Monday, February 23, 2009

PRESTIGE | Author of the Year / The "It" People | Oct, 2008 | By Aruminingsih

1. How do you describe yourself?

Multifaceted, crazy, humorous, curious, cool, and (a bit) narcisstic in a humorous manner.

2. What do you like most about your job? Tell us about it.

My hobby is my job. I think I am extremely lucky to be blessed in such way. I know many people who hate their job, but they don’t have a choice because they need to make a living. I love my profession, and couldn’t think of doing anything else beside this. I sing, write, and write songs even when people don’t read or listen to them. So I merely do my job for myself, the rest is up to the universe.

2. Your favourite persons to work with?

In writing (song or prose), I work mostly alone. But I have a graphic designer that has been working on my book covers since 2002 (Fahmi). He always manages to translate my idea to graphic image in such perfection. In music, I really enjoy my current team for Rectoverso.

4. Honestly, what was the first thing that went through your mind when Prestige called and said we want to interview you?

The info came to me like this: “Prestige just chose you to be the Author of The Year and wanted to do an interview”. The first thing that came into mind was of course: Say what?? The second thing is: Well, whatever happens, I hope they don’t change their mind. Heheh. I was flattered, seriously. Thank you. It’s an honor.

5. Your breakthrough, Rectoverso, (yes, we do our research) offers new experience for readers. Please tell us about Rectoverso.

Rectoverso is a hybrid of music and fiction. It consists 11 songs and 11 short stories. Basically, it’s two of my main hobbies merged into one. The idea was born accidentally. In 2006, I was planning to make a solo album, then I met a friend of mine who was working in the music industry and he gave me an advice that I should attach my writing to my music otherwise I would be just another name in the list of Indonesia’s female solo singers. There wouldn’t be any strong distinction (I thought he was right). That incidence was the embryo of Rectoverso. For me personally, it was a new creative experience. Then I started to do some more, extending my songs into fiction, and the next thing I knew I had “Rectoverso” in hand. It’s simply the most romantic work I’ve ever created. It’s like reading 11 long, love letters. Each word and expression was carefully picked to fit into the ryhthm of a whole. Everything is about love, and the heart’s journey through love.

6. Is there a single concept, or word, that defines you and your writing?

Enlightening (at least that is my intention, heheh).

7. What's the best piece of advice you've ever been given?

Sorry, need to clarify: I was given an advice? Or I gave an advice to somone?
My best advice: Stop trying to change the world and just change yourself.
The best advice that has ever been given to me: Wake up from this illusion called life. Then live your life, as real as it can be, but keep in mind that you’re only dreaming.

8. What country or culture holds an interest for you?

Ever since I wrote my second book “Akar”, I’ve been so interested in Southeast Asia region. It’s so rich, diverse, and it has the best food in the world. I’ve been wanting to travel throughout Southeast Asia. Another country that I’d like to visit is Bhutan. It’s said that Bhutan is not like anything else in the world. Their culture is very well preserved, although the food – I heard – is not so good.

10. What is your biggest ambition so far?

To have my works expand internationally.

11. Who's the coolest person on the planet at the moment?

At the moment? Aside of myself? Reza Gunawan. Heheh. And also one of our teachers, Mingyur Rinpoche. For their lifetime dedication, I also admire Thich Nhat Hanh and Oprah Winfrey.

Thursday, February 19, 2009

COSMOPOLITAN | Fun Fearless Female | May, 2006 | By Intan Pradina

1. Kabarnya album Out of Shell sudah rilis? Bagaimana rasanya telah merampungkan satu proyek yang makan waktu lama dalam prosesnya? Semua Anda kerjakan sendiri mulai dari bikin lagu sampai produksi?

Rasanya plong! Karena proyek ini tertunda lama banget. Mungkin bisa dicatatkan di MURI sebagai album yang persiapannya paling lama, hehe. Saya memang mengerjakan semuanya hampir sendirian, bahkan kalau lagi rekaman saya kadang-kadang merangkap jadi ‘office girl’ juga, beliin makanan buat kru, musisi, dsb. Demo pertama saya buat sejak tahun 1997, dan master sudah jadi dari tahun 2002. Waktu itu kendalanya karena masih terikat di Sony, tapi ketika keluar dari RSD tahun 2003 pun saya masih belum bisa keluarin karena menikah lalu hamil, 2004 punya anak, 2005 Keenan masih kecil banget, nah… baru 2006 inilah, setelah sudah bener-bener nggak tahu album itu musti diapain, tahu-tahu jalannya terbuka begitu aja. Out of Shell pertama rilis di I-Tunes dulu, dua minggu kemudian baru di toko-toko. Sebagian pembiayaan album ini sempat dibantu juga oleh Triawan Munaf, tapi operasionalnya saya kerjakan sendiri.

2. RSD dulu sukses. Begitu pun buku-buku Anda, laku keras! Apa resepnya?

Wah, apa, ya? Mungkin karena semua dilakukan dengan cinta. Memang kecintaan saya ada di musik dan menulis. Ukuran laku sih relatif ya, tapi kalau kita melakukan profesi kita atas dasar cinta, passion, pasti hasilnya memuaskan, setidaknya dari ukuran kreatornya. Faktor lain yang nggak kalah penting lagi adalah kerja keras. Mempromosikan buku sebenarnya sangat melelahkan dan menyita waktu, makanya nggak semua penulis mau melakukannya. Tapi sejauh ini saya memilih untuk seoptimal mungkin berpromo karena saya rasa itu yang terbaik bagi buku itu sendiri.

3. Sepintas melihat Dee, yang terbayang Dee itu tipe pemikir dan orangnya serius. Tapi saat membaca beberapa karya Anda seperti Petir dan cerpen Rico De Coro (Filosofi Kopi), sepertinya sisi humor Anda tinggi juga bahkan cenderung “gila”. Benarkah?

Bener banget. Untuk banyak hal saya memang serius, sangat-sangat serius, saya senang berpikir, merenung, melamun, kontemplasi, dan bacaan saya juga kebanyakan serius dan berat. Tapi di sisi lain saya ini pencinta humor sejati, sangat senang tertawa, sangat ringan, konyol, bahkan “gila”. Itu terlihat dari sahabat-sahabat saya yang sangat beragam, dari mulai yang ancur-ancuran lucunya sampai ke para pemikir yang sangat serius. Dan memiliki kedua sisi itu, menurut saya, adalah cara terbaik untuk menikmati hidup. Ada yang bilang, ketika orang sudah mencapai pencerahan dia justru akan tertawa. Saya setuju banget. Untuk jadi tercerahkan biasanya kita setengah mati memeras hati dan otak, tapi kalau pada ujungnya nanti kita malah nggak bisa ketawa, maka pencarian itu sia-sia. Tidak ada cara terjitu untuk memaknai hidup selain lewat humor.

4. Imajinasi Anda pasti tinggi. Pernahkah merasa “kewalahan” dengan talenta Anda itu? Bagaimana Anda mengatur untuk dapat menampung seluruhnya dalam wadah yang tepat?

Kayaknya saya tiap hari kewalahan soal itu, deh. Haha! Dan memang itulah tantangan saya terbesar, mengorganisasi begitu banyak ide dan menyusunnya dalam rancangan kerja yang realistis. Selama ini, yang sering menjadi batu sandungan saya adalah jumlah ide dan keinginan yang tidak sinkron dengan kemampuan riil. Solusinya adalah kompromi dengan diri sendiri. Di kepala saya ada sepuluh proyek, tapi di atas kertas saya cuma bisa mencantumkan dua atau tiga, dan saya tidak boleh terhanyut rasa frustrasi atau gemas karena yang sisanya itu belum bisa direalisasi. Intinya sih, just get real. Dan untuk bisa realistis bagi seorang pemimpi seperti saya itu adalah tantangan besar.

5. Apa hal-hal yang bisa bikin Anda tertawa lepas dan gembira?

Almost anything. Saya punya sekelompok sahabat, yang kalau sudah dengan mereka dijamin saya bisa lepas dan gila. Dengan keluarga saya pun begitu juga, kami selalu mampu menemukan hal lucu. Momen terlucu yang baru-baru ini terjadi adalah ketika saya di restoran masakan Sunda di Cirebon, dan saya menemukan hal aneh di buku menunya. Jadi untuk menerjemahkan masakannya ke bahasa Inggris mereka pakai istilah Latin, mungkin karena ingin sekali terkesan serius dan akurat. Misalnya, “Keripik Emping” diterjemahkan jadi “Gnentum Gnenom Cracker”, “Ikan Mas Bakar” jadi “Grilled Cyphrinus Carpio”, “Pete Goreng” jadi “Fried Parkia Speciosa”, dan masih banyak lagi. Sumpah, saya ketawa sampai ternangis-nangis, setengah jam lebih nggak berhenti. I think that’s the best kind of humour. Ketika sesuatu tidak dimaksudkan untuk lucu, ditemukan nggak sengaja, dan absurd.

6. Apa sisi paling mengasyikkan dari pekerjaan Anda sekarang?

Bertemu begitu banyak orang yang berkualitas. Bertemu dengan para pembaca saya yang bilang ‘buku Anda menginspirasi saya’, ‘buku Anda mengubah hidup saya’. Itu tak terkatakan rasanya.

7. Anda bahagia menjadi Dee karena... ?

I can do what I love the most, and actually can make a living out of it. Untuk satu hal itu, I consider myself very, very lucky.

8. Orang-orang dekat Anda mengatakan Dee itu identik dengan apa?

Kata adik saya: Joget Norak dan Suara Dua. Haha! Berhubung di rumah cuma lagi ada dia, jadi saya nggak ada tambahan dari yang lain.

9. Anda pernah diprotes soal cover novel Akar yang menyinggung satu agama tertentu. Bagaimana reaksi dan sikap Anda menghadapi hal itu?

Setiap agama pasti punya kelompok chauvinist yang memang hobinya mengklaim ini-itu sebagai milik eksklusif kelompoknya, dan ini merupakan ciri umum dari agama di seluruh dunia. Ketika saya membahas masalah universal seperti spiritualitas, yang merupakan jantung tiap agama, pastinya akan beririsan dengan lapisan periferinya juga, yaitu dengan orang-orang yang pandangannya masih eksklusif dan sempit. Fenomena ini wajar sekali. There’s no wrong or right, hanya sudut pandang yang berbeda. Dan, saya pikir masyarakat pun bisa bijak melihat esensi dari masalah seperti itu. Toh di berbagai kasus yang serupa pun yang protes juga masih orang-orang yang sama.

10. Menurut Anda, sisi fearless Anda muncul pada saat Anda...

Saat saya jatuh cinta. Rasanya apa aja bisa dilakukan. And also in those short moments when I feel that life is actually a whole, inseparable, and everything is one.

11. Apa arti seksi buat Anda? Anda mengatakan seorang wanita tampak seksi bila?

Sexy is a state of mind. Sexy is an energy that when transcended becomes nothing but love. Jadi seksi sesungguhnya adalah kemampuan untuk mencinta. Ketika seseorang tampak sangat nyaman dengan dirinya sendiri, menurut saya itu sangat seksi. Penerimaan diri itu bukan hal yang mudah, tidak bisa dicapai dengan kosmetik atau operasi plastik, dan sepertinya orang-orang modern makin keras berjuang untuk bisa diterima. Mereka cari guidance dari majalah, dari iklan, dari macam-macam. Ada yang ketemu, tapi lebih banyak lagi yang malah tersesat. When a woman finally arrives at a point where she can claim: “This is me. And I’m happy and comfortable with myself”, it’s when she reaches the sexiest point of her life.

12. Anda suka membaca apa? Musik siapa yang Anda dengarkan?

Bacaan saya kebanyakan seputar spiritualitas, sains, filsafat, kesehatan, parenting, ekologi, dan beberapa fiksi. Kalau sekarang lagi suka baca bukunya Graham Hancock yang mendekonstruksi sejarah pra-primitif dan bicara soal The Lost Civilization, dan yang lebih menariknya lagi adalah ternyata penelitian tsb masih berhubungan dengan global warming yang kita hadapi sekarang. Lagi baca bukunya Osho juga. Untuk musik saya kebanyakan suka band atau singer-songwriter, saya suka Tears for Fears, Sarah McLachlan, Paula Cole, dll.

13. Apa pengaruh keluarga/orangtua dalam membentuk karakter Anda hingga seperti sekarang ini?

Sangat besar. Mereka tidak pernah intervensi kerjaan saya secara langsung, tapi keberadaan mereka sebagai sebuah sistem penyokong memungkinkan saya bisa berkembang seperti ini. Ayah saya sangat demokratis, berpikiran terbuka. Ibu saya cenderung disiplin, intelektual. Kakak-adik saya “gila” semua, mereka memang seniman-seniman sejak kecil, dan sampai sekarang pun bekerja di bidang seni. Jadi kreativitas sudah jadi kegiatan sehari-hari dari kami kanak-kanak.

