Sunday, December 21, 2014

Soap Magazine | Profil: The Dark Side of Dee | Juni, 2005 | by Johan Sihotang


Dee’s Past

Aku kepingin tahu, masa kecil seperti apa sih yang telah membentuk seorang Dewi Lestari sekarang? Mungkin background khusus keluarga, kepribadian salah seorang tua yang cukup unik? Atau mungkin kehadiran masalah keluarga yang cukup besar sehingga sanggup membentuk kepribadian Dewi sekarang?

Keluarga saya itu sangat unik. I’m blessed to be raised in such family. Ayah saya, sekalipun perwira militer, sesungguhnya berjiwa seniman, he’s a fun person, musisi otodidak yang kreatif. Dan kualitasnya diimbangi oleh ibu saya yang sangat sistematis, tertata, but very thoughtful. Hasilnya kami berkesempatan untuk mengeksplorasi sisi seni kami, tanpa mengabaikan sekolah. Bisa dibilang kami punya modal disiplin tapi juga ‘keliaran’ kreativitas. Kalau masalah hampir nggak ada. Cuma Mama kadang-kadang kelewat hemat, kami hampir nggak pernah punya mainan, jarang beli barang baru. Tapi pikir-pikir, itu juga yang mendorong kami jadi kreatif, dan punya drive untuk bercita-cita. 

Apa trauma terbesar Dewi saat masih kecil, mungkin belum bisa didefinisikan sebagai trauma, tetapi yang tidak menyenangkan dan masih keinget, masih ada nga ya dampaknya sampai sekarang? (seperti saya masih ingat dipukuli teman-teman sendiri)

Hmm. Apa, ya. Barangkali waktu kelas 2 SD dulu, saya pernah lomba lari, tapi sepatu saya model loafer yang gampang copot, akhirnya pas lari sepatu saya lepas, diketawain satu sekolah. Sejak itu saya jadi nggak pede sama sekali dengan pelajaran olah raga dan segala permainan fisik. Sampai SMA saya bolos terus pelajaran olah raga, ngaku sakit segala macem, padahal sehat-sehat saja, bahkan I’m actually an active person. Saya sampai punya template surat sakit, memalsu tanda tangan ortu, pokoknya jadi sneaky berat, hanya untuk menghindari pelajaran satu itu. Hehe.

Ada nggak sih pengalaman-pengalaman di masa kecil dulu yang memalukan, lucu, memorable; mencium (lebih dulu) teman cowo mungkin? Apa yah cita-cita Dewi sewaktu kecil dulu, sudah terpikir untuk menjadi seorang selebritis sepeti sekarang?

Waktu kecil pengin jadi dokter hewan, karena cinta sekali sama binatang. Hanya kandas karena takut saya pada serangga melampaui cinta saya sama binatang. Hehe. Lalu arsitek, tapi kandas juga karena malas bermatematika ria, hanya sampai sekarang saya senang sekali menata interior, dsb. Anehnya, sekalipun tidak masuk ke daftar cita-cita, tapi yang saya lakoni secara konsisten sejak kecil memang seni. Baru saat kuliah, ketika pada semester 2 saya mulai membiayai hidup bahkan kuliah saya sendiri, saya tersadar bahwa hobi tersebut telah bertransformasi menjadi profesi. And it’s simply something I cannot live without. Saya tidak pernah lagi berpikir menjadi sesuatu yang lain.


Dee’s Train of Thoughts

Apa sih yang diinginkan dan dicari Dewi dalam hidup ini, dengan mengulik-ulik dunia spiritualnya? Mungkin beberapa orang sudah cukup nyaman dengan ‘spiritualitas pemberian’ (orang tua, masyaraktnya), kalau orang lain bilang hidup sudah terlau susah tanpa mempertanyakan kembali sisi spiritual, atau apakah karena ‘enggan mengutak-atik’ itu manusia merasa lebih susah?

