Monday, April 27, 2015

Harian KOMPAS | Produk Lokal | April, 2015 | by Fellycia Nova Kuaranita


Saat ini, dalam memilih barang, apakah Mbak Dee merasa penting untuk sebisa mungkin memilih produk-produk lokal? Jika iya, apa pertimbangannya?

Untuk kebanyakan barang, terutama pangan, saya sebisa mungkin pilih lokal. Pilihan konsumen itu sebetulnya punya implikasi besar, bahkan politis, apa yang kita pilih di supermarket atau pasar ibaratnya voting untuk menentukan arah perekonomian bangsa dan nasib banyak orang. Saya merasa manfaat sosial, ekonomi, dan ekologinya jauh lebih banyak jika kita memilih barang lokal. Secara langsung dan tidak langsung kita membantu pengrajin, produsen, petani, bahkan ikut memangkas emisi karbon karena barang impor punya jejak karbon yang lebih besar ketimbang barang lokal.

Biasanya, Mbak Dee menggunakan produk/barang lokal untuk kebutuhan apa saja?

Untuk pangan hampir selalu saya pilih produk lokal. Untuk sandang, tergantung kebutuhan. Jika punya kesempatan tampil di forum internasional, saya selalu mengusahakan memakai busana desainer lokal.

Khususnya dalam hal pangan, bagaimana Mbak Dee menerapkan gaya hidup untuk mengonsumsi produk pangan lokal? Menurut Mbak Dee, apa keuntungannya?

Dari kesegaran, menurut saya lebih baik memilih produk pangan lokal karena mata rantai perjalanannya lebih pendek ketimbang impor. Hanya kalau butuh produk yang spesifik yang memang belum diproduksi di sini, baru saya pakai yang impor.

Apakah penting bagi Mbak Dee untuk memilih produk yang sudah terstandarisasi (misalnya SNI)? Mengapa?

Tergantung produknya sih, kalau produk kemasan dan produk elektronik misalnya, saya biasa cari yang sudah ada SNI atau ISO-nya. Tapi untuk produk segar, biasanya saya perhatikan konsistensi dan sertifikasinya, karena saya cenderung memilih yang organik.

Sebagai konsumen, apa saran atau usul Mbak Dee untuk meningkatkan kualitas produk lokal secara umum? (monggo ditambahkan jika ada komentar atau usul lain tentang produk/pangan lokal yang lebih spesifik)

Secara umum, sepertinya yang kita butuhkan adalah inovasi dan kemasan. Pengemasan barang, dalam arti desain hingga pemasaran, akan sangat menentukan dia diminati atau tidak. Juga inovasi, pemanfaatan tekstil tradisional dikawinkan dengan desain modern, misalnya, akan sangat membantu produk tersebut punya market yang lebih luas.

Menurut Mbak Dee, apa saja tantangan dalam mengajak masyarakat Indonesia secara umum untuk mencintai yang lokal, baik produk industri maupun pangan?

Kepercayaan konsumen, tata niaga yang juga sepertinya lebih bisa disokong oleh pemerintah, akan menentukan minat terhadap produk lokal. Kebetulan saya sering mengikuti rembukan teman-teman yang merintis BEKRAF. Tantangannya memang banyak dan besar, terutama bagaimana mensinergikan kebijakan pemerintah agar kondusif bagi industri dan kreator lokal.

Elle Magazine | Pendidikan Formal & Karier | April, 2015 | by Giovani Untari


Background pendidikan Anda bisa dibilang 180 derajat berbeda dengan pekerjaan Anda geluti sekarang, apa yang membuat Anda  akhirnya memilih karier yang berseebrangan dengan jurusan Anda?

Sebenarnya saya tidak “memilih” untuk berseberangan, tapi karier saya memang sudah dimulai dari sejak bangku kuliah. Saya mulai menyanyi profesional dari semester pertama kuliah. Jadi, sepanjang perkuliahan saya sudah menyambi kuliah dengan menyanyi.  Otomatis ketika lulus, saya sudah tinggal meneruskan karier saya.

Bagaimana rasanya memiliki pekerjaan yang berbeda dengan jalur pendidikan Anda? 

Biasa saja, sih. Karena pada kenyataannya memang banyak sekali yang demikian, jadi saya nggak merasa aneh sendiri. Lulusan Hubungan Internasional yang benar-benar berkarier di jalur diplomatik sangat sedikit. Setidaknya dari yang saya tahu, kebanyakan berkarier di luar itu, entah jadi humas, penyiar, advertising, atau yang menempuh jalur akademis (jadi dosen, dsb).

