Monday, December 22, 2014

Majalah HAI | Film Madre | Maret, 2013 | by Anka Perkasa


Ide awal Dee untuk menulis Madre datang dari mana? Apakah Dee sendiri penggemar roti?

Idenya datang ketika saya ikut kursus membuat roti, dan saat itu instruktur saya menceritakan tentang adonan biang, dan bedanya dengan pengembang roti instan. Saat itu rasanya saya kecantol dengan adonan biang itu, saya merasa adonan biang memiliki aspek cerita yang sangat menarik. Sepulang kursus, saya langsung googling dan mencari tahu lebih banyak tentang adonan biang. Dalam kepala saya berkembanglah cerita, dan itu yang kemudian saya tuangkan menjadi novelet Madre.

Siapa yang pertama kali mengajukan untuk mengangkat Madre menjadi film?

Yang mengajukan adalah pihak produser tentunya, yakni Mizan Production. Setelah membaca Madre, Pak Putut Widjanarko dari Mizan Production mengontak saya dan mengungkapkan ketertarikannya untuk menjadikan Madre sebagai film. Proses kontraknya tidak langsung, kira-kira setengah tahun setelah ide itu terlontar, baru betulan diikat dalam kontrak dan Mizan mulai ancang-ancang produksi.

Ada persyaratan khusus yang diajukan ke produser yang ingin mengadaptasi novel Dee ke film?

Tergantung, sih. Untuk Perahu Kertas, saya memang ingin terlibat sebagai penulis skenario dan ikut proses casting. Barangkali karena itu kisah saya yang pertama kali diangkat jadi film, dan menulis skenario Perahu Kertas merupakan impian saya sejak lama. Tapi untuk yang sesudahnya, Rectoverso dan Madre, saya sebetulnya sudah lebih melepas proses tersebut ke tangan produser dan sutradara. Saat itu memang saya tidak dimungkinkan secara waktu untuk terlibat proyek lain berhubung sedang intensif menulis Partikel. Karena begitu nyebur ke dalam produksi film, nggak bisa tanggung-tanggung. Jadi, buat saya lebih baik melepas sekalian. Meski begitu untuk Rectoverso saya masih dilibatkan sebagai konsultan informal. Sementara untuk Madre saya sempat kasih masukan untuk plotnya. Tapi, keterlibatan saya bisa dibilang minimal.

Madre itu novelet dengan cerita yang nggak terlalu panjang. Saat harus diangkat ke layar lebar ada beberapa penambahan skenario di filmnya. Apakah ide di film Dee yang membuat atau tim dari film yang membuatnya?

Untuk Madre, pengembangannya dilakukan sepenuhnya oleh Benni Setiawan, penulis skenario sekaligus sutradara dari film Madre. Kalau Rectoverso, saya cukup banyak kasih masukan ke sutradara, walaupun saya nggak ngedit langsung skenarionya.

Opini Dee tentang Benni Setiawan? Apa yang Dee suka dari dia?

Ini adalah kerja sama saya pertama kali dengan Benni Setiawan. Yang saya tangkap dari beliau adalah keseriusannya. Membuat setting Madre tidak mudah, tapi Benni mengarapnya dengan sungguh-sungguh.

Pernah merasa beban nggak saat novelnya diangkat menjadi film?

Kadang-kadang. Waktu Perahu Kertas, karena proyek perdana, terasa lebih berbeban. Sekarang sih rasanya enggak. Sejak saya terlibat produksi, saya lebih memahami kompleksitas produksi dan industri film, jadi saya lebih bisa menerima keterbatasan sekaligus kelebihan medium film.

Menurut Dee, keuntungan saat sebuah film mengambil cerita dari sebuah novel? Kalau kesulitannya?

Keuntungannya karena sudah ada penonton yang "pasti", yang terdiri dari fans sang pembaca, prosentase dari jumlah pembeli buku, dll. Jadi sudah lebih terukur derajat keberhasilannya. Sementara kesulitannya tentu karena film yang diadaptasi akan mengalami pembandingan dari pembacanya, yang bisa suka atau nggak suka, sehingga otomatis beban para pembuat film lebih berat.

Dari semua karya Dee. Ada nggak yang paling ingin diangkat jadi film?

Yang paling saya inginkan adalah Perahu Kertas dan sudah terwujud. Judul-judul lain bagi saya adalah bonus, kalau terwujud dan hasilnya bagus ya syukur. Kalau tidak jadi film pun tidak apa-apa.

Apakah Dee punya film favorit yang ceritanya diangkat dari novel? Kenapa?

Lords of the Rings. Karena nonton filmnya lebih nikmat dan mudah daripada baca bukunya.