Wednesday, February 17, 2016

Bentang Pustaka | Supernova IEP - Part 1 | Januari, 2016 | by Fitria C. Farisa


Bagaimana ide awal Dee menulis Supernova? Mungkin bisa diceritakan sejarah lahirnya Supernova sendiri?

Supernova bisa dibilang adalah gabungan dari topik  maupun hal-hal yang saya suka, yang saat itu tidak saya temukan di kepustakaan Indonesia, yakni fiksi yang menampung perihal spiritual, sains, konflik percintaan, persahabatan, dengan setting urban kontemporer. Saya terpicu oleh konflik religius yang pada akhir tahun 90-an terjadi di banyak tempat di Indonesia, dan karena saya memang hobi menulis fiksi sejak kecil, jadi menuangkan kegelisahan lewat karya fiksi adalah refleks saya. Saya pikir, dengan fiksi, perenungan-perenungan yang cenderung “berat” bisa dicairkan. Fiksi menjadi jembatan bagi saya untuk mengomunikasikan ide-ide saya. Target saya waktu itu juga bukan untuk meraup sebanyak-banyaknya pembaca, tapi lebih ke katarsis personal saja, karenanya Supernova KPBJ saat itu saya terbitkan sendiri karena mengejar momentum ulang tahun ke-25. Supernova adalah kado bagi diri saya sendiri. 

Apa memang dari awal udah rencana membuat Supernova menjadi berseri?

Sudah. Itu sudah saya umumkan sejak merilis Supernova KPBJ tahun 2001. Saya mulai membuat sketsa Akar hingga Gelombang dari tahun 2002. Bahkan judul episode terakhir, Inteligensi Embun Pagi, juga sudah saya umumkan begitu saya merilis Akar tahun 2002.

Supernova kan sci-fi, sedangkan Dee sendiri studinya adalah HI. Saya pribadi terheran-heran banget gimana seorang yang nggak menjalani studi formal sains bisa menulis teori Fisika, Biologi, dsb, dengan begitu luar biasa. Nah, dari mana saja Dee belajar tentang sains?

Saya pribadi selalu percaya bahwa pendidikan formal kita seringkali tidak menentukan minat dan ketertarikan personal kita dalam kehidupan sehari-hari. Ketertarikan terbesar yang menggerakkan saya menulis Supernova sebenarnya adalah spiritualitas. Pada tahun 2000 saya mulai membaca karya-karya sains yang ditulis oleh para ilmuwan yang juga berusaha mendedah spiritualitas dari sudut pandang berbeda. Sejak itu saya jadi lebih banyak baca buku sains. Pada dasarnya saya cukup suka ilmu alam. Jadi, meski secara formal saya tidak belajar sains, saya tidak merasa terlalu kesulitan memahami buku-buku tersebut. Mungkin karena ketertarikan saya sesungguhnya bukan ke teknisnya tapi cenderung ke makna filosofisnya. Kalau disuruh kerja di laboratorium, saya belum tentu suka. Hehe.

Untuk proses kreatif Supernova sendiri, berapa rata-rata waktu yang Dee butuhkan untuk menulis naskah?

Rata-rata satu tahun untuk satu buku, termasuk masa penyuntingan.

Bagaimana cara Dee menggali ide-ide gila yang dimunculkan di Supernova? Nggak berlebihan, pertama kali saya baca Supernova, saya pikir ide di dalamnya gila banget, liar, dan out of the box.

Sebetulnya tidak banyak berbeda dengan penulisan cerita pada umumnya, segala ide dan informasi teknis yang saya miliki harus ditempatkan dalam kerangka cerita. Ide adalah konten yang ketika sudah masuk ke cerita harus lebur dan subtil. Gerbong dan lokomotifnya tetap elemen-elemen fiksi seperti karakter, konflik, setting, dsb. Misalnya, tentang fungi. Banyak sekali hal menarik tentang fungi, tapi tidak semuanya bisa dikawinkan dengan elemen fiksi yang tengah saya garap, jadi pada akhirnya saya hanya memasukkan hal-hal yang mendukung cerita. Dari enam atau tujuh buku yang saya baca untuk riset fungi, ketika sudah masuk ke dalam cerita paling jadinya hanya beberapa halaman saja.

Lalu, bagaimana cara Dee mendalami karakter yang Dee buat sendiri?

Ketika saya menulis tentang satu karakter, saya menyetel mindset saya sedemikian rupa untuk bisa melihat dunia dari sudut pandang karakter saya, bukan lagi Dee Lestari. Mungkin kasarnya seperti “dirasuki”. Dan, itu terjadi berbulan-bulan sepanjang saya menulis. Dalam bercerita, sebisa mungkin saya menahan “Dee Lestari” untuk muncul, dan membiarkan karakter saya yang menonjol. Meski karakteristik  saya dalam menyusun kata, memilih diksi, pasti terasa oleh para pembaca yang sudah familier dengan tulisan saya, akan beda rasanya jika saya dengan sadar menahan ego saya muncul. Pembaca akan lebih mudah terhubung dengan karakter; mereka bisa jatuh cinta, tergila-gila, simpati, sebal, dsb. Emosi-emosi riil seperti itu yang menurut saya menghidupkan karakter di benak pembaca. Mereka punya akses penuh untuk punya hubungan dengan karakter secara langsung tanpa saya “menginterupsi”.