Apakah awalnya Anda merasa aneh / tidak nyaman dengan pekerjaan Anda yang berbeda dengan jurusan Anda tersebut ?

Tidak, karena menyanyi dan menulis sudah menjadi hobi saya sejak kecil. Kuliah lebih terasa “sampingan” malah, ketimbang kedua hobi tersebut.

Apakah ada ilmu yang dibawa dari jurusan Anda tersebut terhadap pekerjaan ini?

Skill menulis saya cukup banyak dilatih lewat jurusan Hubungan Internasional karena soal-soal ujian kebanyakan esai, jadi harus terbiasa mengungkapkan pikiran lewat tulisan.

Apa suka dan dukanya memiliki karier yang berbeda dengan jurusan Anda?

Waktu kuliah saya sempat terpikir untuk berhenti karena merasa memang nggak bakal nyambung dan ilmu saya nggak akan terpakai untuk pilihan karier saya kelak. Tapi saya bertahan karena janji saya pada orang tua. Dan akhirnya saya mulai menikmati kuliah justru di saat-saat terakhir yakni waktu membuat skripsi.

Apakah Anda puas dengan karier yang Anda miliki sekarang?

Sangat puas.

Bagaimana pesan Anda bagi perempuan yang mungkin saja ingin mencoba peruntungan bidang pekerjaan yang berbeda dengan lulusan mereka sebelumnya?

Sebenarnya sangat umum untuk orang-orang akhirnya berkarier di luar dari pendidikan formal mereka. Saya rasa karena pada akhirnya orang memilih pekerjaan berdasarkan passion atau kondisi alias terpaksa. Jadi, beruntunglah mereka yang akhirnya bisa memilih bukan karena terpaksa tapi karena memang passionate di bidangnya. Saya rasa itu bisa diraih dengan menemukan apa yang paling kita suka dan apa yang kita gemari, lalu kita tekuni hingga passion itu akhirnya menjadi skill.

Majalah Eduguide | Hari Buku Nasional | April, 2015 | by Lian Amigo


Apa makna HBN bagi Anda? Tujuan HBN ialah untuk meningkatkan minat baca, serta menumbuhkan produksi buku di Indonesia. Apakah tujuan itu menurut Anda sudah tercapai?

Hari Buku Nasional, seperti “Hari”-“Hari” lainnya, menurut saya adalah seremoni, maknanya tak lebih dari perayaan, pengingat, dan peningkatan ‘awareness’. Sementara meningkatkan minat baca serta menumbuhkan produksi buku adalah tujuan yang membutuhkan usaha yang jauh lebih intensif dalam periode waktu yang panjang dari sekadar mengandalkan momentum perayaan Hari Buku Nasional.

Banyak orangtua mengeluh soal mahalnya buku sekolah, ditambah wajib ganti setiap tahun. Bagaimana Anda memandang ini?

Buku pelajaran memang idealnya disubsidi oleh pemerintah. Saya rasa perubahan kurikulum yang terlalu sering juga mengakibatkan buku-buku harus berganti dan ini membebani siswa/orang tua.

Ada yang mengatakan, mahalnya buku lantaran berbagai pajak yang dikenakan, termasuk pajak penulis. Tanggapan Anda?

Buku pelajaran setahu saya bebas pajak (PPN), mohon diklarifikasi. Tapi keringanan untuk buku tidak harus datang dari pajak semata, melainkan juga keringanan dari bahan baku, dsb. Pajak royalti untuk penulis memang cukup besar, saya pun merasa ini perlu ditinjau ulang mengingat sulit untuk menjadi penulis full time.

Pameran buku yang diadakan di Indonesia kelihatannya kurang agresif. Apakah Anda melihat karena pemerintah kurang menyokong? Dalam hal menumbuhkan minat baca, saran Anda kepada pemerintah untuk memasyarakatkan minat tersebut?

Khusus untuk pameran kelas internasional menurut saya memang kurang disokong, karena selama ini gagal menyelenggarakan di tempat yang lebih representatif dan prestisius. Kalau di Pulau Jawa menurut saya acara buku sudah cukup banyak. Di daerah yang sangat kurang. Harga buku juga jauh lebih tinggi karena tingginya biaya distribusi. Saya berharap pemerintah lebih memerhatikan kegiatan-kegiatan perbukuan dan kepenulisan di luar P. Jawa. Otomatis itu akan meningkatkan minat baca, karena buku “didekatkan” ke masyarakat.

