Sunday, December 21, 2014

Wawancara Skripsi | Rectoverso | Agustus, 2009 | by Cecilia Abigail


Selain menjadi penyanyi sekarang Dee lebih sering dikenal sebagai penulis. Sejak kapan Dee memiliki bakat menulis itu?

Saya memang bercita-cita ingin menulis buku sejak kecil. Saya nggak pernah punya ambisi jadi penulis lewat jalur jurnalistik atau penulis fiksi lewat media (kirim cerpen ke majalah, dll—walaupun sesekali pernah mencoba), pinginnya memang menulis buku. Latar belakangnya sederhana saja: ingin berbagi. Berbagi perenungan, pengalaman, pemikiran. Dan saya pikir, keinginan berbagi ini inheren ada di setiap manusia, cuma pilihan penyalurannya saja yang berbeda-beda. Kebetulan media yang saya pilih adalah lewat menulis.

Dari mana kiprah Dee sebagai penulis dimulai?

Saya mengawalinya pertama kali ketika cerpen saya Rico De Coro (ada dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi) dimuat di majalah Mode tahun 1997, dua tahun sebelumnya tulisan saya juga pernah memenangkan kompetisi menulis di majalah Gadis, tapi saya pakai nama samaran. Sesudah itu langsung ke Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh tahun 2001. Sebetulnya cuma modal nekat saja, saya menerbitkan sendiri Supernova ke-1 tanpa ada ekspektasi dan pengetahuan lika-liku industri buku. Saya nyaris tidak ada target, siap merugi, yang penting saya menulis buku, itu saja.

Mana yang lebih menarik, menjadi penulis atau menjadi penyanyi?

Sama-sama menarik, keduanya saling melengkapi. Dari level superfisial, lewat menulis saya mendapatkan banyak pengalaman dan pertemuan menarik dengan orang-orang baru, pergi ke banyak tempat, dan menimba banyak ilmu. Dari level spiritual, menulis menjadi gerbang saya menemukan jati diri. Sementara menyanyi dan bermusik menjadi cara saya mencinta. Banyak keindahan dan perasaan yang bisa terungkap sempurna lewat menulis lagu dan menyanyi, dan itu menjadi kepuasan tersendiri yang tidak bisa terukur.
Menjadi penyanyi dan penulis bukan pilihan. Kedua-duanya sudah menjadi bagian inheren dari diri saya. Mimpi terbesar saya adalah karya saya bisa dinikmati dalam skala internasional.
Menulis itu seperti menciptakan semesta sendiri, lebih komplet dan komprehensif, tapi tidak berarti lebih unggul dari musik, karena keduanya bersifat komplementer.
Lewat menulis saya bisa mengeksplorasi karakter, narasi, dan plot. Dalam lagu, unsur itu ada tapi terbatas, jadi kisah dalam lagu cenderung lebih abstrak dan interpretatif. Tapi justru di situ jugalah kelebihan musik. Musik bisa dihayati bahkan lebih mendalam, dan bisa jadi lebih langgeng dan tak lekang zaman. Lagu juga punya melodi, dan itu satu kelebihan sendiri dibanding kata-kata belaka.

Dari keseluruhan karya Dee itu, mana yang paling berkesan untuk Dee?

Hmm. Semuanya punya kesan masing-masing sih. Tapi barangkali secara pengalaman, saya paling banyak belajar dari Supernova 1, karena itulah buku pertama saya, dan dari sanalah segala macam pengalaman menulis dan jadi penulis bermula.

Pernah terbayangkan sebelumnya kalau sekarang Dee menjalani hidup sebagai seorang penyanyi, pencipta lagu sekaligus penulis buku?

