Monday, December 22, 2014

Jawa Pos | 100 Tokoh Muda Yang Menginspirasi Indonesia | November, 2013 | by Kardono

Anda masih sangat muda (25 tahun) ketika me-launching novel pertama dulu. Berapa lama proses pembuatan novel itu?

Sekitar sembilan bulan, termasuk masa riset pustaka.

Anda berhasil membuat teori kuantum menjadi liris dalam novel pertama anda. Kenapa memutuskan untuk membuat novel bergenre fiksi ilmiah? Apakah ini semacam pendobrakan terhadap novel-novel kitsch yang mulai menjamur saat itu?

Prinsip saya adalah menuliskan apa yang saya suka dan apa yang menjadi minat saya. Saat itu saya sedang terpesona dengan fisika kuantum dan hubungannya dengan kesadaran manusia serta semesta. Karena itu, saya lantas mengolahnya dalam cerita. Saya malah tidak terlalu memerhatikan tren novel saat itu, karena memang bukan itu yang menjadi motivasi saya. Saya tidak datang dengan keinginan untuk mendobrak, melainkan sekadar berbagi apa yang menjadi minat saya. 

Novel bergenre fiksi ilmiah bukan hal baru di dunia, meski baru di Indonesia (yang Anda jadi pelopornya). Siapa penulis-penulis luar yang menjadi inspirasi Anda dan kenapa?

Saya pribadi tidak terlalu sepakat jika Supernova dikategorikan fiksi ilmiah. Saya merasa Supernova adalah fiksi dengan "bumbu" ilmiah, tapi ia tidak memuntir realitas dengan basis ilmiah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh cerita bergenre fiksi ilmiah. Tapi saya juga tidak ingin terlalu memusingkan kategorisasi Supernova karena menurut saya itu tugasnya kritikus sastra, bukan saya. Jadi, silakan saja jika Supernova dianggap fiksi ilmiah. Saya sendiri lebih banyak baca buku nonfiksi ketimbang fiksi, dan tidak terbatas pada topik sains saja. Saya senang membaca buku-buku Amit Goswami, F. David Peat, David Bohm, Gregg Braden, dan seterusnya. Dari genre fiksi imliah saya cukup suka dengan Michael Crichton, Carl Sagan.

Sastra tidak pernah lepas dari kepentingan ideologi. Dan kadang dunia sastra juga tergantung ideologi yang berkembang. Contohnya, Ayat-Ayat Cinta maupun Laskar Pelangi tidak akan laris bila momentumnya tidak tepat. Bagaimanakah pendapat anda soal dunia sastra? Apakah dunia sastra adalah dunia yang putih bersih dijaga para wali berhati suci, atau seperti dunia industri pada umumnya?

Sepertinya kita harus membedakan mana dunia sastra dan mana industri buku. Laku atau tidaknya sebuah buku menurut saya lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang bermain di industri buku, di mana banyak faktor X yang bermain, terutama faktor marketing dan timing. Dunia sastra sendiri merupakan ajang yang lebih spesifik, yang melibatkan dinamika antara pembaca, penulis, kritikus, dan komunitas. Kadang industri buku dan dunia sastra seiring sejalan, kadang keduanya punya jagoan yang berbeda. Saya rasa tidak ada dunia seni yang "putih bersih", karena itu berarti harus melibatkan dikotomi seberangnya yakni "hitam kotor". Bagi saya dunia seni adalah senantiasa dunia yang abu-abu, yang subjektif, yang relatif.

Harapan Anda terhadap dunia sastra Indonesia seperti apa? Terutama semakin banyaknya buku-buku tak jelas (seperti buku-buku copy-paste dari internet, diedit asal-asalan, dan diberi cover yang bagus).

