Monday, December 22, 2014

Parents Indonesia | Menulis & Membaca | Oktober, 2013 | by Resti Agtadwimawanti


Sebetulnya, tantangan menulis bagi pemula itu apa saja sih, Mbak? Mungkin Mbak Dee bisa flash back saat pertama kali menulis. Bagaimana cara Mbak mengatasinya?

Seingat saya, saat itu yang paling menantang adalah menyelesaikan cerita itu sendiri. Untuk cerita pendek sih nggak ada masalah. Tapi, saya kan sangat senang menulis novel. Sepertinya saat itu saya belum punya "stamina" dan pengalaman menulis cukup untuk bisa bertahan hingga cerita tamat. Supernova 1 adalah novel pertama saya yang berhasil tamat. Cara saya mengatasinya adalah terus mencoba. Lama-lama pengalaman itu akan terakumulasi sendiri.

Perlu enggak sih bagi penulis pemula untuk menentukan target, atau biarkan saja dulu untuk mengasah kepiawaiannya dalam menulis?

Selama targetnya realistis sih sah-sah saja. Yang agak sulit adalah, misalnya, berharap untuk terus menerus menang lomba. Untuk sebuah karya memenangkan lomba atau masuk ke media biasanya amat tergantung subjektivitas juri dan kebutuhan redaksi. Selama para penulis pemula tsb punya mental yang cukup kuat terhadap penolakan, boleh-boleh saja pasang target seperti itu. Tapi, menurut saya lebih realistis kalau targetnya adalah menyelesaikan sebuah novel dalam dua bulan, atau mengerjakan cerpen dalam dua minggu, dan seterusnya. Bisa juga itu diterapkan dalam target membaca. Toh, kalau ada karya yang sudah jadi, penulis bisa memulai mempublikasikannya via blog, atau minimal di-share ke teman-teman dan lingkungan dekatnya.

Kadang, orang enggan mencoba untuk menulis dengan alasan “enggak bakat”. Karena itu juga, bisa jadi tulisan enggak kelar-kelar. Menurut pandangan Mbak Dee sendiri bagaimana?

Bakat menurut saya memang menjadi faktor tersendiri. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan batin yang peka dan punya archetype pencerita. Biasanya mereka dengan alami pandai merangkai cerita. Tapi, menulis juga merupakan skill dan teknik, yang artinya bisa dipelajari. Semakin jernih dan peka seseorang bisa merasa dan berpikir, semakin mudah mereka bisa mengomunikasikan alam pikirnya. Saya rasa itu modal utama seorang penulis.

Passion tentang apa yang hendak kita tulis itu berperan pentingkah? Seperti apa penerapannya pada karya-karya Mbak?

Tipe kepenulisan itu bermacam-macam. Ada orang yang memang hanya bisa membuat sebuah tulisan berdasarkan passion-nya, tapi ada juga orang-orang yang memang pekerja aksara. Mereka bisa menulis apa saja, tanpa harus passionate terlebih dulu terhadap apa yang mereka ingin tulis. Ini sering berlaku untuk tulisan-tulisan yang sifatnya lebih teknis seperti reportase, jurnalistik, riset, dll. Karena saya penulis fiksi, tentunya saya menulis berdasarkan imajinasi saya. Dan imajinasi saya didapat dari kombinasi minat, passion, observasi, riset.

Saran dari mbak Dee, sebaiknya penulis pemula ini menulis karya dalam bentuk apa dulu nih, Mbak? Misalnya cukup nge-blog dulu atau mungkin rajin mengirim artikel singkat ke media massa.

Keduanya bisa. Tapi kalau ke media massa, ya harus punya kiat, kita harus mengenal karakter media massa tersebut seperti apa, supaya tidak salah sasaran. Kalau blog kita sendiri kan bebas.

Bagaimana Mbak mengatur waktu saat Mbak harus segera menyelesaikan karya dan Mbak juga harus mengasuh anak? Ini juga mungkin bisa menjadi kendala terselesaikannya sebuah tulisan.

