Monday, January 7, 2013

GOOD HOUSEKEEPING | Film Rectoverso | Dec, 2012 | Interview by Sanita Deselia


1. Semua sutradara yang terlibat dalam film Rectoverso adalah sutradara baru bahkan beberapa di antaranya baru pertama kali menyutradarai. Bagaimana ekspektasi Mbak Dee terhadap film ini? Apakah sempat muncul keraguan? Jika ya bagaimana berkompromi dengan hal tersebut? Rectoverso adalah buku yang cukup fenomenal. Di tangan sutradara baru tentu ada risikonya. Apa yang membuat mba berani mengambil risiko 'melepas' karya ini di tangan sutradara baru? Bisa diceritakan prosesnya?

Jadi, awalnya Marcella menghubungi saya untuk minta ide cerita. Dia sudah punya konsep ingin membuat film omnibus tentang cinta dengan lima sutradara. Saya bilang bahwa saya lagi nggak ada ide baru, tapi saya punya kumpulan cerita yang barangkali sejalan dengan idenya. Saya lalu mengirimkan buku Rectoverso untuk dia baca. Ternyata Marcella suka. Jadi, sejak awal saya tidak ada masalah dengan sutradara baru, dsb. Saya malah senang ada yang tertarik mengapresiasi Rectoverso dan ingin menjadikannya film. Yang saya tahu Marcella dan rumah produksinya adalah perusahaan profesional dan punya visi yang bagus. Bagi saya itu cukup.

2. Sejauh apa keterlibatan Mbak dalam film ini apakah penulisan skenario di bawah supervisi Mbak Dee semua atau seperti apa? Mengapa tidak menulis sendiri seperti di Perahu Kertas?

Setelah selesai menulis skenario Perahu Kertas, saya kemudian menulis Supernova ke-4, Partikel. Jadi, saat itu saya sudah berkomitmen untuk tidak terlibat dalam proyek penulisan apa pun di luar buku saya sendiri. Karenanya saya tidak terlibat dalam skenario film-film dari buku saya lainnya, seperti Rectoverso ataupun Madre. Saya hanya meluangkan waktu untuk membaca draft-nya, kemudian memberikan masukan. Sebatas itu saja. Supervisinya tidak formal, tapi lebih seperti konsultan informal.

3. Hal apa yang menjadi prioritas perhatian utama mbak Dee dalam proses pembuatan film ini apakah setting tempat/ lokasi atau skenarionya atau pemeran utamanya? Mengapa?

Untuk Rectoverso yang sulit adalah membangun strukturnya, karena Rectoverso terdiri dari lima cerita yang berbeda dengan kekuatan filmis yang juga tidak sana. Selain itu, cara penyajian omnibus, kan, bermacam-macam. Tantangannya adalah mencari yang paling sesuai untuk kebutuhan film, dan bagaimana agar kekuatan maupun kelemahan tiap bagian bisa saling mengisi dan menguatkan. Dan saya tahu Marcella meluangkan waktu cukup panjang untuk membangun struktur cerita di proses editing. Jadi, proses terlama dan paling menantang dari Rectoverso adalah editing-nya.

4. Setelah lewat buku dan album, adakah pesan baru yang ingin disampaikan Rectoverso lewat film? Adakah pesan yang kurang tersampaikan sebelumnya? Bisa diceritakan?

Dalam film, terjadi pengembangan cerita. Karena format bukunya kumpulan cerpen, jadi banyak pengembangan yang bisa dimungkinkan ketika dijadikan film. Aspek cerita yang sifatnya abstrak jadi lebih riil dan nyata. Misalnya saja, di Rectoverso saya tidak menggunakan nama tokoh sama sekali. Dalam film, tentu itu tidak mungkin. Jadi, ada pengembangan nama, latar belakang, dsb. Kalau benang merah dan pesannya, sih, tetap sama. Rectoverso bercerita tentang cinta yang tak terucap.