Monday, May 9, 2016

Harian SINDO | Steller | April, 2016 | By Binti Mufarida


Apa yang asiknya membuat konten lewat Steller?

Kalau saya melihat output Steller ini menyerupai semacam mini e-book. Isinya tentu beragam, bisa hanya gambar saja atau teks saja, atau campuran keduanya. Kalau dilihat demikian, maka sebagaimana kita merancang sebuah buku, ada tema sinambung yang harus mengaitkan setiap halaman. Bagi saya, itu yang menarik sekaligus mengasyikkan. Kita bisa menyuguhkan sebuah karya kecil ketimbang hanya posting satu foto dengan teks pendamping. 

Apa keunikan Steller dibandingkan platform lain?

Di Steller, kita semacam disuguhi berbagai buku mini dengan bermacam topik. Jadi, tentu kontennya lebih elaboratif ketimbang satu foto di Instagram, misalnya. Atau satu posting di Twitter. Di Steller, kita bisa menggabungkan berbagai macam material dan menjahitnya menjadi satu konten yang utuh.

Sejauh ini, apakah membuat konten di Steller termasuk susah atau mudah? Alasannya?

Saya rasa itu kembali ke masing-masing pengguna dan kadar keseriusannya. Bagi saya, membuat konten di Steller itu susah, karena saya ingin menghadirkan konten yang optimal dari segi cerita dan gambar. Bagi saya, seminggu sekali sudah cukup untuk posting (kadang lebih lama). Saya lebih mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas. Namun, tentu nggak semua pengguna Steller berpikir serupa, dan itu sah-sah saja. Yang bikin hanya sehalaman dua halaman juga banyak. Saya rasa, itu kembali ke kebebasan dan tujuan masing-masing pengguna.

SiPenulis.Com | Profil | April, 2016 | by Noor Hadi


Jika kamu adalah sebuah novel, kamu ingin ditulis oleh siapa? Kenapa kamu memilih pengarang itu?

Enid Blyton, karena saya akan disuguhi banyak sekali limun jahe.

Jika memiliki kesempatan untuk berpacaran dengan sebuah kata, kamu ingin berpacaran dengan kata apa? Boleh tahu alasannya?

Energi, karena energi tidak bisa dimusnahkan.

Jika membaca sebuah buku akan membuat usiamu bertambah 5 tahun, dan semakin banyak membaca buku artinya kamu akan semakin cepat tua, apakah kamu masih tetap ingin membaca buku? Kalau masih, kenapa kamu nekat sekali?

Saya akan berhenti dan gantinya akan menulis saja. Saya lebih bisa hidup tanpa membaca ketimbang tanpa menulis. Sumber inspirasi tidak semata dari buku. Jika diamati dengan jernih dan jeli, hidup ini sebenarnya adalah buku besar yang tak akan habis dibaca.

Jika writer’s block mendatangimu dalam wujud manusia, apa yang akan kamu lakukan terhadapnya? Mengusirnya dengan sapu, menendangnya ke jurang, menghajarnya sampai babak-belur, atau apa?

Akan saya ajak bicara baik-baik, saya suguhi teh panas dan kue-kue kecil. Writer’s block itu cuma ingin didengarkan saja maunya apa. Nanti setelah dia puas curhat, dia akan pergi dengan sendirinya.
Dilawan cuma buang-buang tenaga. Dalam curhatnya, writer’s block biasanya membawa pesan terselubung bagi kita, sebuah paket pembelajaran. Kalau kita dengarkan dengan baik dan pesan darinya sampai, justru kita yang beroleh manfaat.

Jika salah satu tokoh fiksimu diberi kesempatan untuk hidup menjadi manusia sungguhan, siapa yang akan kamu pilih? Bisikkan kepada kami kenapa kamu memilihnya. Kami janji tidak akan memberi tahu siapa-siapa.

Toni alias Mpret. Dia manusia yang sangat berguna, apalagi di era digital seperti ini, sangatlah menyenangkan jika punya tech support yang bisa diandalkan. Apalagi Toni itu orang yang sangat setia kawan. Di lain sisi, dia juga orang yang low-maintenance, nggak banyak tuntutan, dan mandiri. Berkawan dengan dia sama sekali tidak merepotkan.

Jika pada suatu hari Puisi menghubungimu melalui telefon, Cerpen mengirim pesan kepadamu melalui email, dan Novel mengetuk pintu rumahmu berkali-kali, mana yang lebih dulu ingin kamu tanggapi? Semua hal itu berlangsung dalam waktu bersamaan.

Saya akan dahulukan novel. Saya menyukai kerja yang panjang, cerita yang kompleks, dan jika bicara pasar, novel punya prospek pasar yang lebih bagus dibandingkan puisi dan cerpen.

Jika kamu diberi kesempatan oleh Presiden untuk menghapus 3 kata yang terdapat di KBBI, kata-kata apa saja yang akan kamu pilih untuk dihapus? Tenang, kami tidak akan menanyakan alasannya.

Mangkus, sangkil, dan gegara. Yang terakhir tidak ada di KBBI, tapi saya ingin sekali menghapusnya dari percakapan media sosial.