Untuk seseorang sampai pada kembara spiritual yang sesungguhnya memang dibutuhkan satu titik balik. Ahli agama bisa berkhotbah sampai berbusa-busa, tapi kalau panggilan itu tidak muncul dari dalam hati, maka kita tetap jalan di tempat dan bahagia dengan itu. Saya setuju, pengembaraan spiritual itu memang bikin susah, tidak menjadikan hidup kita tambah mudah. Ada ungkapan yang mengatakan ‘ignorance is a bliss’. Ketidakmautahuan bisa jadi membuat hidup kita aman, tenang. Sementara keingintahuan justru menempatkan kita dalam track berbatu, menyakitkan, dicemooh, dst. Namun saya percaya, saat spiritualitas lama kita diguncang maka itu berarti kita sudah siap ‘naik level’. Sama halnya bersekolah, yang secara berkala kita harus ujian naik tingkat, dan nggak selamanya adem ayem tanpa diuji. Usaha saya menulis Supernova pun sekadar untuk berbagi, bahwa: this is my test, this is my exam sheet, how’s yours? Mereka yang berada pada tahap yang sama pasti akan connect. Mereka yang sudah lewat akan tersenyum simpul. Mereka yang belum sampai akan mengapresiasinya dengan cara yang lain lagi. I want nothing but to share. 

Kapan sih Dewi menemukan tujuan hidupnya seperti sekarang? Ada kejadian khusus yang melatar belakangi? (Sigmund Freud; women barely knows what they wants)

My series of epiphany took place by the end of 1999, sebelumnya pertanyaan saya tentang spiritualitas sudah menumpuk, tapi meledaknya pada saat itu. Buku yang menyatukan puzzle dalam otak saya adalah Conversation with God – Neale Donald Walsch. Semenjak itu pandangan saya terhadap Tuhan, hidup, dan juga diri, berubah total. Dan semenjak itu pulalah saya bertekad untuk sharing apa yang saya alami, dan berhubung talenta saya adalah menulis, plus cita-cita sejak kecil adalah menulis buku, maka tahun 2000 saya menulis Supernova.

Dengan kesuksesan seperti sekarang, kenapa memilih hidup berkeluarga dengan anugerah kehadiran seorang anak di sisi Anda? Dengan merepotkan penitian karir yang sedang baik-baik nya?

Kalau istilah ‘repot’ yang dipakai maka seolah-olah pilihan berkeluarga merintangi sesuatu. Menurut saya tidak demikian. My life is one assorted package. Kalau isinya melulu karier maka hidup ini pun terlalu sempit rasanya. Untuk bertumbuhkembang sebagai pribadi yang utuh manusia akan memilih beragam hal. Saya pribadi, memilih menikah dan punya anak. Karier sebagai salah satu aspek tentunya beradaptasi dengan kondisi tersebut. It is a challenge, but not an obstacle. Kalau dulu saya bisa nulis begadang dari malam sampai pagi, sekarang jadwal seperti itu tidak bisa dipertahankan.Tapi tidak berarti saya lantas tidak dimampukan untuk berkarya, kan. Hanya saya sekarang saya nulis pada jam yang lain, dengan pola yang lain. Sebetulnya yang bikin stres itu kan ekspektasi. Kalau nggak ingin stres, ekspektasi kita nggak usah ambisius. Kalau dulu pengin berpromo buku 4-5 hari dalam seminggu, sekarang 1-2 hari saja. Tiga harinya bisa dikompensasi dalam promo lain, perbanyak poster, pasang iklan, misalnya. Jadi hanya masalah beda siasat saja.   

Apa sih arti image untuk Dewi Lestari, hidup dengan ‘jaim’ terus, apalagi setelah menjadi selebritis dan menjadi sorotan public?

Image itu seperti peliharaan yang harus terus diberi makan. Everybody has an image to feed. Bukan cuma figur publik, orang biasa pun punya, hanya saja mungkinpeliharaannya lebih kecil dan relatif lebih mudah di-handle. Semakin besar dan gemerlap image yang dipunya, ya, maintenance-nya pun makin susah. Bahkan sampai tingkat tertentu tidak jarang image menjadi lebih besar dari diri kita yang sesungguhnya, sehingga kita dikendalikan image dan bukan sebaliknya. I just have to keep in mind that image is something partial, is a part of us but not us. Secara proporsional kita harus punya ruang dan waktu untuk melepaskan segala image yang melekat dan rileks dengan keberadaan kita yang sesungguhnya, bukan yang dituntut masyarakat. I’d like to think my image is like my Golden Retriever. It’s fun, friendly, and when it’s unleashed, you can feel safe knowing that it won’t kill you while you’re asleep.

