Monday, April 27, 2015

Majalah Sekolah Highscope | Menulis | Maret, 2015 | by Syafira Angelina


Saya pernah bertemu Anda di Indonesia Book Fair dan Anda menyatakan bahwa Anda sendiri bingung akan genre dari buku-buku Anda, terutama pentalogi Supernova ini. Mengapa?

Saya rasa genre lebih merupakan persoalan penerbit ketimbang penulis. Saya tidak terlalu sepakat sebetulnya kalau Supernova disebut fiksi ilmiah, karena basis saya menulis Supernova sebetulnya lebih ke spiritualitas ketimbang ilmiah, tapi sekali lagi, itu lebih menjadi opini dan “pe-er” dari pengamat dan penerbit. Apa pun genrenya, pada dasarnya saya hanya menuliskan apa yang saya suka.

Pembaca pasti tertarik akan gaya Anda yang menggabungkan romansa dan ilmiah. Ada alasan mengapa Anda menggabungkan dua hal yang menurut saya sendiri akan susah untuk digabungkan?

Sederhananya, karena itu kedua tema yang saya suka. Saya menggabungkannya bukan untuk memikat pembaca, melainkan untuk memuaskan diri saya sendiri terlebih dahulu.

Apa suka dan duka Anda menulis pentalogi Supernova ini? Terlebih lagi seri ini merupakan salah satu buku kontroversial di Indonesia yang membahas LGBT, kehidupan dewasa, dan hal-hal terlarang seperti ganja.

Saya rasa “membahas” beda dengan “menyetujui” atau “mengadvokasi”. Saya senang menulis sesuatu yang membuat orang berpikir dan meninjau ulang. Bukan demi pembaca menyepakati. Dukanya lebih karena sulit untuk membuat novel serial, dibutuhkan stamina yang kuat dan napas yang panjang untuk bisa bertahan. Sukanya karena puas mengerjakannya.

Siapa inspirasi Anda? Dan juga penulis yang sangat Anda hormati karyanya?

Inspirasi saya bukan orang tertentu, melainkan kehidupan itu sendiri. Banyak penulis yang saya suka. Yang bisa saya sebut salah satunya adalah Sapardi Djoko Damono.

Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh sudah dirilis sebagai film. Bisakah Anda menyatakan tentang bagaimana bisa Anda mempunyai ide untuk menjadikan buku ini sebagai sebuah film dan kesan Anda setelah film ini dirilis?

Yang punya ide adalah produser, sebenarnya. Mereka kemudian mengajukan penawaran untuk membeli hak adaptasi. Jadi, ide itu bukan berawal dari saya. Kesan saya untuk film KPBJ adalah film itu dibuat dengan kesungguhan dan berhasil menampilkan visual yang indah, ada beberapa catatan mengenai dialog dan jalan cerita, tapi secara keseluruhan film itu cukup membanggakan.

Apakah ada pemikiran untuk membuat Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan buku keenam Anda yang berjudul Inteligensi Embun Pagi sebagai sebuah film?

Sekali lagi, itu bergantung ada produser yang berminat atau tidak. Menjadikan buku saya film tidak pernah menjadi tujuan saya. Kalau ada yang berminat, tentunya akan saya jajaki dulu. Kalau memang ada kecocokan maka bisa tercipta kerjasama.

Di buku-buku Anda, saya menangkap bahwa Anda sangat menyukai ilmu tentang tidur dan hal-hal spiritual lainnya. Mengapa?

Lucid dreaming sebetulnya baru diungkap hanya di buku Gelombang, sebelumnya tidak pernah. Kalau hal yang spiritual, memang itu selalu menjadi minat saya, bahkan menjadi alasan untuk menulis Supernova. Kenapa? I don’t know for sure. Bagi saya, perihal itu penting dan menantang untuk ditelusuri.

Apa kunci sukses Anda selama ini?

Melakukan apa yang dicinta, menjalankannya dengan tekun, selalu memelihara rasa ingin tahu dan mau belajar.

Ada pesan-pesan untuk calon penulis remaja sebagai generasi penerus? Terutama untuk kami, anak-anak dari klub menulis Sekolah HighScope Indonesia.

Tulis apa yang ingin kalian baca. Temukan tema yang paling kalian suka, dan tekun berlatih dan menggali. Menulis adalah keahlian yang tak akan habis dipelajari seumur hidup. Jangan cepat puas.