Tuesday, December 23, 2014

Provoke Magazine | Person of the Month | November, 2014 | by Rizki Ramadan


Minggu lalu, saya baru menyelesaikan baca Gelombang, dan perasaan saya saat baca selalu sama seperti saat baca seri Supernova sebelumnya. Semesta yang ada di buku itu begitu jelas dan detail. Saya seperti mebaca ensiklopedia versi fun tentang Kalimantan, Bogor, Sianjur Mula-Mula sampai New York.  Nah, tiap mau nulis buku itu proses riset Mbak Dewi itu seperti apa, sih? Lantas, apa sih yang bisa bikin Mbak Dee gemar berimajinasi, berkhayal sampai akhirnya diejewantahkan pada novel-novelnya ini?

Pada dasarnya saya menulis berdasarkan kebutuhan cerita dan konteks. Misalnya, tradisi spiritual di dunia yang menekankan pentingnya mimpi adalah tradisi spiritual Tibet dan secara kontekstual cocok dengan cerita saya, akhirnya saya memutuskan untuk membuat setting di Tibet, yang konsekuensinya saya harus riset tentang Tibet. Lalu, kenapa Alfa pergi ke Amerika, karena saya punya keluarga yang juga menjadi imigran di sana, dan mereka keluarga Batak. Kenapa New York, karena ada kaitan yang kontras antara Alfa yang tak bisa tidur dengan kota New York yang konon tak pernah tidur. Jadi, semua yang saya ceritakan selalu berada dalam konteks yang interdependensi, saling terkait. Riset hanyalah konsekuensi dari interdependensi bagian-bagian dalam cerita.

Ngomong-ngomong soal riset, riset yang mendalam ini karena rasa ingin tahu, Mbak Dee, yang memang gedenya bisa ngalahin T-Rex,  yah? Hehe. Biasanya kalau tiba-tiba penasaran dan pengin tahu tentang sesuatu, apa yang dilakukan?

Haha! Karena “curiosity kills the cat” terlalu mainstream! Well, saya pada dasarnya memang orang yang punya banyak ketertarikan. Ketertarikan kalau digali lebih dalam bisa jadi passion. Nah, passion hanya bakal jadi “panas yang kosong” kalau tidak diberi skill. Jadi, prinsip saya, kalau punya ketertarikan, berikan dia kesempatan menjadi passion dengan cara menggalinya lebih dalam. Kalau sudah jadi passion, kasihlah skill maka passion itu bisa jadi punya nilai lebih. Kalau saya tertarik sesuatu, pertama saya akan cari tahu lebih banyak, entah lewat baca banyak buku atau riset tentang topik tersebut. Kalau ternyata benar-benar menarik, saya akan cari kursusnya. Untuk menulis Zarah, saya kursus fotografi. Untuk menulis Alfa, saya ikut workshop Meditasi Mimpi dengan seorang rinpoche dari Tibet. Menulis Madre, terinspirasi dari ketika saya ikut kursus membuat roti. Jadi, saya ini ratu kursus sebenarnya.

Satu judul lagi, Supernova akan rampung. Setelahnya, Mbak Dewi berencana bikin apa lagi nih? Bikin novel bersambung lagi dooong... hmm, atau ada rencana nulis novel renyah kayak Perahu Kertas lagikah? Oh ya, ada rencana mau rilis Inteligensi Embun Pagi kapan, mbak?

Saat ini saya memprioritaskan untuk menyelesaikan serial Supernova dulu, mungkin setelah itu baru mengerjakan proyek menulis lainnya. Perkiraan waktu rilis Inteligensi Embun Pagi belum bisa saya kasih tahu, yang jelas saya akan mulai mengerjakannya dalam waktu dekat.

Apa yang bikin Mbak Dee nulis Supernova?  Saat awal-awal mau bikin Supernova proses kreatifnya gimana, sampai akhirnya pun langsung ngeluarin judulnya sampe seri yang keenam?

Sejak pertama menulis Supernova pertama memang sudah rencana jadi serial. Titik baliknya adalah ketika memutuskan untuk memunculkan empat tokoh baru. Dan karena untuk masing-masing tokoh saya bikinkan satu buku, otomatis jadi 6 buku. KPBJ sebagai pembuka, Akar hingga Gelombang untuk memperkenalkan empat tokoh utama, dan Inteligensi Embun Pagi sebagai buku penutup.