Sejujurnya, tidak. Karier menyanyi saya berjalan begitu saja, transisinya halus sekali. Dari aktivis vokal group & paduan suara sekolah, lulus SMA jadi backing vokal selama dua tahun, lalu tahun 1995 mulai rekaman untuk RSD, berjalan delapan tahun, hingga akhirnya berkarier solo sampai sekarang. Untuk jadi penulis memang lebih banyak perjuangan, karena dulu saya menerbitkan sendiri Supernova, jadi tantangannya memang banyak. Kalau buku itu kemudian jadi laku dan jadi perbincangan, itu di luar dugaan saya sama sekali. Dulu saya cuma cita-cita pingin punya buku aja. Kalau yang baca cuma 10 orang juga nggak apa-apa. Sudah senang.

Dari keseluruhan buku atau cerita yang Dee telah tulis, dari mana biasanya Dee mendapatkan ide – ide ceritanya? Dari pengalaman orang lain, pengalaman sendiri, atau berasal dar imajinasi Dee saja?

Kebanyakan dari perenungan. Bahan yang direnungkan tentu datangnya dari kehidupan itu sendiri, dari kisah pribadi, kisah orang lain, mengamati alam, dsb. Seorang penulis memang harus jadi pengamat yang baik.

Dari karya Dee yang berjudul Supernova, beberapa orang yang beranggapan bahwa buku – buku karya Dee terlalu sulit dimengerti. Apakah memang Dee senang menggunakan bahasa atau istilah-istilah kiasan di setiap karya Dee, lalu bagaimana Dee menanggapi tanggapan beberapa orang itu?

Masalahnya, saya jarang memikirkan orang lain ketika berkarya. Saya menulis apa yang saya suka saja. Termasuk kalau menurut saya ada beberapa terminologi teknis yang perlu digunakan, ya saya gunakan. Kalau kiasan atau metafora sepertinya sih semua karya sastra memilikinya. Soal susah dipahami atau tidak menurut saya adalah hal yang relatif. Yang jelas, saat berkarya kita tidak mungkin memuaskan semua orang, atau memastikan bahwa semua orang akan mengerti. Yang mengerti pasti ada, yang enggak juga pasti ada. Karenanya saya lebih suka menjadikan diri saya sendiri sebagai patokan, pokoknya apa yang menurut saya sesuai dan pas dengan yang ingin saya ungkapkan, ya, saya gunakan.

Rectoverso merupakan karya kedelapan Dee. Apa yang Dee ingin angkat dari Rectoverso ini?

Rectoverso adalah karya yang sangat personal dan emosional. Justru sayalah yang menantikan pesan dari pembaca Rectoverso dalam bentuk perasaan mereka, air mata mereka, dan bagaimana kisah-kisah dalam Rectoverso menyentuh hati mereka.

Apa latar belakang Dee sehingga Dee menggabungkan dua media yaitu buku dan music (album cd) dalam karya kedelapan Dee ini?

Rectoverso pada dasarnya adalah produk hibrida, jadi nggak bisa cuma dilihat sebagai album saja, atau buku saja, melainkan kedua-duanya seperti “saudara kembar”. Itu yang sangat membedakan Rectoverso dari karya-karya saya yang lain. Lagu dan kisah di Rectoverso saling melengkapi dan saling bercermin. Jadi bukan sekadar satu paket, tapi buku dan album Rectoverso itu seperti dua sisi dari koin yang sama. Esensinya, ide dan inspirasi untuk album dan buku Rectoverso itu satu dan sama, hanya saja mengambil dua bentuk yang berbeda. Saya juga ingin menampilkan aspek romantisme saya yang selama ini hanya bisa terekspresikan secara parsial dalam karya-karya saya yang sebelumnya. Rectoverso itu seperti menulis surat cinta yang panjang. Saya tidak fokus pada penokohan atau plot, melainkan emosi terdalam yang dirasakan oleh tokoh-tokoh, baik dalam lagu maupun cerpen di Rectoverso.

11 cerita dan 11 lagu dengan judul yang sama. Apakah angka 11 itu sebuah kebetulah atau memang Dee memang sengaja menulis cerita dan menulis lagu hingga berjumlah 11?