Bukan cuma mendalami karakter, bagaimana Dee bisa menggambarkan suatu tempat di negara lain dengan begitu detail? Menggambarkan suatu profesi, bahkan tradisi agama dengan sangat spesifik. Riset seperti apa yang Dee lakukan?

Sebetulnya apa yang saya kumpulkan dalam sebuah riset pasti berlipat-lipat jumlahnya dibandingkan apa yang akhirnya masuk ke cerita. Seperti yang saya sebutkan tadi, untuk topik fungi, saya bisa membaca enam sampai tujuh buku tapi pada kenyataannya yang masuk ke dalam cerita paling hanya beberapa halaman. Jadi, ke mana sisanya? Menurut saya, riset punya beberapa fungsi. Pertama, untuk menjadi bahan keyakinan bagi penulis, sama halnya kita belajar untuk ujian. Semakin banyak yang kita pelajari, kita cenderung lebih pede menghadapi ujian, walaupun belum tentu yang kita pelajari bakal keluar semua di soal. Kedua, riset yang strategis akan memperkuat keyakinan pembaca kepada tulisan kita. Strategis di sini maksudnya adalah tidak perlu banyak, tapi tepat guna. Riset kita harus mendukung elemen cerita, memperkuat deskripsi, menstimulasi panca indra pembaca. Dengan keleluasaan informasi seperti zaman sekarang ini, sebenarnya sudah sangat mudah untuk riset. Tinggal kitanya yang tahu bagaimana melakukan riset dengan tepat. Saya melakukan riset pustaka, video, wawancara dengan narasumber, atau datang ke tempatnya langsung. Yang terakhir paling jarang saya lakukan karena kendala waktu, tapi menurut saya bukan penghalang untuk kita bisa punya bahan yang meyakinkan.


Lalu, bisa diceritakan apa saja makna simbol dari setiap seri Supernova?

Kover KPBJ: Jaring Laba-laba, melambangkan keterhubungan.
Kover Akar: Flower of Life, melambangkan mekanisme dasar bagaimana hidup ini bertumbuh kembang.
Kover Petir: Antahkarana, melambangkan keterhubungan holistik antara dua level kesadaran; pikiran/intelek dan jiwa/kesadaran lebih tinggi.  
Kover Partikel: simbol dari Bumi.
Kover Gelombang: simbol dari gelombang kesadaran yang kemudian membentuk realitas.
Kover IEP: tripel heliks dalam bingkai heksagonal, melambangkan penggabungan tiga frekuensi dimensi dalam wadah formasi para Peretas (yang berjumlah enam orang). 
Kover Supernova sebetulnya mewakili masing-masing tokoh utama. Beberapa simbol ada yang saya rancang sendiri dibantu desainer (KPBJ, Gelombang, IEP), beberapa ada yang saya ambil dari simbol kuno (Akar, Petir, Partikel).

Apa saja kesulitan yang Dee alami selama menulis Supernova?

Banyak, tapi kesulitannya lebih banyak ke masalah jadwal dan distraksi dari tawaran-tawaran pekerjaan yang bermunculan sepanjang proses menulis. Jadi tantangannya lebih kepada menjaga fokus saya sepanjang menulis. Karena itulah sejak Partikel hingga IEP saya tidak mengambil proyek kreatif apa pun. Sekalinya saya terlibat dalam sesuatu, saya bisa berhenti menulis sampai sebulan, seperti waktu rilis film Filosofi Kopi, padahal keterlibatan saya di film itu cuma sebatas musik, promosi, dan penggarapan ide dasar cerita. Kalau sampai saya nulis skenario seperti waktu Perahu Kertas, saya bisa-bisa off setahun. Saya memang nggak bisa menjalankan beberapa proyek kreatif sekaligus, harus pilih satu.

Ada kebiasaan-kebiasaan tertentu saat menulis Supernova?

Kebiasaannya berganti-ganti tergantung sikon. Waktu Partikel, saya nulis sambil ngasuh anak saya yang masih kecil. Waktu Gelombang, saya menulis subuh. Waktu IEP, saya menulis di luar rumah. Yang jelas, semenjak Partikel, saya mulai punya sistem kerja yang jauh lebih baik dari buku-buku sebelumnya, yang terus saya perbaiki hingga IEP kemarin ini. Yang terpenting adalah punya rekam jejak perkembangan pekerjaan kita, punya deadline, dan menerjemahkan target-target kita ke dalam hitungan jam atau hari yang terukur.

Fans Supernova kan luar biasa, nih. Ada nggak kejadian-kejadian unik dari fans Supernova yang berkesan untuk Dee?

Waktu Supernova KPBJ, sempat tercipta sebuah milis para pembaca Supernova (milis Truedee), yang kemudian berkembang serius sampai akhirnya mereka menerbitkan buku, dan bahkan sampai sekarang masih sering ngumpul, yang berarti sudah 15 tahun lamanya.

Mungkin ada hal-hal unik yang nggak banyak diketahui orang tentang proses kreatif Supernova?

Saat penyelesaian akhir IEP, saya sempat ngungsi ke hotel agar bisa fokus menulis.

Pertanyaan terakhir, apa arti Supernova untuk Dee?

Supernova bagi saya adalah penelusuran ke dalam. Supernova adalah salah satu cara saya bertanya tentang hal-hal mendasar tentang diri dan eksistensi.