Sunday, February 8, 2009

EDITOR'S CHOICE Majalah | Writing is Power | August, 2007 | Oktavianti

1. Arti menulis bagi Dee?

Menulis bagi saya adalah kebutuhan, seperti berkomunikasi. Tapi dalam menulis yang diajak komunikasi adalah diri sendiri dan alam kreativitas.

2. Apa bisa dibilang menulis telah menjadi hidup Dee?

Karena sudah menjadi kebutuhan, menulis otomatis menjadi bagian dari sistem penopang hidup saya agar tetap seimbang dan selaras. Menulis bukan keseluruhan hidup saya, tapi bagian besar dari hidup saya.

3. Bagaimana tanggapan Dee tentang: “writing is power”?

Sudah bukan rahasia lagi bahwa tulisan dapat menjadi kekuatan dan katarsis kebudayaan, bahkan politik. Zaman dulu, bahkan sastra menjadi semacam alat pemerintah untuk menanamkan atau menyebarkan nilai-nilai tertentu. Dan seperti halnya semua “alat”, jika dipakai secara baik akan menjadi baik, jika disalahgunakan bisa jadi bencana. Bagi saya pribadi, menulis adalah proses dahsyat di mana manusia bisa terhubungkan dengan kekuatan kreatif yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.

5. Dari mana saja inspirasi dan ide tulisan Dee?

Kebanyakan dari perenungan. Bahan yang direnungkan tentu datangnya dari kehidupan itu sendiri, dari kisah pribadi, kisah orang lain, mengamati alam, dsb. Seorang penulis memang harus jadi pengamat yang baik.

6. Menurut Dee, apa saja yang harus dipersiapkan untuk menulis?

Komitmen. Keberanian. Referensi/Bacaan.

7. Hambatan apa saja yang Dee hadapi saat menulis?

Sekarang ini hambatan yang paling signifikan adalah waktu luang. Dengan adanya anak dan rumah tangga, waktu menulis menjadi barang langka. Beda dengan dulu waktu saya masih single dan bisa menulis seharian tanpa ada beban. Secara realistis, sekarang sudah tidak bisa begitu lagi. Jadi saya sedang belajar untuk menulis dalam potongan-potongan waktu yang relatif singkat, interval 1-2 jam, berhenti, lalu kalau ada kesempatan, menulis lagi. Dan karena saya penulis yang cenderung lamban, hal itu jadi tantangan besar, karena biasanya dalam 1-2 jam saya cuma bergerak ½ halaman.

8. Waktu yang cocok untuk Dee menulis, kapan dan kenapa?

Dulu yang paling cocok adalah jam 10 malam sampai pagi/subuh, saat sudah sepi dan tidak ada gangguan komunikasi seperti krang-kring telepon/hp. Sekarang, asal bisa duduk diam tidak diganggu sudah lebih dari cukup. Mau malam atau pagi atau siang atau sore tidak jadi masalah.

9. Bagaimana cara Dee mengatasi hambatan dalam menulis?

Kalau hambatan ide, biasanya saya menghentikan kegiatan menulisnya lalu melakukan hal lain, seperti membaca atau sama sekali yang tidak ada hubungannya dengan menulis, seperti jalan-jalan atau main dengan anak. Biasanya saya tidak memaksa diri. Saya menanggapinya seolah-olah benak saya minta istirahat, dan jatah itu harus dipenuhi kalau enggak nanti korslet. Hehe.

10. Siapa saja penulis-penulis (dalam dan luar negeri) yang menginspirasi tulisan Dee? Dan kenapa mereka?

Untuk dalam negeri saya suka Sapardi Djoko Damono, Ayu Utami, dan Seno Gumira Ajidarma. Saya suka metafora dan keindahan tulisan Sapardi, Ayu menurut saya adalah penulis yang telaten, estetis, dan cerdas. Dan saya suka gaya tulisan serta kelugasan tulisan Seno. Untuk penulis luar, saya suka Ana Castilo, Dave Eggers, dan terakhir ada penulis Thailand yang bagus sekali, yakni Ratawutt Lapcharoensap.

11. Apa motivasi Dee untuk menulis?

Berbagi. Itu saja.

