Monday, April 27, 2015

Muvila.Com | Film Filosofi Kopi | April, 2015 | by Eka Pratiwi


Berapa pihak yang pernah mendekati Dee untuk memfilmkan Filosofi Kopi? Mengapa akhirnya jatuh ke Angga Dwimas Sasongko/Visinema?

Waktu itu ada tiga pihak yang serius untuk membeli hak adaptasi Filosofi Kopi. Saya berbincang dengan masing-masing pihak untuk mengetahui ide dan visi mereka atas film Filosofi Kopi nanti. Bagi saya, ide dan visi Angga terasa fresh dan “beyond” sekadar produk film saja. Angga sudah berbicara tentang “user-generated-movie” untuk melibatkan para penonton ikut mengambil beberapa keputusan artistik film, dsb. Sejauh ini, eksekusi dari pihak Angga memang memuaskan dan inovatif. Filosofi Kopi tidak dikreasikan sebatas film saja, tapi meliputi aktivasi-aktivasi yang memperkuat Filosofi Kopi sebagai brand. Secara konten, Angga juga sejalan dengan saya untuk melebarkan cerita Filosofi Kopi, jadi tidak patuh sepenuhnya pada cerita asli.

Kriteria apa yang membuat Dee bersedia karya-karyanya untuk dijadikan film? Dan sebaliknya, kriteria apa yang membuat Dee menolak?

Saya lihat keseriusan mereka dan kesiapan mereka untuk membuat film dengan production value yang bagus. Dari pertemuan dan bincang-bincang mengenai konsep, saya juga akan menilai chemistry­-nya nyambung atau enggak, karena saya harus merasa nyaman kerja bareng mereka. Lalu, secara kreatif, ke arah mana mereka akan membawa cerita asli. Tentu, itu semua mengandung unsur trial and error, semakin ke sini saya juga semakin belajar untuk mengetahui proporsi keterlibatan yang pas, dan parameter apa saja yang penting untuk dijadikan pertimbangan.

Tentang proses adaptasi buku Dee ke film, apakah keputusan terbesar ada di penerbit atau di pengarang, apakah bisa lanjut bila pengarang menolak/tidak merestui? Kompensasi apa yang didapat oleh pengarang?

Dalam kasus saya, keputusan menerima/menolak sepenuhnya ada di tangan penulis. Itu memang bergantung dari kontrak antara penulis dan penerbit. Saya dengar ada juga kontrak penulis-penerbit yang mengikat penerbit untuk ikut punya hak kalau karya penulisnya difilmkan. Kontrak saya tidak seperti itu. Kompensasi yang didapat penulis sama seperti royalti. Biasanya dibayar putus di depan, jadi semacam advanced royalty. Ada juga yang menawarkan prosentase / bonus dalam jumlah tertentu ketika jumlah penonton mencapai angka X. Tapi kompensasi utamanya biasanya dibayar di duluan di depan. Ketika penulis sudah dibeli hak adaptasinya, sebetulnya urusan utama dengan produser selesai sampai di situ. Kalau di jalan tahu-tahu pengarang menolak atau tidak memberi restu, menurut saya itu hanya akan jadi tindakan moril saja, tidak berpengaruh kepada urusan legal, kecuali kalau pengarang memutus kontrak yang tentu ada konsekuensi hukum dan finansialnya.

Menurut Dee, seberapa perlu pengarang terlibat aktif dalam versi film dari tulisannya?

Bergantung keinginan dan kapasitas penulisnya, sih. Juga bergantung dari keinginan produser. Menurut saya, yang paling ideal pengarang dilibatkan dalam pembangunan cerita. Bukan hanya secara informal tapi benar-benar dimasukkan secara struktural jadi opininya nggak cuma numpang lewat. Tapi, ada produser yang tidak ingin “direcoki” oleh penulis. Dan, ada juga penulis yang benar-benar tidak mau terlibat, atau malah ingin terlibat penuh sebagai produser bahkan penulis skenario. Kalau saya, paling tidak inginnya terlibat sebagai konsultan cerita secara formal. Menulis skenario atau memproduseri, itu bergantung dari saya punya kapasitasnya dan punya waktunya atau enggak. Seringnya karena saya harus fokus pada pekerjaan lain, saya tidak melibatkan diri terlalu dalam, karena begitu terjun, pekerjaan menulis buku juga harus terhenti dulu.

Ikut main di Perahu Kertas, apakah itu keterlibatan terbesar Dee di film dibandingkan judul-judul lain (Madre, Rectoverso, Supernova, Filosofi Kopi)? Sunil Soraya sempat menyatakan ia bolak-balik konsultasi ke Dee dalam proses pembuatan skenario Supernova. Apakah semua filmmaker berbuat yang sama dengan Dee?

Keterlibatan saya di Perahu Kertas memang paling besar, karena saya sampai menulis skenario, jadi cameo, review hasil editing, dan ikut menyusun dan menyumbang lagu untuk OST. Waktu Supernova, Sunil konsultasi secara informal beberapa kali. Rectovero juga informal tapi jauh lebih intensif, saya diajak diskusi oleh para sutradara dan kasih masukan ke skenario dan hasil editing. Madre, bisa dibilang saya tidak terlibat sama sekali, sempat kasih masukan satu kali setelah baca skenario, tapi tidak terlalu mempengaruhi hasil akhir filmnya. Filosofi Kopi, saya secara formal terlibat sebagai konsultan cerita dan menulis dua lagu untuk OST-nya. 

Ada niat membuat skenario sendiri berdasarkan tulisan Dee?

Ada. Saya cukup jatuh cinta dengan proses penulisan skenario. Tapi tidak bisa saya lakukan dalam waktu dekat. Mau konsentrasi menyelesaikan Supernova 6 dulu.

Apa sebenarnya yang menyebabkan karya-karya Dee baru difilmkan dalam tiga tahun terakhir ini secara berdekatan, padahal Dee sudah terbitkan karya sejak lebih dari satu dekade yang lalu?

Pertanyaan bagus. Saya pun tidak tahu kenapa.

Pernah dapat tawaran adaptasi film untuk karya tulisan Dee yang belum terbit/belum selesai?

Ada. Tapi saya belum berani mengikatkan diri dalam kontrak karena saya ingin menyelesaikan Supernova 6 dulu, kalau saya sampai berkomitmen menyelesaikan buku lain demi adaptasi, Supernova 6 pasti terbengkalai untuk 1-2 tahun lagi. Saya nggak mau itu.

Sudah adakah karya Dee yang lain yang siap difilmkan?

Ada yang sedang dalam tahap penjajakan. Kita lihat nanti.

Pertanyaan tambahan, apakah Dee masih mengerjakan proyek musik?

Masih, sebenarnya terpicu oleh film Filosofi Kopi. Gara-gara menulis dua lagu dan menyanyikannya sendiri, akhirnya jadi bikin single untuk dirilis sebentar lagi. Mungkin bakal dicicil untuk jadi album. We’ll see.

Tambahan satu lagi, apa film favorit Dee sepanjang masa?

Serial Lords of the Rings. The Matrix. Shawshank Redemption.