Jika saat ini kamu sedang duduk bersama Dave Eggers dan Ana Castillo pada jamuan makan malam, kira-kira apa yang akan kamu bicarakan bersama mereka?

Saya pernah jamuan makan malam bersama Vikram Seth dan Sebastian Faulks. Satu hal yang saya amati adalah, dalam kesempatan seperti itu, biasanya yang terjadi justru pembicaraan dengan topik umum, bukan teknik menulis, bukan pula proses kreatif. Pada kesempatan seperti itu, yang kita dapatkan biasanya adalah persona mereka sebagai “manusia biasa”, bukan kreator. Jadi, dengan Dave Eggers barangkali saya hanya akan menikmati humor dan kecerkasannya, yang saya harap terefleksi dalam persona kesehariannya jika ditemui langsung (bisa jadi ia lucu ketika menulis saja). Dengan Ana Castillo, mungkin saya akan bicara hal yang umum seputar kultur Amerika Latin dan mungkin dia ingin tahu tentang kultur Indonesia. Sejujurnya, jika boleh memilih, saya lebih memilih kesempatan mengobrol dengan para penulis nonfiksi yang menjadi referensi saya, seperti Graham Hancock dan Amit Goswami.

Jika kamu adalah manusia paling jujur sedunia, tolong katakan kepada kami, judul buku apa yang paling ingin kamu singkirkan di muka bumi ini.

Tidak ada. Dan, itu jawaban jujur. Saya menghargai adanya buku yang tidak saya suka sama halnya dengan kehadiran buku yang saya suka. Buku yang tidak saya suka perlu ada agar saya bisa tahu jangan sampai saya menulis seperti itu. Itu kompas yang sama penting dengan buku-buku yang saya suka. 

Jika semua tanya-jawab ini adalah mimpi, menurutmu apakah ini termasuk mimpi indah atau mimpi buruk?

Mimpi indah. Saya selalu suka jika hal-hal abstrak seperti ide dianalogikan seperti makhluk konkret. Justru dengan cara seperti inilah kita bisa lebih memahami yang abstrak.  

Terima kasih banyak atas jawaban-jawabannya. Semoga tanya-jawab ini bisa memantik imajinasi dan kreativitas bagi mereka yang membacanya.

Terima kasih sama-sama untuk wawancara yang menarik.

Majalah Kartini (Digital) | Proses Kreatif | April, 2016


Dari semua buku karangan Dewi Lestari, buku mana yang menjadi favorit dari Mbak Dewi sendiri? Kenapa?

Saya selalu merasa paling dekat dengan buku yang paling akhir saya tulis. Jadi, saat ini saya merasa buku favorit saya adalah Inteligensi Embun Pagi.

Dari mana saja inspirasi itu keluar saat menuliskan cerita di novel-novel Mbak Dewi?

Karena saya sudah terbiasa menulis dan bekerja kreatif bertahun-tahun, saya merasa ada mekanisme yang memang berjalan sendirinya. Inspirasi saya datang dari hidup itu sendiri, dari mengamati dan menjalaninya. Baik perenungan, ketertarikan, maupun buku-buku yang saya baca, menjadi bahan bagi saya menulis.

Saat kondisi mood seperti apakah saat yang paling banyak mengeluarkan inspirasi dalam tulisan Mbak Dewi?

Saya tidak lagi menulis berdasarkan mood. Ketika saya sudah berkomitmen untuk membuat sebuah karya kreatif, saya lebih melihatnya sebagai pekerjaan yang diletakkan pada timeline tertentu. Katakanlah, setahun atau sembilan bulan, dsb. Jadi, bukan lagi soal mood dan nggak mood. Jika saya sudah menetapkan deadline, saya berusaha untuk mematuhinya. Yang saya buat adalah jadwal produksi; kerja berapa lama, berapa jam sehari, berapa target halaman, dst. 

Musik jenis apa yang paling bisa membuat Mbak Dewi enjoy saat menulis? Dan biasanya, siapa band atau penyanyi yang paling sering didengarkan sebelum atau saat menulis?

Secara umum saya lebih senang bekerja tanpa musik. Bagi saya, ketimbang musik, yang lebih penting adalah punya slot waktu yang tidak terganggu. Katakanlah, dua jam, maka dalam dua jam tersebut saya tidak mengerjakan hal lain. Sesekali pakai musik hanya kalau memang ada keterkaitan langsung antara cerita yang saya tulis dengan lagu tsb. Seperti waktu Rectoverso, saya menulis cerpen berdasarkan lagu, jadi selama saya menulis cerpen, saya mendengarkan lagunya berulang-ulang.

Novel Mbak Dewi selalu disukai oleh setiap pembaca buku, apa harapan terhadap para pembaca setia novel Mbak Dewi?

Saya sebetulnya tidak berharap macam-macam. Saya sudah cukup bersyukur punya basis pembaca yang cukup setia dan terus bertumbuh. Saya lebih fokus kepada berkarya sebaik yang saya bisa. Saya yakin dengan itu pembaca juga akan selalu mendapatkan kualitas dari pekerjaan saya.

Sebagai seorang penulis, apa pesan Mbak Dewi terhadap penulis-penulis muda saat ini?

