tidak pernah merencanakan. Dalam hal ini, tawaran adaptasi biasanya datang dari produser, bukan perencanaan dari penulis. Jadi, kalau ada produser yang punya ketertarikan terhadap satu buku tertentu, maka akan ada tawaran adaptasi. Bagi saya sendiri, hal itu tidak pernah menjadi target.

Bila dipaksa untuk menyebutkan aktor-aktor yang cocok untuk memerankan Alfa, Bodhi, Chandra, Empret, Etra, Gio, Ishtar, Kell, Liong, dan Zarah, siapakah mereka?

Itu pertanyaan sulit karena mereka semua harus “ter-orkestrasi” baru pas. Dan saat ini rasanya bagi saya terlalu pelik untuk menyusun orkestrasi casting itu. Kalau cuma dicocokkan satu-satu tapi secara keseluruhan nggak nyambung nantinya jawaban saya malah aneh dan merusak imajinasi pembaca.

Dalam waktu dekat, adakah rencana mengeluarkan buku baru? Bisa kasih bocoran?

Dalam waktu dekat, baru akan menulis manuskrip baru. Keluarnya belum tahu kapan, karena biasanya saya butuh waktu 6 bulan hingga setahun untuk rilis buku, termasuk produksi.

Ada pesan untuk para penggemar Supernova yang masih menanti kabar Peretas Puncak?

Bersabarlah. Paling cepat saya baru bisa menunaikannya dalam waktu lima tahun ke depan.

Sejak dirilis, IEP sudah beredar berapa kopi? Berapa cetakan?

Cetakan pertama, IEP langsung dicetak 40 ribu kopi, dan setahu saya sudah beberapa kali dicetalk ulang. Saya belum update lagi perkembangan terakhirnya. Mungkin bisa ditanyakan langsung ke Bentang Pustaka.