14. Apa yang kamu lakukan untuk relaksasi, keluar dari 'rutinitas' sebagai selebriti?

Santai di rumah saja, nonton TV kabel, nggak keluar-keluar, bahkan seharian nggak mandi, itu sudah jadi relaksasi. Sesekali ke bioskop, atau nongkrong ketemu teman-teman lama.

15. Apa impian Anda saat ini?

Pingin travelling. Banyak sekali yang ingin saya lihat tapi sejauh ini waktunya belum ada. Mudah-mudahan setelah Keenan agak besar, setelah proyek-proyek buku selesai, saya ingin off dulu beberapa lama dan hanya travelling.

Friday, February 13, 2009

GREY | My Father My Hero | Nov, 2008 | By Roni

1. Bagaimana kehidupan kecil Mbak Dewi dengan Ayah?

Ayah saya seorang perwira militer yang selalu pindah-pindah tempat tugas, jadi semasa kecil seringnya saya bertemu Bapak (panggilan kami pada beliau) satu minggu sekali. Meskipun demikian hubungan kami cukup dekat. Saya selalu menanti-nanti kepulangan Bapak. Karena begitu ada Bapak, suasana rumah jadi lebih semarak.

2. Mana yang lebih dekat dengan Mbak Dewi? Ayah atau Ibu?

Ibu (almarhum) adalah seorang ibu rumah tangga, jadi setiap hari saya ketemunya dengan Mama, sementara dengan Bapak seringnya seminggu sekali. Otomatis Mama lebih dekat ke anak-anaknya. Tapi berhubung Bapak orangnya seru banget, jadi kalau di hati sih saya tetap merasa dekat dan akrab dengan Bapak, walaupun ketemunya nggak terlalu sering.

3. Bagaimana sifat Ayah Mbak Dewi secara keseluruhan?

Humoris, demokratis, ramah, berpikiran terbuka, kreatif, seorang pencerita dan pengingat yang baik.

4. Adakah perlakuan Ayah Mbak Dewi yang selalu terkenang sampai sekarang, atau bahkan semua itu mengubah hidup Mbak Dewi?

Bapak selalu ngebela-belain segalanya untuk anak-anak. Bapak bahkan pernah rela nggak ganti mobil, yang padahal udah butut banget, biar bisa membelikan anak-anaknya komputer. Dan meskipun dengan gaji pegawai negeri, Bapak tetap menomorsatukan pendidikan dan pengasahan skill buat anak-anaknya. Kami semua dikursuskan piano, dan selalu banyak alat musik di rumah. Bapak juga juaranya dokumentasi. Paling senang berfoto. Jadi foto-foto zaman dulu tuh banyak banget.

5. Pernahkan Ayah Mbak Dewi berperilaku layaknya Super Hero dalam keluarga?

Nggak.

6. Adakah perilaku lucu dan menyebalkan yang pernah dilakukan oleh Sang Ayah dan masih dikenang sampai sekarang?

Bapak selalu lucu. Yang menyebalkan saya nggak ingat. Tapi yang paling menyenangkan adalah waktu kelas 2 SD, saya dan adik saya, tahu-tahu dipanggil ke lapangan kompleks perumahan saya dulu (di Medan). Ternyata Bapak kasih surprise yakni kami berdua diajak naik helikopter keliling kota Medan. It was unforgettable.

7. Ayah Mbak Dewi akan marah-marah jika?

Kalau kita terlalu berisik saat Bapak tidur siang.

8. Pernahkah Sang Ayah berbuat kasar pada Mbak?

Nggak.

9. Bagaimana perlakuan Ayah Mbak Dewi ketika menghadapi pacar atau cowok Mbak?

Berhati-hati, sekaligus menyelidiki. Nggak pernah menentang dengan frontal sekalipun mungkin dia kurang sreg. Dia lebih mempercayakan anak-anaknya untuk milih sendiri dan belajar dari pengalaman.

10. Lebih kemanakah tipe Ayah Mbak? Demokrat atau diktaktor?

Demokrat.

11. Bagaimana Ayah Mbak Dewi dalam menanggapi masalah pendidikan anak-anaknya?

Seperti layaknya orang Batak pada umumnya, bagi Bapak pendidikan itu nomor satu. Kami semua diwajibkan lulus perguruan tinggi, jadi sarjana, karena bagi Bapak itu akan menjadi bekal atau semacam parasut cadangan kalau-kalau ada sesuatu dengan karier seni kami. Walaupun sampai sekarang semua anak-anaknya berkarier di jalur yang sama sekali berbeda dengan jurusan kuliahnya dulu.

12. Kata-kata atau nasehat apa yang paling diingat oleh Mbak Dewi yang pernah keluar dari mulut sang Ayah?

Ayah saya jarang menasehati. Tapi banyak petuah-petuah ‘tak sengaja’ yang keluar saat dia bercerita. Tapi paling sering sih Bapak selalu mengingatkan untuk ingat keluarga, silaturahmi antar saudara, dsb. Maklum, anak-anaknya sibuk semua. Hehe.

13. Adakah perbedaan sikap Ayah yang dulu dan sekarang? Ceritakan?

Bapak lebih realistis, lebih nrimo. Tapi kondisi fisiknya agak menurun ketimbang dulu. Bapak sehat sekali, senang olahraga, jagoan ping-pong. Tapi berhubung kakinya sekarang sedikit bermasalah, jadi Bapak selincah dulu lagi. Dan itu kadang-kadang bikin beliau agak murung.

Thursday, February 12, 2009

NIRMALA | Yang Muda Yang Spiritual | Dec, 2006 | By Emma Madjid

1. Mengapa Dee belakangan ini tertarik masuk ke gerbang spiritual?

Sebetulnya proses itu sudah cukup lama, sejak akhir 1999. Dan saya merasa ketertarikan pada spiritualitas itu inheren pada setiap orang, hanya masalah momen naik ke permukaannya saja yang berbeda-beda. Pertanyaan tentang Tuhan, eksistensi, makna hidup, dan sejenisnya, memang selalu mengusik saya sejak kecil dan bolanya bergulir terus hingga sampai puncaknya pada tahun 1999. Sejak itu konsep saya tentang Tuhan dan agama berubah total. Saya memutuskan untuk melepaskan segala ‘jubah’ keagamaan dan ingin mengapresiasi hidup dari titik nol. Sejujurnya, saya sangat nyaman dengan kondisi ‘jalan tak berpeta’ tersebut. Namun setelah berkeluarga, barulah saya mulai mempertimbangkan untuk berada dalam satu koridor khusus. Saya mendapatkan banyak kecocokan dengan ajaran Buddha, walaupun itu tidak berarti saya lantas berhenti mengeksplorasi. Prinsipnya, apapun yang cocok dengan intuisi dan mencerahkan saya secara pribadi, akan saya terima. Misalnya, saya banyak sekali mendapatkan wawasan baru dan jernih dari Kabballah, juga dari sains yang berbasis monisme idealistik (mis. buku-buku Amit Goswami). Pendekatan eklektik semacam ini memang yang paling pas bagi saya. Perjalanan spiritual adalah perjalanan yang individual, meski dalam prosesnya kita dibantu oleh banyak orang dan banyak jiwa lain, hanya kitalah yang bisa merasa apa yang paling pas bagi diri kita sendiri dari waktu ke waktu.

2. Kapan pencerahan itu datang? Apakah melewati kejadian tertentu dalam hidup Dee? Atau ada yang 'ngomporin'?

Bagi saya, momen pencerahan itu tidak tunggal tapi multipel. Bukan satu peristiwa yang sekali jadi lalu selesai, melainkan proses yang berulang-ulang dan semakin dalam. ‘Gong’ pertama memang tahun 1999, tapi prosesnya terus saya jalani hingga sekarang. Pada saat itu saya memang terbentur masalah pribadi yang cukup berat, dan akhirnya itu menggiring saya untuk menggali lebih dalam makna cinta, hidup, dan Tuhan. Dan sekarang saya mengerti bahwa gerbang menuju kesejatian memang bermacam-macam, barangkali itulah gerbang yang jiwa saya pilih. Selain itu, secara umum saya memang sangat terusik dengan fenomena perseteruan agama; orang-orang bisa saling membunuh atas nama Tuhan. Dan pada saat itu tragedi Ambon sedang ramai-ramainya. Di Indonesia, bahkan dunia, sejarah manusia berdarah-darah akibat membela Tuhannya masing-masing. Itu membuat saya semakin tergerak untuk berbuat sesuatu, karena menurut saya masalah dunia ini terletak pada pemahaman dasar manusia akan Tuhan. Apa yang seseorang percaya atau tidak percaya tentang Tuhannya akan membentuk sikap dan cara pandangnya untuk berlaku di Bumi. Makanya kemudian saya menulis Supernova, novel serial yang memang dikhususkan untuk tema spiritualitas. Supernova merupakan cermin perjalanan batin saya. Saya ingin berbagi cara pandang, syukur kalau ada yang merasa cocok, kalau tidak pun tidak apa-apa. Semua makhluk menjalankan proses yang patut kita hargai.
Perjalanan saya sejauh ini dituntun alamiah oleh hidup melalui peristiwa dan hasil trial & error. Belum pernah punya sosok guru tunggal, mungkin belum ketemu. Sejauh ini saya lebih didukung oleh support system berupa buku-buku, teman-teman, keluarga, dll.

3. Apakah ada perubahan dalam diri setelah masuk ke gerbang tersebut? Tolong disebutkan.

Wah, banyak sekali ya. Karena itu tadi, saya percaya pemahaman seseorang akan Tuhan (atau non-Tuhan) itu otomatis menentukan segala hal lainnya. Prioritas saya berubah, cara saya memandang sebuah hubungan baik itu percintaan atau persahabatan juga berubah. Dalam keseharian, saya lebih menghargai proses, berusaha tidak menjustifikasi berdasarkan polaritas hitam-putih tapi berusaha mentransendensi polaritas tsb dan melihat segala hal dari esensi yang netral, bukan apa yang kelihatan di permukaan. Secara global, saya jauh merasa lebih tenang, lebih seimbang, dan lebih sehat secara fisik. Saya sangat menikmati dan menghargai hidup ini. Bukan berarti segala masalah lenyap, tapi cara pandang saya pada masalah itu yang jadi beda. Saya nggak terlalu ngoyo lagi soal pekerjaan. Dulu saya orangnya target-minded, sekarang jauh lebih rileks, dan hasilnya malah lebih baik. Intinya, saya lebih bisa menerima diri. Semakin kenal, dan semakin menerima. Proses ini tidak mudah, tapi tidak ada istilah mundur. Gampang dan susah tinggal kita yang mengkontekstualisasi. Perjalanan spiritual itu tidak kenal mundur, sama halnya dengan evolusi. Kita bisa berpencar arah, tapi semua melangkah maju dengan waktu dan kecocokan caranya masing-masing.

4. Selama ini Dee termasuk sering mengatur POLA MAKAN, dan menjalani hidup sehat, boleh dijelaskan? Demi kesehatan, makanan/minuman apa saja yang sudah dihapus?

Saya mulai jadi vegetarian lacto-ovo sejak tahun 2006. Sudah lama sih kepingin jadi vegetarian tapi ternyata tekadnya baru bulat setelah membaca hubungan hidup vegetaris dengan lingkungan hidup. Jadi alasan saya bukan semata-mata kesehatan. Saya memang lagi concern sekali dengan masalah lingkungan, dan ingin serius melakukan kontribusi. Ternyata hidup vegetarian punya dampak besar sekali. Banyak dari kita yang belum tahu bahwa industri hewan kontribusinya sangat signifikan bagi pemanasan global. Keenan, anak saya, yang justru pertama kali jadi vegetarian. Sejak umur 1 tahun dia sudah menolak makan daging. Dipaksa dan diakali seperti apapun dia nggak mau, pasti dia keluarkan dari mulutnya. Jadi ketika saya berniat vegetarian saya pikir sekalian saja, toh Keenan bahkan sudah duluan. Dan untungnya kami bisa kompak satu keluarga, masaknya jadi praktis.
Secara umum, pola makan kami tidak terlalu rigid, bahkan cenderung sederhana. Untuk konsumsi telur kami coba batasi 3x seminggu, sehari-hari lauk kami hanya tahu-tempe-sayur. Gula juga kami batasi, sebisa mungkin menggunakan gula yang lebih natural (bukan yang refined), seperti gula batu atau gula madu. Camilan Keenan juga kami usahakan tidak yang terlalu berbumbu atau berasa tajam supaya lidahnya nggak ‘kecanduan’, dia lebih sering makan rice crackers atau sereal polos. Selain itu, saya berusaha sebisa mungkin mengonsumsi makanan organik.

6. Apa makanan/minuman Andalan Dee agar selalu fit?

Air putih, sebisa mungkin yang heksagonal. Dan sayur yang dimasak tidak terlalu layu.

