Friday, May 12, 2017

Passion Stories (Buku) | Juni, 2016 | Qalbinur Nawawi


Sejak kecil Mbak Dee suka menulis dan menyanyi, namun dengan berjalannya waktu justru bakat menyanyi yang lebih dulu membuahkan hasil. Setelah itu, dalam aktivitas menjadi seorang penyanyi, Mbak Dee menulis novel Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Apa yang menjadi dorongan kuat Mbak untuk menulis pada saat hasil sebagai penyanyi sudah ada dan tinggal di-maintain saja: apakah Anda menulis novel karena terinspirasi dari membaca novel orang, atau mungkin tema yang Mbak Dee angkat belum ada makanya Mbak mau menuliskannya, atau seperti apa?

Sepertinya harus dibedakan antara perspektif karier dan perspektif renjana atau passion. Menulis dan musik adalah hobi dan passion saya sejak kecil, berkarier di kedua bidang tersebut menjadi akibat dari sebuah sebab. Karena saya tidak pernah menjadikan karier musik (dan karier menulis) sebagai sebuah sebab, maka saya tidak berpikir bahwa karier musik sudah cukup untuk itu tidak perlu berkarier menulis. Saya tidak berpikir dari perspektif karier. Saya semata-mata melakukan keduanya dari perspektif passion. Akibat dari itulah, saya jadi punya karier sebagai penyanyi dan penulis. Kalau soal novelnya, saya memang lebih senang menulis dalam format novel. Kalau soal tema, betul, saya menulis tema yang menurut saya menarik. Tapi, bagi saya, terjunnya saya dalam dua bidang tersebut bukan karena ingin “jadi penulis” dan “jadi penyanyi”, melainkan saya menulis karena saya suka, menyanyi karena saya suka musik. Atribut karier menyusul belakangan. 

Bagaimana reaksi keluarga dan teman saat Mbak di tengah usaha menyanyi yang Mbak rintis Mbak Dee justru menekuni dunia menulis?

Berhubung mereka tahu saya sejak kecil, mereka tidak ada yang kaget. Mereka memang tahu sejak kecil saya suka menulis, jadi mungkin tinggal tunggu waktu saja hingga saya betul-betul menyeriusinya.

Pernahkah Mbak Dee menemukan “aha moment”? Artinya sebuah langkah berani atau langkah awal dari perubahan positif yang membawa Mbak Dee hingga menjadi sekarang?

Pada akhir tahun 1999, saya mengalami semacam epifani. Sejak itu, pandangan saya berubah total, terutama yang berkenaan dengan aspek eksistensial dan spiritual. Saya ingin sekali berbagi tentang pengalaman dan pemikiran saya. Akhirnya, tahun 2000 saya mulai menulis manuskrip Supernova 1. Tapi, bukan hanya menulis bukunya, saya merasa momen itu benar-benar mengubah keseluruhan diri saya secara drastis.

Pernahkah saat proses menuju kepiawaian menulis, Mbak Dee mengalami kejadian pahit yang membuat drop dalam menjalani karier menjadi penulis, semisal ditolak penerbit naskahnya? Saya penasaran karena pertama karya mba lahir, novel Anda langsung disukai banyak orang. Bila ada, boleh diceritakan? Apa yang Mbak Dee lakukan setelahnya hingga bisa mencapai novelis andal?

Saya belum pernah ditolak penerbit karena memang belum pernah mengirimkan naskah ke penerbit. Saya mengawali buku pertama saya dengan menerbitkan sendiri. Sesudahnya, karena saya sudah punya basis pembaca, posisinya jadi berbalik. Penerbitlah yang mengajak saya bekerja sama. Tapi, saya punya pengalaman mengirim naskah ke majalah dan tidak ditanggapi, saya juga pernah mengirim naskah ke perlombaan dan tidak menang. Saya sempat kecil hati, tapi bukan karena tidak menang/tidak diterima, melainkan karena saya merasa saya tidak bisa dibatasi oleh persyaratan majalah/media massa yang mengharuskan cerpen itu sekian halaman, novel itu sekian halaman, dsb. Karya saya selalu di luar itu semua. Akibatnya, saya sempat merasa karya-karya saya tidak punya tempat. Namun, justru dari sana timbul tekad untuk menerbitkan sendiri. Akhirnya saya terus menulis, meski hanya disimpan, dengan niat bahwa satu saat saya akan menerbitkan sendiri tulisan-tulisan saya. 

Kini Mbak Dee sudah menghasilkan 7 novel dan 3 kumcer. Dari konsistensi menulis buku sampai saat ini, adakah value yang Mbak perjuangkan di setiap karya maupun aktivitasnya? 

