Friday, May 12, 2017

Sriwijaya Air Magz | Inspiring People | April, 2016 | K. Ayu Budiani


Dee terkenal piawai menggunakan bahasa-bahasa puitis dalam membuat lirik lagu. Jika ditanya, Dee merasa tipe orang romantis atau bukan?

Lumayan. Namun, khusus dalam kepenulisan, saya bisa karena terbiasa. Dalam menulis, saya harus menempatkan diri saya dalam konteks cerita, meresapi emosi yang terjadi, sehingga bisa mengomunikasikan emosi tersebut dalam kata-kata yang saya susun.

Siapa musisi favorit? Kenapa?

Saya cenderung menyukai mereka yang singer-songwriter, karena biasanya lagu-lagu mereka sangat mengena. Saya menyukai Sarah McLachlan, Sara Bareilles, Emily Saliers dari Indigo Girls.

Dari mana biasanya mendapat inspirasi lagu?

Tidak tentu. Buat saya selama ini proses bikin lagu itu seperti tersambar petir. Kalau terjadi, terjadilah. Saya tidak sengaja mencari-cari.

Sebagai penulis lagu, bagaimana menyelaraskan antara lagu dengan orang yang menyanyikan?

Patokan saya bukan kepada yang menyanyikan, karena saya tidak tahu pasti siapa yang akan menyanyikan lagu saya. Saya lebih memperhatikan aspek prosodi, yakni kesesuaian melodi dengan lirik. Prosodi itu butuh kepekaan. Tapi, jika kita sudah bisa mengamati itu dengan jeli, kita bisa tahu bahwa frase melodi tertentu cocok dengan bunyi vokal tertentu. Kemudian, frase melodi tersebut akan membentuk suasana tertentu yang cocok dengan tema tertentu. Ketika ada lagu yang prosodinya nggak enak atau nggak pas, saya bisa merasa dan terganggu. Misalnya, ada frase melodi cerita tapi diisi dengan lirik yang sedih dan sebaliknya. Atau ketika ada pemotongan suku kata yang tidak pas dengan napas melodi. Atau ketika ada kata yang artikulasi hurufnya menyulitkan ketika dinyanyikan. Hal-hal seperti itu yang saya perhatikan.

Seorang penulis harus banyak membaca. Seberapa seringkah Dee membaca buku?

Kalau sedang riset, bisa sangat banyak. Terus terang, belakangan saya kesulitan punya waktu luang untuk membaca. Kalau memang niat banget, saya sampai harus mencantumkan membaca dalam to-do-list.

Siapa penulis favorit dan apa judul buku favorit? Kenapa?

Tidak ada satu penulis fiksi yang saya ikuti terus dengan setia, mungkin karena saya bukan pembaca fiksi yang sabar. Tapi, ada beberapa penulis nonfiksi yang saya ikuti terus karena saya suka topiknya, seperti Graham Hancock.

Dee adalah seorang ibu dari dua anak, bagaimana membagi waktu dengan keluarga namun bisa tetap berkomitmen menulis?

Dengan mengaturnya dalam jadwal kerja. Ketika saya sudah memilih satu proyek kreatif, saya langsung membuat deadline, menyusun jadwal harian, dan dalam perhitungan tersebut saya sudah memilah waktu saya kerja dan waktu saya buat keluarga dan hal lainnya. Ketika komitmen itu dimulai, saya menyebut fase tersebut “fase masuk gua”. Biasanya, selama fase masuk gua berlangsung, saya membatasi seminim mungkin kegiatan saya di luar rumah, jadi saya masih punya waktu untuk keluarga. Karena dengan hanya menulis saja sudah begitu banyak jam yang saya dedikasikan untuk bekerja, kalau saya masih mengambil lagi komitmen-komitmen pekerjaan lain, bisa-bisa saya tidak punya waktu lagi untuk rumah dan keluarga. Jadi, memang harus ada yang dikorbankan.

Semua buku Dee yang diterbitkan sudah difilmkan. Sejauh mana keterlibatan Dee dari semua film-film adaptasi buku Dee tersebut?