7. Bagaimana cara Dee menekan stres yang selalu timbul dalam aktivitas keseharian? (ini semacam tip dari Dee aja, yang Dee sering lakukan, boleh beberapa poin, kalau memang unik boleh diterangkan cara menerapkannya)

Memahami bahwa hidup ini hanya kumpulan aktor yang sedang akting, termasuk diri kita sendiri. Di Buddhisme dikenal istilah anicca, yakni tidak ada yang kekal. Stres itu timbul karena kita ingin meyakini beberapa hal itu nyata dan kekal, padahal tidak ada. Bahagia maupun sedih, senang maupun sakit, semua itu senantiasa berubah dan hidup ini cair. Melawan, kita justru tenggelam. Berenang oke, asal tidak menentang arus, karena akhirnya kelelahan.
Ketika tengah menjalani hari saya kadang-kadang suka ngomong sendiri: ‘Cut!’, dan itu menyadarkan saya bahwa hidup ini rangkaian adegan belaka. Susah atau senang itu bikinan kita sendiri. Lewat beradegan kita menerima pelajaran, dan apabila pelajaran itu selesai, maka kita beradegan baru, kalau belum maka adegannya akan diulang-ulang terus.

NOMORECHOICE - FIKOM UNPAD | Vegetarian | May, 2007 | By Aniez

1. Mbak Dewi kan vegetarian, ya?

Betul.

2. Sejak kapan jadi vegetarian?

Dari tahun 2006.

3. Kenapa kok tertarik jadi vegetarian?

Dari SMA sebetulnya saya sudah tertarik jadi vegetarian gara-gara baca artikel tentang vegetarianisme di majalah, tapi motivasinya belum cukup kuat. Beberapa kali juga mencoba, tapi sedikit-sedikit, belum total. Baru setelah saya tahu kaitan erat antara vegetarianisme dengan isu lingkungan, motivasi saya langsung menguat, dan hari itu juga saya memutuskan jadi vegetarian sampai sekarang. Dengan kita menjadi vegetarian, berarti kita ikut membantu masalah pangan dunia dan juga masalah lingkungan, karena salah satu penyebab krisis gizi dan krisis lingkungan yang membelit dunia sekarang adalah masifnya industri daging.

4. Merasa ada perubahan sejak jadi vegetarian?

Tubuh saya lebih sehat, jarang sakit, dan lebih peka. Secara emosional juga lebih tenang dan kalem.

5. Makna vegetarian buat Mbak Dewi apa, sih?

Bagi saya, menjadi vegetarian adalah pilihan moral paling jitu dan logis untuk kondisi dunia sekarang ini. Jika kita peduli pada masalah lingkungan, kesehatan, dan etika sesama makhluk, memilih menjadi vegetarian adalah bukti kepedulian yang sangat konkret.

6. Ada tips buat yang baru mau mulai jadi vegetarian?

Mulailah dengan skala harian, nggak usah dipikir bahwa jadi vegetarian itu berat dan menyusahkan, jalani saja dengan komitmen, kita pasti mampu untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Kalau sebelumnya kita mungkin berpikir bahwa lidah yang perlu dimanja, sekarang kita mulai berpikir bahwa gizi dan kesehatan lebih penting dari sekadar piknik lidah. Dan cari tahu info sebanyak-banyaknya tentang vegetarian agar tidak salah langkah dan malah kurang gizi. Info tentang vegetarian bisa dicari di situs Indonesian Vegetarian Society.

Tuesday, February 10, 2009

HERWORLD | Kebangkitan Spiritualitas di Indonesia | July, 2008 | By Marisa Yoeng

1. Kenapa tertarik mempelajari spiritualisme?

Spiritualitas (atau spiritualisme) menurut saya adalah dorongan evolusi yang alamiah ada dalam setiap manusia, karena ketertarikan seseorang akan spiritualitas dimotori oleh inti kebenaran yang bersemayam di setiap makhluk. Jadi semua manusia dan semua makhluk pasti akan bermuara ke sana. Hanya karena tidak semua berangkat dan berjalan dengan kecepatan yang sama, jadi perjalanan spiritual seseorang secara permukaan sangat bervariasi, tergantung karma masing-masing. Jadi kalau ditanya ‘kenapa’, saya tidak tahu pasti, selain menjawab bahwa pencarian ke dalam diri adalah dorongan evolusi yang alamiah. Demikian jugalah yang terjadi pada diri saya.

2. Dari mana Mbak Dee mempelajarinya?

Epifani saya yang pertama terjadi tahun 1999 akhir, saya tidak mempelajari dari mana-mana, selain mendengarkan suara ilahi yang muncul sendiri dalam batin saya. Seperti orang mengobrol dan bercakap-cakap. Namun dari sana, keingintahuan saya tentang bagaimana manusia mempersepsikan Tuhan dan kebenaran jadi sangat kuat, dan akhirnya saya mempelajari semua agama, aliran, dsb, dari buku-buku dan juga berdialog. Tahun 2006 saya mulai mempelajari meditasi secara lebih mendalam.

3. Sebenarnya, spiritualisme itu kan suatu hal yang personal, tapi sekarang berkembang menjadi sesuatu yang universal. Misalnya, diterapkan dalam bisnis. Apakah Mbak Dee juga melakukan hal serupa? Bisa diceritakan? Berhasilkah langkah tersebut?

Spiritualitas sesungguhnya tidak mengenal sekat. Sekali seseorang mengenal dan mengetahui diri sejatinya, otomatis apa pun yang ia kerjakan pasti bernuansakan ‘itu’. Intinya, lebih percaya pada kata hati. Saya sendiri tidak merasa melakukan langkah khusus tertentu, selain menjalankan hidup seapa-adanya mungkin, dan percaya bahwa setiap langkah dan dinamika memiliki manfaat bagi pembelajaran jiwa saya, baik itu yang pahit, manis, atau sedang-sedang saja.

4. Manfaat spiritualisme dalam kehidupan sosial?

Menjadi orang yang lebih apa adanya, tidak melekat, tidak berkubang dalam penderitaan, dan lebih humoris. Setidaknya itu efek yang saya rasakan.

5. Apakah Mbak Dee setuju jika Indonesia dikatakan sebagai pusat kebangkitan spiritual? Alasannya?

Saya pernah mendengar ‘selentingan’ demikian. Saya tidak tahu validasinya dilihat dari faktor apa. Tapi saya rasa, kebangkitan spiritual adalah gejala yang mendunia.

6. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pembaca yang tertarik dengan spiritualisme?

Mereka bisa mulai dengan membaca dan berdialog, tapi lebih penting lagi adalah berani menanggalkan semua pengetahuan kita dan terjun ke dalam diri melalui meditasi, misalnya, alias praktek. Karena spiritualitas yang hanya menjadi wacana juga bisa menjadi jebakan tersendiri.

7. Dengan naiknya harga minyak, bahan pangan, demo dimana-mana, politik kantor yang semakin menggila, dll, membuat banyak orang rentan terserang stress. Apa yang dapat dilakukan agar dapat menghindari, atau setidaknya, mengurangi stress, sehingga bisa menjadi pribadi yang lebih baik (lebih berupa tips dari sisi spiritual)?

Inti spiritualitas sesungguhnya hanya satu: hidup di saat ini. Semua stres yang kita alami cuma bersumber dari dua hal: beban masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan. Dengan memahami dan mengalami bagaimana hidup di ‘saat ini’ alias ‘in the now’, segala stres yang berlebih akan runtuh dengan sendirinya. Tidak semua orang bisa terus-terusan bertahan dalam situasi batin ‘saat ini’, tapi kita bisa berlatih melalui meditasi, menjalankan hidup yang seimbang, dan banyak-banyaklah tertawa.

8. Di luar negeri, kepercayaan seperti Scientology dan Kaballah, apakah dapat disebut sebagai "buah" dari spiritualisme?

Berbeda dengan Scientology, secara historis Kaballah sebetulnya adalah aliran mistik dalam agama Yahudi yang juga merupakan akar dari agama-agama samawi (Kristen, Islam, dsb), jadi Kaballah bukan ‘produk baru’, malah sangat-sangat tua.
Maaf, kalau salah mempersepsi, tapi saya merasa pertanyaan di atas mengacu bahwa keduanya adalah produk tren. Benarkah? Saya sendiri merasa spiritualitas adalah "jantung", atau inti. Dan jika kita semakin dalam menyelami jantung kebenaran, konsep keterpisahan pun semakin kabur. Sementara di permukaan, kita kenal berbagai agama yang rasanya sangat berbeda, bersekat, dan terpisah antara satu sama lain. Orang banyak bilang, setiap agama pada dasarnya sama. Nah, dasar itulah yang, bagi saya, namanya Spiritualitas. Jadi sesungguhnya spiritualitas sendiri bersih tanpa nama, label, dan penggolongan. Dari sudut pandang tsb, bukan hanya Scientology dan Kaballah yang menjadi “buah” spiritualitas, semua agama dan kepercayaan di muka dunia, termasuk ateisme, merupakan buah dari spiritualitas.

WANITA INDONESIA | Mengajarkan Anak Membaca (Metode Glenn Doman) | Jan, 2009 | By Didi

1. Mundur ke belakang, sejak usia berapa Dee mengajar Keenan bermain dengan metode Glenn Doman? Bagaimana pada awal Keenan menerima pola ajar seperti itu?

Sejak Keenan umur 1 tahun. Dan saya tahu dia sudah bisa baca waktu umur 2,5 tahun. Dia sih menerimanya dengan baik, atentif, dan selalu memerhatikan flash card yang ditunjukkan padanya.

2. Apakah cara yang dilakukan itu menggunakan tempo, misalnya tiap hari atau tiap berapa kali dalam seminggu? Selama melakukan itu berapa lama (jam) dan di saat suasana seperti apa diterapkan pada Keenan? Atau adakah waktu khusus?

Sesuai dengan petunjuk dari metode Glenn Doman, saya memainkan tiga set flash card sebanyak tiga kali sehari. Memainkan flash card sendiri tidak makan waktu berjam-jam, bahkan kurang dari semenit, karena per kartunya hanya perlu ditunjukkan dalam waktu satu detik. Suasananya sih nggak ada yang khusus, pokoknya saat dia lagi santai dan fokusnya nggak ke hal lain (teve, mainan, dsb).

3. Apa dampak positif dan negatif pada keenan yang dirasakan Dee pada cara kerja metode Glenn Doman tersebut?

Saya sih tidak merasakan dampak negatif, walaupun ada beberapa psikolog yang bilang metode itu membuat anak hanya tertarik pada membaca saja, yang lain jadi kurang. Tapi buat saya pribadi, saya nggak merasakan dampak negatifnya. Keenan sudah bisa baca dari umur 2,5 tahun, bagi saya tentu itu dampak positif. Kuncinya adalah jangan pernah mengetes, karena kadang-kadang ibu-ibu jadi kesusu ingin mengetes anaknya, atau ngoyo supaya anaknya bisa cepat baca, apalagi kartu-kartu itu memang nggak murah, kalau buat sendiri pun lumayan repot, jadi wajar kalau ibu-ibu jadi ‘nggak mau rugi’. Cuma keinginan mengetes itu kontra-produktif bagi anak. Intinya semua anak senang belajar, tapi tidak suka diuji. Jadi biarkanlah hasil dari pembelajaran itu muncul dengan alamiah tanpa perlu dipaksakan.

4. Apa keistimewaan menggunakan Glenn Doman dibanding cara lainnya?

Khusus untuk membaca, saya nggak tahu metode lain, jadi nggak bisa membandingkan. Tapi, dibanding dengan waktu saya kecil dulu dan diajarkan baca memakai aksara dan mengeja ‘a, b, c’ dst, metode Glenn Doman lebih efektif dan konon lebih cocok dengan kerja alamiah otak.

5. Bagaimana Dee pertama kali mengetahui dan mengenal Glenn Doman? Dengar kabar sampai bela-belain mencari produk itu keluar negeri, ya? Dan menerapkan pada Keenan menggunakan bahasa Inggris?

Saya baca bukunya dulu, lalu ikut pelatihannya di Bandung. Saya beli kartu-kartunya di Indonesia, kok. Kan sudah ada distributornya di sini. Yang saya pakai memang Bahasa Inggris, karena waktu itu yang ada hanya Bahasa Inggris, versi Bahasa Indonesia baru keluar setahun kemudian. Dulu, untuk Bahasa Indonesia saya terpaksa buat sendiri, tapi nggak banyak, mungkin cuma 50-an kartu. Setelah versi Bahasa Indonesia-nya keluar, ya saya pakai flash card yang udah jadi.

6. Kalau tidak salah Dee jadi duta Glenn Doman? Bagaimana ceritanya? Terus, apa langkah yang dijalankan Dee dengan menyandang duta itu?

Saya bukan duta Glenn Doman. Setahu saya nggak ada yang jadi duta Glenn Doman, yang ada hanyalah licensed instructor yang memang mengambil pelatihan resmi Glenn Doman di Amerika, dan di Indonesia baru ada satu orang yakni Mbak Irene Mongkar.

7. Sepantasnya Glenn Doman cocok diterapkan pada usia anak berapa?

Dari bayi umur seminggu juga bisa, tapi bukan huruf dulu, hanya siluet aneka bentuk dengan warna hitam putih. Setelah itu baru pakai huruf. Pada prinsipnya, semakin dini diajarkan semakin baik, karena semakin mudah dicerap anak.