Saat ini sebetulnya menjadi penulis sudah jauh lebih mudah dalam beberapa aspek. Platform yang tersedia saat ini memungkinkan penulis untuk menerbitkan sendiri, lewat media sosial penulis juga bisa mempromosikan karya-karyanya. Namun, saat ini juga persaingan lebih sulit karena semakin banyak penulis yang lahir. Saya rasa, jika para penulis muda tetap fokus kepada kualitas, punya motivasi kuat untuk terus belajar dan mengembangkan diri, maka mereka akan punya potensi untuk berhasil dan punya basis pembaca yang kuat.

Cosmogirl | Role Model: Writer | April, 2016 | by Arzia Nuari


Apa yang Anda dapatkan ketika Anda menulis? Perasaan, atmosfer, dan suasana?

Bagi saya menulis adalah pekerjaan yang bisa membuat terhanyut, kadang lupa waktu. Drama yang digeluti oleh karakter-karakter saya, sedikit banyak saya rasakan juga. Suasana dan atmosfer yang saya ciptakan dalam semesta fiksi saya, sedikit banyak saya ikut berada di dalamnya juga. Dalam menulis saya menciptakan dunia lain dan ikut berada di dalamnya.

Sebelum menulis, Anda lebih dikenal sebagai seorang penyanyi. Kembali ke masa-masa itu, bagaimana sampai akhirnya Anda bisa menjadi seorang penulis?

Menulis adalah hobi sejak kecil. Tahun 2001 saya menerbitkan buku pertama saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Sejak itu saya terus menulis buku hingga sekarang.

Menurut Anda, seperti apakah seorang penulis yang baik?

Penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Penulis yang andal adalah penulis yang jernih dan runut; jernih mengungkapkan idenya dan runut dalam logika bercerita.

Untuk menghasilkan suatu tulisan (novel), berapa lama biasanya waktu riset yang Anda lakukan?

Biasanya riset saya sudah sepaket dengan proses menulisnya. Untuk banyak topik saya juga tidak menyisihkan waktu khusus karena riset sudah menjadi bagian dari keseharian saya. Apa yang saya baca dan pelajari dan saya pikir menarik, dalam kurun waktu mana pun itu, biasanya itulah topik-topik yang saya pilih untuk diceritakan. Jadi, bisa saja saya menulis manuskrip tahun 2015, tapi risetnya sudah saya lakukan sejak sepuluh tahun sebelumnya. Tapi, seiring penulisan manuskrip, tentu ada detail-detail baru yang juga perlu riset baru. Itu saya lakukan sambil berjalan.

Pernah nggak sih terbawa perasaan ketika menulis novel? Sampai menangis atau tertawa sendiri saat menulis?

Selalu.

Ketika merasa stuck di tengah-tengah penulisan, apa kiat Anda untuk mengatasinya?

Kalau hanya stuck biasa, saya paling berhenti dan rihat sejenak. Teruskan lagi keesokan harinya. Kalau kita punya deadline dan berkomitmen untuk memenuhinya, kita nggak akan lantas membatalkan karya kita hanya karena stuck. Kita akan jalan terus sampai selesai. Karena itu punya deadline dan rencana kerja sebelum memulai suatu karya sangatlah penting buat saya.

Siapa penulis idola Anda? Mengapa?

Sejujurnya tidak ada penulis yang karyanya terus-terusan saya ikuti atau terus-terusan saya jadikan panutan. Beberapa penulis yang pernah punya pengaruh atas kepenulisan saya antara lain Sapardi Djoko Damono, Rattawut Lapcharoensap, Dave Eggers, Ana Castillo.

Jika ada seseorang yang menulis sebuah novel dan menjadikan sosok Anda sebagai karakternya, karakter seperti apa yang sangat menggambarkan diri Anda?

Penuh rasa ingin tahu, senang humor, suka seni, nyentrik, dan cenderung pemalas.

Kembali mengingat seorang Dee Lestari saat pertama kali menulis novel Supernova pertama di tahun 2001, apa yang Anda rasakan ketika telah menjadi seorang Dee Lestari seperti sekarang ketika Anda punya semakin banyak karya dan semakin banyak yang mengenal karya-karya Anda?

Saya semakin mencintai seni bercerita, atau story telling, saya juga merasa tertantang untuk selalu memperbaiki skill saya dalam story crafting. Baik itu dalam fiksi maupun menulis lagu. Intinya, saya semakin mencintai pekerjaan saya. Dan, tampaknya itu jugalah yang kemudian menjadi identik di mata orang banyak saat ini, yakni sisi pencerita saya.

Dari 10 buku yang telah Anda tulis, termasuk 6 buku Supernova, adakah yang menjadi favorit Anda? Mengapa?

Saya selalu merasa paling dekat dengan karya yang paling akhir saya tulis. Jadi, saat ini (entah nanti), favorit saya adalah Supernova: Inteligensi Embun Pagi.

Buku apa yang penulisannya paling menantang Anda?

Sejauh ini juga Supernova: Inteligensi Embun Pagi. Itu adalah novel berukuran epik pertama saya, plus saya juga harus menggabungkan rangkaian dari lima buku sebelumnya. Jadi, sangat menantang.