Saya lebih bisa bicara tentang industri buku secara umum. Saya berharap industri buku bisa melewati transisi yang lebih mulus ke era digital dan format elektronik, dibandingkan industri musik, misalnya. Saya berharap akan ada lebih banyak pemain baru yang berani berinvestasi, khususnya di toko buku, sehingga persaingan dan aturan main bisa lebih sehat. Dalam minat menulisnya sendiri menurut saya memang ada kemajuan pesat, terutama justru karena sekarang seseorang bisa berekspresi dan eksis lewat tulisan tanpa harus menunggu peran penerbit dan jalur konvensional. Dengan media sosial, blog, penerbitan buku independen, setiap orang dimudahkan untuk berkarya. Soal kualitas menurut saya akan ada seleksi alami. Yang memang berbakat dan kualitasnya teruji akan bertahan. 

Anda tergolong penulis yang menulis sesuai dengan keyakinan anda. Bukan karena tuntutan pasar. Benarkah? Dan bisa diceritakan bagaimana proses anda menulis?

Seperti yang saya bilang saya sebelumnya, prinsip saya simpel saja, saya menulis apa yang ingin saya baca, dan membuat musik yang saya ingin dengar. Di tahap pertama berkreasi, saya berkreasi untuk kepuasan diri. Interaksi yang terjadi sebatas antara diri saya dan alam ide. Faktor eksternal seperti pembaca, penerbit, dan pemasaran, akan muncul kemudian pada tahap-tahap selanjutnya. Syukurnya, proses demikian terjadi alamiah pada saya. Jadi, saya tidak merasa harus memaksakan diri untuk berprinsip seperti itu. Karena, jujur saja, fondasi seperti itu sangat menolong saya untuk bisa berkarya dengan minim beban. Sungguh berat jika tujuan awal kita adalah memuaskan orang banyak. Jauh lebih realistis jika tujuan awal kita adalah untuk memuaskan diri kita sendiri dulu.

Menulis dan mencipta lagu. Dua hal mana yang lebih Anda sukai?

Keduanya punya tantangan berbeda dan sama-sama saya sukai.  

Soal Indonesia dan Muda. Anda terpilih menjadi salah satu dari 100 tokoh muda yang menginspirasi Indonesia versi kami. Apa yang Anda lakukan dengan hal ini?

Berterimakasih dan bersyukur, tentunya. Saya harap karya saya dapat memicu kreativitas dan berkontribusi positif bagi masyarakat muda Indonesia.

Bagaimana menurut anda situasi orang muda Indonesia sekarang ini? (parah, tapi masih ada harapan, atau benar-benar menjanjikan?)

Selalu ada harapan. Memang tidak mudah jika kita ingin bicara untuk seluruh orang muda Indonesia, berhubung setiap daerah bisa memiliki realitas yang sama sekali berbeda. Orang muda di kota besar dengan orang muda di pelosok terpencil Indonesia tidak bisa dipukul rata kondisinya. Tapi, saya menaruh harapan besar pada mereka, orang muda golongan menengah yang berpendidikan, saya rasa merekalah pemegang potensi perubahan paling besar di negara ini. Selalu saja ada muncul individu-individu exceptional yang dengan persisten berhasil melakukan terobosan. 

Menjadi muda yang ideal itu menurut Anda seperti apa?

Kaki berpijak teguh di tanah, tangan meraih langit setinggi mungkin. Dengan akar yang kuat, kita tidak perlu gentar dengan perubahan dan kecepatan zaman. Yang berbahaya adalah mereka yang melayang tinggi tanpa arah atau berpijak di bumi tanpa punya perspektif dan visi untuk maju.

Dalam konteks Indonesia, apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang muda? Apakah muda harus berarti radikal dan revolusioner? Kalau memang harus radikal dan revolusioner, seperti apakah bentuk atau konkretnya yang ideal dari dua hal tersebut?

Muda diidentikkan dengan radikal menurut saya miskonsepsi dan stereotipikal. Ada juga orang-orang muda yang punya wisdom dan kematangan cukup untuk bisa melakukan perubahan tanpa harus selalu jadi radikal. Satu hal yang sebaiknya menjadi ciri orang muda adalah kehausan untuk belajar dan keingintahuan. Jalur pendidikan dan pemberdayaan diri menurut saya adalah yang paling efektif. Pendidikan tentu saja tidak berarti hanya formal, justru penggalian hobi dan passion seringkali akhirnya lebih penting dan produktif ketimbang jalur formal. Ini yang menurut saya sebaiknya jadi fokus orang muda. Menggali bakat dan memperkaya minat.