Berusaha membuat karya yang lebih baik, dan ini bukan basa-basi, saya selalu merasa karya saya yang berikut harus menjadi perbaikan dari karya sebelumnya. Saya tidak peduli orang bilang lebih suka buku saya yang mana. Buat saya, karya berikut akan selalu lebih baik dari sebelumnya. Kedua, saya berusaha untuk menulis buku baru setiap minimal 1,5 tahun sekali. 
 
 
Dengan karya Mbak Dee diterima banyak orang dan mempunyai pembaca setia, tak hanya sekadar buku, Mbak Dee juga menjadi inspirasi buat pembaca. Dan, ada di sebagian dari mereka pun tertarik menjadi penulis novel. Namun kendala mood dan writers block seringkali menjadi rintangan awal penulis pemula untuk menyelesaikan naskah pertama mereka. Sebagian penulis menilai mood hanyalah alasan untuk kita tak menulis. Mereka berpikir menulislah dulu – seburuk apa pun hasilnya. Nanti, tinggal “dijahit” saja hasil tulisan yang tadinya buruk itu, hingga menjadi enak dibaca. Bagaimana pandangan Mbak Dee? Apakah Mbak Dee melihat menunggu mood datang memang hanya sebuah alasan untuk kita tidak menulis, atau seperti apa?
 
Tidak mood dan writer’s block adalah tantangan nyata yang selalu terjadi pada setiap penulis, termasuk saya. Jadi, tidak ada yang spesial dari kedua hal itu. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya. Penulis yang sudah berpengalaman akan paham bahwa tidak mood dan writer’s block pasti akan terjadi, jadi kalaupun kejadian, itu tidak akan menghalanginya untuk tidak meneruskan karyanya sampai selesai. Ia tetap akan berusaha melewati rintangan itu. Sementara, penulis yang belum berpengalaman bisa jadi menyikapinya dengan berhenti. Karena itu saya selalu menekankan bahwa menulis itu butuh jam terbang. Kita butuh sering berlatih untuk tahu bahwa rintangan menulis sebetulnya tidak ada yang spesial. Kita juga perlu tahu rasanya menamatkan karya karena kata “Tamat” itu akan punya efek luar biasa terhadap mental kita. Jadi, selalu berusahalah untuk menamatkan karya. 

Dan bagaimana Mbak Dee cara mengatasi kendala itu?

Punya deadline, juga punya mentalitas atau prinsip atau apa pun, yang intinya menekankan bahwa karya yang tidak selesai adalah utang.

Dalam suatu kesempatan wawancara, Mbak Dee menuturkan bahwa proses kreatif menulis novel Mbak Dee itu berdasarkan timeline tertentu, di mana Mbak sudah mempunyai timeline dalam bentuk deadline. Atau dalam bahasa Mbak, jadwal produksinya jelas, mulai dari kerja berapa lama, berapa target halaman, menulis berapa halaman sehari dan seterusnya. Namun demikian, bukankah kegiatan menulis jadi terasa mekanis sekali? Saya merasa kehilangan rasa fun di dalamnya semisal target halaman pun sudah ditentukan. Nah, bagaimana pendapat Mbak Dee sendiri? Atau, jangan-jangan apa yang Mbak lakukan sebenarnya satu tahap di atas penulis biasanya melakukannya, yakni menentukan dengan detail jadwal waktu menulis dan target halamannya?

Rasa fun tidak ada hubungannya dengan sistem produktivitas. Jadi, kembali kita perlu membedakan dua perspektif. Perspektif kreativitas, dan perspektif produktivitas. Timeline, deadline, jam kerja, target halaman, itu adalah bagian dari sistem produktivitas. Saya bisa tetap fun menulis dan punya sistem produktivitas yang baik. Sistem yang baik membantu saya menyelesaikan pekerjaan sesuai target, membuat saya bisa membagi waktu dan fokus dengan hal lain, dan membuat karya tidak membelenggu saya. Sistem produktivitas yang baik membuat kita menjadi sparring partner yang seimbang dengan kreativitas. Sebaliknya, kita bisa berkarya bebas (yang bisa diartikan menjadi cara yang “fun”), tapi tidak punya sistem produktivitas yang sehat. Akibatnya, karya jadi mendikte dan membelenggu kita, ketika kita bekerja dengan pihak lain, penerbit misalnya, kita tidak punya target waktu yang bisa diandalkan. Sistem yang baik mendorong kita punya etos kerja yang baik. Jadi, dengan memiliki sistem produktivitas, saya justru menjaga agar saya bisa tetap fun menulis dan punya proporsi sehat untuk hal-hal lainnya.  