Sebelum punya anak, saya punya konsep ideal tentang menulis, bahwa menulis itu harus malam hari, harus panjang waktunya, tidak terputus, tidak ada gangguan, dsb. Setelah punya anak, saya harus menghadapi realitas bahwa konsep ideal tersebut sudah tidak bisa diwujudkan. Dan kalau saya menunggu kondisi ideal itu hadir, tidak akan ada buku baru yang lahir. Akhirnya saya belajar berdamai. Saya mencoba menulis di siang hari, pagi hari, kapan pun saya punya waktu. Tidak lagi harus durasi waktu panjang tapi sebisanya. Kalau dapat sejam ya syukur, kalau enggak, ya harus bisa menyambung lagi begitu ada kesempatan. Dari delapan buku yang kini terbit, hanya ada dua buku yang saya kerjakan sebelum punya anak, yakni Supernova 1 dan 2. Enam buku sesudahnya, termasuk Partikel yang lebih dari 500 halaman, saya kerjakan setelah punya anak. Berarti sebetulnya punya anak bukan sebuah keterbatasan, melainkan tantangan yang bisa disiasati.

Bisa di-sharing momen-momen yang enggak terlupakan pada saat itu? Soalnya beberapa saat lalu saya sempat baca tweet Mbak tentang saat Mbak harus ngetik sambil gendong bayi.

Waktu nulis Supernova 3 (Petir), Keenan sudah lahir. 40% buku tersebut saya selesaikan sambil mengasuh Keenan yang masih bayi. Saya hanya bisa menulis waktu dia tidur. Dan karena masih menyusui, mau tidak mau, kadang-kadang saya terpaksa mengetik satu tangan sambil sebelah tangannya lagi menggendong dia yang sedang menyusui. Waktu nulis Madre dan Partikel, Atisha juga sudah lahir. Saya baru mulai menulis lagi setelah Atisha berumur setahun lebih. Caranya kurang lebih sama, yakni dengan mencuri waktu sebisanya. Setiap hari syukurnya masih dapat satu-dua jam menulis di kamar tanpa diganggu, sementara Atisha main dengan pengasuh atau ayahnya.

Lalu, untuk membiasakan anak gemar membaca, bisa sharing tentang cara Mbak dalam membiasakan Keenan membaca? Mungkin ada waktu tertentu atau dengan cara yang menyenangkan?

Membaca selalu jadi ritual hampir setiap malam. Tidak ada buku pun saya suka mengarang cerita sendiri. Intinya, mereka dibiasakan mendengar storytelling.

Keenan dibiasakan membaca sejak usia berapa, Mbak? Aatau mungkin Atisha juga sudah distimulasi? Seperti apa stimulasinya?

Keenan cukup awal saya kenalkan pada membaca. Dia sudah bisa membaca dari umur dua tahun karena saya latih dengan menggunakan flash card. Lalu dilanjutkan dengan buku-buku sederhana. Saya juga selalu menyediakan stok bacaan yang banyak untuknya. Kami kadang-kadang ke toko buku bersama dan anak-anak boleh memilih buku yang mereka suka. Singkatnya, mereka mendapat akses mudah ke buku/bacaan.

Kendala umumnya apa sih saat pertama kali membiasakan anak untuk senang membaca? Dalam prosesnya, Mbak sendiri butuh berapa lama untuk membiasakan gemar membaca kepada Keenan? Apakah Mbak memberikan semacam reward kalau Keenan mau membaca? Kalau ya, seperti apa?

Kendalanya sebetulnya ada pada orang tua. Saya rasa, anak secara alamiah adalah seorang pembelajar. Mereka penuh keingintahuan dan merespons dengan baik pada segala sesuatu yang baru. Masalahnya, kadang-kadang kita sebagai orang tua memiliki keterbatasan waktu, fokus, tenaga, dan konsistensi untuk bisa terus mengenalkan anak pada dunia baca.

Bacaan apa saja yang Mbak berikan kepada anak-anak? Terbatas pada pelajaran sekolah atau bagaimana? Dan, bacaan yang paling disukai Keenan itu apa, ya?

Bacaan yang saya sediakan di rumah merupakan gabungan dari buku pengetahuan, fiksi, komik. Tidak terbatas dalam bentuk cetak saja, buku digital seperti dongeng anak2 elektronik yang bisa dibaca di Ipad pun kami suka kasih. Keenan saat ini lebih suka buku pengetahuan. Dia senang mempelajari binatang dan fenomena alam. Kalau fiksi, dia lagi suka Tintin.

Apakah ada tanda-tanda bahwa Keenan juga doyan nulis seperti mamanya?

Belum tahu. Saat ini dia lebih senang nonfiksi ketimbang fiksi. Tapi saya nggak memaksakan juga sih, ikut arusnya saja sambil terus dipantau.