Monday, February 9, 2009

FEMINA | Global Warming | May, 2007 | By Naomi Jayalaksana

1. Isu pemanasan global sendiri mungkin sudah sejak lama kita dengar. Namun bagi Mbak Dewi pribadi, sejak kapan Mbak Dewi benar-benar menaruh perhatian besar pada isu ini. Dan momen/fenomena apa yang memicu keprihatinan Mbak Dewi tersebut?

Sebetulnya sejak lama saya sudah menyimpan keprihatinan besar terhadap masalah lingkungan. Lahir dan besar di kota Bandung, saya menjadi saksi hidup bagaimana kota yang asri dan sejuk, perlahan-lahan berubah bentuk menjadi kota industri belanja yang mengorbankan identitasnya atas nama ekonomi. Dan ini bukan saja gejala eksklusif kota Bandung, melainkan kecenderungan masyarakat dunia. Saya mempelajari fenomena global ini melalui buku, majalah, dsb. Bahkan untuk Supernova ke-4 saya berencana untuk mendedikasikan masalah lingkungan sebagai tema utama. Kesimpulan saya, ada dua krisis besar yang sedang melanda dunia: krisis gizi dan lingkungan. Dan keduanya ternyata berkaitan erat. Keduanya juga bermuara pada krisis yang lebih luas lagi yakni krisis kesadaran. Dan berawal dari pemikiran inilah karya-karya saya digulirkan.

2. Dengan bertambahnya penduduk, industri atau pabrik, dan kendaraan bermotor, serta banyaknya jalur hijau yang menjadi korban dalam proyek pembangunan prasarana jalur transportasi, dan kandungan gas sulfur serta karbon di udara pun semakin tinggi. Padahal sebenarnya pemerintah daerah punya peraturan, seperti penyediaan jalur hijau, pemberlakuan uji emisi. Apa tanggapan Mbak Dewi tentang fenomena ini?

Menurut saya memang ada standar ganda atau kerancuan dalam penetapan prioritas dan juga pola pembangunan. Pembangunan identik dengan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang meningkat, padahal bila diteliti lagi, pembangunan dan peningkatan kegiatan ekonomi ini adalah pedang bermata ganda. Yang terjadi adalah disparitas pendapatan yang semakin menjadi, korupsi juga menjadi-jadi karena manusia berpikir bahwa kemakmuran materi identik dengan kebahagiaan. Sebetulnya semua ini bermuara pada kesadaran. Ekonomi dunia tidak lagi mungkin terus digelembungkan, karena bumi sebagai sumber daya tidak mungkin terus bertahan untuk dieksploitasi. Yang mestinya kita lakukan adalah pengempisan ekonomi, dan berkonsentrasi pada pemerataan dan perbaikan lingkungan, bukan penggelembungan. Jalur hijau, uji emisi, dll, hanya akan menjadi wacana apabila kesadaran tidak ditata. Masalahnya, para pembuat aturan, bahkan masyarakat sendiri, masih rancu menentukan prioritas masalah. Kita masih berpikir, kemajuan berarti bertumpuknya kekayaan materi, dan ada keterpisahan antara kita dan lingkungan. Jika kita sadar dan paham betul bahwa kita dan lingkungan adalah satu, mata kita baru akan terbuka dan melihat kerusakan yang kita buat, lalu kemudian mengambil tindakan yang nyata.

3. Menurut Mbak Dewi sudahkan pemerintah menunjukkan keseriusan dalam menangani isu pemanasan global? Karena semakin banyak saja mal-mal yang berdiri, dan taman kota, seperti di Menteng yang baru saja diresmikan, lebih mirip taman ubin dan rumah kaca daripada taman dengan pohon-pohon berkanopi lebar penghasil oksigen.

Belum. Pemerintah memang meratifikasi perjanjian Kyoto, tapi jika dilihat dari masalah lingkungan yang ada, saya rasa pemerintah kita, dan juga masyarakatnya, masih jauh dari komitmen untuk melestarikan lingkungan hidup. Karena seharusnya bukan cuma aturan pemerintah, konservasi lingkungan harus diajarkan dalam kurikulum, dalam sebuah mata pelajaran khusus, dari mulai bagaimana menyayangi pohon, binatang, mengolah sampah, dsb. Selama ini kita cuma diajari menghafal penampang daun tanpa diajari menghargai kehidupan hijau. Dan saya rasa ini bukan cuma pe-er pemerintah, tapi semua rakyat, terutama para pelaku ekonomi dan media massa.

