Wednesday, December 17, 2014

Kick Andy Magazine | Opini: Art of Doing Nothing | Oktober, 2011 | by Nurul Farichah


Kali ini, 'Me Time' membahas tentang Art of Doing Nothing yaitu sebuah sesi berdiam diri sejenak tanpa memikirkan apa-apa yang ternyata merupakan sebuah kebutuhan untuk terhindar dari stres. Untuk itu kami ingin bertanya kepada Anda: pentingkah melakukan Art Of Doing Nothing ini? Dan pernahkah Anda melakukannya? Opini dapat ditulis sekitar 100 kata saja.

Menurut saya, masyarakat modern saat ini hidup dalam era "Always Doing Something". Always doing something is a positive thing. 
Saya pernah baca sebuah buku berjudul Time Shifting karya Stephan Rechtschaffen, dia menulis bawa waktu adalah persepsi mental. Umum sekali kita dengar "24 jam tidak cukup," atau "Waktu kok sekarang berjalan cepat sekali ya?" Sebetulnya itu adalah persepsi mental, yang merasa kegiatan kita terlalu banyak, sehingga 24 jam tidak lagi cukup. Kita jadi kehilangan kemampuan untuk menikmati waktu kosong. Pada saat liburan, orang yang biasa kerja malah tersiksa karena merasa harus terus berbuat sesuatu. 
Seperti mesin, jika ia dipacu terus-terusan tanpa pernah istirahat, pada satu titik ia akan jebol. Pada manusia, istirahat bukan berarti hanya tidur, tapi bagaimana pikiran dan mental kita ikut relaks.
Saya setuju dengan pembubuhan "art" pada "doing nothing", karena dalam  kehidupan modern, untuk bisa beradaptasi dengan "doing nothing" diperlukan seni, pemahaman, dan teknik. Bagi saya pribadi, "doing nothing" paling ideal dilakukan dalam bentuk meditasi mengamati. Bukan konsentrasi. Karena dalam konsentrasi kita kembali "berbuat sesuatu". 
Dalam meditasi mengamati, kita duduk diam mengamati apa yang terjadi. Tubuh kita, pikiran kita, celotehan batin, dsb, tanpa mengintervensi atau aktif melakukan sesuatu. Jika dilakukan rutin, batin dan pikiran kita menjadi terbiasa untuk punya "rem", tidak senantiasa reaktif.