Apakah Anda memiliki ide agar masyarakat senang membaca? Di Inggris, para pemadam kebakaran datang ke sekolah-sekolah TK khusus untuk membacakan buku cerita. Kita berharap ini terjadi di Indonesia dan bisa dimulai lewat artis, pejabat dan sosok-sosok yang terkenal. Menurut Anda?

Saya rasa, kegiatan semacam itu sifatnya seremonial saja. Tidak akan menyentuh akar masalahnya, walau mungkin membantu dari nilai promosi. Di Inggris, kultur membaca sudah sangat kuat. Di Indonesia belum. Jadi, yang perlu dibenahi menurut saya lebih mendasar daripada sekadar mengajak sosok terkenal untuk keliling membacakan buku. Dari hulu dan hilir harus dihidupkan. Memperbanyak taman bacaan, mendukung toko buku kecil, menyediakan bacaan murah, mensubsidi buku, meningkatkan kegiatan membaca di sekolah melalui cara-cara yang lebih menarik, menurut saya adalah hal-hal yang lebih berarti.


Muvila.Com | Film Filosofi Kopi | April, 2015 | by Eka Pratiwi


Berapa pihak yang pernah mendekati Dee untuk memfilmkan Filosofi Kopi? Mengapa akhirnya jatuh ke Angga Dwimas Sasongko/Visinema?

Waktu itu ada tiga pihak yang serius untuk membeli hak adaptasi Filosofi Kopi. Saya berbincang dengan masing-masing pihak untuk mengetahui ide dan visi mereka atas film Filosofi Kopi nanti. Bagi saya, ide dan visi Angga terasa fresh dan “beyond” sekadar produk film saja. Angga sudah berbicara tentang “user-generated-movie” untuk melibatkan para penonton ikut mengambil beberapa keputusan artistik film, dsb. Sejauh ini, eksekusi dari pihak Angga memang memuaskan dan inovatif. Filosofi Kopi tidak dikreasikan sebatas film saja, tapi meliputi aktivasi-aktivasi yang memperkuat Filosofi Kopi sebagai brand. Secara konten, Angga juga sejalan dengan saya untuk melebarkan cerita Filosofi Kopi, jadi tidak patuh sepenuhnya pada cerita asli.

Kriteria apa yang membuat Dee bersedia karya-karyanya untuk dijadikan film? Dan sebaliknya, kriteria apa yang membuat Dee menolak?

Saya lihat keseriusan mereka dan kesiapan mereka untuk membuat film dengan production value yang bagus. Dari pertemuan dan bincang-bincang mengenai konsep, saya juga akan menilai chemistry­-nya nyambung atau enggak, karena saya harus merasa nyaman kerja bareng mereka. Lalu, secara kreatif, ke arah mana mereka akan membawa cerita asli. Tentu, itu semua mengandung unsur trial and error, semakin ke sini saya juga semakin belajar untuk mengetahui proporsi keterlibatan yang pas, dan parameter apa saja yang penting untuk dijadikan pertimbangan.

Tentang proses adaptasi buku Dee ke film, apakah keputusan terbesar ada di penerbit atau di pengarang, apakah bisa lanjut bila pengarang menolak/tidak merestui? Kompensasi apa yang didapat oleh pengarang?

Dalam kasus saya, keputusan menerima/menolak sepenuhnya ada di tangan penulis. Itu memang bergantung dari kontrak antara penulis dan penerbit. Saya dengar ada juga kontrak penulis-penerbit yang mengikat penerbit untuk ikut punya hak kalau karya penulisnya difilmkan. Kontrak saya tidak seperti itu. Kompensasi yang didapat penulis sama seperti royalti. Biasanya dibayar putus di depan, jadi semacam advanced royalty. Ada juga yang menawarkan prosentase / bonus dalam jumlah tertentu ketika jumlah penonton mencapai angka X. Tapi kompensasi utamanya biasanya dibayar di duluan di depan. Ketika penulis sudah dibeli hak adaptasinya, sebetulnya urusan utama dengan produser selesai sampai di situ. Kalau di jalan tahu-tahu pengarang menolak atau tidak memberi restu, menurut saya itu hanya akan jadi tindakan moril saja, tidak berpengaruh kepada urusan legal, kecuali kalau pengarang memutus kontrak yang tentu ada konsekuensi hukum dan finansialnya.

Menurut Dee, seberapa perlu pengarang terlibat aktif dalam versi film dari tulisannya?