Awalnya nggak sengaja, kebetulan materinya memang sebelas. Sebetulnya masih bisa ditambah, tapi pada akhirnya saya memutuskan sebelas, karena 11:11 itu punya makna yang sangat dalam di ilmu numerologi. 11:11 dipercaya sebagai angka yang mewakili terbukanya gerbang antara dunia materi dan spiritual, antara dunia fisik dan dunia roh.

Dari mana ide cerita – cerita di dalam Rectoverso didapat?

Ya dari hidup itu sendiri. Dari kejadian sehari-hari, peristiwa di sekeliling saya, curhat orang-orang, apa yang saya rasakan, imajinasi, fantasi, dsb. Bagi saya, hiduplah yang mengajarkan dan menginspirasikan segala lakon dan karya manusia di dunia. Tergantung bagaimana kejelian kita mengamati dan mencerapnya saja.

Berapa lama proses pengerjaan Rectoverso ini?

Rekamannya sendiri hanya 4 hari karena semua direkam secara live. Tapi pengerjaan dari mulai konsep sampai mastering butuh waktu 1,5 tahun. Kalau bukunya kurang lebih sama, tapi saya kerjakan secara sporadis. Jadi nggak sekaligus.

Kesulitan – kesulitan apa yang Dee temui pada proses pengerjaan Rectoverso ini?

Kendalanya lebih ke penyatuan antara dua industri yakni musik dan buku, dan bagaimana menentukan strategi pemasaran yang mengakomodasi keduanya. Dari segi rekaman, karena kita memakai sebegitu banyak pemain dan rekamannya live (sejarah yang lebih lengkap silakan lihat kata pengantar di buku Rectoverso), jadi cara mengorganisir dan mengatur skema kerja produksinya juga menantang. Kalau dalam menulis sih hampir nggak ada kesulitan karena saya bikin berdasarkan lirik, dan nggak melibatkan orang banyak jadi tinggal berproses dengan diri sendiri saja.

Dalam CD rectoverso Dee berduet dengan Arina Mocca dan Aqi ALEXA, kenapa Dee memilih mereka untuk berduet dalam Rectoverso ini?

Saya adalah pengagum berat suaranya Arina. Menurut saya, dialah yang paling berbakat menyanyi di keluarga dan saya juga selalu berangan-angan ingin berkolaborasi dengan saudara-saudara saya. Kebetulan saya mencari karakter suara yang innocent dan seperti anak kecil untuk lagu Aku Ada. Arina adalah vokalis yang paling pas untuk itu. Duet tersebut sekaligus juga mewujudkan cita-cita saya untuk berkolaborasi dengannya. Saya memilih Aqi karena memang mencari partner duet cowok yang karakternya agak nge-rock tapi nggak terlalu ‘sangar’ sampai melibas suara saya yang cenderung soft. Dan kebetulan waktu itu album Alexa belum dirilis jadi Aqi masih bebas, mengurus perizinannya jadi nggak ribet. Dan saya juga suka banget karakter suaranya Aqi.

Sudah dua video klip yang Dee keluarkan, apakah Dee berniat untuk membuat video klip dari judul lainnya?

Baru saja dirilis VK “Aku Ada”. Jadi sekarang sudah ada tiga VK dari album Rectoverso.

Beberapa orang memiliki caranya sendiri dalam menikmati Rectoverso, kalau menurut Dee sendiri bagaimana cara terbaik menikmati buku dan CD Rectoverso?

Tidak ada cara khusus. Orang-orang bisa memulainya dari mana saja, bisa dari buku atau dari musik. Yang penting adalah menikmati keduanya sehingga keutuhan karyanya bisa dihayati secara penuh  dan maksimal.

Apa yang ingin Dee dapatkan sebagai seorang penulis?

Saya cuma ingin berbagi pemikiran dan suara hati saya. Itu saja.