Selain itu, dengan Mbak Dee membuat target halaman, itu artinya Anda sudah tahu berapa halaman novel Anda akan berakhir. Bukankah jumlah halaman seselesai outline yang kita buat, ya Mbak? Yang mana biasanya novel biasanya memiliki minimal dua cerita klimaks di dalamnya?

Pertama, sepanjang pengetahuan saya, novel tidak punya dua klimaks. Klimaks hanya terjadi satu kali. Kedua, outline tidak menentukan jumlah halaman. Tapi kita bisa punya target kasar seberapa besar volume buku yang ingin kita tulis, rentang seperti 40 ribu kata, 80 ribu kata, 100 ribu kata, dan seterusnya. Angka itu tentunya tidak mungkin fixed, tapi setidaknya memberikan kita semacam gambaran tentang seberapa besar dan seberapa memungkinkan ide kita bisa dikembangkan. Kalau idenya sempit, ya, realistis saja untuk tidak menargetkan 100 ribu kata, melainkan cukup di 40 ribu, misalnya. Tapi, kalau idenya luas, maka bisa menargetkan jumlah halaman yang lebih banyak. Saya tidak tahu persis di halaman keberapa novel saya akan habis, saya rasa tidak ada satu pun penulis di dunia ini yang punya kemampuan itu. Yang bisa saya lakukan adalah memiliki target kasar seberapa besar volume cerita yang akan saya garap, dan bagi saya itu penting, sama seperti salah satu prinsip Stephen Covey (7 Kebiasaan Efektif) yakni: Begin with the end in mind.

Saya jadi juga penasaran, bagaimana Mbak Dee membuat outline plot cerita, apakah drive-nya berdasarkan informasi yang disembunyikan dalam plot, atau karakter? Mana yang paling banyak sering Mbak Dee pakai? Bisa dijelaskan alasannya?

Informasi maupun karakter adalah “kurir” cerita, bukan cerita itu sendiri. Plot  adalah grafik. Grafik itu akan diukir dan dibentuk melalui pergerakan karakter dan informasi yang mereka bawa. Grafik dibentuk bukan oleh “informasi apa yang harus dibuka” atau “apa yang harus dilakukan karakter”, tapi “apa yang terjadi”. Jadi lebih luas dari sekadar informasi maupun karakter, melainkan dinamika keseluruhan dari semua elemen cerita. Kita bisa banyak belajar mengenai hal ini dari buku-buku tentang penulisan skenario. Salah satu yang saya gunakan sebagai referensi adalah buku Save The Cat dari Blake Snyder.

Inspirasi menulis novel itu paling mudah muncul dari keresahan atau pun pengalaman yang yang kita jalani. Bagaimana Mbak Dee melihatnya, apakah Mbak Dee setuju tentang hal itu? Atau apakah baiknya mengandalkan dua hal itu?

Kalau pertanyaannya adalah “yang paling mudah”, betul, saya setuju. Pengalaman pribadi adalah sumber yang paling untuk kita tulis karena kita punya kedekatan dan pengetahuan personal. Para penulis pemula memang sebaiknya memulai dari sana, bukan karena yang paling ideal, melainkan karena memang paling mudah. Bagi saya, yang paling utama harus kita kejar adalah jam terbang dulu. Menulis itu membutuhkan latihan yang tak terhingga. Tidak usah berpikir menerbitkan buku dulu, sering-sering saja menulis cerita walaupun cuma dibaca sendiri atau orang-orang terdekat.

Apakah Mbak Dee punya informasi kriteria novel bagus yang disukai penerbit mayor seperti apa? Ini agar para orang yang di luar sana ingin jadi penulis tahu standarnya?

Saya tidak pernah berada di posisi penerbit selain untuk karya saya sendiri (self-publishing), jadi informasi saya terbatas soal ini. Untuk penerbit pasti ada pertimbangan seperti tren pasar, jenis buku yang sedang digemari, dsb, tapi yang jelas mereka akan memilih naskah yang memang bagus atau minimal bisa dipoles, sesuai dengan genrenya masing-masing. Jadi kita harus hati-hati menghakimi sebuah buku “tidak layak terbit” atau “tidak bermutu”, bisa jadi karena kita memang tidak suka genrenya. Penerbit harus punya jendela selera yang luas karena dia mengakomodir banyak pihak.