12. Menurut Dee, tolak ukur kesuksesan penulis bisa dilihat dari apa?

Jika si penulis mampu mengartikulasikan sempurna idealisme dan kreativitasnya, dan tulisannya berhasil memenuhi tujuan dan membangkitkan efek yang ia inginkan. Misalnya, penulis cerita horor harus mampu membuat pembacanya merasa seram. Penulis cerita cinta harus mampu membuat pembacanya terharu-biru, dsb. Jadi tujuan cerita tersebut, apa pun itu, sampai dengan baik.

13. Dari novel-novel yang pernah Dee buat, novel apa yang paling berkesan (kesannya mendalam) baik dari segi pembuatannya, riset, atau yang lain? Dan kenapa?

Sejauh ini yang sangat berkesan secara keseluruhan proses adalah AKAR. Kompleksitas AKAR sangat tinggi, melibatkan banyak negara, banyak bahasa, dan aneka pengetahuan yang tidak saya kuasai, tapi harus mampu saya sajikan sedemikian rupa hingga meyakinkan. Karena itu risetnya benar2 menguras waktu dan tenaga, sekaligus sangat menyenangkan. Untuk mengerjakan AKAR, saya mewawancara dan berkorespondensi dengan puluhan orang, menongkrongi studio tato, kantor ASEAN, sampai mencari info tentang cara membuat detektor ranjau.

14. Bagaimana tanggapan Dee dengan semakin “menggeliat”-nya penulis-penulis wanita dan masih muda-muda?

Saya selalu menanggapi positif jika banyak penulis baru muncul. Soal perempuan dan laki-laki tidak masalah, yang penting tulisannya bagus. Ada yang bilang juga bahwa kondisi penulis muda Indonesia sekarang lebih berat di kuantitas bukan kualitas. Penulis banyak tapi yang bermutu sedikit. Kalau bagi saya, itu juga tidak terlampau masalah, karena seleksi alam secara alamiah akan berlaku. Yang penting orang-orang muda sekarang sudah berani berekspresi dan menuangkannya secara konstruktif dalam bentuk tulisan. Saya percaya tiap jenis tulisan akan punya audiens sendiri kok. Jadi bagi siapa pun yang ingin punya bacaan tertentu, tidak harus menunggu secara pasif, mereka bisa “membuat” bacaannnya sendiri dengan menjadi penulis.

15. Menurut Dee, bagaimana perkembangan menulis/kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini?

Jika dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu tentunya sudah jauh berbeda ya. Tapi bukan berarti tidak ada “rambu” atau “polisi”. Jika zaman pra-reformasi atau Orba yang menjadi polisi adalah pemerintah, sekarang justru yang jadi polisi adalah kelompok-kelompok masyarakat, dan ini bisa menjadi problem baru bagi dunia kreativitas/seni karena aksi protes atau sensor dari kelompok-kelompok masyarakat ini seringnya tidak punya legitimasi tapi bisa jadi lebih keras dan brutal, dan belum tentu juga pihak seniman beroleh perlindungan. Jadi kalau sekarang yang berlaku adalah “risiko tanggung masing-masing”. Yah, pintar-pintarnya kita saja dalam mengemas pesan dan memilih tema yang “aman” tapi tetap tajam dan otentik. Kalau mau nekat juga sah-sah saja, tapi dengan catatan risiko tanggung sendiri. Selalu akan ada perubahan kepentingan dari berbagai macam pihak.

16. Bagaimana awal mula Dee terjun ke dunia menulis ini?

Saya mengawalinya pertama kali ketika cerpen saya “Rico De Coro” (ada dalam kumpulan cerita “Filosofi Kopi”) dimuat di majalah Mode tahun 1997, dua tahun sebelumnya tulisan saya juga pernah memenangkan kompetisi menulis di majalah Gadis, tapi saya pakai nama samaran. Sesudah itu langsung ke “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” tahun 2001. Sebetulnya cuma modal nekat saja, saya menerbitkan sendiri Supernova ke-1 tanpa ada ekspektasi dan pengetahuan lika-liku industri buku. Saya nyaris tidak ada target, siap merugi, yang penting saya menulis buku, itu saja.

17. Menurut Dee, seperti apa penulis yang baik?

Penulis yang jujur pada dirinya sendiri, otentik, berkomitmen, dan mau berkembang.

18. Menurut Dee, seperti apa tulisan yang baik?

Tulisan yang jujur, otentik, menggugah, dan punya kekuatan untuk mengubah sesuatu.

19. Kalau Dee lagi stress / sedang tidak ada ide untuk menulis, apa yang biasanya Dee lakukan?

Jawaban no 9.

