Sunday, December 21, 2014

Koran Jakarta | Profil | Mei. 2012 | by Edwin Habibun


Boleh diceritakan bagaimana kehidupan masa kecil seorang Dewi Lestari?

Masa kecil saya berpindah-pindah kota, karena ikut dinas Bapak yang prajurit militer. Baru sejak kelas 4 SD saya menetap permanen di Bandung hingga sarjana. Saya lima bersaudara, jadi semarak. Senang berkhayal sejak kecil. Mulai senang menulis sejak kelas 5 SD.

Selama perjalanan hidup Dewi Lestari, kira-kira sosok siapakah yang memberikan influence paling besar?

Sepertinya tidak ada sosok tunggal. Keluarga jelas memberi pengaruh, kakak-kakak dan adik saya. Teman-teman, mentor-mentor, buku-buku yang saya baca, film yang saya tonton. Saya nggak bisa menunjuk satu pihak. 

Bila diberi kesempatan untuk mendeskripsikan sosok Dewi Lestari dengan menggunakan satu kata, apakah kata tersebut? Mengapa?

"Penasaran". Karena sepertinya banyak hal dalam hidup ini yang saya telusuri berawal dari rasa penasaran.

Dewi Lestari ingin dikenal dan diingat sebagai apa dan siapa?

Seseorang yang berkarya. Itu saja.

Sebelum Supernova keluar, Dewi Lestari memang dikabarkan memang senang menulis dan mengirimkan hasil tulisannya ke berbagai media. Tapi hal apa yang membuat Dewi Lestari memutuskan membuat sebuah novel?

Itu tidak benar. Saya amat jarang menulis untuk media. Sebelum Supernova hanya ada dua tulisan saya yang dipublikasi. Yang pertama, waktu saya jadi juara lomba menulis esai di majalah Gadis, tapi pakai nama adik saya, jadi tetap nama saya tidak muncul. Yang kedua, cerpen di majalah Mode, yaitu Rico De Coro. Tapi itu pun bukan saya mengirimkan, melainkan Hilman Hariwijaya (penulis Lupus, yang juga teman baik kakak saya) yang memasukkan naskahnya ke Mode. Saya menulis novel karena memang ingin menerbitkan buku dalam rangka menghadiahi diri sendiri pada ulang tahun saya ke-25. Dan Supernova adalah novel pertama saya yang berhasil rampung. Kebanyakan tulisan saya dulu yang formatnya novel gagal di tengah jalan.

Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh sangat sensasional dan memasuki nominasi Katulistiwa Literary Award disandingkan dengan penulis senior lainnya. Bagaimana perasaan Dewi Lestari saat itu?

Senang, bangga, sekaligus lucu. Karena saya betul-betul satu-satunya finalis yang umurnya masih 20-an, sementara yang lain penulis berusia 50-an ke atas semua. Tahun-tahun berikutnya Khatulistiwa akhirnya memisahkan kategori penulis muda. Pada waktu zaman saya masih tidak ada kategori itu.

Sebuah kontroversi, bagaimana seorang Dewi menyikapinya?

Kontroversi adalah konsekuensi dari keberagaman persepsi orang. Pro-kontra, suka-tak suka, setuju tak setuju, itulah dualitas yang selalu kita temui dan pasti akan selalu muncul karena memang bagian dari realitas kita. Saya tidak tahu persis bagaimana harus menyikapi kontroversi, saya rasa nggak ada rumus bakunya untuk itu. Kalau terjadi ya terjadilah, dan hadapi. Segalanya toh akan berlalu pada akhirnya.

Ciri khas Dewi Lestari dalam menulis lebih ke mana? Dan lebih menyenangi mengambil tema apa?

Saya rasa ciri khas adalah sesuatu yang sebaiknya dinilai oleh pembaca dan kritikus. Saya kurang berjarak untuk bisa menilai ciri khas saya apa. Kalau sedang menulis ya menulis saja, tanpa berpikir ini ciri saya atau bukan. Kalau tema, saya menyukai tema-tema spiritualitas, pencarian jati diri.

Target pembaca Dewi Lestari sebenarnya siapa saja?

Ini juga sesuatu yang sebaiknya dijawab oleh penerbit. Saya nggak punya target khusus. Yang jelas, dari profil pembaca saya saat ini kebanyakan, ya, anak muda, anak kuliahan, dan orang-orang di rentang usia 30-40 tahun.

Dalam menulis sesuatu, kiranya Dewi Lestari memperoleh inspirasi dari mana saja?

Dari hidup itu sendiri. Tidak ada yang spesifik. Menurut saya inspirasi itu tidak bisa "diperoleh", inspirasilah yang memilih kita. Selama kita peka dan mengamati hidup dengan baik, inspirasi selalu ada.

Hal apa yang Dewi Lestari senangi dalam berprofesi sebagai penulis?

Profesi penulis tidak kenal usia, tidak kenal pensiun, sampai umur berapa pun, selama masih bisa berpikir, ya bisa menulis. Saya juga tidak harus "perform" di depan umum dengan persyaratan seperti halnya penyanyi, lebih santai. Saya bisa lebih banyak di rumah. Di sisi lain, buku memiliki daya jangkau dan daya ubah yang sama kuatnya seperti musik.

Tiga buku favorit yang Dewi Lestari pernah baca? Mengapa?

Buku favorit saya jelas lebih dari tiga. Jadi, saya menuliskan ini bukan karena ini tiga buku yang mengalahkan lainnya, melainkan yang paling berkesan untuk diingat saat ini: Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono, Self Aware Universe - Amit Goswami, Fingerprints of the Gods - Graham Hancock.

Boleh tahu bagaimana kabar Rida Sita Dewi? Apakah ada rencana untuk mengadakan pentas atau pertunjukkan bersama kembali?

Perkawanan dengan Rida dan Sita sih tetap berjalan baik. Walaupun lebih banyak menyapa di dunia maya karena jarak tinggal kami masing-masing cukup jauh. Saya masih lebih sering ketemu Sita karena sama-sama di Jakarta. Rencana untuk pentas lagi sebetulnya ada, semacam reunion show. Tapi belum dijalankan dengan serius, dan sepertinya untuk mempersiapkan itu kami harus benar-benar commit menyiapkannya. Saat ini belum ada tanda-tanda ke arah sana.

Bagaimana menyeimbangkan kegiatan berkeluarga, as a mother and a wife, dengan profesi Dewi Lestari sendiri?

Nggak tahu persis bagaimana, selain menjalaninya saja. Prioritas tentunya berganti-ganti, situasional tergantung keadaan. Saat anak saya masih bayi, ya jelas saya nggak memprioritaskan pekerjaan sama sekali. Setelah sekarang sudah memasuki fase batita, saya mulai bisa bekerja lagi. Nanti-nanti bisa berubah lagi.

Rencana ke depan seorang Dewi Lestari kira-kira apa saja?

Saat ini target saya dalam pekerjaan adalah menyelesaikan serial Supernova. Kesempatan dan berbagai penawaran selalu akan datang dan pergi, jadi saya nggak berencana macam-macam. Menyelesaikan Supernova menjadi prioritas untuk bidang pekerjaan.

Kira-kira boleh berbagi tips dari Dewi Lestari untuk para penulis yang ingin menulis sebuah novel, namun tidak tahu harus memulainya dari mana?

Tulislah buku yang ingin kita baca. Itu saja. Soal teknis dan sebagainya, bisa pelajari di buku atau mempelajari tulisan-tulisan yang kita suka. Temanya apa? Hanya yang menulis yang tahu. Ia tinggal mengikuti minatnya saja.