8. Peran ibu dalam hal ini seperti apa yang pantas dianggap cukup berhasil menerapkan metode Glenn Doman pada anaknya?

Buat saya pribadi, bukan hanya soal bisa baca atau enggak, tapi dengan meluangkan waktu untuk belajar dan bermain sama anak, kita jadi punya quality time dan bonding time dengan anak. Dan ya itu tadi, jangan tergoda untuk menguji. Saya tahu Keenan sudah bisa baca ketika dia tiba-tiba menunjuk kata-kata di layar komputer saya dan membacanya. Saya nggak pernah dengan sengaja menguji dia.

9. Kabarnya Glenn Doman pantas diterapkan pada anak yang bermasalah, misalnya pada anak yang mengalami ‘cacat’? Sehingga tidak layak diterapkan pada anak yang normal?

Awalnya metode itu ditemukan memang ketika Glenn Doman menangani anak yang mengalami brain injury, dan ternyata setelah diajarkan membaca, anak yang mengalami cedera otak tsb memperoleh kemajuan yang sangat pesat dan akhirnya punya kemampuan sama dengan anak dengan otak normal. Oleh karena itu, jika metode yang sama diterapkan ke anak dengan otak yang normal, hasilnya menurut Glenn Doman akan sangat luar biasa. Kenapa membaca? Karena membaca melibatkan aktivitas otak kiri dan otak kanan sekaligus.

10. Komentar lain tentang Glenn Doman yang Dee rasakan?

Jangan hanya terpaku atau fanatik pada satu metode saja. Menurut saya, kasih sayang, komunikasi yang jujur dan sehat dengan anak, serta alokasi waktu yang cukup untuk menemaninya adalah hal yang paling penting.

FISIP UHAMKA | Tips Menulis | Nov, 2008 | By Winnie

1). Bagaimana langkah-langkah menulis dengan baik untuk para pemula?

Banyak mencoba, jangan takut gagal, dan banyak membaca. Kita bisa mulai dengan ‘mengimitasi’ penulis yang kita suka, sampai akhirnya kita menemukan karakter diri kita sendiri. Tentu saja prosesnya tidak instan. Jadi harus banyak-banyak mencoba. Kalaupun ceritanya tidak selesai, biar saja. Yang penting jangan pernah berhenti.

2). Tips/kiat-kiat apa yang dilakukan selama proses penulisan berlangsung?

Meluangkan waktu khusus untuk menulis tanpa diganggu. Kalau bisa ada disiplin yang jadi tolok ukur, bisa dari durasi waktu bekerja atau banyaknya halaman per hari. Sediakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, jadi kalau ada kata-kata yang kita ragu arti dan penggunaannya, selalu ada acuan yang stand by.

3). Kriteria-kriteria buku best seller itu seperti apa? Adakah acuan tersendiri dan tolok ukur dalam hal penulisan buku-buku yang dibuat (segmentasi pembaca, tema, dll)?

Hmm. Saya rasa yang lebih kompeten untuk menjawab ini adalah penerbit. Saya sendiri hanya menuliskan apa yang saya suka, dan apa yang ingin saya baca. Menurut saya segmen pembaca dan tema tidak menjadi patokan bagi sebuah buku best-seller atau tidak, karena bisa sangat bervariasi. Yang jelas, buku best-seller biasanya punya sudut menarik yang menyentuh hati atau menggelitik keingintahuan banyak orang.

4). Bagaimana proses awal dalam pembuatan tulisan hingga menjadi sebuah buku (cerita)?

Biasanya jadi draft dulu, lalu dikirim ke editor untuk diedit, setelah ada manuskrip yang final, baru dilanjutkan ke bagian lay-out, terakhir ke percetakan.

5). Apa saja kelemahan/kendala yang dihadapi ketika proses penulisan ini dibuat hingga sampai ke penerbit? Langkah/kiat apa yang dilakukan dalam menghadapi hal tersebut?

Sebelum naskah tsb rampung, tantangan si penulis ya hanya menyelesaikannya saja. Baru sesudah itu dia tinggal mencari penerbit yang pas, menyamakan visi-misi dengan penerbit, dsb. Untuk mencari penerbit yang tepat bisa dilakukan dengan cara browsing di toko buku, lalu kita cari buku-buku yang kira-kira setema atau senada dengan buku kita, dan kita cari tahu penerbitnya siapa. Dan lebih baik kita kirimkan naskah ke lebih dari satu penerbit untuk memperluas kans.

6). Berapa lama proses yang dibutuhkan dalam penerbitan buku?

Tidak tentu. Tergantung finalisasi draft-nya. Tapi kalau sudah sampai ke editor, biasanya 1-2 bulan sudah bisa rampung untuk sampai ke percetakan.

7). Kiat sukses menjadi penulis untuk para pembaca?

Tidak berorientasi semata-mata pada pembaca, tapi yang terpenting adalah ke pada diri sendiri. Karena tulisan yang baik dan menyentuh adalah tulisan yang jujur dan otentik.

ESQ Majalah | Menulis | June, 2008 | By Ana

1. Apakah menulis merupakan hobi atau tuntutan?

Hobi. Kebutuhan. Terapi.

2. Bisa diceritakan pengalaman menarik Dee menulis buku Supernova dan novel lainnya?

Wah, banyak sekali. Hampir semua novel punya pengalaman menarik. Terlalu banyak untuk diceritakan. Tapi, pengalaman Supernova 1 tentunya ekstra berkesan karena itu pengalaman pertama saya menulis buku. Dari mulai produksi sampai promosinya, semua adalah pengalaman baru. Luar biasa sekali. Nggak semuanya menyenangkan lho, banyak tantangannya juga.

3. Apa latar belakang yang mendorong Dee menulis buku/novel?

Saya memang bercita-cita ingin menulis buku sejak kecil. Saya nggak pernah punya ambisi jadi penulis lewat jalur jurnalistik atau penulis fiksi lewat media (kirim cerpen ke majalah, dll—walaupun sesekali pernah mencoba), pinginnya memang menulis buku. Latar belakangnya sederhana saja: ingin berbagi. Berbagi perenungan, pengalaman, pemikiran. Dan saya pikir, keinginan berbagi ini inheren ada di setiap manusia, cuma pilihan penyalurannya saja yang berbeda-beda. Kebetulan media yang saya pilih adalah lewat menulis.

4. Berapa waktu yang dibutuhkan rata-rata untuk menyelesaikan 1 buku?

Tidak tentu. Biasanya satu tahunan. Tapi saya berhasil menyelesaikan novel terbaru saya yang berjudul “Perahu Kertas”, yang juga merupakan novel saya terpanjang, hanya dalam waktu 60 hari kerja.

5. Apa saja kendala yang dirasakan dan ditemui selama menulis?

Meluangkan waktu, punya ruang dan waktu kesendirian yang cukup, disiplin pada jadwal, dan deadline. Biasanya banyak halangan dari kesibukan, rasa malas, dan kurangnya ruang untuk sendirian.

6. Bagaimana apresiasi yang Dee terima (royalti) dari hasil menulis? Apakah sudah cukup menunjang profesi seorang penulis?

Sebetulnya royalti penulis nggak kecil, dibandingkan royalti album, masih lebih besar royalti penulis untuk per satuan unitnya. Tapi karena volume penjualan buku itu sendiri masih kalah dibandingkan volume penjualan album, jadi otomatis kisah sukses royalti buku masih kalah pamor dibandingkan kisah-kisah sukses orang-orang yang dapat royalti dari albumnya yang laku ratusan ribu atau jutaan. Selama bukunya best-seller sih sebetulnya lumayan, apalagi kalau jumlah bukunya banyak dan masih jalan semua. Cukup atau enggak menurut saya relatif, tergantung tingkat penghidupan orang yang berbeda-beda.

7. Bagaimana menurut Dee, kiat menulis dan menjadi penulis sukses? Khusus untuk novel apakah ada latihan dan tips khusus?

Terus menulis dan tingkatkan stamina dan kualitas menulis lewat banyak membaca dan tentu saja… banyak menulis.

8. Gaya menulis Dee menggunakan bahasa deskriptif, bisa diceritakan?

Saya suka puisi, jadi saya senang menggunakan metafora. Tapi saya suka sains, jadi saya senang juga bahasa yang lugas dan jernih. Saya senang mengombinasikan keduanya dalam berkarya.

9. Bagaimana pandangan Anda tentang Tujuh Nilai Budi Utama (jujur, adil, disiplin, visioner, kerjasama, adil dan peduli) yang kini sedang digaungkan oleh lembaga manajemen ESQ Leadership Center?

Semua nilai itu bagus. Namun nilai jika tidak dipraktekkan hanya akan menjadi konsep yang bagus. Jadi masih belum sempurna. Kesempurnaannya terletak pada praktek dan penerapannya. Jadi, akan kembali ke masing-masing individu untuk mampu menumbuhkan nilai-nilai tersebut di dalam diri mereka, hingga benar-benar menyatu dengan utuh.

10. Apakah sudah menjalani nilai-nilai tersebut?

Setiap hari adalah pelatihan dan praktek. Kadang berhasil, kadang tidak, tapi semuanya pasti terus mencoba, termasuk saya.

11. Apakah menulis merupakan penjabaran dari ketujuh nilai tersebut?

Menurut saya, penjabaran ketujuh nilai tersebut bisa diterapkan di bidang apa saja. Termasuk menulis.

BIOGRAFI POLITIK Majalah | Sikap Politik | Jan, 2009 | By Utami Pratamasari

1) Menjelang pemilu, adakah hal-hal tertentu—berhubungan dengan politik—yang menarik perhatian Dee? Misalnya gaya berkampanye para politisi negeri ini, dsb?

Hehe, sebetulnya saya bukan peminat ataupun pengamat politik yang baik. Jujur saya tidak mengikuti lika-liku kampanye sekarang ini, begitu juga sebelum-sebelumnya.

2) Sikap politik seperti apakah yang dimiliki seorang Dewi Lestari?

Ada satu kutipan menarik dari Simone de Beauvoir, seorang filsuf feminis Perancis, yang mengatakan bahwa: “yang personal adalah politis”. Saya sendiri lulusan Hubungan Internasional FISIP, jadi pernah belajar ilmu politik secara formal. Namun melalui pengamatan dan perkembangan minat saya pribadi, saya lebih tertarik dengan pilihan-pilihan personal seseorang, yang sebenarnya memiliki dampak politis yang sangat besar. Pilihan sederhana seperti menentukan belanja di pasar tradisional atau modern, beli wortel impor atau lokal, sebetulnya adalah keputusan politis. Namun hal-hal kecil ini seringkali dilewatkan. Saya kurang tertarik mempelajari “politik panggung” atau high politics, tapi saya percaya bahwa semua tindakan memiliki implikasi politis. Karena itu saya lebih tertarik untuk mendalami self-awareness, yang pada akhirnya akan membentuk pilihan dan gaya hidup tertentu, yang pada skala makro-nya akan membentuk politik sebuah bangsa.

3) Apakah setuju dengan golput?

Golput sesungguhnya adalah pilihan. Karena jika tidak ada yang nyangkut di hati, kenapa juga harus dipaksakan? Ada yang bilang, dengan kita golput, hak pilih kita malah disalahgunakan oleh pihak lain. Tapi menurut saya, itu adalah urusan si pihak lain, bukan yang memilih golput. Saya sendiri sih menggunakan hak pilih di Pemilu kemarin, tapi sebelum-sebelumnya memang enggak pernah karena benar-benar tidak merasa ada yang pas.

4) Adakah partai tertentu yang menyangkut di hati?

Sejauh ini belum ada.

5) Apakah ada ajaran-ajaran tertentu di keluarga Dee mengenai sikap politik?

Tidak ada secara khusus. Yang saya rasakan sih, orang tua kami mendidik kami dengan cukup demokratis. Kami dibiarkan untuk punya pilihan sendiri, walaupun sesekali orang tua masih memberikan pengarahan. Namun jika saya bandingkan dengan keluarga lain, boleh dibilang keluarga saya memberikan ruang yang cukup sehat bagi anggotanya untuk berkembang.

6) Kriteria presiden ideal menurut Dee?

Yang berani tidak ber-“politik panggung” dan lebih banyak menggunakan nurani. Karena sepertinya semua permasalahan bangsa ini, jika dirunut ke akarnya, akan kembali ke masalah nurani. Semua orang tahu korupsi itu merugikan, tapi tetap saja terjadi. Semua orang tahu pembalakan hutan itu merugikan alam, tapi tetap saja terjadi. Jadi sistem politik kita cuma mekanistis saja, tidak bernurani. Dan tidak memberikan ruang bagi nurani menjadi basisnya. Nurani itu bukan soal agama (karena menurut saya agama pun termasuk high politics), melainkan me-manusia-kan diri kita, menyeimbangkan kebutuhan kita, yang bukan cuma melulu materi atau emosi.