20. Bagaimana frekuensi Dee membaca buku? (dalam sehari / seminggu / dst, Dee bisa membaca berapa buku?)

Sebetulnya tidak ada patokan tetap. Tapi kalau memang lagi dalam rangka mencari referensi, intensitas saya membaca sangat tinggi, sehari kadang-kadang bisa dua buku sekaligus. Kalau tebal sekali, saya biasanya menghabiskan 2-3 hari. Jadi kira-kira seminggu bisa 3-4 buku.

21. Apa saja pilihan buku Dee (dalam dan luar negeri)?

Saya memilih buku biasanya berdasarkan tema. Koleksi buku saya berkisar antara tema sains, spiritualitas, well-being, parenting, psikologi, globalisasi, filsafat, puisi, dan (sedikit) fiksi.

22. Menurut Dee, apa saja trik: “how to be a good writer”?

Seperti yang saya ungkap sebelumnya, seorang penulis yang baik harus menjadi pengamat yang baik. Penulis yang mau berkembang juga tidak segan memperkaya diri dengan referensi dan eksperimen. Tapi yang paling penting, penulis yang baik berani jujur pada dirinya sendiri dan berkomitmen untuk terus berkarya. Kita harus menemukan “kegelisahan” kita yang paling utama dan berani untuk terus berdialog dengannya, karena dari sana kita menemukan motor penggerak untuk berkarya.

23. Apa pendapat Dee jika “reading is a fashion”?

Reading can be a fashion, can be anything. Ada yang bilang bahwa anak sekarang membaca supaya dibilang keren. Menurut saya itu perkembangan yang baik dan patut didukung. Tren memang faktor pemicu yang sangat jitu, terutama di kalangan anak muda. Jika tren yang timbul sifatnya positif, harus didukung sebaik-baiknya. Awalnya fashion dulu, lama-lama kalau kecantol kan jadi kebutuhan.

24. Apa yang Dee dapat dari menulis?

Dari level superfisial, saya mendapatkan banyak pengalaman dan pertemuan menarik dengan orang-orang baru, pergi ke banyak tempat, dan menimba banyak ilmu. Dari level spiritual, menulis menjadi gerbang saya menemukan jati diri.

25. Apa yang Dee dapat dari menyanyi?

Menyanyi dan bermusik menjadi cara saya mencinta. Banyak keindahan dan perasaan yang bisa terungkap sempurna lewat menulis lagu dan menyanyi, dan itu menjadi kepuasan tersendiri yang tidak bisa terukur.

26. Jika diminta memilih, akan memilih yang mana dan kenapa?

Tidak bisa memilih, dan tak perlu memilih. Kedua-duanya adalah aspek yang tak terpisahkan dari diri saya.

27. Kepuasan apa yang didapat dari menulis yang tidak didapat dari menyanyi?

Menulis itu seperti menciptakan semesta sendiri, lebih komplet dan komprehensif, tapi tidak berarti lebih unggul dari musik, karena keduanya bersifat komplementer.

28. Kira-kira faktor penyebabnya apa?

Lewat menulis saya bisa mengeksplorasi karakter, narasi, dan plot. Dalam lagu, unsur itu ada tapi terbatas, jadi kisah dalam lagu cenderung lebih abstrak dan interpretatif. Tapi justru di situ jugalah kelebihan musik. Musik bisa dihayati bahkan lebih mendalam, dan bisa jadi lebih langgeng dan tak lekang zaman. Lagu juga punya melodi, dan itu satu kelebihan sendiri dibanding kata-kata belaka.

29. Apa “misi” terbesar dalam kegiatan menulis ini? Apakah untuk kepuasan batin atau ada yang ingin Anda sampaikan dalam setiap tulisan Anda? Misalnya: untuk perubahan bangsa ini, atau bagaimana?

Bagi saya pribadi, misi menulis itu sederhana dan sebaiknya juga memang dijaga agar tetap sederhana. Saya ingin menulis buku yang ingin saya baca, yang artinya saya menulis apa yang saya suka, dan saya mencintai kegiatan menulis itu sendiri. Jika ternyata itu bisa mengubah bangsa ke arah yang lebih baik, saya bersyukur. Itu bisa dibilang bonus. Tapi jika tidak mengubah apa-apa, juga tetap tidak masalah, karena pada intinya semua penulis hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, otentisitasnya, dan kejujuran batinnya.