Bergantung keinginan dan kapasitas penulisnya, sih. Juga bergantung dari keinginan produser. Menurut saya, yang paling ideal pengarang dilibatkan dalam pembangunan cerita. Bukan hanya secara informal tapi benar-benar dimasukkan secara struktural jadi opininya nggak cuma numpang lewat. Tapi, ada produser yang tidak ingin “direcoki” oleh penulis. Dan, ada juga penulis yang benar-benar tidak mau terlibat, atau malah ingin terlibat penuh sebagai produser bahkan penulis skenario. Kalau saya, paling tidak inginnya terlibat sebagai konsultan cerita secara formal. Menulis skenario atau memproduseri, itu bergantung dari saya punya kapasitasnya dan punya waktunya atau enggak. Seringnya karena saya harus fokus pada pekerjaan lain, saya tidak melibatkan diri terlalu dalam, karena begitu terjun, pekerjaan menulis buku juga harus terhenti dulu.

Ikut main di Perahu Kertas, apakah itu keterlibatan terbesar Dee di film dibandingkan judul-judul lain (Madre, Rectoverso, Supernova, Filosofi Kopi)? Sunil Soraya sempat menyatakan ia bolak-balik konsultasi ke Dee dalam proses pembuatan skenario Supernova. Apakah semua filmmaker berbuat yang sama dengan Dee?

Keterlibatan saya di Perahu Kertas memang paling besar, karena saya sampai menulis skenario, jadi cameo, review hasil editing, dan ikut menyusun dan menyumbang lagu untuk OST. Waktu Supernova, Sunil konsultasi secara informal beberapa kali. Rectovero juga informal tapi jauh lebih intensif, saya diajak diskusi oleh para sutradara dan kasih masukan ke skenario dan hasil editing. Madre, bisa dibilang saya tidak terlibat sama sekali, sempat kasih masukan satu kali setelah baca skenario, tapi tidak terlalu mempengaruhi hasil akhir filmnya. Filosofi Kopi, saya secara formal terlibat sebagai konsultan cerita dan menulis dua lagu untuk OST-nya. 

Ada niat membuat skenario sendiri berdasarkan tulisan Dee?

Ada. Saya cukup jatuh cinta dengan proses penulisan skenario. Tapi tidak bisa saya lakukan dalam waktu dekat. Mau konsentrasi menyelesaikan Supernova 6 dulu.

Apa sebenarnya yang menyebabkan karya-karya Dee baru difilmkan dalam tiga tahun terakhir ini secara berdekatan, padahal Dee sudah terbitkan karya sejak lebih dari satu dekade yang lalu?

Pertanyaan bagus. Saya pun tidak tahu kenapa.

Pernah dapat tawaran adaptasi film untuk karya tulisan Dee yang belum terbit/belum selesai?

Ada. Tapi saya belum berani mengikatkan diri dalam kontrak karena saya ingin menyelesaikan Supernova 6 dulu, kalau saya sampai berkomitmen menyelesaikan buku lain demi adaptasi, Supernova 6 pasti terbengkalai untuk 1-2 tahun lagi. Saya nggak mau itu.

Sudah adakah karya Dee yang lain yang siap difilmkan?

Ada yang sedang dalam tahap penjajakan. Kita lihat nanti.

Pertanyaan tambahan, apakah Dee masih mengerjakan proyek musik?

Masih, sebenarnya terpicu oleh film Filosofi Kopi. Gara-gara menulis dua lagu dan menyanyikannya sendiri, akhirnya jadi bikin single untuk dirilis sebentar lagi. Mungkin bakal dicicil untuk jadi album. We’ll see.

Tambahan satu lagi, apa film favorit Dee sepanjang masa?

Serial Lords of the Rings. The Matrix. Shawshank Redemption.

Majalah Sekolah Highscope | Menulis | Maret, 2015 | by Syafira Angelina


Saya pernah bertemu Anda di Indonesia Book Fair dan Anda menyatakan bahwa Anda sendiri bingung akan genre dari buku-buku Anda, terutama pentalogi Supernova ini. Mengapa?

Saya rasa genre lebih merupakan persoalan penerbit ketimbang penulis. Saya tidak terlalu sepakat sebetulnya kalau Supernova disebut fiksi ilmiah, karena basis saya menulis Supernova sebetulnya lebih ke spiritualitas ketimbang ilmiah, tapi sekali lagi, itu lebih menjadi opini dan “pe-er” dari pengamat dan penerbit. Apa pun genrenya, pada dasarnya saya hanya menuliskan apa yang saya suka.