Mbak Dee pernah bilang dengan kemudahan internet dan self publishing saat ini makin banyak penulis muda lahir. Namun, dalam waktu yang sama, persaingan lebih sulit karena semakin banyak penulis yang lahir, dan kuncinya untuk menonjol ialah fokus pada kualitas, terus belajar dan mengembangkan diri. Dalam konkretnya, apakah makna tiga kunci itu, apakah mempunyai diferensiasi atau keunikan dari setiap karyanya? Misalnya terus menulis pada fokus pada satu genre saja, katakanlah teenlit, agar bisa berhasil atau mempunyai basis pembaca yang kuat? Atau seperti Raditya Dika, di mana ia selalu dia selalu menyusupkan nama binatang dalam judul bukunya agar terlihat dalam kerumunan buku yang lahir? Bagaimana menurut Mbak Dee, setujukah? Atau mba Dee punya pendapat lain?

Saya tidak tahu persis motivasi Raditya Dika menyusupkan jenis binatang adalah agar pembeda dari yang lain atau karena itu memang ciri khasnya. Kalau kita cermat kita akan melihat bahwa kedua hal tadi adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama orientasinya orang lain, yang kedua adalah diri sendiri. Dan bagi saya, itulah pertanyaan dasar yang paling penting. Kita mau orientasi ke orang lain atau diri sendiri? Bagi saya pribadi, orientasi ke orang lain itu melelahkan, belum tentu akurat, dan belum tentu berhasil. Tidak berarti kalau kita orientasi ke diri sendiri langsung dijamin berhasil dalam arti sukses jadi penulis best-seller dsb, tapi setidaknya proses yang terjadi menjadi menyenangkan dan penuh semangat. Misal, ketika saya menulis Perahu Kertas, tujuan saya adalah bikin cerita cinta yang menggabungkan unsur cita-cita, lucu, seru, serta punya romantisme yang pas dan khas. Standard itu datang dari saya, bukan dari siapa-siapa. Itulah yang menjadi tugas utama penulis. Basis pembaca adalah urusan belakangan. Saya melihat kuat atau tidaknya basis pembaca lebih sebagai efek dari sebuah sebab, bukan target. Latihan, jam terbang, belajar menulis yang baik entah dari buku atau ikut workshop, dan tulis apa yang kita suka. Ciri khas kita akan keluar dengan sendirinya.

Adakah novel-novel rekomendasi Mbak Dee dengan plot cerita bagus yang bisa dijadikan para penulis pemula belajar? Sehingga kualitas karya yang dilahirkan sesuai dengan selera penerbit mayor? Atau mungkin, plot seperti apa yang biasanya disukai penerbit mayor, apakah plotnya tidak tertebak atau mereka mempunya informasi yang mengejutkan karena konflik yang berlapis-lapis?

Ini adalah pertanyaan yang lebih cocok diajukan ke penerbit, sama seperti pertanyaan yang sebelumnya di atas.

Ide cerita yang baik ialah cerita yang memiliki emosi. Lebih dalam, Mbak Dee menyebutnya cerita yang punya dramatisasi. Dan, dramatisasi bisa didapat kalau kita punya intuisi bercerita – sebuah sudut pandang apa yang dipilih lebih mengena pada pembaca dari cerita yang dibangun, paham struktur dan menguasai teknik menulis – bagaimana para penulis meletakan racun atau unsur kejutannya. Pertanyaan saya, apakah elemen ini yang perlu dicari oleh seseorang yang ingin menjadi penulis novel saat melahap banyak novel sebagai modal awal terjun ke dalam dunia menulis novel?

Membaca sambil mempelajari menurut saya adalah salah satu cara paling efektif untuk belajar menulis. Baca buku Dan Brown atau JK Rowling, misalnya, dengan membaca sekaligus mempelajari, kita bisa tahu bagaimana para penulis tersebut menyusun plotnya, membentuk karakternya, dsb. Tentu ini modal awal penting bagi penulis pemula, tapi lebih penting lagi adalah mereka tahu kegunaan dan implementasi dari yang mereka baca itu seperti apa. Jadi,  bagi saya, tetap yang utama adalah mencoba menulis cerita. Berlatih crafting cerita sesering mungkin.

Menurut Mbak Dee apa itu passion? Bagaimana agar passion bisa membawa kita jadi penulis novel yang andal?

Gampangnya, passion itu minat yang dilakoni dengan semangat. Passion memotivasi kita untuk belajar dan menggali, juga untuk mencoba lagi meskipun sempat tersandung atau gagal.
Saran Mbak Dee, sebaiknya penulis pemula itu mencoba menulis dari cerpen apa langsung novel?

Bisa keduanya. Sejak kecil yang saya suka adalah novel, jadi karya pertama saya novel. Saya memang suka menulis panjang. Cerpen menurut saya lebih gampang manajemen waktunya, tapi tidak semua orang juga suka dengan format cerpen. Jadi, kedua-keduanya bisa dicoba untuk penjajakan.