Bicara project yang Anda kerjakan belum lama ini, yaitu menulis lagu untuk Raisa. Ceritakan mengenai project ini.

Berbeda dengan menulis fiksi, saya belum punya metodologi kerja rutin untuk bikin lagu. Jadi, saya bikin lagu itu musiman, hanya kalau disambar ‘wangsit’ saja. Satu saat, saya melihat foto di Instagram, kebetulan itu foto tangan Raisa yang ujung jarinya sedang digenggam oleh pacarnya, Keenan Pearce. Bagi saya foto itu indah dan menggugah, dan akhirnya tercetuslah lagu tersebut. Lagu itu sempat lama tertunda karena saya menulis IEP. Berbulan-bulan jaraknya dari ide pertama yang cuma sepotong reffrain hingga akhirnya rampung. Ketika lagunya jadi, momennya kebetulan pas dengan Raisa yang sedang menyusun materi album baru. I guess it’s just meant to be.

Apa rencana Anda selanjutnya?

Sampai bulan Mei nanti saya masih menjalankan beberapa acara promo buku, antara lain saya akan tampil di Asean Literary Festival, Makassar International Writers Festival, dan beberapa undangan talkshow di kampus-kampus. Setelah itu, saya ingin break dulu.

Apa pencapaian terbesar Anda sebagai seorang penulis?

Ketika ada pembaca yang mengatakan bahwa buku saya berhasil mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Apa tips menjadi penulis dari Dee Lestari?

Berani memulai, berani gagal, dan berani menghadapi keberhasilan.

Marie Claire | Vegetarian & Pola Makan | April, 2016 | by Nina Hidayat


Di tengah berbagai debat dan pendapat tentang diet, dan kandungan nutrisi dalam makanan (kolesterol jahat, saturated fats, karbohidrat sederhana, dll.), bagaimana cara Dee memilih makanan untuk diri sendiri dan keluarga? Apa prinsip Dee dalam makanan?

Terus terang, saya bukan penganut satu paham tertentu secara fanatik maupun kontinu. Saya pernah coba macam-macam, dari mulai vegetarian, paleo, vegan, clean eating, diet Mayo, ketogenik, dsb. Beberapa hal yang saya amati adalah, kebutuhan tubuh saya berubah. Dan, bagaimana kita mengamati itu tentunya juga butuh kepekaan sendiri. Namun, yang menjadi patokan saya secara umum adalah: pertama, sebisa mungkin masak masakan yang dibuat sendiri karena kita tahu persis apa saja kandungannya. Kedua, pilih bahan makanan yang sebaik mungkin. Kalau sayur, pilih yang organik. Kalau produk hewani, pilih yang bebas suntikan hormon, dsb.

Sekarang, Dee adalah seorang vegetarian paruh waktu. Boleh disebutkan bahan-bahan makanan utama yang ada dalam menu Mbak?

Sebetulnya nggak ada yang khusus. Yang jelas, saya coba untuk mengonsumsi makanan dengan bahan-bahan terbaik seperti yang saya sebutkan di atas, meliputi: sayur, buah (biasanya saya jus), protein hewani, protein nabati. Untuk karbohidrat, sumber utama yang biasa saya konsumsi adalah nasi, tapi saya bikin beras campuran sendiri yang terdiri dari beras putih, beras merah, beras cokelat, dan beras hitam.

Dari pola makan non-vegetarian, vegetarian murni hingga vegetarian paruh waktu pernah Dee jalankan. Apa efek yang Dee rasakan dalam tubuh dan kondisi emosional?

Saat ini saya tidak terlalu merasakan perbedaan dari sumber proteinnya. Yang jelas, kalau saya kebanyakan makan makanan yang manis atau mengandung gula tinggi, itu yang saya rasa menjadi efek tidak enak di tubuh. Efeknya jadi terasa cepat lelah, lesu, dan secara emosional juga jadi tidak bersemangat.

Apakah Dee percaya bahwa pola makan kita dapat memengaruhi kesehatan mental?

Bisa. Walaupun pola makan bukanlah satu-satunya faktor.

Untuk Dee sendiri, apa pola makan memengaruhi kehidupan seksual? Kalau ya, boleh tolong diceritakan sedikit? Apa Dee percaya dengan konsep aphrodisiac? Baru-baru ini, Gwyneth Paltrow sang "lifestyle guru" juga mempromosikan "sex dust" yang dibuat dari berbagai rempah Cina. 

Saya tidak pernah eksperimen dengan makanan afrodisiak jadi tidak bisa banyak berkomentar. Kalau pun saya mengonsumsi makanan yang konon mengandung afrodisiak seperti kerang, atau cokelat, kalau arah pikirannya tidak ke sana, maka pengaruhnya rasanya biasa-biasa saja. Sepertinya seksualitas itu juga sangat bergantung kepada mindset. Setidaknya itu yang saya amati.

Koran TEMPO | Inteligensi Embun Pagi | Maret, 2016 | by Aisha Shaidra

-->
Bagaimana proses Dee menutup heksalogi Supernova ini?