Dengan segala keyakinan, pemikiran, dan batin anda, maka seperti apa idealnya orang muda berbuat untuk Indonesia?

Saya tidak merasa berkapasitas untuk menjawab bagi semua orang. Karena saya dari bidang seni, maka berkarya menjadi jawaban saya yang personal. Itu jalan yang saya tahu. Itu yang selama ini saya lakukan. Berkarya yang terbaik sesuai kapasitas kita, memelihara rasa ingin tahu dan punya kehausan belajar.

Kenapa memilih menulis dan bernyanyi? Lebih suka mana, menulis atau menyanyi, dan apa alasannya?

Karena dua hal itulah yang memang menjadi hobi dan minat saya sejak kecil, otomatis dua jalur itu juga yang menjadi saluran nyaman bagi saya berekspresi. Saya tidak bisa memilih antara menulis atau menyanyi, walau sekarang lebih banyak menulis, tapi itu karena alasan praktis dan kesesuaian kondisi per saat ini. Sampai kapan pun musik akan selalu menjadi bagian inheren dari diri saya. Akan selalu ada dorongan untuk berkarya dalam musik. Menulis saat ini memang paling convenient dengan kondisi saya yang sudah berkeluarga dan lebih senang di rumah, karena menulis memberikan fleksibilitas jadwal bekerja yang saya butuhkan.

Dengan segala yang ada, dan yang menurut kami Mbak Dewi adalah salah satu tokoh muda yang menginspirasi indonesia, apakah Dewi Lestari merasa sudah menjalankan masa muda secara maksimal, sesuai dengan konsep muda ideal Mbak Dewi?

Kalau dibilang puas, sih, sudah puas. Saat masa sekolah saya aktif di bidang-bidang nonformal / eksktrakurikuler yang saya suka, dan saat kuliah saya juga sudah profesional berkarier sebagai penyanyi, dan cukup banyak pengalaman lain yang sangat berharga. Jika ada satu andai-andai yang tersisa hanyalah perihal traveling. Karena dulu sudah bekerja profesional, saya tidak punya banyak kesempatan untuk pergi traveling lama-lama. Padahal setelah menikah dan punya anak, kesempatan untuk traveling semakin susah. Tapi, mungkin kesempatan traveling akan kembali lagi setelah anak-anak saya agak besar.

Dari penuturan yang Mbak Dewi berikan, sekedar mempertegas saja, bahwa Mbak Dewi lebih menempatkan kebijaksanaan, penggalian bakat, ketimbang gairah muda yang berapi-api, dan mencoba sana-sini sebagai hal yang sebaiknya dilakukan kaum muda?

Gairah muda yang berapi-api secara alamiah pasti terjadi. Tapi, fatal sekalinya selip, karena kenekatan anak muda kadang mengalahkan akal sehatnya. Kadang nekat itu berakibat positif, tapi tidak jarang berakibat negatif. Self control dan self awareness merupakan unsur penting yang perlu dijaga dan dipelihara. Dan, tentu saja, yang berperan di sini bukan cuma pemudanya, melainkan juga keluarga dan lingkungan.

Apakah Mbak Dewi ketika berusia 20 - 25 tahun itu juga sudah wisdom dan lebih menggunakan waktunya untuk pencarian minat dan memperdalam bakat?

Saya sudah mulai mempertanyakan hal-hal eksistensial dari umur 17 tahun, dan mulai tertarik spiritualitas sejak umur 22 tahun. Minat dan bakat itu penggalian panjang sejak kecil. Jadi, setelah dewasa tinggal menuai saja. Tapi, saya tidak merasa terlalu aneh, karena cukup banyak saya mengenal teman-teman seumur yang juga serupa polanya.