7) Apakah sudah melihat kandidiat yang memenuhi persyaratan tersebut?

Saya baru bisa menilai jika berkenalan langsung. Berhubung tidak ada yang kenal langsung, jadi saya tidak bisa menilai siapa-siapa.

8) Adakah ketertarikan Dee untuk terjun langsung ke dunia politik—secara Dee adalah lulusan HI Unpar?

Sejauh ini belum tertarik.

9) Adakah ketertarikan Dee untuk membuat cerita atau lirik bertemakan dunia politik yang penuh intrik ini? Mungkin tidak seperti Slank atau Iwan Fals yang begitu vulgar dalam ‘mengisahkan’ pemerintahan ini, tapi mungkin dengan gaya bahasa cerdas dari Dewi Lestari, atau bahkan menganalogikannya dengan sesuatu yang lain, barangkali?

Beberapa kali saya pernah juga membuat puisi bernuansa kebangsaan, yang pernah dibacakan di teve, dan juga dimuat di media, tapi untuk sampai membuat lirik lagu sih belum pernah.

10) Ngomong-ngomong, ada pertanyaan-pertanyaan menarikkah yang keluar dari mulut si kecil tentang spanduk-spanduk atau baliho kampanye yang sekarang ini beredar dimana-mana? Apakah itu menarik perhatian Keenan? Kalau iya, penjelasan seperti apa yang mba jelaskan pada si kecil?

Keenan masih 4 tahun, jadi pemahamannya tentang makna masih belum mendalam. Kalau cuma sekadar baca spanduk aja sih bisa, hehe.

BINTANG INDONESIA Tabloid | Rubrik: Bintang Musik | Desember, 2009 | by Wayan Diananto

Saya mengikuti kiprah menulis lagu Dewi sejak Satu Bintang di Langit Kelam (Rida Sita Dewi, 1995), Jalanmu dan Di Sudut Malam Bisu (Bertiga, 1997) dan Tak Perlu Memiliki (Satu, 1999). Sejak kapan letupan bermusik muncul dalam diri Mbak Dee?

Saya menulis lagu sejak umur 7 tahun. Nggak jelas judulnya apa, sih. Tapi saya menyadari betapa senangnya saya merangkai kata dan melodi. Baru umur 10 tahun saya cukup “serius” menulis lagu, saya membuat mars untuk sekolah saya, judulnya “Mars SDN Banjarsari” (tapi nggak pernah berani dikasih dengar ke guru-guru, jadi saya nyanyiin sendiri dengan teman-teman), dan satu lagi “Nyiur Melambai”. Saya ajarkan ke adik-adik dan sepupu-sepupu saya, lalu kami nyanyi bersama-sama. Haha! Kebetulan saya memang bisa main piano, jadi sejak itu sampai besar saya bikin-bikin lagu aja sendiri. Baru lagu “Satu Bintang Di Langit Kelam” yang akhirnya direkam secara profesional. 

Apa bedanya bernyanyi bertiga dan kini tampil sendiri?

Wah, beda banget. Kalau nyanyi bertiga beban panggungnya dibagi tiga, dan kita tidak bisa menampilkan individualitas kita, melainkan kebersamaan grup. Jadi dari mulai dinamika, gerak, vokal, harus selalu lihat kiri-kanan biar tetap seimbang. Kalau nyanyi solo, ya, itu semua menjadi pe-er sendirian. Tapi kebebasannya juga jelas lebih luas karena kita bisa menampilkan karakter individu kita dengan maksimal. 

Rectoverso menyusul Out of Shell, perkembangan baru apa yang Anda suguhkan di album terbaru Anda?

Secara musik, Rectoverso merupakan lompatan jauh. Tidak semua penyanyi memiliki kesempatan untuk rekaman live dengan 45 musisi sekaligus. Jadi musik di Rectoverso boleh dibilang memang kualitas premium. Tapi yang menjadi pembeda Rectoverso dengan album-album yang lain adalah konsep hibridanya, yakni penggabungan fiksi dan musik yang saling melengkapi, dan menggunakan dua media yang berbeda. 

“Keresahan” seperti apa yang Anda tuangkan dalam Rectoverso?

Saya ingin menampilkan aspek romantisme saya yang selama ini hanya bisa terekspresikan secara parsial dalam karya-karya saya yang sebelumnya. Rectoverso itu seperti menulis surat cinta yang panjang. Saya tidak fokus pada penokohan atau plot, melainkan emosi terdalam yang dirasakan oleh tokoh-tokoh, baik dalam lagu maupun cerpen di Rectoverso. 

Apakah “permasalahan intern” beberapa bulan silam, turut mempengaruhi proses kreativitas Anda di album ini?

Bisa iya, bisa tidak. Saya tidak tahu pasti. Buat saya, setiap karya sudah punya nyawanya sendiri yang tidak terganggu gugat oleh keadaan si penciptanya. Tapi tentu saja setiap proses kreatif tidak mungkin 100% imun dari kondisi eksternal. Jadi pengaruhnya pasti ada, tapi sedikit atau banyak, saya sendiri tidak tahu karena semuanya sudah melebur. 

Bisakah dikatakan Rectoverso merupakan album soundtrack dari novelnya?

Konsep soundtrack tidaklah tepat untuk Rectoverso karena kedua karya dalam Rectoverso berdiri sama tegak dan bisa dinikmati secara terpisah. Sementara dalam konsep soundtrack, film menjadi yang utama dan musik sebagai pendukung tambahan. 

Menarik, ketika Anda mengganti lirik Firasat versi Marcell. Di baris terakhir dengan: “Aku pun sadari, kau tak kan kembali lagi...” Seberapa penting pergantian lirik ini?

Sebenarnya, lirik asli Firasat adalah versi yang saya bawakan di Rectoverso. Dulu di album Marcell, sengaja saya ganti supaya lagunya jadi tidak terlalu sedih. Ada masukan juga dari perusahaan rekaman Marcell saat itu supaya Firasat lebih happy-ending agar lebih gampang jualan. Jadi ketika saya memutuskan untuk membawakan ulang Firasat, inilah kesempatan saya untuk membawakan versi aslinya dengan suasana sebagaimana yang ingin dihadirkan oleh lagu tersebut. 

Adakah sesuatu yang mendasari pergantian lirik Firasat, apa yang ingin Anda sampaikan kepada penikmat musik melalui pergantian lirik ini?

Sudah terjawab di atas. 

Peluk, seingat saya pernah muncul di debut album perdana Shanty (2000). Jujur, sebenarnya saya berharap Peluk menjadi single kedua Shanty waktu itu, karena ketajaman lirik dan aransemen yang simple. Apa pertimbangan Anda mengangkat kembali lagu ini?

Sama. Dulu saya juga pinginnya lagu itu jadi single kedua Shanty karena menurut saya, lagu itu komersil tapi tetap puitis dan emosional, hehehe... Pertimbangan saya memakai ulang lagu Peluk semata-mata karena kekuatan narasi dalam liriknya bisa dikembangkan menjadi cerita. Tidak semua lirik lagu bisa difiksikan. Dan ini yang menjadi kriteria dasar lagu-lagu di Rectoverso. 

Bisa diceritakan sedikit proses kreatif Anda saat menulis Peluk?

Saya menulis lagu tersebut sekitar tahun 2000 dan niatan saya adalah membuat lagu putus yang elegan, dewasa dan nggak cengeng. Karena hampir semua lagu putus isinya terlalu dramatis dan tragis. Kalau fiksinya saya benar-benar setia pada lirik, jadi pengembangannya hanya sampai pada menciptakan suasana antara dua kekasih yang memutuskan untuk berpisah. 

Selain bersaudara, apa yang membuat Anda tertarik untuk mengajak Arina berkolaborasi dalam Aku Ada?

Saya adalah pengagum berat suaranya Arina. Menurut saya, dialah yang paling berbakat menyanyi di keluarga dan saya juga selalu berangan-angan ingin berkolaborasi dengan saudara-saudara saya. Kebetulan saya mencari karakter suara yang innocent dan seperti anak kecil untuk lagu Aku Ada. Arina adalah vokalis yang paling pas untuk itu. Duet tersebut sekaligus juga mewujudkan cita-cita saya untuk berkolaborasi dengannya. 

Malaikat Juga Tahu menjadi komposisi yang unik dan punya daya jual tinggi. Andi Rianto berada dibalik studio bersama Anda mengerjakan aransemennya. Piano dan orkestra terdengar pekat. Bisa Anda ceritakan bagaimana suasana pengerjaan lagu ini? Bagaimana kesan Anda bekerja sama dengan Andi?

Saya pengagum Andi Rianto sejak lama. Waktu saya merumuskan konsep musik Rectoverso di awal proyek ini, produser saya (Tommy Utomo) bilang bahwa khusus untuk lagu MJT, orang yang paling tepat mengaransirnya hanyalah Andi Rianto, dan saya setuju. Seperti berjodoh, Andi pun langsung jatuh cinta pada lagu itu. Secara keseluruhan, Andi sangat enak diajak kerjasama, dia idealis tapi masih punya ruang untuk diskusi. Suasana pengerjaan lagu tersebut dan juga semua lagu di Rectoverso, bagi saya, sangat sakral dan berkesan. Semua musisi memberikan yang terbaik yang mereka miliki dan itu dimungkinkan karena kita latihan cukup intensif sebelumnya, dan rekaman yang dilakukan secara live. 

Kelebihan lain dari Malaikat Juga Tahu, terletak pada video klipnya yang bagus. Sejauh mana campur tangan Anda dalam video klip tersebut?

Sejujurnya, saya hanya membekali sutradara dengan cerita pendek MJT dan berpesan agar video klipnya mengikuti cerita. Saya beruntung karena Lukman Sardi sangat antusias ingin mengambil peran dalam video klip tersebut, dan Lukman bermain dengan sangat cemerlang. 

Eksplorasi Anda di Rectoverso patut mendapat apresiasi positif. Single Cicak di Dinding, terdengar 'tengil' tapi pemaknaan Anda pada cinta membuat banyak orang termenung. Bisa Anda ulas sedikit, lagu ini untuk pembaca Bintang?

Kita cenderung melewatkan hal-hal kecil tapi sebetulnya dalam sesuatu yang kita anggap remeh, banyak sekali makna yang bisa digali. Cicak di Dinding adalah penggambaran situasi sederhana dimana kadang-kadang benda mati atau hewan kecil yang sering kita abaikan malah punya tempat yang sangat spesial, yang tidak bisa kita miliki. Contohnya, ketika kita jadi pengagum rahasia, rasanya kita rela memberikan apa saja demi jadi cicak di tembok orang yang kita kagumi. 

Berapa lama Anda mengerjakan album ini?

Rekamannya sendiri hanya 4 hari karena semua direkam secara live. Tapi pengerjaan dari mulai konsep sampai mastering butuh waktu 1,5 tahun. 

Seorang sutradara film Indonesia sempat mengenang dan terkesan pada susunan lirik Malaikat Juga Tahu. Khususnya pada baris: "Andai wajahku diganti..." Jika sekarang Anda dibatasi lima kata saja. Kata-kata apa yang akan Anda pilih untuk menggambarkan Rectoverso?

Air mata, hati, pulang, pergi, berharap. 

Musik Dee itu musik yang seperti apa sih?

Maksudnya yang saya suka? Kebanyakan saya menyukai genre singer/songwriter, karena biasanya karya-karya di genre ini kuat, menyentuh, dan berkarakter. Contoh: Sarah McLachlan, Paula Cole, Corrinne May, Indigo Girls. Saya suka lagu dengan lirik yang kuat dan melodius. 

Dari mana saja inspirasi menulis lagu dan lirik di album ini? Apakah inspirasi juga datang dari anak?

Inspirasi datang dari mana saja, termasuk juga dari anak dan orang-orang di sekitar saya. Umumnya setiap saya berkarya, selalu diinspirasikan 4 hal: pengamatan, pengalaman hidup sendiri, pengalaman hidup orang lain, dan imajinasi.

ARTI Majalah | Rectoverso | Jan, 2009 | By Darma Ismayanto

1. Tolong ceritakan seputar kumpulan cerpen terbaru Rectoverso, dan apa yang membedakannya dengan kumpulan cerpen Filosopi Kopi?

Filosofi Kopi adalah kumpulan cerita dan prosa, jadi tidak semuanya dalam format cerpen. Filosofi Kopi juga merupakan kompilasi karya saya selama sepuluh tahun (1996-2006), jadi menunjukkan juga bagaimana kepenulisan saya berevolusi dari tahun ke tahun. Rectoverso pada dasarnya adalah produk hibrida, jadi nggak bisa cuma dilihat sebagai album saja, atau buku saja, melainkan kedua-duanya seperti “saudara kembar”. Itu yang sangat membedakan Rectoverso dari karya-karya saya yang lain.

2. Selain kumpulan cerpen Mbak Dewi juga mengeluarkan album lagu terbaru, apakah ini menjadi semacam satu paket? Dalam artian masih ada keterkaitan antara kumpulan cerpen yang diterbitkan dan album yang dikeluarkan, secara esensi mungkin?