Dari 2011 sebetulnya saya sudah menulis maraton sejak Partikel hingga IEP. Jadi, pemetaan untuk IEP ini sudah dilakukan sebelum menulis Partikel. Seperti biasa, saya selalu menentukan deadline untuk draf pertama terlebih dahulu, kemudian menulis dengan target harian. Sejak Januari 2015 saya mulai menulis IEP hingga September, sisanya adalah penyuntingan dan penulisan ulang untuk beberapa bagian.

Adakah hal yang dirasa belum tersampaikan dalam Supernova yang ditutup oleh IEP? Atau hal yang akhirnya tak jadi dicantumkan di dalamnya? Boleh tahu tentang apa saja?

Yang tidak jadi dicantumkan tidak ada. Yang merupakan pertanyaan baru ada, dan itu untuk menjadi bahan jika cerita dilanjutkan. Jadi, dalam IEP saya menutup banyak pertanyaan dari episode 1-5, tapi juga memasukkan pertanyaan-pertanyaan baru yang memang sengaja tidak saya jawab di IEP.

Sempat mengalami jetlag saat sudah merampungkan IEP pada hari-hari berikutnya? Bagaimana dengan siklus tidur misalnya?

“Jetlag” dalam konteks menulis maksudnya gimana, ya? Kurang tidur? Nggak juga, sih. Justru ketika menulis hidup saya teratur karena jam kerjanya sudah ditentukan sedemikian rupa dan saya memang sengaja membatasi kegiatan di luar rumah selama  mengerjakan proyek menulis. Saya menulis di pagi hari sampai sore, malamnya istirahat.

Apakah selama menggarap IEP semua aman terkendali? Apa saja ide yang sudah hadir dalam benak Dee pasca IEP rampung? Boleh ada bocoran?

Pada periode pasca IEP rampung yang saya butuhkan adalah jeda. Saya tidak ingin terlibat dalam proses kreatif intensif apa pun, semisal buku baru. Saya ingin istirahat, hidup normal tanpa deadline, dan mengerjakan kegiatan-kegiatan yang selama ini tertunda, seperti membaca (yang bukan untuk riset), menulis pendek, ikut kursus-kursus, dan lain sebagainya. Kalau pun ada ide muncul, saya tidak gubris dulu.

Setelah memasuki masa jeda dari Supernova, apa saja yang saat ini Dee lakukan?

Saat ini masih dalam masa promosi Supernova hingga kira-kira bulan Mei. Ada banyak juga undangan talkshow di kampus-kampus. Setelah Mei, saya pengin rihat saja, liburan dengan keluarga.

Makin rajin eksplorasi resep-resep? Apa ada target juga untuk ulik-ulik masakan dari dapur rumah saat absen nulis sementara waktu?

Sekarang belum, karena sejak rilis buku saya belum punya jeda yang berarti. Saya sebetulnya ingin lebih rajin mengisi blog, tapi kayaknya energi saya yang tersisa sekarang hanya cukupan untuk menjalankan sisa promosi saja. Belum punya banyak waktu dan kesegaran berpikir untuk hal-hal lain.

Di berbagai kesempatan Dee Lestari kerap melibatkan anggota keluarga untuk berpartisipasi hadir, seberapa besar dukungan anak dan suami untuk karier selama ini?

Bisa dibilang merekalah support system saya. Dalam berproses kreatif, seorang penulis pasti bekerja sendiri, tapi saya hanya bisa berfungsi kalau sekeliling saya juga mendukung dan suportif. Dengan suami, saya banyak dapat masukan untuk sistem produktivitas. Dan, karena dia profesinya adalah terapis kesehatan, otomatis saya didukung juga dengan ilmunya, entah itu untuk kepentingan fisik maupun batin.

Apakah sempat ada ‘curcol’ dari anak-anak atau suami saat melihat Dee begitu serius menggarap IEP?

Mereka kehilangan, itu sudah pasti. Meski saya kelihatan banyak di rumah, sebagian besar fokus saya ditujukan untuk berkarya, jadi banyak hal yang saya terpaksa lepas atau kurangi fokusnya. Contohnya, suami saya sempat rantangan, karena saya sudah nggak sempat masak. Banyak kegiatan anak yang saya nggak bisa ikuti lagi dengan maksimal karena waktu dan fokus saya tersedot untuk IEP.

Karier menyanyi pun tak lepas dari sosok Dee, belakangan ini RSD sering kembali muncul, apakah ini tanda-tanda akan ada proyek baru yang digarap lebih serius selain hadir di festival-festival musik? Buat album baru, mungkin?

Untuk album sebetulnya belum ada rencana. RSD sejauh ini konsepnya memang lebih ke konteks reuni. Jadi, bukan rutin tampil lagi. Cukup sulit untuk kami menemukan waktu yang pas buat latihan, dsb. Jadi, sesekali tampil di acara yang tepat sudah cukup untuk kami sementara ini.

Apakah ada sikap hati-hati yang Dee tunjukkan saat ada pihak yang ingin memfilmkan karya-karya Dee? Melihat banyak proses ekranisasi yang rasanya jauh dari harapan atau kisah sumber dalam buku. Apakah The Dee termasuk orang yang perfeksionis dalam urusan satu ini?