Apakah Dewi punya misi jauh ke depan pada setiap pekerjaan yang dilakoni (menulis dan menyanyi)?

Rasanya saya sudah mantap dengan trek pekerjaan ini. Saya juga merasa beruntung menemukannya cukup dini. Jadi program saya hanyalah berkarya dan berkarya. Kalaupun ada pengembangan sifatnya lebih ke pelebaran audiens, satu saat saya ingin karya-karya saya bisa ‘go global’. Nggak cuma di Indonesia saja. 

Saya sempat gemas sekali dengan karakter Elektra (PETIR) yang begitu pemalas, sial terus menerus, tetapi ahirnya beruntung juga dengan perkenalannya dengan bisnis dunia maya warnet. Kenapa sih harus eksistensinya harus seperti itu?

Elektra adalah representasi metamorfosis manusia. Beda dengan Bodhi, atau Diva, yang jelas-jelas sejak awal dianugerahi kualitas ‘super’, Elektra butuh proses panjang untuk menemukan potensi dirinya. Bahkan kisahnya dalam Petir pun sebetulnya masih berupa awalan saja. Elektra mewakili sosok girl next door yang biasa banget, tapi sesungguhnya punya potensi luar biasa. Dan dia menemukannya dengan caranya sendiri, yang konyol, tapi sesungguhnya punya kedalaman. I had so much fun with Elektra, really. Menuliskannya sangat enjoyable, bahkan bisa membuat saya sendiri ngakak-ngakak.


Dee’s Dark Side

Seperti Bapak Freud mengutarakan kehadiran 3 elemen penting dalam setiap unik pribadi seseorang: id, ego, superego. Kali ini aku ingin melihat sisi gelap seorang Dewi Lestari. Dan karena ini majalah cowok Mbak, maaf sebelumnya jika saya ingin menanyakan hal-hal di sekitar seks dan juga hal-hal absurd lainnya, haha. Feel free not to answer. Sewaktu Mbak Dewi diributkan dengan masalah cover buku yang bertuliskan lambang umat Hindu, seperti apa Mbak dewi menanggapinya, sempat marah dulu?

Awalnya sempat kecewa, kesal juga. Bukan apa-apa, tapi karena hal tersebut seperti disengajakan untuk bocor ke pers terlebih dahulu, wartawan tahu duluan lewat faks yang sampai ke mereka beberapa hari lebih awal dibandingkan surat resmi ke saya. Jadi saya menerima kesan bahwa sebagian permasalahan lebih berupa cari sensasi bukan cari solusi. Tapi secara global kasus itu menyadarkan saya bahwa inilah gambaran masyarakat Indonesia. Spektrum consciousness level masyarakat kita sangatlah luas. Dari yang ekstrem fundamentalis sampai universalis ada di sini. Dan masalah simbol itu (dan kasus-kasus seputar simbol berikutnya) merepresentasikan bagaimana Tuhan diproyeksikan begitu beragam. Tidak ada yang salah, semua berpijak dari persepsi kita atas Tuhan, dunia, dan dirinya sendiri. Keputusan saya untuk akhirnya berunding dan berkompromi pun berpulang dari kesimpulan saya bahwa Tuhan tidak perlu dibela dan tidak perlu berpromo (baik lewat sampul novel atau sampul buku apa pun). Lenyapnya lambang Om dari Akar tidak berdampak apa pun bagi Tuhan. Dia tidak tambah besar, tidak juga tambah kecil. Tidak lebih ditinggikan, tidak juga lebih rendah. Wajah dan tapak Tuhan ada di mana-mana, dalam renik debu sekalipun, jadi buat apa didebatkan? Kasus kover Akar dan kasus sejenis sesungguhnya bukan kasus benar atau salah, tapi kasus yang tak perlu ada, alias nggak penting.

Kita terkadang hidup dengan defense mechanism (denial, proyeksi) masing-masing, yang terkadang perlu sewaktu menanggapi masalah, untuk memiliki mental yang sehat (saya sendiri sering ‘bertindak saat baik pada seseorang’ di saat saya justru sangat membencinya). Kalau Mbak Dewi seperti apa, ya?