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, lagu dan kisah di Rectoverso saling melengkapi dan saling bercermin. Jadi bukan sekadar satu paket, tapi buku dan album Rectoverso itu seperti dua sisi dari koin yang sama. Esensinya, ide dan inspirasi untuk album dan buku Rectoverso itu satu dan sama, hanya saja mengambil dua bentuk yang berbeda.

3. Bagaimana tanggapan publik terhadap “Rectoverso”?

Sejauh ini sangat bagus. Kurang dari lima bulan sejak peluncuran, buku sudah memasuki cetakan ke-4, CD juga sudah memasuki tiga kali duplikasi. Tapi di luar dari itu, saya merasa banyak orang yang tersentuh hatinya, dan itulah efek yang ingin saya timbulkan dari Rectoverso.

4. Adakah seorang Dewi mengkhususkan waktu dalam penciptaan ide kreatifnya? Contoh, Senin dikhususkan untuk cerpen, sedangkan Selasa untuk menciptakan lagu?

Nggak juga. Prinsipnya buat saya, saya nggak cari inspirasi, inspirasilah yang menemukan saya. Jadi saya nggak bisa terlalu menjadwal dan mengatur kapan saya nulis cerpen dan lagu. Pokoknya saya tetapkan rentang waktu secara kasar aja, misalnya: saya mau menyelesaikan proyek ini dalam enam bulan. Nah, bagaimana penjadwalan detail enam bulan itu saya nggak tentukan, pokoknya ya selesai. Bisa satu hari selesai dua cerpen, lalu sebulan nggak ngapa-ngapain, dst.

5. Sulit mana, membuat karya sastra atau membuat lagu?

Faktornya bukan sulit sih, tapi lagu lebih “susah” dikendalikan kapan munculnya. Benar-benar kayak kesambar petir. Saya nggak bisa ke piano lalu bilang ‘saya mau bikin lagu’ lalu lagu muncul. Saya masih bisa begitu dengan tulisan. Tapi begitu inspirasi untuk bikin lagu muncul, pengerjaannya biasanya sangat cepat. Sementara menulis buku bisa makan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.

6. Sosok Dewi mulai dikenal sebagai seorang penulis melalui “Supernova”. Apa ide kreatif yang melatarbelakangi lahirnya “Supernova”? Apa juga yang melatarbelakangi seorang Dewi yang lebih dikenal sebagai seorang penyanyi berani untuk merambah ke dunia sastra?

Saya ingin berbagi saja perenungan dan pengalaman saya tentang hidup, dan juga penelusuran saya tentang spiritualitas. Saya memang hobi menulis sejak kecil, bahkan lebih dulu sebelum nyanyi. Pertimbangan semisal “banting setir” atau “merambah dunia sastra dari menyanyi” tidak ada dalam pemikiran saya sama sekali waktu itu, karena saya semata-mata hanya menjalankan hobi saya saja.

7. Belakangan kehidupan pribadi Mbak Dewi cukup menjadi sorotan di media massa, adakah hal itu cukup menggangu proses kreatif Mbak dalam berkarya?

Kebetulan waktu ribut-ribut di media massa, saya sudah menyelesaikan materi untuk album dan buku Rectoverso, jadi tinggal nunggu diterbitkan saja. Jadi, untuk proses kreatif sih nggak terganggu. Lebih mengganggu kenyamanan hidup saja, hehe. Karena saya orangnya cenderung private dan nggak suka kehidupan pribadi saya diutak-utik oleh orang-orang yang tidak saya kenal.

8. Apa rencana ke depan, setelah peluncuran kumpulan cerpen dan album terbaru belakangan?

Saya mau menyelesaikan manuskrip “Supernova: Partikel” dan juga meluncurkan novel digital saya, “Perahu Kertas”, dalam bentuk cetak. Tapi mungkin baru tengah tahun ini.

9. Khusus untuk lagu “Malaikat Juga Tahu” bisa diceritakan sedikit proses kreatifnya?

Sama halnya lagu-lagu saya yang lain, prosesnya mirip “kesambar petir”. Jadi nggak ada persiapan, tahu-tahu muncul melodi dan kata-kata di kepala. Saya ingat ide “Malaikat Juga Tahu” muncul di kamar mandi waktu sikat gigi.

10. Setelah sukses dikenal sebagai seorang penyanyi, sastrawan, apakah impian lainnya yang masih ingin digapai seorang Dewi?

Dua bidang inilah, musik dan kepenulisan, yang memang saya bisa. Jadi secara profesi saya sudah menemukan jalan saya. Di luar dari itu, saya lebih ingin memperdalam hobi dan minat-minat saya pribadi, seperti memasak, meditasi, traveling, dsb.

A+ Majalah | Most Creative People | Mei, 2005

Describe yourself in 5 words: Freak of Nature, yeah, yeah!

If you were a canvas, you'd be painted by... Pak Tino Sidin.

If you were a microphone, you'd be sang by... Sarah McLachlan.

If you were clothes, you'd be worn by... Vic Zhou.

I like the taste of a/an... fresh water at 15 degrees Celcius.

I like the smell of a/an... garden after the rain.

I love to dance with... a pole.

I want to be with... My late Mom … in 5 minutes and I'll say... ‘I love you’ and ‘thank you’ and ‘sorry’ repeatedly for 5 minutes.

My life begins when... I experienced a mind explosion back in 1999.

Most beautiful things I've ever seen was... my baby boy.

My favorite quote would be... There’s nothing new under the Sun.

The soundtrack of my life is... all Tears for Fears best cuts.

I can't live without... Oxygen.

Tagline for your commercial ad... Know thyself. Don’t give a shit about Dee.

The best gigs ever was... RSD at Brisbane, Australia.

I dream of... early retirement then travelling around the world.

My guilty pleasures are... staring at the sky, doing and thinking nothing.

My hidden talent is... Cooking and flower arranging.

Your idea of complete happiness... That unspeakable time before being born.

Cockroach… really scares me because… reasons that I wish I knew.

What inspires you? Life and all its crap.

Best Jakarta spot is... Bandara CGK Terminal Keberangkatan Internasional.

My most embarrassing fashion mistakes was... nge-bonding rambut.

Medicine for my soul and mind is... Sleep. Lotsa sleep.

I wish i was the one who created... Microsoft.

I move my feet when I hear... Kepakan sayap kecoak.

1st thing I purchased with my 1st salary was... Jam tangan Kura-kura Ninja, 1991.

Hardest thing that i should do is... not to laugh for one whole day.

DJAKARTA MAGAZINE | Out of Shell | 2006 | By Randy Salim

1. Now you're finally “out of shell”—just how cramped was it in there anyway?

Let’s put it this way: my first English song, “Uncommon” was written back in 1994, long way before I joined RSD. And first the song I produced, “Water Song”, hit the studio in 1997. The whole process of composing, recomposing, arranging, rearranging, mixing, remixing, still continued until end of 2000. And what year is it now? 2001—the real millennium? So, I won’t say it’s cramped. It was almost like being baked in a microwave, and the microwave is your own brain. You were attacked by countless waves of thought and emotion that were longing to be expressed and manifested, but you just don’t know how long the ‘ting’ finally tings till it tings! Got it? ;)

2. English—the language of snobs or poetic expression?

English, believe it or not, was my last priority. My deepest poetic drive originally rooted in Urdu. But, hey, it’s a real industry using some real money, so someone has to be realistic here.

3. Solo albums—a way of branching out or a way of saying I’m sick of the band?

A way of to keep myself sane. Have you ever heard memetics? It’s a new branch of science that studies meme—the smallest unit of mind that works like virus. It was designed to invade and infect others, otherwise it consumes its host to the last molecule. The same thing works in mind and emotional level. When you have ideas in whatever form, you just have to let them out at some point, or they’ll eat you up. As in my case, it would cause me continuously humming the same old tunes I’ve created 7 years ago, which is… pretty sickening. Or even lethal.

4. Personal preference—being known by the first letter of your name or the last name out of 3?

The first letter is always the best. I love “Dee”. May it be Dudung, Dadang, or Dodol! Somehow “Dewi RSD” sounds like an academic title, like Ph.D or something, which I hardly earn.

5. An English solo album by a known Indonesian singer/songwriter—‘think the folks up in the daerah will get it?

Well, I heard the Titanic soundtrack was a huge success in daerah, even before someone in the industry was creative enough to make a Sundanese or Bataknese version of “My Heart Will Go On” in cha-cha-dut house remix. So, yea, I think there’s always a chance.

6. Artis—an honourable title or a confused and misused 5-letter word?

It’s very a deceitful word; provides you free tickets, lots of salon’s voucher, insurance and credit card applications—since everybody thinks you’re all filthy rich. At the same time, it exposes you to so many shallow and unnecessary publicities, and before you know it, you will hold a press conference just to confirm you finally dumped your pacar for real.

7. Sinetrons and advertisement—please tell us you’re not, and hopefully never going to do either one…

If you have a message or something meaningful to say, would you prefer to pack it in a form of an exclusive, high-cost mega movie that would only attract hundreds of audience, or in a sinetron that’s watched by millions? I don’t have anything against sinetrons (though I hardly watch any), or advertisements. In fact, I think they are very powerful mediums. I know I won’t be an artis sinetron for sure, but I don’t mind producing one just for the sake of passing down a positive message (or: spreading my memes). I also think that advertisement, if it truly supports your ideal and not the other way around, can be an amplifier for the image you want to deliver.

8. Celebrity Death Match—between you and Anggun (as the only other known English-singing Indonesian), who would kick whose ass if you were both immortalized in clay?

Ha! Lucky you. My insider just told me that the real threat is not the return of Anggun’s fang that was once removed in a secret operation in Paris (which would resurrect her vampire’s bite), but the undercover Neo-Nazi skinheads that will butcher all the mulatto’s skinned people in the stadium, including me and Anggun. So, for your information, I will thoroughly airbrush my skin with water-proof silver paint, then arm myself with chains of garlic. Sounds like a plan, eh? Let’s see who really kicks some ass!

Monday, February 9, 2009

JAWA POS | Rectoverso | Jan, 2009 | By Rizky

1. Bagaimana penggambaran perasaan Mbak Dewi saat Rectoverso rampung?

Sama seperti perasaan saat selesai melahirkan karya, didominasi oleh rasa lega, plong, bahagia, dan bangga. Buat saya, karya adalah anak-anak jiwa. Jadi rasanya seperti melihat bayi baru lahir. Kekhususan Rectoverso adalah dia bukan “bayi” tunggal, melainkan “anak kembar”. Buku dan album, dan keduanya, meski bisa dinikmati secara individual, secara esensi tidak bisa dipisahkan. Pembuatan Rectoverso melibatkan begitu banyak orang—para arranger, musisi, desainer, ilustrator, dan juga para produser. Dan ini sesuatu yang cukup unik buat saya, karena biasanya dalam mengerjakan buku, saya bekerja sama dengan sedikit orang. Tapi khusus untuk Rectoverso, ini adalah kerjaan ramai-ramai. Perasaannya sangat luar biasa.

2. Menurut Mbak Dewi, Rectoverso apakah bisa disebut mewakili salah satu karakter romantis dari Dee?

Setiap manusia memiliki banyak sisi atau banyak faset. Saya, misalnya, suka humor dan suka serius juga. Saya juga punya sisi romantis. Dan ada kalanya faset-faset ini naik ke permukaan untuk berekspresi. Rectoverso memang saya dedikasikan untuk sisi romantis saya. Segalanya di Rectoverso adalah tentang cinta, emosi, dan perasaan. Penekanannya bukan di karakter atau plot.

3. Dari manakah asal inspirasi yang didapat dari masing-masing cerita?

Ya dari hidup itu sendiri. Dari kejadian sehari-hari, peristiwa di sekeliling saya, curhat orang-orang, apa yang saya rasakan, imajinasi, fantasi, dsb. Bagi saya, hiduplah yang mengajarkan dan menginspirasikan segala lakon dan karya manusia di dunia. Tergantung bagaimana kejelian kita mengamati dan mencerapnya saja.

4. Dari sebelas kisah, manakah yang menjadi favorit dari Mbak Dewi, dan apa alasannya?

Saya tentunya suka semua, tapi saya paling menikmati proses kreatif “Firasat”. Plotnya secara gradual naik dengan halus, sekaligus punya penekanan-penekanan yang dramatis, dan bisa bertahan konsisten tetap puitis.

5. Pesan apa yang ingin disampaikan Mbak Dewi Lestari untuk pembaca Rectoverso?

Just enjoy the ride. Rectoverso adalah karya yang sangat personal dan emosional, jadi saya melihatnya justru terbalik, sayalah yang menantikan pesan dari pembaca Rectoverso dalam bentuk perasaan mereka, air mata mereka, dan bagaimana kisah-kisah dalam Rectoverso menyentuh hati mereka.