Tadinya, iya. Tapi, ketika dijalani, saya tersadar kalau saya terlalu banyak turut campur dalam produksi film, fokus saya makin habis tersedot dan buku-buku saya bisa keteteran, padahal status saya bukan produser, melainkan penulis yang dibeli hak adaptasinya. Banyak yang mengira bahwa ketika sebuah buku difilmkan maka penulis masih seperti ‘tuhan’ yang punya kuasa atas produk filmnya, padahal belum tentu. Hal itu hanya bisa terjadi kalau penulis ikut turun tangan menjadi produser. Itu pun tentu harus berkompromi dengan banyak pihak. Film adalah karya seni kolaborasi banyak pihak. Beda dengan menulis buku yang lebih pe pekerjaan kreator tunggal. Jadi, untuk film, saya justru belajar berkompromi. Pembuat film mengadaptasi dan akan punya interpretasi sendiri.

Qubicle Center - SLATE | Mengangkat Novel Ke Layar Lebar | Maret, 2016 | by Nanda Elvina


Untuk saat ini kegiatan apa saja yang sedang dijalani oleh Dee?

Saat ini saya sedang menjalankan kegiatan promosi Supernova 6 (Inteligensi Embun Pagi).

Kami sangat mengangumi karya-karya Dee yang sudah diangkat ke layar lebar, apa bisa diceritakan awal mula novel pertama Dee bisa diangkat ke layar lebar?

Adaptasi buku saya ke film diawali dengan Perahu Kertas. Perahu Kertas juga mengawali kerja sama perdana saya dengan Bentang Pustaka (yang sekarang menjadi penerbit semua karya saya). Saat itu, ada beberapa penerbit yang sama-sama tertarik dengan naskah Perahu Kertas. Bentang sudah datang bersama Mizan Pictures, yang langsung menawarkan adaptasi ke layar lebar. Dari semua karya saya, Perahu Kertas menurut saya adalah yang paling potensial untuk dijadikan format visual, entah itu film atau serial, jadi saya menyambut tawaran itu. Sejak Perahu Kertas, tawaran lain bermunculan.

Bagaimana proses yang dijalani untuk membawa sebuah novel  ke layar lebar?

Produser membeli hak adaptasi dari penulis. Sebetulnya itu saja. Setelahnya adalah rangkaian proses seperti layaknya produksi film. Penulis terlibat atau tidak itu bergantung dari kesepakatan yang terjadi antara penulis dan produser.

Apa Dee terlibat langsung dalam produksi film dari novel-novelnya?

Tidak semua, hanya Perahu Kertas yang sampai menulis skenario. Sisanya saya hanya sebatas konsultasi, ada yang jadi konsultan formal (terikat kontrak), dan ada juga yang tidak.

Tantangan tersulit seperti apa sih yang pernah dihadapi dalam pembuatan film yang diangkat dari novel Dee?

Sebetulnya mungkin pertanyaan itu lebih tepat dijawab oleh produser sebagai yang membuat film. Bagi saya, kalau saya tidak terlibat, otomatis tidak ada tantangan yang berarti, saya mirip dengan posisi penonton. Tapi, tentu, ketika saya menjadi penulis skenario, misalnya. Saya menghadapi tantangan untuk mengonversi buku menjadi skenario. Dan sebagai penulis skenario saya harus berkompromi dengan keinginan dan kepentingan banyak orang. Jadi bisa dibilang, tantangan itu baru muncul ketika saya ikut terlibat, dan tantangannya adalah sejauh apa yang peran saya di sana.

Adakah bagian  yang cukup sulit divisualkan dari isi novel ( karakter, tempat, pemain, dll)?

Lagi-lagi, saya rasa ini pertanyaan yang lebih pas ditujukan ke para pembuat film. Secara umum kesulitan pertama adalah di adaptasi cerita, bagaimana bahasa dan struktur cerita dari buku kemudian menjadi bahasa dan struktur film, karena keduanya tidak persis sama. Dari cerpen biasanya yang terjadi justru pengembangan, sementara kalau dari novel yang terjadi biasanya sebaliknya.

Pengalaman paling berkesan seperti apa  yang pernah dirasakan oleh Dee saat membuat proyek film dari novel?

Saya paling menikmati justru bagian bikin soundtrack, karena membuat lagunya jadi terasa mudah ketika kita dibantu visual/adegan. Dan, ada kepuasan ketika lagu yang kita buat terasa padu dengan film.

Menurut pendapat Dee dari seluruh novel yang diangkat ke layar lebar, yang paling mendekati imajinasi saat menulis ada pada film yang mana, dan mengapa?

Beda semua sih sebetulnya. Termasuk Filosofi Kopi yang menurut saya adaptasinya paling bagus. Tapi mirip atau tidak dengan imajinasi orisinal saya sebetulnya bukan tolok ukur untuk keberhasilan sebuah adaptasi film. Yang lebih penting adalah mengadaptasinya menjadi film yang enak ditonton. Itu saja.

Seperti yang kita ketahui bahwa penggemar buku biasanya sering kali kecewa jika karya sebuah buku yang di film kan dianggap tidak sesuai, Sejauh ini adakah pengemar yang protes dengan hasil visualisasi yang diangkat dari novel ke layar lebar? Dan, bagaimana menghadapinya?