Pembaca pasti tertarik akan gaya Anda yang menggabungkan romansa dan ilmiah. Ada alasan mengapa Anda menggabungkan dua hal yang menurut saya sendiri akan susah untuk digabungkan?

Sederhananya, karena itu kedua tema yang saya suka. Saya menggabungkannya bukan untuk memikat pembaca, melainkan untuk memuaskan diri saya sendiri terlebih dahulu.

Apa suka dan duka Anda menulis pentalogi Supernova ini? Terlebih lagi seri ini merupakan salah satu buku kontroversial di Indonesia yang membahas LGBT, kehidupan dewasa, dan hal-hal terlarang seperti ganja.

Saya rasa “membahas” beda dengan “menyetujui” atau “mengadvokasi”. Saya senang menulis sesuatu yang membuat orang berpikir dan meninjau ulang. Bukan demi pembaca menyepakati. Dukanya lebih karena sulit untuk membuat novel serial, dibutuhkan stamina yang kuat dan napas yang panjang untuk bisa bertahan. Sukanya karena puas mengerjakannya.

Siapa inspirasi Anda? Dan juga penulis yang sangat Anda hormati karyanya?

Inspirasi saya bukan orang tertentu, melainkan kehidupan itu sendiri. Banyak penulis yang saya suka. Yang bisa saya sebut salah satunya adalah Sapardi Djoko Damono.

Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh sudah dirilis sebagai film. Bisakah Anda menyatakan tentang bagaimana bisa Anda mempunyai ide untuk menjadikan buku ini sebagai sebuah film dan kesan Anda setelah film ini dirilis?

Yang punya ide adalah produser, sebenarnya. Mereka kemudian mengajukan penawaran untuk membeli hak adaptasi. Jadi, ide itu bukan berawal dari saya. Kesan saya untuk film KPBJ adalah film itu dibuat dengan kesungguhan dan berhasil menampilkan visual yang indah, ada beberapa catatan mengenai dialog dan jalan cerita, tapi secara keseluruhan film itu cukup membanggakan.

Apakah ada pemikiran untuk membuat Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan buku keenam Anda yang berjudul Inteligensi Embun Pagi sebagai sebuah film?

Sekali lagi, itu bergantung ada produser yang berminat atau tidak. Menjadikan buku saya film tidak pernah menjadi tujuan saya. Kalau ada yang berminat, tentunya akan saya jajaki dulu. Kalau memang ada kecocokan maka bisa tercipta kerjasama.

Di buku-buku Anda, saya menangkap bahwa Anda sangat menyukai ilmu tentang tidur dan hal-hal spiritual lainnya. Mengapa?

Lucid dreaming sebetulnya baru diungkap hanya di buku Gelombang, sebelumnya tidak pernah. Kalau hal yang spiritual, memang itu selalu menjadi minat saya, bahkan menjadi alasan untuk menulis Supernova. Kenapa? I don’t know for sure. Bagi saya, perihal itu penting dan menantang untuk ditelusuri.

Apa kunci sukses Anda selama ini?

Melakukan apa yang dicinta, menjalankannya dengan tekun, selalu memelihara rasa ingin tahu dan mau belajar.

Ada pesan-pesan untuk calon penulis remaja sebagai generasi penerus? Terutama untuk kami, anak-anak dari klub menulis Sekolah HighScope Indonesia.

Tulis apa yang ingin kalian baca. Temukan tema yang paling kalian suka, dan tekun berlatih dan menggali. Menulis adalah keahlian yang tak akan habis dipelajari seumur hidup. Jangan cepat puas.

GATRA | Apa & Siapa | Maret, 2015 | by Umaya Khusniah

 
Ide untuk membuat dua single untuk soundtrack film Filosofi Kopi ini sebenarnya dari siapa? Kapan ide ini muncul?

Dari awal, saat masih praproduksi, pihak Visinema sudah melontarkan ide agar saya ikut menyumbang lagu soundtrack. Saya sendiri juga tertarik, tapi waktu itu saya kepengin lihat preview filmnya dulu, supaya saya lebih punya bayangan harus bikin lagunya seperti apa.

Apakah memang ditetapkan harus dua single atau bagaimana?

Sebelum preview saya sudah membuat satu draf lagu, setelah lihat preview saya tergerak untuk membuat satu lagi. Jadi, berapa single-nya sih tidak ditetapkan di awal, spontanitas saja setelah melihat film.

Sulitkah membuat lirik untuk kedua single soundtrack ini?

Kalau sudah melihat materi tentu tidak lagi sulit, karena saya sudah punya cerita. Yang sulit dari menulis lagu adalah menentukan cerita dasarnya apa. Begitu cerita dasarnya ketemu, prosesnya langsung mudah.