FEMINA | Global Warming | May, 2007 | By Naomi Jayalaksana

1. Isu pemanasan global sendiri mungkin sudah sejak lama kita dengar. Namun bagi Mbak Dewi pribadi, sejak kapan Mbak Dewi benar-benar menaruh perhatian besar pada isu ini. Dan momen/fenomena apa yang memicu keprihatinan Mbak Dewi tersebut?

Sebetulnya sejak lama saya sudah menyimpan keprihatinan besar terhadap masalah lingkungan. Lahir dan besar di kota Bandung, saya menjadi saksi hidup bagaimana kota yang asri dan sejuk, perlahan-lahan berubah bentuk menjadi kota industri belanja yang mengorbankan identitasnya atas nama ekonomi. Dan ini bukan saja gejala eksklusif kota Bandung, melainkan kecenderungan masyarakat dunia. Saya mempelajari fenomena global ini melalui buku, majalah, dsb. Bahkan untuk Supernova ke-4 saya berencana untuk mendedikasikan masalah lingkungan sebagai tema utama. Kesimpulan saya, ada dua krisis besar yang sedang melanda dunia: krisis gizi dan lingkungan. Dan keduanya ternyata berkaitan erat. Keduanya juga bermuara pada krisis yang lebih luas lagi yakni krisis kesadaran. Dan berawal dari pemikiran inilah karya-karya saya digulirkan.

2. Dengan bertambahnya penduduk, industri atau pabrik, dan kendaraan bermotor, serta banyaknya jalur hijau yang menjadi korban dalam proyek pembangunan prasarana jalur transportasi, dan kandungan gas sulfur serta karbon di udara pun semakin tinggi. Padahal sebenarnya pemerintah daerah punya peraturan, seperti penyediaan jalur hijau, pemberlakuan uji emisi. Apa tanggapan Mbak Dewi tentang fenomena ini?

Menurut saya memang ada standar ganda atau kerancuan dalam penetapan prioritas dan juga pola pembangunan. Pembangunan identik dengan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang meningkat, padahal bila diteliti lagi, pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi ini adalah pedang bermata ganda. Yang terjadi adalah disparitas pendapatan yang semakin menjadi, korupsi juga menjadi-jadi karena manusia berpikir bahwa kemakmuran materi identik dengan kebahagiaan. Sebetulnya semua ini bermuara pada kesadaran. Ekonomi dunia tidak lagi mungkin terus digelembungkan, karena bumi sebagai sumber daya tidak mungkin terus bertahan untuk dieksploitasi. Yang mestinya kita lakukan adalah pengempisan ekonomi, dan berkonsentrasi pada pemerataan dan perbaikan lingkungan, bukan penggelembungan. Jalur hijau, uji emisi, dll, hanya akan menjadi wacana apabila kesadaran tidak ditata. Masalahnya, para pembuat aturan, bahkan masyarakat sendiri, masih rancu menentukan prioritas masalah. Kita masih berpikir, kemajuan berarti bertumpuknya kekayaan materi, dan ada keterpisahan antara kita dan lingkungan. Jika kita sadar dan paham betul bahwa kita dan lingkungan adalah satu, mata kita baru akan terbuka dan melihat kerusakan yang kita buat, lalu kemudian mengambil tindakan yang nyata.

3. Menurut Mbak Dewi sudahkan pemerintah menunjukkan keseriusan dalam menangani isu pemanasan global? Karena semakin banyak saja mal-mal yang berdiri, dan taman kota, seperti di Menteng yang baru saja diresmikan, lebih mirip taman ubin dan rumah kaca daripada taman dengan pohon-pohon berkanopi lebar penghasil oksigen.

Belum. Pemerintah memang meratifikasi perjanjian Kyoto, tapi jika dilihat dari masalah lingkungan yang ada, saya rasa pemerintah kita, dan juga masyarakatnya, masih jauh dari komitmen untuk melestarikan lingkungan hidup. Karena seharusnya bukan cuma aturan pemerintah, konservasi lingkungan harus diajarkan dalam kurikulum, dalam sebuah mata pelajaran khusus, dari mulai bagaimana menyayangi pohon, binatang, mengolah sampah, dsb. Selama ini kita cuma diajari menghafal penampang daun tanpa diajari menghargai kehidupan hijau. Dan saya rasa ini bukan cuma pe-er pemerintah, tapi semua rakyat, terutama para pelaku ekonomi dan media massa.

4. Adakah pesan Mbak Dewi - yang berkenaan dengan isu pemanasan global - bagi para pembuat kebijakan ini?

Memulai dari rumah sendiri. Tidak mungkin seorang pembuat kebijakan benar-benar menghayati urgensi dari masalah lingkungan, kalau dari kehidupan rumahnya ia masih belum melakukan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle), belum menanam pohon, dsb. Isu pemanasan global hanya ujung dari puncak es, yang perlu diperbaiki adalah pola hidup sehari-hari dan pola pikir yang mensponsori setiap tindakan dan pilihan hidup kita. Dan untuk hal ini, kita tidak perlu tunggu pemerintah atau pembuat kebijakan, kita bisa memulainya hari ini juga.

5. Saya sangat tertarik membaca blog Mbak Dewi..."Mencoba setia dengan hal-hal yang kecil..." Intinya menumbuhkan kesadaran dengan melalui hal sedehana, dari lingkungan kecil rumah kita sendiri. Seperti proyek kompos Mbak Dewi: "Segalanya adalah hal kecil yang dilakukan dengan setia. Proses panjanglah yang menjadikan sesuatu tampak besar. Dan berproses merupakan bahasa alam yang paling alamiah. Kita melihatnya di mana-mana melalui evolusi. Sebagaimana alam, kemanusiaan kita pun dapat ber-evolusi melalui komitmen kecil yang digulirkan dengan setia... Saya menyukai kompos karena perubahan perilaku yang disyaratkannya. Inilah solusi yang sejati. Bukan dengan menyembunyikan sampah di balik gunung atau memusnahkannya dengan canggih. Yang sakit bukan sampah, tapi masyarakat penghasil sampah. Yang perlu disembuhkan adalah perilaku dari sang sebab, bukan memanipulasi akibat." Saya suka sekali dengan pendapat Mbak Dewi yang satu ini. Karena orang cenderung untuk lari pada teknologi yang canggih, atau muuk-muluk, padahal kita bisa memulainya dengan cara yang sederhana, terjangkau, dan murah! Bisa diceritakan latar belakang dari komitmen Mbak Dewi ini? Demikian juga tentang anjuran Mbak Dewi: "Satu Orang Satu Pohon". Apa yang menginspirasi Mbak Dewi untuk melakukan komitmen ini?

Saya sering merenungi betapa sekarang kita diliputi oleh ketidakberdayaan. Kalau kita menyimak berita di koran-koran, semuanya berisi keluhan, komplain, ketidakberdayaan, kritik, dll (sampai saya akhirnya berhenti berlangganan koran). Bila ini terus menerus dibiarkan, masyarakat justru kehilangan orientasi, kita akan berpikir bahwa perubahan hanya bisa dilakukan oleh institusi raksasa, harus menunggu orang lain, dsb. Karena itu saya ingin mengkhususkan tulisan-tulisan saya untuk pemberdayaan, bahwa perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa perlu tunggu siapa-siapa. Saya pernah membaca di sebuah koran, kota Bandung kekurangan pohon. Lahan hijau habis ditebangi. Kalau kita hanya berharap pemerintah bertindak, kita mungkin harus menunggu lama. Tapi kalau kita bergerak langsung, menanam pohon di pekarangan sendiri, dalam waktu singkat kota Bandung akan mendapat pohon-pohon baru dari warganya. Dan inilah bentuk pemberdayaan yang nyata sekaligus sangat mungkin untuk dilakukan.

6. Hal praktis dan sederhana apa saja yang sudah Mbak Dewi lakukan atau terapkan dalam lingkungan keluarga sebagai bentuk komitmen dan kepedulian Mbak Dewi terhadap isu pemanasan global/lingkungan. Apakah Mbak Dewi termasuk dari sebagian orang yang selalu membawa tas belanja sendiri saat ke supermarket atau pasar? Atau ada hal praktis lainnya?

Saya mengajarkan seisi rumah untuk memilah sampah, memakai ulang kantong plastik dan kertas, membuat kompos dari sampah dapur, dan menjadi vegetarian – kebetulan satu rumah saya sudah jadi vegetarian semua. Karena ternyata ada kaitan erat antara pola makan daging dengan isu lingkungan, menjadi vegetarian adalah pilihan moral dan etika yang saya pilih untuk menyokong kelestarian lingkungan.

7. Dan jika dikaitkan dengan profesi Mbak Dewi sebagai penulis, dan artis, apakah Mbak Dewi selalu menggunakan kesempatan untuk menggugah kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan? Kalau iya, dalam bentuk apa saja (karya, peran serta aktif dalam organisasi lingkungan)? Bisa disebut judul karya tulisan maupun lagunya jika ada? Atau nama organisasi lingkungan tempat Mbak Dewi bergabung jika memang ikut serta.

Dalam artikel-artikel saya, sering sekali saya membahas soal lingkungan dan juga kesadaran. Untuk buku, rencananya Supernova ke-4 yang berjudul PARTIKEL akan mengusung tema lingkungan. Untuk organisasi, saya aktif membantu Indonesian Vegetarian Society (IVS) untuk mempromosikan gaya hidup vegetarian.

BUKUNE Majalah | Behind The Book: Supernova AKAR | Dec, 2006 | By Deta Oktaria

1. Mengenai cover buku "Akar", kenapa dulu cover itu bisa sampai bermasalah?

Pada cover depan Supernova ke-2 berjudul AKAR, saya memuat lambang Om (atau Aum). Lambang Om itu sendiri juga muncul di bagian dalam dan secara intrinsik terajut dalam cerita. Ternyata ada pihak yang menganggap bahwa Om sebagai lambang suci tidak layak dimuat dalam sampul novel, hanya di kitab suci. Dan juga Om itu eksklusif milik agama/budaya tertentu sehingga orang2 yang di luar dari penganut agama/budaya tsb tidak diperkenankan untuk memakai lambang Om dalam karya/keseharian mereka.

2. Siapa yang mempermasalahkan cover itu?

Sebuah organisasi pemuda berbasis Hindu di Bali. Menurut jubirnya, mereka hanya menampung aspirasi dari beberapa orang di lapisan masyarakat Bali yang merasa Om tidak pantas ada di sampul novel.

3. Perubahan apa yang dilakukan terhadap cover itu?

Sebetulnya kedua pihak (saya dan organisasi tsb) sudah sama-sama jelas dan sepakat bahwa penggunaan Om di cover AKAR tidak bermotivasikan penghinaan atau pelecehan, tapi untuk mengakomodir semua pihak maka kami memutuskan untuk mengubah sampul pada cetakan berikut. Saya tidak menyanggupi permintaan mereka untuk menarik buku cetakan pertama yang kadung beredar karena kesulitan teknis, dan akhirnya mereka juga setuju. Untuk cetakan berikut, sampul AKAR pada bagian Om akhirnya dibolongi.

4. Tahun berapa cover 'bermasalah' itu terbit?

Tahun 2002.

5. Apakah Mbak Dee kecewa dengan adanya masalah seperti ini?

Awalnya kecewa juga, karena menurut saya sikap eksklusivitas semacam itu kontraproduktif dengan universalitas nilai-nilai pihak itu sendiri. Tapi saya juga sadar sepenuhnya bahwa ini semua hanya keberagaman sudut pandang, jadi tidak usah dilebih-lebihkan. Saya sendiri nggak fanatik dengan desain cover, buktinya saya sering mengubah-ubah sampul buku saya sendiri dari cetakan ke cetakan. Jadi masalahnya memang bukan di desain, tapi persepsi yang memotori protes tersebut.

Sunday, February 8, 2009

RIPPLE Majalah | Feminisme / Hari Kartini | March, 2007 | By Idhar

1. Konsepsi perempuan menurut Dee?

Hmm. Itu pertanyaan yang sulit bagi saya, karena jawabannya tergantung level pertanyaannya. Dan pertanyaan itu bisa berlapis, karena sebetulnya konsep perempuan/laki-laki juga bisa dimaknai secara berlapis. Realitas kita ini kan realitas yang dualitas. Ada dua jenis gender, laki-laki dan perempuan. Ada dua jenis energi, maskulin dan feminin. Konsepsi perempuan paling dasar ya kodrati fisiknya, ya. Bahwa perempuan itu bentuknya ya begitu, bisa hamil, menyusui, dll, jadi otomatis secara fungsi fisik/instrumen tugasnya berbeda dengan laki-laki. Sisanya hanya pengkondisian, bahwa perempuan harus berambut panjang, feminin, suka warna pink, suka curhat, itu lebih kepada pembentukan massal dari masyarakat sejak kita kecil. Semakin ke sini, dan berdasarkan pengalaman pribadi, saya melihat bahwa teori dikotomis perempuan dan lelaki lebih seperti generalisasi yang mempermudah analisa sosial atau psikologi. Tentunya faktor fisik lain seperti hormon, dsb, juga punya pengaruh. Tapi intinya, menurut saya perempuan dan lelaki adalah manusia yang sama-sama mengandung unsur energi maskulin dan feminin. Komposisinya saja yang berbeda-beda sesuai dengan keunikan individu yang memang nggak ada yang sama.