Penggemar pasti ada yang protes, dan itu hal yang wajar. Pada dasarnya para pembuat film yang mengadaptasi dari buku harus bersaing dengan imajinasi pembaca, dan sejak awal itu adalah persaingan yang tidak fair karena tidak mungkin sebuah film memvisualisasikan keinginan semua orang dengan sempurna. Saya menghadapinya sih relatif santai saja, karena tahu itu pasti akan terjadi. Tidak juga ada pihak yang bisa disalahkan. Tidak ada yang bisa mencegah penonton untuk tidak datang dengan keinginan membandingkan. Tidak mungkin juga bagi pembuat film untuk memuaskan keinginan semua orang. Pada akhirnya menurut saya film adalah film, tolok ukurnya bagus atau nggak bagus. Bukan mirip atau nggak mirip dengan buku.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada seluruh produser dan sutradara yang membuat film Dee, dari keseluruan novel yang diangkat ke layar lebar, film apa yang kira-kira berada sedikit atau di luar jalur konten isi novel  yang mungkin membuat Dee sedikit menyayangkan?

Sebetulnya semua tidak ada yang persis sama. Yang saya suka sekalipun, tetap ada kontennya yang keluar dari konten asli. Bagi saya sebetulnya berada di luar jalur tidak menjadi masalah. Kita harus memahami bahwa film yang diangkat dari karya tulis merupakan adaptasi, bukan fotokopi. Tapi, saya punya catatan khusus untuk Madre. Saya menyayangkan tokoh Tansen di dalam film ditulis sedemikian rupa hingga melakukan aksi yang “mencederai” karakternya. Ketika tokoh utama digembosi seperti itu, kekuatan cerita secara keseluruhan jadi memudar, menurut saya.

Dalam waktu dekat ini adakah rencana untuk kembali mengangkat karya Dee kembali ke layar lebar?

Rencananya Filosofi Kopi akan dibuat sekuel oleh Visinema Pictures. Saya akan menjadi konsultan cerita saja. Jika tidak ada halangan, maka sekuel tersebut akan dirilis akhir tahun ini.

Monday, March 14, 2016

Z Indonesia - Jawa Pos | Supernova IEP | Feb, 2016 | by Almas Salsabil


Mengingat kembali pada tahun 2001 saat Supernova pertama terbit, bagaimana perasaan Dee akhirnya bisa menyelesaikan enam seri dari buku ini?

Perasaannya bercampur, antara haru, sedih, lega, dan senang. Menulis Supernova merupakan proses yang sangat panjang. Ada saatnya saya benar-benar ingin mengakhiri supaya bisa “bebas” mengerjakan karya lain. Tapi, begitu mulai menuliskan IEP, muncul perasaan sedih dan tidak ingin berpisah. Namun, saya tetap merasa Supernova sebagai serial memang harus diakhiri sekarang. Setiap akhir akan melahirkan awal yang baru. Saya percaya itu.

Mengapa memilih judul Inteligensi Embun Pagi untuk buku penutup? Apa ada makna di baliknya?

Tentu saja, ada. Kalau tidak, tidak mungkin saya gunakan. Sebetulnya judul itu sendiri sudah saya publikasi sejak tahun 2002, waktu keluarnya Supernova Akar pertama kali. Saya terinspirasi sebuah judul buku puisi yang saya punya waktu kuliah, judulnya Intelligence of the Clouds. Bagi saya, konsep itu sangat menarik karena saya pribadi percaya bahwa alam semesta ini punya kecerdasan. Bahkan pada hal-hal yang bukan di kategori makhluk hidup sekalipun. Saya lalu merangkai judul Inteligensi Embun Pagi, yang pada saat itu lebih terdorong oleh faktor intuisi. Tapi, ketika konsep cerita Supernova semakin saya gali, saya menemukan keterkaitan antara judul dan konsep besar cerita Supernova memang ternyata erat sekali. Embun, yang merupakan butiran air, memiliki gugus heksagonal. Dan, heksagonal, adalah salah elemen sentral dalam cerita Supernova.

Dee pernah mengangkat tentang teori fisika, pencarian jati diri, maupun isu lingkungan, kira-kira konsep apa yang diangkat untuk cerita di buku penutup Supernova ini?

Bisa dibilang di IEP ini semua tema sebelumnya bercampur dan membuka plot cerita yang lebih besar, yang bermuara ke pertanyaan eksistensial tentang asal usul manusia dan realitas multidimensi. Tentu saja, apa yang saya tulis adalah fiksi. Tidak usah terlalu dianggap serius.

Apa sebenarnya benang merah yang menghubungkan keenam buku Supernova?

Keenam buku itu memiliki karakter-karakter yang saling berhubungan, tapi mereka sendiri belum sadar keterhubungan mereka apa. Baru di IEP semua itu terungkap. Mereka terhubung oleh sebuah misi. Lebih dari itu, eksistensi mereka sesungguhnya terhubung di level yang sangat dalam.