Berapa lama pembuatan single ini, mulai dari lirik sampai jadi lagu?

Cukup cepat, saya bikin lirik dan lagu bersamaan. Mungkin kira-kira untuk dua lagu sekitar seminggu.

Ide untuk dinyanyikan sendiri oleh Mbak Dewi muncul dari siapa?

Awalnya sih karena ingin praktis saja. Kalau cari penyanyi lain lagi kan harus ada semacam proses audisinya lagi, milih siapa yang cocok, dia jadwalnya bisa atau tidak, perusahaan rekamannya siapa,  prosedurnya gimana, dsb. Dan saya sendiri suka sekali dengan kedua lagu yang saya tulis untuk OST Filosofi Kopi ini, jadi saya senang bisa menyanyikannya.

Bagaimana perasaannya bisa muncul di dunia tarik suara lagi?

Saat ini sih rasanya senang dan ringan-ringan saja. Buat saya, dunia musik dan nyanyi bukan untuk cari eksistensi lagi, tapi murni kesenangan. Saya sendiri lagi sibuk menulis buku saya yang berikut sebetulnya, jadi pasti nggak akan bisa terlalu menenggelamkan diri dalam musik juga sih, sebisanya saja.

Kangen nggak sih untuk nyanyi kayak dulu pas sama RSD?

Kangen sih kangen, tapi memang harus ada pihak yang menginisiasi kalau kita mau ngumpul lagi bertiga. Kalau mengandalkan masing-masing anggota sih sulit karena semua sudah punya kesibukan masing-masing.

Mbak Dewi kegiatannya banyak, mulai dari nulis novel, menyanyi, bikin lagu. Mana yang paling Mbak Dewi sukai? Kenapa?

Saya senangnya rekaman, kalau manggung biasa-biasa saja, lebih senang menulis di rumah. Kalau antara rekaman dan menulis sama senangnya, keduanya memuaskan.

Ada harapan khususkah untuk film Filosofi Kopi ini?

Bagi saya, sejauh ini, film Filosofi Kopi adalah adaptasi karya saya yang terbaik. Harapannya ya pasti mudah-mudahan banyak yang nonton. Tapi di luar itu saya sudah puas karena menurut saya hasilnya bagus.

Ada pulakah harapan untuk kedua single ini?

Semoga banyak yang suka.

Usai proyek ini selesai, proyek apa lagi yang akan digarap?

Kembali fokus mengerjakan Supernova 6.

GaMagz Mading SMA 39 | Explore Indonesia | Maret, 2015 | by Kagita Kirana


Sekarang sedang sibuk apa?

Sedang menulis Supernova buku ke-6 (Inteligensi Embun Pagi).

Selain kumpulan cerita dan novel, apa Kak Dewi juga menulis puisi dan berniat untuk mempublikasikannya?

Saat ini belum. Saya kurang pede bikin puisi. Dalam kumpulan cerita pendek saya kadang-kadang terselip puisi, sih. Tapi untuk membuat satu buku puisi rasanya belum siap.

Jika ada kesempatan untuk berkolaborasi dengan penulis lain untuk menulis novel, inginnya dengan siapa?

Belum kepengin. Saya punya kesulitan menulis ramai-ramai. Bagi saya, menulis kolektif itu memperlambat proses dan jadi harus bersepakat dengan pihak lain secara kreatif. Sulit bagi saya.

Menurut Kak Dewi, industri buku di Indonesia bisa bersaing secara internasional nggak, sih?

Bisa saja, tapi perjalanan itu masih jauh. Harus ada program penerjemahan yang didukung oleh pemerintah supaya kita punya banyak koleksi naskah dalam bahasa Inggris. Ini tahap awalnya. Indonesia tidak kekurangan naskah, yang kurang adalah penerjemahan naskah.

Mengusung tema GaMagz kali ini yaitu Explore Indonesia, apa hal yang pertama terlintas di pikiran Kak Dewi ketika mendengar kata "Indonesia"?

Pedas. Hangat. Berantakan. Indah.

Adakah tempat di Indonesia yang ingin Kak Dewi kunjungi, tapi belum kesampaian?

Flores dan Pulau Komodo.

Bagaimana Kak Dewi melihat diri Kak Dewi 10 tahun mendatang?

Tidak tahu. Saya kurang pandai menjawab pertanyaan futuristik. Lebih senang menjawab yang dekat-dekat saja. Kemungkinan besar 10 tahun lagi masih menulis, sih.