Novel-novelmu kan udah banyak yang difilmkan, Mbak. Nah, kami para pembaca kadang merasa waswas tiap kali ada novel yang kami suka dibuatkan film. Di satu sisi penasaran dan excited pengen liat bagaimana jadinya kalau cerita di buku jadi berwujud, tapi di satu sisi takut film nggak bisa mewujudkan sensasi yang diharapkan, takut nggak sesuai dengan ekspektasi lah pokoknya. Nah, apakah perasaan kayak gitu Mbak rasakan juga? terus pertimbangan apa sih yang biasa dilakukan sebelum akhirnya setuju untuk memfilmkan buku? (Misal: script-nya harus Mbak yang tulis sendiri, dll)

Tadinya begitu, sekarang sih sudah cukup santai. Setelah pengalaman di Perahu Kertas di mana saya jadi penulis skenario, tetap saja kadang-kadang ada hal-hal yang di luar dugaan. Ekspektasi dan reaksi pembaca juga beragam. Jadi, menurut saya sih hampir sama-sama saja antara ikut terlibat atau tidak. Yang barangkali bisa membedakan secara signifikan adalah kalau saya berperan sebagai produser dan penyandang dana, nah, barulah di situ saya punya kuasa penuh. Selama belum bisa begitu, ya saya harus menerima fakta bahwa film adalah karya kolaboratif dan bukan datang dari pemikiran tunggal seorang penulis sebagaimana layaknya buku, jadi pasti keduanya berbeda. Dengan tidak lagi membandingkan, saya jadi lebih santai sebagai penonton.

Ceritain dong, Mbak, masa SMA-mu seperti apa? Saat SMA sudah suka nulis kan pasti? Saat itu biasanya nulis apa, Mbak?

Saya hobi nulis fiksi sejak kecil, dari SD. Waktu SMA, saya sudah mulai bikin artikel untuk mading, bahkan pernah bikin koran yang isinya tulisan saya semua. Saya juga rajin nulis jurnal / buku harian dari SMP kelas 1, terus sampai dewasa, termasuk masa SMA. Beberapa kali bikin cerpen dan novel pendek, yang biasanya nggak tamat. 

Sebut lima judul buku yang Mbak baca saat masa SMA dan itu berkesan.

Komik Topeng Kaca, Candy-candy, Popcorn, dan buku-buku Sydney Sheldon.

Menulis dan mengiati kegiatan kreatif lainnya kan pasti banyak godaannya, seperti bosan, mentok atau disktraksi lainnya, bagaimana cara Mbak Dewi mengatasinya?

Punya deadline. Kalau sudah jadi penulis profesional, memiliki deadline tidak sulit lagi karena biasanya sudah jadi konsekuensi. Buat yang belum profesional, bikinlah deadline untuk diri sendiri. Publikasikan deadline kalian secara online, kasih tahu teman-teman, keluarga, dsb. Jadi ada tekanan untuk menyelesaikan. Distraksi, mentok, bosan, dan sebagainya, akan teratasi dengan sendirinya begitu kalian punya deadline yang nyata.

Mbak tertarik dengan alien (di Akar dan Partikel), dan di buku Gelombang ini tentang mimpi. Nah, di edisi depan kan Provoke! bertema capture the future ini, apa yang mbak bayangkan tentang masa depan? Ada hal yang ditakuti (atau malah ditunggu) dari masa depan nggak, Mbak?

Ketika sudah berkeluarga, bicara tentang masa depan biasanya sudah lebih memikirkan tentang anak ketimbang diri sendiri. Berkaitan dengan masa depan anak, saya lebih sering terpikir mengenai masa depan bumi dengan segala perubahan drastis yang terjadi akibat ulah manusia, dari mulai kepunahan spesies sampai pemanasan global. Saya berharap manusia bisa menemukan cara koeksistensi yang lebih harmonis dengan alam dan makhluk lainnya.

Apa yang Mbak Dee suka dari menulis buku?

Menciptakan dunia, kehidupan, dan karakter baru, tenggelam di dalamnya dan berinteraksi dengan alam imajinasi. Bagi saya itu semua adalah kepuasan dan rekreasi.

Minta tips dong untuk kita-kita yang lagi belajar jadi penulis ini.

Menulis adalah keahlian yang butuh proses panjang dan jam terbang tinggi. Jadi, berlatihlah dari sekarang. Just keep it small. Have small targets, but keep doing them. Bisa satu artikel blog satu minggu, satu cerpen satu bulan, satu novel satu tahun, dsb. Tapi teruslah berlatih. Miliki wawasan dengan banyak membaca.


RAPID QUESTION

Hutan atau laut?
Laut.

Kopi atau es krim?
Kopi.

Masa depan atau masa lalu?
Masa depan.

Buku harian atau Twitter?
Buku harian.

Alien atau UFO?
Alien.