2. Tokoh perempuan yang diidolakan?

Sejauh ini, Oprah Winfrey. Saya melihat dia seorang humanis, bukan sekadar feminis.

3. Makna emansipasi wanita bagi seorang Dee?

Emansipasi di sini bisa dimaknai sebagai wawasan bahwa cewek di era sekarang ini sudah punya hak dan kesempatan sama dengan cowok, dan gerakan ini sudah berjalan puluhan tahun. Banyak analisa yang beredar mengatakan bahwa Bumi dan kehidupan ini memang sedang bergeser dari dominasi energi maskulin menuju feminin, makanya mungkin termanifestasikan dengan adanya emansipasi, dll. Jadi menurut saya emansipasi ini adalah fenomena alam yang wajar.

4. Seorang Dee, biasa mendapatkan inspirasi menulis saat kondisi seperti apa?

Biasanya kalau tergerak berpikir, berkhayal, jatuh cinta, patah hati, atau gemas akan sesuatu. Biasanya digerakkan oleh perasaan/emosi. Jadi bagi saya, menulis itu punya efek terapetik juga, untuk menyalurkan gejolak/keingintahuan apapun yang terjadi di dalam diri.

5. Apakah mood sangat diperlukan saat proses kreatif menulis?

Sejujurnya, iya. Apalagi waktu awal-awal menulis. Tapi makin ke sini, saya merasa menulis itu bisa dijadikan disiplin, jadi faktor mood sudah nggak terlalu mendominasi. Yang penting kita tahu batas juga, kalau memang terasa banget nggak mood, jangan terlalu dipaksakan juga. Tapi jangan juga menjadikan mood sebagai alasan klasik untuk tidak berkarya.

6. Setuju atau nggak dengan jargon klasik, “Wanita Dijajah Pria Dari Dulu” dan “Wanita Makhluk Yang Lemah”? Alasannya?

Ya itu tadi, karena kita bergerak dari dominasi energi maskulin menuju feminin, jargon-jargon lama tadi adalah ungkapan zaman. Barangkali dulu benar faktanya begitu. Tapi zaman kan bergerak dan berubah. Sekarang rasanya sulit sekali orang menyetujui hal itu, karena kenyataan di lapangan sudah tidak melulu demikian. Tentunya keadaan ini belum merata, masih banyak perempuan yang jadi objek kekerasan, ketidakadilan, dsb. Tapi itu tidak bisa dijadikan generalisasi bahwa semua perempuan lemah atau objek jajahan pria.

7. Apakah seorang Dee suka menuliskan curhatan pada sebuah diary? Terus seberapa pentingnya diary buat seorang perempuan?

Saya memang menulis jurnal secara rutin sejak kelas 1 SMP, dari mulai di buku sampai di komputer. Kayaknya itu hal paling konsisten yang saya lakukan dalam hidup. Saya tidak merasa bisa mewakili semua perempuan dalam perihal diary, karena sesuai pengamatan saya, ada perempuan yang menulis diary dan ada juga yang tidak. Tapi mungkin umumnya perempuan lebih dikondisikan untuk bebas mencurahkan perasaan, makanya banyak perempuan punya diary.

8. Seperti apa biasanya karakter perempuan ditempatkan dalam setiap tulisan novel Dee seperti halnya karakter Diva dan Elektra? Apakah karakter perempuan ini menempati tempat yang istimewa?

Pada prinsipnya, saya ingin menampilkan figur-figur unik yang memang ‘istimewa’, terlepas tokoh itu laki-laki atau perempuan. Dan saya senang menciptakan tokoh yang paradoksikal, yang tidak terlalu stereotip.

9. Correct me if I’m wrong, ketika saya mencermati karakter perempuan dalam Supernova kok saya nggak menemukan karakter perempuan “biasa” yang feminin dan dengan bedak dan lipstiknya. Diva terlalu ironis dengan menjadi model sekaligus prostitute, sedangkan Elektra terlalu cuek buat jadi perempuan dan memiliki kekuatan listrik :)? Apa yang melatarbelakangi karakter seperti itu?

Saya tidak menempatkan tokoh tipikal begitu sebetulnya lebih kepada kebutuhan cerita itu sendiri. Kebetulan, saya memang belum ada kepentingan kreatif dengan tokoh yang dianggap stereotip ‘berbedak & berlipstik’ tadi. Lagipula, definisi feminin menurut saya bukan terletak pada riasan atau busana. Feminitas menurut saya adalah energi. Banyak laki-laki yang energi femininnya lebih besar daripada perempuan, walaupun mereka laki-laki normal, dan juga sebaliknya dengan perempuan. Diva memang tokoh paradoks yang mengartikan kemerdekaannya berbeda dengan paham kebanyakan, sementara Elektra itu karakter gadis lugu, indoor, kuper, dan sering diremehkan. Karakter saya biasanya terlahir dari kebutuhan cerita dan konflik atau pesan yang ingin saya ungkapkan.

10. Seperti apa sih perempuan Indonesia saat ini di mata Dee? Terutama buat para remaja dan gadis puber, hehehe…

Agak susah ya bicara perempuan Indonesia, karena disparitas sosial kita sangat luas, jadi bicara perempuan kota tertentu tidak bisa mewakili semua perempuan Indonesia. Jadi saya mau batasi opini ini khusus untuk perempuan kota besar. Menurut saya, cewek-cewek sekarang lebih ‘aware’ tentang banyak hal, dari mulai penampilan, kesehatan, kecantikan, seksualitas, dan kesempatan atau peluang yang mereka punya. Saya cuma berharap otentisitas dan keunikan masing-masing perempuan masih bisa mencuat keluar meskipun arus trend dan selera massal itu susah sekali dibendung. Harus lebih kritislah terhadap segala usaha generalisasi, pengotakan, dan stereotipikalisasi, yang setiap harinya menggempur kita lewat media, lingkungan, dsb. Kadang-kadang kok saya ngelihat cewek-cewek sekarang kayak seragam semua. Hehe.

11. Jika digambarkan dalam novel Supernova, seorang Dee itu berada pada karakter siapa?

Sepertinya saya ada di semua karakter saya, atau tepatnya mereka mengandung ‘pecahan-pecahan’ saya. Tapi tidak ada satu khusus yang saya desain untuk mewakilkan diri saya. Ada yang bilang saya kayak Elektra, ada yang bilang saya kayak Bodhi, dsb. Tapi sebetulnya pada semua karakter itu saya titipkan ‘pesan’ dan ‘pecahan persona’ saya, walaupun mereka juga adalah karakter independen yang punya persona dan pesan sendiri.

12. Btw, lebih memilih mana nih karier antara seorang penulis atau penyanyi?

Saya sih selama ini tetap menjalani keduanya, cuma proporsinya berubah-ubah sesuai dengan konteks dan situasi. Saya lebih banyak menulis memang, karena kondisi punya anak dan keluarga. Kalau menyanyi persiapannya lebih ribet dan menyita waktu, jadi saya lebih banyak di menulis dulu. Tapi namanya juga insting musiknya tetap ada, satu saat pasti balik lagi ke musik juga, tinggal tunggu momen dan kesempatannya saja.

WANITA Majalah | Wanita dan Lingkungan | Oct, 2008 | By Vidita

1. Mbak Dee adalah salah satu tokoh wanita yang dikenal memiliki kepedulian yang besar mengenai berbagai permasalahan lingkungan. Apa yang melatarbelakangi kepedulian tersebut?

Dari kecil saya memang selalu tertarik pada masalah lingkungan. Belakangan ini, keprihatinan saya semakin kuat karena memang Bumi ini memang sudah makin merana. Bagi saya, isu lingkungan adalah isu yang berpotensi untuk menyatukan seluruh umat manusia, karena bagaimana pun kita tidak bisa lari ke mana-mana. Bumi ini cuma satu. Dan inilah masalah yang bisa memanggil setiap individu untuk menyumbangkan kontribusinya.

2. Apakah berbagai persoalan lingkungan yang ada saat ini kerap Mbak jadikan sebagai salah satu sumber inspirasi dalam menulis?

Supernova ke-4: “Partikel” akan bicara soal lingkungan. Saya juga berniat ingin menulis satu buku nonfiksi bertemakan lingkungan berjudul “Berubah Dari Rumah”.

3. Hal-hal apa saja yang mendapat perhatian dari Mbak berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang dihadapi saat ini, khususnya di Indonesia?

Indonesia mengalami kerusakan hutan dan terumbu karang yang sangat parah. Kita masuk rangking ketiga untuk penyumbang gas rumah kaca karena kebakaran hutan, dan kita menempati posisi pertama untuk kerusakan hutan. Kesadaran berlingkungan juga masih sangat kurang di masyarakat, dari mulai displin membuang sampah sampai konsumerisme secara umum.

4. Sebagai seorang yang peduli akan lingkungan, apa saja contoh-contoh nyata yang biasa Mbak Dee lakukan? Dalam kehidupan sehari-hari dan di antara orang-orang terdekat.

Menanam pohon untuk setiap orang di rumah. Jadi rasionya satu orang satu pohon. Lalu membuat kompos, jadi sampah organik di rumah seluruhnya kami olah sendiri. Menolak plastik sebisa mungkin dan membawa kantong belanja ke mana-mana. Menghemat air dengan sistem cuci tampung untuk pencucian piring.

5. Seandainya Mbak bisa melakukan sesuatu hal yang besar untuk Bumi dan kelangsungan hidup umat manusia, apa saja yang ingin Mbak Dee lakukan?

Meminta semua orang untuk berubah dari diri mereka masing-masing. Berhenti mengurusi orang lain dan hal-hal nggak penting. Bagi saya masalah besar Bumi adalah karena semua orang merasa dirinya terpisah dari alam, terpisah dari satu sama lain. Kita sukar menerima perbedaan dan berdamai dengan itu. Yang ada kita menghabiskan waktu untuk terus mempermasalahkan. Semuanya karena kita sering lupa bahwa kita adalah satu.

6. Apakah ada imbauan serta pesan yang ingin Mbak Dee sampaikan kepada para pembaca kami, khususnya para wanita Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan dan segala permasalahannya saat ini?

Lakukan apa pun yang kita bisa, dari diri sendiri dan dari rumah sendiri. Cukup dengan 3R (reuse, reduce, recyle) yang sederhana pun sudah bagus. Kalau bisa juga kurangi makan daging. Dan banyak2lah mencari info tentang masalah lingkungan supaya wawasan kita terbuka dan kita tahu apa yang sedang terjadi pada Bumi. Tidak usah pusing memikirkan apa efek perbuatan sederhana kita untuk dunia. Sekecil apa pun perbuatan kita, jika dilakukan dengan setia, akan menjadi perbuatan besar pada waktunya.

7. Apakah Mbak Dewi memiliki cerita-cerita yang berkesan dan menarik yang bisa dibagikan kepada para pembaca mengenai pengalaman Mbak selama menjadi perempuan yang memiliki pemikiran yang kritis terhadap lingkungan?

Saking semangatnya ingin tahu membuat kompos, saya sampai ikut pelatihan sehari cara membuat kompos. Saya juga ngubek-ngubek internet tentang pengolahan sampah rumah. Akhirnya saya malah dapat gratis dua alat pengolah kompos dari dua produsen yang berbeda. Belakangan saya juga sering keliling Indonesia bersama IVS (Indonesian Vegetarian Society) untuk mengampanyekan gaya hidup vegetarian yang ramah lingkungan. Dan saya sempat dengar cerita, bahwa ada orang-orang yang akhirnya sekarang memilih jadi vegetarian karena baca artikel saya di blog. Saya jadi terharu.

8. Apakah ada tokoh-tokoh tertentu yang Mbak jadikan inspirasi berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan? Mengapa Mbak menjadikan beliau sebagai salah satu inspirator?

Banyak banget. Saya mengagumi hampir semua kontributor dalam film “The Eleventh Hour” (Leonardo DiCaprio). Untuk tokoh lokal, saya juga mengagumi banyak orang, salah satunya Pak Sobirin, seorang dosen, yang berhasil membuat rumahnya zero waste. Indonesia pun sebetulnya banyak punya tokoh2 seperti dia, yang dengan kapasitasnya sendiri, terjun langsung untuk membantu lingkungan. Saya angkat topi untuk orang2 seperti mereka.

9. Apakah Mbak Dee memiliki harapan khusus bagi usaha pelestarian lingkungan yang tengah digalakkan di berbagai negara, khususnya di Indonesia?

Saya berharap pelajaran tentang konservasi lingkungan menjadi mata pelajaran terpisah dari IPA, yang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelajaran ini memfokuskan pada green living, smart consuming, dsb. Jadi setiap anak bisa langsung praktek dan bahkan menjadi pionir di rumahnya masing-masing.