Apa rencana selanjutnya jika serial Supernova sudah tamat?

Menggarap buku-buku lain yang bukan Supernova.

Foodie Magazine | Kopi & Filosofi Kopi | Maret, 2015 | by Primo Rizky


Ada banyak yang karya literatur yang berfokus pada makanan, kenapa Mbak Dewi saat itu tertarik dengan kopi?

Saya menulis Filosofi Kopi pertama kali waktu masih kuliah, tahun 1996. Saat itu saya belum menjadi penulis profesional dan hanya hobi menulis saja. Jadi, motivasi saya menulis memang tidak dengan pertimbangan atau perbandingan dengan karya-karya lain, melainkan hanya ingin menulis tentang kopi saja. Bagi saya, kopi adalah minuman yang sangat berkarakter (sama dengan opini Ben, tokoh utamanya), dan saya ingin mendedikasikan sebuah tulisan untuk kopi. Itu saja.

When was your first encounter with coffee?

Seingat saya dari kecil, tapi perkenalannya waktu itu hanya sesendok dua sendok teh. Ayah saya yang memperkenalkan. Dia kadang menyuapi 1-2 sendok kopi dari gelasnya. Kalau saya lagi makan alpukat kerok, Ayah saya bilang, coba dikasih kopi, pasti lebih enak. Saya coba masukkan 1-2 sendok makan air kopi, dan benar, lebih enak. Sampai sekarang saya suka sekali Avocado Coffee.

Apa arti 'kopi' bagi seorang Dewi Lestari?

Doping utama umat manusia. Percaya atau tidak, kehidupan modern disangga oleh kopi, kalau tidak salah bertahun-tahun lalu majalah Times pernah membahasnya sebagai liputan utama.

How do you like your coffee?

Saat ini saya suka yang lebih soft seperti cafe latte atau paling tidak cappuccino, karena sepuluh tahun terakhir tubuh saya sensitif pada kafein. Dan saya lebih suka porsi kecil, di cangkir yang mini, tapi isinya bukan espresso. Saya juga suka mencampurkan rempah seperti kayu manis sebagai pengganti gula.

Kapan biasanya Mbak Dewi menikmati kopi? Apakah ada ritual-ritual tertentu dalam menikmatinya?

Karena saya nggak bisa minum banyak, I really cherish my chance of having a cup of coffee. Daripada minum yang abal-abal, mending nggak sama sekali, karena sayang sama kesempatannya. Biasanya pagi hari. Kalau sudah siang atau sore, tidur malam saya terganggu.

Personal curiosity, Kopi Tiwus itu benar-benar ada atau tidak? Aku research ke mana-mana tapi yang muncul selalu tentang Filkop. Kalau ternyata itu karangan Mbak Dewi, gimana awal mulanya bisa 'menciptakan' tentang kopi tersebut?

Pertanyaan Anda sama dengan pertanyaan Ayah saya. Waktu baca cerita Filosofi Kopi, dia juga terpikir ingin beli Kopi Tiwus, hehe. Ternyata cuma karangan anaknya saja. Saat itu saya memang ingin menubrukkan kreasi Ben (tokoh utama dalam Filosofi Kopi yang merasa sudah membuat kopi terbaik di dunia) dengan sesuatu yang sederhana, yang di luar dari perhitungannya. Makanya saya ciptakanlah Kopi Tiwus, yang merupakan antitesis dari segala yang dibikin Ben. Kopi Tiwus tumbuh alami, sembarangan, tanpa konsep, bahkan dijual dengan sangat murah bahkan seringnya cuma-cuma, tapi di balik itu ada semacam kekuatan “magis” yang disimpan Kopi Tiwus. Seperti apa? Ya, Anda harus mencicipi sendiri. Lewat tulisan saya. Haha!


Free Magazine | Simangunsong Sisters & Gelombang | Januari, 2015 | by Mikhail Teguh Pribadi


Simangunsong Sisters
 
Bagaimana ide awalnya bisa tercetus untuk kumpul kembali ?

Sebenarnya nggak ada konsep “kumpul kembali” sih, karena secara formal kami memang nggak pernah menjadi satu group. Tapi dari kecil kami sering nyanyi bareng dan bermusik bareng. Kami saling membantu kalau satu sama lain bikin album solo atau proyek musik. Kami juga pernah ikut group vokal dan paduan suara bareng-bareng. Cuma memang yang jarang terjadi adalah kami bernyanyi untuk publik (umum) dengan tema di luar dari Natal / acara keluarga. Dan itu akhirnya kejadian di acara Tribute to Carpenters yang diadakan oleh @America.