Kita telah mengenal Bodhi, Elektra, Zarah dan Alfa. Siapa yang akan menjadi tokoh utama pada novel Inteligensi Embun Pagi? Dan, bagaimana tokoh tersebut menjadi penghubung bagi tokoh di seri-seri sebelumnya?

Tidak ada tokoh baru di IEP, kecuali satu, yang kemunculannya di IEP ini bisa dibilang masih merupakan intro. Yang menarik dari IEP adalah adanya tokoh-tokoh yang tadinya muncul hanya sebagai peran pembantu, kini mencuat menjadi salah satu tokoh utama, seperti Gio dan Toni (Mpret). Ada juga beberapa tokoh yang “bangkit dari kubur”. Lalu, tokoh-tokoh yang tadinya hanya ada di latar juga diperkenalkan, misalnya orang tua Gio.

Apa atau siapakah sebenarnya Supernova itu?

Yang sejauh ini terungkap adalah Supernova sebagai tokoh di dunia maya, dan itu sudah diceritakan di buku Supernova pertama (KPBJ). Masih akan ada lapisan-lapisan lain tentang tokoh Supernova, tapi tentu tidak bisa saya jawab di wawancara ini karena nanti spoiler.

Kelima buku sebelumnya selalu menggunakan cover berwarna hitam, apa alasannya menggunakan warna putih untuk buku terakhir ini? Apakah ada filosofi tertentu di baliknya?

Pertanyaan itu sebetulnya akan terjawab dengan sendirinya kalau sudah membaca IEP. Pemilihan warna kover menjadi putih bukan karena alasan desain atau estetis tapi karena kebutuhan cerita. Kalau saya jawab sekarang, tentu akan jadi spoiler. Hehe. Jadi, nanti saja dibaca di IEP, akan ketahuan kenapa kovernya putih.

Terakhir, ada yang ingin disampaikan oleh Dee kepada penggemar setia Supernova?

Terima kasih karena telah mengikuti serial Supernova selama ini. Saya tahu cukup banyak yang bahkan ikut “tumbuh besar” bersama serial ini; dari mulai SMP sampai menikah, dari mulai jomblo sampai punya anak, dsb. Mengikuti serial sepanjang dan selama ini tentu tidak mudah. Terima kasih atas kesabarannya. Semoga episode penutup ini dapat memuaskan keingintahuan dan pertanyaan-pertanyaan kalian.

Bentang Pustaka | Supernova IEP Part 3 | Februari, 2016



Boleh diceritakan apa saja yang Dee lakukan dalam menyambut rilisnya Supernova IEP?

Yang paling utama saat ini adalah menandatangani lebih dari 10.000 buku. Bagi saya ini rekor karena sebelumnya tidak pernah menandatangani sebanyak ini. Waktu PO Supernova Gelombang tahun 2014, saya hanya menandatangani 2000-an buku.

Waktu rilis Partikel ada gimmick alien di toko buku, waktu Gelombang ada Jaga Portibi. Bagaimana dengan IEP? Apakah akan ada yang khusus?

Untuk IEP saya menyiapkan sesuatu yang sudah lama tidak pernah saya lakukan, yakni menyelenggarakan acara launching. Rencananya launching imi akan diselenggarakan pada tanggal 28 Februari di Galeri Indonesia Kaya. Bertahun-tahun saya sudah tidak pernah lagi mengadakan launching buku, tapi khusus untuk IEP saya merasa perlu mengadakan semacam perhelatan untuk merayakan perjalanan 15 tahun Supernova. Meski konsep acaranya simpel, persiapannya lumayan menyita fokus dan waktu.

Bisa diceritakan lebih lanjut konsep acaranya? Apakah ada bintang tamu atau penampilan khusus?

Konsep acara akan menggabungkan musikalisasi dan pembacaan serial Supernova dari episode kesatu sampai keenam. Akan ada penampilan (dalam bentuk video) dari orang-orang yang pernah membantu Supernova selama perjalanan lima belas tahun ini.
Pengisi acara yang sudah fixed antara lain adik saya Arina Mocca, kakak saya Imel Rosalin, Amanda Zefannya yang juga merupakan pembaca setia Supernova, Alvin Adam untuk talkshow. Show director-nya adalah aktor teater kawakan, Wawan Sofwan. Ada kemungkinan pemunculan bintang tamu lain, tapi masih dalam tahap konfirmasi.

Lalu, bagaimana dengan promo media, apakah sudah mulai dilakukan?

Saya sudah mulai melakukan promo pemanasan untuk IEP. Sejauh ini saya sudah melakukan dua wawancara panjang, satu bersama Desi Anwar untuk CNN, dan satu lagi bersama Raditya Dika di saluran Youtube-nya. Dan, rencananya minggu depan saya akan mengadakan media gathering untuk wawancara one-on-one bersama belasan media.

Ada pesan khusus bagi para Addeection sehubungan dengan IEP?

Saya mulai serius menggarap merchandise resmi Supernova, karena selama ini saya belum punya waktu untuk fokus di situ, sementara peminatnya sebetulnya cukup lumayan. Banyak Addeection yang menagih juga. Mudah-mudahan dengan lahirnya IEP ini, para pembaca juga mulai bisa mengoleksi produk-produk merchandise resmi dengan desain dan kualitas yang baik.