Monday, May 9, 2016

Koran TEMPO | Inteligensi Embun Pagi | Maret, 2016 | by Aisha Shaidra

-->
Bagaimana proses Dee menutup heksalogi Supernova ini?

Dari 2011 sebetulnya saya sudah menulis maraton sejak Partikel hingga IEP. Jadi, pemetaan untuk IEP ini sudah dilakukan sebelum menulis Partikel. Seperti biasa, saya selalu menentukan deadline untuk draf pertama terlebih dahulu, kemudian menulis dengan target harian. Sejak Januari 2015 saya mulai menulis IEP hingga September, sisanya adalah penyuntingan dan penulisan ulang untuk beberapa bagian.

Adakah hal yang dirasa belum tersampaikan dalam Supernova yang ditutup oleh IEP? Atau hal yang akhirnya tak jadi dicantumkan di dalamnya? Boleh tahu tentang apa saja?

Yang tidak jadi dicantumkan tidak ada. Yang merupakan pertanyaan baru ada, dan itu untuk menjadi bahan jika cerita dilanjutkan. Jadi, dalam IEP saya menutup banyak pertanyaan dari episode 1-5, tapi juga memasukkan pertanyaan-pertanyaan baru yang memang sengaja tidak saya jawab di IEP.

Sempat mengalami jetlag saat sudah merampungkan IEP pada hari-hari berikutnya? Bagaimana dengan siklus tidur misalnya?

“Jetlag” dalam konteks menulis maksudnya gimana, ya? Kurang tidur? Nggak juga, sih. Justru ketika menulis hidup saya teratur karena jam kerjanya sudah ditentukan sedemikian rupa dan saya memang sengaja membatasi kegiatan di luar rumah selama  mengerjakan proyek menulis. Saya menulis di pagi hari sampai sore, malamnya istirahat.

Apakah selama menggarap IEP semua aman terkendali? Apa saja ide yang sudah hadir dalam benak Dee pasca IEP rampung? Boleh ada bocoran?

Pada periode pasca IEP rampung yang saya butuhkan adalah jeda. Saya tidak ingin terlibat dalam proses kreatif intensif apa pun, semisal buku baru. Saya ingin istirahat, hidup normal tanpa deadline, dan mengerjakan kegiatan-kegiatan yang selama ini tertunda, seperti membaca (yang bukan untuk riset), menulis pendek, ikut kursus-kursus, dan lain sebagainya. Kalau pun ada ide muncul, saya tidak gubris dulu.

Setelah memasuki masa jeda dari Supernova, apa saja yang saat ini Dee lakukan?

Saat ini masih dalam masa promosi Supernova hingga kira-kira bulan Mei. Ada banyak juga undangan talkshow di kampus-kampus. Setelah Mei, saya pengin rihat saja, liburan dengan keluarga.

Makin rajin eksplorasi resep-resep? Apa ada target juga untuk ulik-ulik masakan dari dapur rumah saat absen nulis sementara waktu?

Sekarang belum, karena sejak rilis buku saya belum punya jeda yang berarti. Saya sebetulnya ingin lebih rajin mengisi blog, tapi kayaknya energi saya yang tersisa sekarang hanya cukupan untuk menjalankan sisa promosi saja. Belum punya banyak waktu dan kesegaran berpikir untuk hal-hal lain.

Di berbagai kesempatan Dee Lestari kerap melibatkan anggota keluarga untuk berpartisipasi hadir, seberapa besar dukungan anak dan suami untuk karier selama ini?

Bisa dibilang merekalah support system saya. Dalam berproses kreatif, seorang penulis pasti bekerja sendiri, tapi saya hanya bisa berfungsi kalau sekeliling saya juga mendukung dan suportif. Dengan suami, saya banyak dapat masukan untuk sistem produktivitas. Dan, karena dia profesinya adalah terapis kesehatan, otomatis saya didukung juga dengan ilmunya, entah itu untuk kepentingan fisik maupun batin.

Apakah sempat ada ‘curcol’ dari anak-anak atau suami saat melihat Dee begitu serius menggarap IEP?

Mereka kehilangan, itu sudah pasti. Meski saya kelihatan banyak di rumah, sebagian besar fokus saya ditujukan untuk berkarya, jadi banyak hal yang saya terpaksa lepas atau kurangi fokusnya. Contohnya, suami saya sempat rantangan, karena saya sudah nggak sempat masak. Banyak kegiatan anak yang saya nggak bisa ikuti lagi dengan maksimal karena waktu dan fokus saya tersedot untuk IEP.

Karier menyanyi pun tak lepas dari sosok Dee, belakangan ini RSD sering kembali muncul, apakah ini tanda-tanda akan ada proyek baru yang digarap lebih serius selain hadir di festival-festival musik? Buat album baru, mungkin?

Untuk album sebetulnya belum ada rencana. RSD sejauh ini konsepnya memang lebih ke konteks reuni. Jadi, bukan rutin tampil lagi. Cukup sulit untuk kami menemukan waktu yang pas buat latihan, dsb. Jadi, sesekali tampil di acara yang tepat sudah cukup untuk kami sementara ini.

Apakah ada sikap hati-hati yang Dee tunjukkan saat ada pihak yang ingin memfilmkan karya-karya Dee? Melihat banyak proses ekranisasi yang rasanya jauh dari harapan atau kisah sumber dalam buku. Apakah The Dee termasuk orang yang perfeksionis dalam urusan satu ini?

Tadinya, iya. Tapi, ketika dijalani, saya tersadar kalau saya terlalu banyak turut campur dalam produksi film, fokus saya makin habis tersedot dan buku-buku saya bisa keteteran, padahal status saya bukan produser, melainkan penulis yang dibeli hak adaptasinya. Banyak yang mengira bahwa ketika sebuah buku difilmkan maka penulis masih seperti ‘tuhan’ yang punya kuasa atas produk filmnya, padahal belum tentu. Hal itu hanya bisa terjadi kalau penulis ikut turun tangan menjadi produser. Itu pun tentu harus berkompromi dengan banyak pihak. Film adalah karya seni kolaborasi banyak pihak. Beda dengan menulis buku yang lebih pe pekerjaan kreator tunggal. Jadi, untuk film, saya justru belajar berkompromi. Pembuat film mengadaptasi dan akan punya interpretasi sendiri.