Mengapa memilih The Carpenters sebagai perform awal untuk tampil ?

Itu pun sebetulnya bukan kami yang pilih. Salah satu kurator @America, Chico Hindarto, berteman baik dengan Imel, dan Chico terpikir untuk mengadakan Tribute to Carpenters sebagai salah satu program spesial @America. Chico lalu menghubungi Imel dan menanyakan apakah kami bertiga, sebagai bersaudara, mau tampil membawakan lagu-lagu Carpenters. Setelah ada tanggal yang kosong, akhirnya Imel mengiyakan. Bagi kami sih sebetulnya bukan Carpenters-nya yang utama, cuma pengalaman nyanyi bareng untuk publik umumlah yang menjadikan tawaran itu menarik.

Dengan kesibukan masing-masing yang berbeda dan superpadat, bagaimanakah kalian mengatur scheduling untuk latihan akhirnya tampil?

Terus terang latihan agak minim karena kesibukan masing-masing, terutama Arina yang super sibuk dengan Mocca, plus kami sudah tidak tinggal sekota. Jadi, kami latihan waktu kumpul keluarga pas Natal 2014, lalu pas Arina ada acara di Jakarta, Imel menyengajakan pergi ke Jakarta untuk latihan bareng. Kami latihan di rumah saya di BSD, sudah bareng dengan para pemusik tambahan, Jesse (drum) dan Chaka (bass), termasuk suami saya, Reza, yang “ditodong” jadi pianis tamu. Berikutnya, kami langsung ketemu di @America pas sound-check. Jadi, agak mepet memang. Untungnya beberapa lagu sudah familier karena sering dengar dari kecil. 

Ke depan, akankah kalian akan lebih sering tampil bersama seperti ini?

Ide itu menarik sih untuk dieksplorasi, yang jelas hanya bisa dilakukan kalau Arina sedang berada di Indonesia. Mudah-mudahan acara @America tempo lalu jadi pemicu untuk kesempatan tampil lainnya.

Sejauh mana The Carpenters menginspirasi kalian ?

Sejujurnya kami nggak pernah (setidaknya saya) merasa ngefans amat sama Carpenters, tapi setelah kami mengulik lagu-lagunya, ternyata banyak sekali lagu mereka yang sudah kami mainkan sejak kecil tanpa sadar. Banyak lagu Carpenters menjadi lagu-lagu pelajaran waktu kami les musik. Dan, Carpenters juga banyak menyanyikan lagu-lagu orang lain, termasuk lagu-lagu yang kami suka, seperti lagunya Jim Henson “Rainbow Connection”, lagunya Joe Raposo “Sing”, dan lagunya Neil Sedaka “Solitaire”. Di luar itu, lagu-lagu yang ditulis oleh Richard Carpenters-nya sendiri memang banyak yang bagus. Dan gara-gara ngulik untuk acara tempo hari, saya jadi mengapresiasi ulang kepiawaiannya menulis lagu.


Gelombang

Setelah merilis Novel Supernova #5 : Gelombang, adakah rencana untuk kembali bermusik ?

Ada, tapi saya kayaknya ingin mendahulukan menyelesaikan Supernova 6, setidaknya sampai manuskripnya selesai, baru bisa fokus ke proyek-proyek kreatif lain. Nggak bisa disambi.

Adakah plan untuk kembali mengadakan reuni bersama RSD ?

Sejauh ini belum. Kalau hanya untuk show saja sebenarnya kami terbuka, tapi memang kesempatannya belum ada.

Sejauh mana musik mempengaruhi seorang Dee untuk berkarya dalam menulis?

Sangat berpengaruh. Dan itu awalnya tidak saya sadari. Tapi semakin ke sini, saya makin sadar bahwa cara saya menulis dan menyusun kalimat itu sangat terpengaruh dengan bunyi dan tempo. Bagi saya kalimat yang dibacanya enak itu adalah kalimat yang juga enak dibunyikan, punya ritme, dan temponya pas dengan keseluruhan cerita. Feeling semacam itu saya dapatkan dari bermusik.

Siapa musisi saat ini yang menginspirasi Anda?

Saya selalu suka dengan singer/songwriter yang liriknya bagus. Dari dulu saya senangnya ya seputar Sarah McLachlan dan Indigo Girls. Yang agak baru saya suka Corrine May dan Sara Barreiles. Dari Indonesia, saya lagi suka Tulus.