Defense mechanism saya adalah dengan jurus ‘bird’s eye view’. Ketika ada masalah muncul, saya berusaha berpikir bahwa masalah itu menimpa Dewi Lestari, bukan diri saya yang sesungguhnya. Dewi Lestari itu kan kumpulan opini dari hasil konsensus sosial yang ditumpukkan sejak saya lahir. Seperti kain perca yang menyelimuti kesejatian kita. So when shit happens, it doesn’t really matter. Hanya keterikatan kita pada label sosial kitalah yang menjadikan itu ‘matter’. Tapi kalau kita berpulang pada diri kita yang ‘nonmatter’ then things ‘doesn’t matter’ anymore. Got it? Jurus bird’s eye view itulah yang, menurut saya, dapat sejenak membebaskan kita dari ilusi duniawi, termasuk segala masalah. Ketika beban tersebut lepas, solusi lebih jernih pun bisa didapat.

Pernah nggak menyakiti perasaan orang lain sampai teringat terus, atau bahkan masih bermusuhan sampai sekarang?

Disakiti kali, ye. Pernah. Nggak enak banget. Sebenarnya perasaan marahnya sudah bermutasi seperti ‘nggak usah kenal aja, deh. Kita beda frekuensi’. Beberapa kali dikhianati masalah bisnis, padahal dulunya teman baik, makanya sampai sekarang saya jadi berhati-hati sekali bisnis sama orang, kalau teman/saudara malah saya udah nggak mau sama sekali. Karena kalau ada apa-apa, sakitnya nggak worth it sama hasilnya. Lebih baik nggak usah.

Menyakiti atau disakiti? Yang mana yang lebih baik jika harus memilih?

Hmm. I have to say ‘disakiti’. Hehe. Kalau menyakiti you have to forgive yourself, which is even harder.

Hal apa yang bisa membuat Dewi merasa menjadi manusia terkejam di dunia?

Absolutisme. Tidak memberikan ruang untuk memilih dan wawasan akan pilihan yang ada. Menurut saya, semua kejahatan terbesar dalam sejarah manusia bermuara di situ. Merasa diri absolut yang paling benar dan tidak memberikan ruang bagi opsi.

Pernah tebersit ingin bunuh diri? Karena semua mulai terasa berantakan. Ke mana biasanya Anda ‘berlari’?

Nope. I cannot comprehend a suicide. Yet. Sepertinya dibutuhkan kasus berlatar belakang super luar biasa agar saya bisa memahami/memaklumi aksi bunuh diri. Tapi saya percaya kematian seharusnya adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih baik. 

Bagaimana dengan membunuh, pernah paling nggak tebesit untuk membunuh orang lain?

Membayangkan membunuh in action sih, nggak. Tapi kalau membayangkan Bumi ini dikurangi populasinya sampai paling tidak setengah, pernah. Bahkan sering. Is it the same thing? I dunno.

Bagian tubuh pria yang paling menarik? Seperti saya yang adalah “leg person” hahaha…

Neck – one that’s firm, not too slender. Flat abdomen is also appealing. A bit muscley arm is nice as well. Dan juga urat kecil yang suka nongol di jidat, nggak tahu itu apa, but for me it’s a beautiful sight to see. But above all, pria yang menarik itu tidak dinilai dari tubuh, tapi auranya saat dia sedang asyik-asyiknya bekerja, now that is very sexy.

Pernah nggak sih menolak cinta orang lain, sampai pria itu begitu sakit hati?

Sering. Hehehe. But truly, it’s not something that I’m proud of. Seringnya saya jadi sedih dan miris. Cinta itu kan energi yang luar biasa, ya. Begitu melihat cinta salah alamat saya suka miris, andaikan cinta berbalas pasti dentumannya luar biasa. Tapi kalau tidak rasanya seperti nabrak dinding. Saya cuma berharap dinding itu bisa disikapi seperti cermin, jadi energi itu bisa terpantul dan menjadikan kita tambah kuat, bukannya malah buyar nggak karuan. Nggak jarang saya menyesalkan my unfortunate position sebagai si ‘penolak’, seriously. Lebih baik ditolak, kali. Terlebih kalau sikap atau kebaikan kita ternyata mislead or misguide other people. Aduh, nggak enak banget. 

Apa arti seks untuk Dewi Lestari?

Sex is one of God’s primal languages. Sex in a big picture is to exchange. Pertukaran dan saling-silang energi yang menghasilkan kehidupan baru.