4. Adakah pesan Mbak Dewi - yang berkenaan dengan isu pemanasan global - bagi para pembuat kebijakan ini?

Memulai dari rumah sendiri. Tidak mungkin seorang pembuat kebijakan benar-benar menghayati urgensi dari masalah lingkungan, kalau dari kehidupan rumahnya ia masih belum melakukan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle), belum menanam pohon, dsb. Isu pemanasan global hanya ujung dari puncak es, yang perlu diperbaiki adalah pola hidup sehari-hari dan pola pikir yang mensponsori setiap tindakan dan pilihan hidup kita. Dan untuk hal ini, kita tidak perlu tunggu pemerintah atau pembuat kebijakan, kita bisa memulainya hari ini juga.

5. Saya sangat tertarik membaca blog Mbak Dewi..."Mencoba setia dengan hal-hal yang kecil..." Intinya menumbuhkan kesadaran dengan melalui hal sedehana, dari lingkungan kecil rumah kita sendiri. Seperti proyek kompos Mbak Dewi: "Segalanya adalah hal kecil yang dilakukan dengan setia. Proses panjanglah yang menjadikan sesuatu tampak besar. Dan berproses merupakan bahasa alam yang paling alamiah. Kita melihatnya di mana-mana melalui evolusi. Sebagaimana alam, kemanusiaan kita pun dapat ber-evolusi melalui komitmen kecil yang digulirkan dengan setia... Saya menyukai kompos karena perubahan perilaku yang disyaratkannya. Inilah solusi yang sejati. Bukan dengan menyembunyikan sampah di balik gunung atau memusnahkannya dengan canggih. Yang sakit bukan sampah, tapi masyarakat penghasil sampah. Yang perlu disembuhkan adalah perilaku dari sang sebab, bukan memanipulasi akibat." Saya suka sekali dengan pendapat Mbak Dewi yang satu ini. Karena orang cenderung untuk lari pada teknologi yang canggih, atau muuk-muluk, padahal kita bisa memulainya dengan cara yang sederhana, terjangkau, dan murah! Bisa diceritakan latar belakang dari komitmen Mbak Dewi ini? Demikian juga tentang anjuran Mbak Dewi: "Satu Orang Satu Pohon". Apa yang menginspirasi Mbak Dewi untuk melakukan komitmen ini?

Saya sering merenungi betapa sekarang kita diliputi oleh ketidakberdayaan. Kalau kita menyimak berita di koran-koran, semuanya berisi keluhan, komplain, ketidakberdayaan, kritik, dll (sampai saya akhirnya berhenti berlangganan koran). Bila ini terus menerus dibiarkan, masyarakat justru kehilangan orientasi, kita akan berpikir bahwa perubahan hanya bisa dilakukan oleh institusi raksasa, harus menunggu orang lain, dsb. Karena itu saya ingin mengkhususkan tulisan-tulisan saya untuk pemberdayaan, bahwa perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa perlu tunggu siapa-siapa. Saya pernah membaca di sebuah koran, kota Bandung kekurangan pohon. Lahan hijau habis ditebangi. Kalau kita hanya berharap pemerintah bertindak, kita mungkin harus menunggu lama. Tapi kalau kita bergerak langsung, menanam pohon di pekarangan sendiri, dalam waktu singkat kota Bandung akan mendapat pohon-pohon baru dari warganya. Dan inilah bentuk pemberdayaan yang nyata sekaligus sangat mungkin untuk dilakukan.

6. Hal praktis dan sederhana apa saja yang sudah Mbak Dewi lakukan atau terapkan dalam lingkungan keluarga sebagai bentuk komitmen dan kepedulian Mbak Dewi terhadap isu pemanasan global/lingkungan. Apakah Mbak Dewi termasuk dari sebagian orang yang selalu membawa tas belanja sendiri saat ke supermarket atau pasar? Atau ada hal praktis lainnya?

Saya mengajarkan seisi rumah untuk memilah sampah, memakai ulang kantong plastik dan kertas, membuat kompos dari sampah dapur, dan menjadi vegetarian – kebetulan satu rumah saya sudah jadi vegetarian semua. Karena ternyata ada kaitan erat antara pola makan daging dengan isu lingkungan, menjadi vegetarian adalah pilihan moral dan etika yang saya pilih untuk menyokong kelestarian lingkungan.

7. Dan jika dikaitkan dengan profesi Mbak Dewi sebagai penulis, dan artis, apakah Mbak Dewi selalu menggunakan kesempatan untuk menggugah kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan? Kalau iya, dalam bentuk apa saja (karya, peran serta aktif dalam organisasi lingkungan)? Bisa disebut judul karya tulisan maupun lagunya jika ada? Atau nama organisasi lingkungan tempat Mbak Dewi bergabung jika memang ikut serta.

Dalam artikel-artikel saya, sering sekali saya membahas soal lingkungan dan juga kesadaran. Untuk buku, rencananya Supernova ke-4 yang berjudul PARTIKEL akan mengusung tema lingkungan. Untuk organisasi, saya aktif membantu Indonesian Vegetarian Society (IVS) untuk mempromosikan gaya hidup vegetarian.