30. Dengan kepercayaan Buddha yang Anda yakini saat ini, ada tidak pengaruhnya sedikit banyak ke dalam tulisan Anda? Boleh dong berbagi pengalaman Dee yang paling berkesan mengenai hal itu?

Sejak lama sebetulnya saya sudah menyukai tema spiritualitas secara umum, dan jika dicermati, semua tulisan saya, terutama serial Supernova, memang berjangkar pada masalah spiritualitas. Boleh dibilang, itulah motor penggerak saya berkarya, yakni masalah jati diri, masalah kesadaran, “inner journey”, dll.
Sejak tahun 2002 pun saya banyak menuliskan soal Buddhism di “Supernova: AKAR”, karena tokoh utama saya memang ceritanya seorang Buddhis. Bagi saya inti dari ajaran Buddha adalah kesadaran. Dan tanpa perlu eksplisit menggunakan istilah-istilah Buddhis sekalipun, jika seorang penulis mengungkapkan muatan kesadaran/keelingan dalam karyanya, sesungguhnya dia pun sedang menuliskan eksplorasinya dalam menghayati dan memaknai jati diri. Dan itu merupakan hal yang universal.

31. Apa yang Anda dapat dari kepercayaan Buddha Anda sekarang yang belum pernah Anda rasakan dan sangat berpengaruh ke tulisan Anda?

Jawaban no 30.

32. Now, you’re being a mother, how do you feel?

It’s truly a blessing. Kehadiran Keenan bagi saya seperti kehadiran seorang guru. Melalui tugas saya sebagai orang tua, saya belajar banyak sekali.

33. Boleh juga dong berbagi pengalaman dalam kesibukan mengurus anak?

Karena pekerjaan saya yang sifatnya free-lance seperti ini, secara umum saya cukup punya banyak waktu dengan Keenan, tapi bukan berarti saya nggak sering pergi juga. Sampai 2,5 tahun, dia selalu ikut ke mana pun saya pergi, termasuk ke luar kota dan luar negeri. Sekarang, karena dia sudah mulai playgroup, kalau bepergiannya tidak terlalu lama saya sudah berani meninggalkan dia di Bandung. Yang jelas, hubungan kami dekat sekali, Keenan menyusui sampai umur 3 tahun. Kami punya kebiasaan tutup pintu rapat-rapat kalau sudah jamnya Keenan tidur, berdoa, dan baca buku bareng.

34. Sebagai orang tua, seperti apa Dee mengarahkan anak (dalam hal seperti: pendidikan, cita-cita, dan lain-lain)?

Saya hanya ingin Keenan berkembang maksimal sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Dan tidak perlu dia sampai stres mengejar prestasi akademis. Yang penting dia punya inisiatif yang bagus, haus ilmu dan wawasan, serta nyaman dengan dirinya sendiri. Dan yang lebih penting lagi, menjadi manusia yang penuh kasih. Untuk itu, tentunya kami harus menjadi contoh, tidak ada cara yang lebih efisien. Karena anak tumbuh besar dengan meniru. Bukan berarti kami harus tampil sebagai orang tua sempurna tanpa cacat dan masalah, tapi setiap masalah yang kami hadapi, diselesaikan dengan cara yang baik, terbuka, dan berbasiskan kasih sayang.

35. Dee termasuk orang penyuka makanan apa? Minuman apa? Film apa?

Saya penyuka masakan Indonesia sejati. Sejak jadi vegetarian, memang jadi lebih sering makan masakan Sunda karena olahan tahu-tempenya banyak dan menunya simpel. Untuk minuman, saya suka air putih, jus buah tanpa gula, dan teh herbal.
Saya suka film drama, sitkom, film-film komedi yang ‘hancur’ juga suka, kayak filmnya Will Ferrel, Adam Sandler, dan Ben Stiller. Film favorit saya sejauh ini Matrix dan Lord Of The Rings.

36. Apa saja harapan Dee mendatang (baik di karier dan keluarga)? Planning dan cita-cita Dee mendatang?

Sekarang ini saya lebih suka menjalani hidup ‘one day at a time’. Bukan berarti tidak ada perencanaan sama sekali, tapi dalam perencanaan hidup saya berusaha nggak terlalu ‘distant-future-oriented’, apa lagi yang terlampau jauh ke depan. Membesarkan Keenan sebaik mungkin, berkarya seoptimal mungkin, dan menjalankan hidup sesadar mungkin. Itu saja.