Beda-beda bergantung kesepakatan saya dengan pihak produser dan juga kesanggupan saya. Karena meski produsernya kepingin saya terlibat, kalau saya sedang ada fase menulis, saya pasti akan mengutamakan buku saya. Mengapa? Karena pertama, film bukan pekerjaan inti saya. Kedua, dalam film, posisi saya masih bisa digantikan atau malah ditiadakan, karena bagaimana pun produser mengadaptasi karya saya, yang artinya mereka punya kebebasan untuk melakukan interpretasi ulang. Sementara tidak ada lagi yang bisa menuliskan buku saya selain saya sendiri.

Bagaimana Dee memandang sebuah film yang diadaptasi dari buku?

Film yang diadaptasi dari buku adalah hal biasa. Film-film pertama di dunia pun diambil dari adaptasi buku. Jadi, ini adalah praktik yang lazim. Film yang diadaptasi dari buku biasanya menjadi polemik di antara pembaca setia, ada yang suka dan tidak. Namun, menurut saya, semua film juga biasanya begitu. Akan ada yang suka dan tidak. Pada akhirnya, sebuah produksi film tugas utamanya adalah menghadirkan film yang sebaik mungkin. Terlepas itu diadaptasi dari buku atau bukan.

Piawai dalam menulis karya fiksi, lalu menulis skenario pertama kali untuk Perahu Kertas. Apakah mengalami kesulitan untuk menulis skenario? Jika iya, bagaimana mengatasi kesulitannya?

Skenario adalah hal yang sama sekali berbeda dengan penulisan novel. Pakemnya, pendekatannya, eksekusinya, semuanya beda. Jadi, untuk menulis skenario saya harus belajar ulang dari nol. Saya baca lagi teori-teori menulis skenario, diskusi dengan beberapa penulis skenario, dsb.

Jika disuruh untuk memilih, bermusik atau menulis? Kenapa?

Tidak bisa memilih. Keduanya sudah inheren ada di dalam diri saya. Bagi saya, musik dan menulis hakikatnya satu: story telling.

Ide gila apa yang ingin dituangkan di dalam tema cerita di buku?

Pendekatan saya kepada buku tidak seperti itu. Saya tidak menulis semata-mata karena punya “ide gila”. Saya menulis karena ingin menciptakan cerita yang baik. Dan, untuk itu tidak selalu dibutuhkan ide yang gila, ide yang biasa-biasa pun jadi, selama dikerjakan dengan baik hasilnya bisa jadi luar biasa.
 
Pernah punya keinginan untuk menulis skenario orisinal untuk film? Film genre apa?

Saat ini belum.

Banyak sekali anak-anak muda yang bercita-cita menjadi penulis dan karyanya dipajang di toko buku. Sama seperti impian Dee. Namun tak sedikit pula yang mengalami penolakan. Bisa berbagi sedikit untuk mereka bagaimana supaya tidak patah semangat?

Penolakan adalah hal yang akan dilalui semua penulis, skalanya beda-beda. Mungkin yang satu ditolak penerbit, yang satu lagi ditolak media, yang lain mungkin dikritik teman-teman yang akhirnya terasa seperti “penolakan”. Intinya, tidak semua orang akan menyukai karya kita. Penulis pemula mengalami itu, penulis profesional pun masih akan terus mengalami itu. Ketika saya mengalami hal tersebut, saya menggunakannya sebagai momen refleksi. Biasanya, kita akan temukan beberapa hal yang perlu kita perbaiki dari karya kita. Momen seperti itu juga menjadi pengingat bagi saya: untuk siapakah saya menulis? Saya tidak menulis untuk memuaskan orang lain. Saya menulis untuk kepuasan diri saya sendiri. Kalau ada orang yang suka, saya anggap bonus. Jadi, selalu kembalikan niat kita ke bentuknya yang paling dasar. Saya menulis buku yang saya ingin baca. Itu saja.

Sukses menerbitkan Supernova seri terakhir di awal tahun 2016. Target dan impian apa lagi yang belum tercapai?

Saya tidak melihatnya lagi seperti itu. Saya memandang menulis adalah proses kontinu. Sama halnya seperti petani menghadapi musim. Habis Supernova 6 akan datang buku berikutnya, dan seterusnya.  

Kapan menerbitkan buku lagi?

Sekarang ini saya break dulu. Masa rihat bagi saya sama pentingnya dengan masa bekerja. Saya ingin mengambil napas panjang sebelum mulai sesuatu yang baru. Mungkin saya baru akan menyusun proyek kreatif berikutnya di akhir tahun. We’ll see.