Sunday, December 21, 2014

U Magazine | Profil | Januari, 2010


Bagaimana Anda mendefinisikan "budaya"?

Sebuah hasil efek samping yang tak terhindarkan, diakibatkan oleh tubrukan antara aspek sosial dan aspek individual dari umat manusia.

Menurut Anda, apa media yang paling ampuh untuk menyebarkan suatu nilai budaya? Alasannya?

Televisi, dan sekarang ini jejaring sosial di internet. Televisi, karena kekuatan audio-visual dan penggunaannya yang sudah sangat luas. Internet, karena selain juga bisa audio-visual, kecepatannya real-time.

Lewat buku atau musik, Anda merasa mewakili satu "genre" atau "kelompok" kebudayaan tertentu? Kalau iya, "genre" atau "budaya" apa?

Secara umum, saya dibesarkan dalam konteks budaya pop. Saya tidak merasa mewakili kelompok kebudayaan tertentu, tapi yang jelas karya saya tidak bisa lepas dari andil/pengaruh budaya pop.

Saat ini banyak negara mengandalkan industri kreatif untuk menggenjot pendapatan. Anda setuju dengan "mengkomersilkan" kreatifitas? Atau memang harus begitu supaya maju dan berkembang?

Menurut saya, jika ingin berkembang luas, faktor komersil dan kreativitas seharusnya berjalan seimbang. Komersialitas jangan memakan dan mendikte kreativitas, sebaliknya kreativitas tanpa komersialitas juga akan berjalan di tempat.

Apakah Anda melihat masyarakat Indonesia telah cukup cerdas untuk menerima produk budaya yang bagus (meski kadang-kadang "susah")? Apa indikasinya? Apakah, misalnya dengan banyaknya toko-toko buku baru bisa menjadi ukuran bahwa masyarakat Indonesia makin cerdas?

Dalam pengamatan saya, yang tentunya terbatas, saat ini ada minat dan geliat baru dalam dunia pustaka Indonesia. Salah satu indikasinya adalah lebih banyak toko buku, lebih banyak penerbit, lebih banyak penulis, dan volume oplah keseluruhan yang juga meningkat. Tapi apakah itu berkorelasi dengan kualitas dan kecerdasan, menurut saya belum tentu.

Buku terbaru Anda (yang sebenarnya bersumber dari tulisan lama Anda), Perahu Kertas, cenderung lebih ringan dibandingkan novel-novel sebelumnya? Apakah ini bagian dari "mengikuti selera pasar"?

Pada prinsipnya, saya tidak pernah mengikuti selera pasar. Saya hanya menuliskan buku yang ingin saya baca. Perahu Kertas adalah naskah yang juga berada dalam rentang selera dan minat saya pribadi. Dibilang lebih ringan bisa jadi, yang jelas kreativitas saya memang berwarna dan tidak pernah berada dalam satu spektrum saja. Dan Perahu Kertas sudah ada jauh sebelum serial Supernova, jadi sebetulnya kalau saya merilis Perahu Kertas lebih cocok saya dibilang “menentang pasar” ketimbang “mengikuti pasar” saya yang sudah ada dan terbentuk oleh Supernova.

Apa yang mendorong Anda bekerjasama dengan XL untuk pemasaran novel ini -- yang mengharuskan Anda menyelesaikannya dalam 55 hari dengan banyak perubahan dari naskah asli, seperti Anda tulis di blog?

Saya suka proyek-proyek pionir. Dan saat itu novel digital memang belum ada, jadi Perahu Kertas menjadi yang pertama. Selain itu, saya memang sudah berniat untuk menyelesaikan naskah Perahu Kertas yang sudah mati suri sekian lama. Jadi, tawaran XL menjadi motivasi segar bagi saya untuk menyelesaikannya. Kenapa 55 hari? Karena kalau tidak ada deadline seperti itu, saya berisiko untuk menghabiskan waktu terlalu lama untuk menulis ulang naskahnya, yang artinya Perahu Kertas mati suri lebih panjang lagi.

Anda meluncurkan Rectoverso satu paket buku dan musik. Sebenarnya bagaimana ide awalnya dan apa pertimbangannya? Apakah masyarakat pembaca buku Indonesia siap dengan model seperti ini? Tanggapan para pembaca buku Anda, bagaimana? Adakah pengaruhnya terhadap tingkat penjualan buku ini -- menjadi lebih laku atau malah sebaliknya?

Lagi-lagi, Rectoverso adalah proyek pionir. Belum ada sebelumnya buku dan album musik yang saling bercermin seperti itu (bukan soundtrack), dan kebetulan musik dan penulisan adalah bidang yang saya kuasai. Tanggapan masyarakat cukup bagus, pembaca saya juga sejauh ini positif menanggapinya. Walaupun saya berkesimpulan, secara penjualan tetap buku yang lebih kuat, karena industri musik sendiri sedang mengalami perubahan drastis dengan peralihan ke format digital, download, RBT, dan maraknya pembajakan.

Waktu pertama kali meluncurkan Supernova, Anda memakai jalur penjualan indie, apakah ini menguntungkan dari segi komersil? Mengapa Anda sekarang akhirnya kembali ke jalur penjualan "normal" lewat toko buku? Apakah ada pertimbangan khusus atau semata-mata soal bisnis?

Menyimpulkan dari masa sekarang, indie atau tidak keuntungan komersialnya sama-sama saja. Karena sekalipun profit menerbitkan sendiri lebih besar ketimbang cuma dapat royalti tapi konsekuensinya kita juga harus punya sistem, SDM, dsb, yang butuh energi dan biaya juga. Yang membedakan hanyalah kemerdekaan dan keleluasaan untuk menetapkan strategi, harga, dsb, karena buku itu otomatis menjadi barang kita sendiri. Perlu digarisbawahi bahwa “indie” artinya adalah menerbitkan sendiri (dan sebagian mendistribusikannya lewat jalur sendiri), tapi itu bukan berarti tidak lewat toko buku. Semua buku saya sejak dulu selalu lewat toko buku. Hanya saja ada saluran tambahan lewat internet, direct selling, dsb. Jadi tidak tepat kalau dibilang saya “kembali ke jalur normal”, karena kalau yang disebut “normal” adalah lewat toko buku, dari dulu pun buku saya selalu dijual di toko buku. Hanya peran distributor dan penerbitnyalah yang dilakoni sendiri. 

Tahun ini, Perahu Kertas akan difilmkan oleh Mizan. Apa yang membuat Anda bersedia? Apa saja persiapan Anda? Anda yakin filmnya akan setia pada buku? Tidak takut nantinya terjadi "penyelewengan" dari buku ke film?

Sejak awal menulis Perahu Kertas saya memang sudah punya visi untuk mengangkatnya ke layar lebar. Jadi tinggal mencari partner yang tepat saja. Kebetulan karena sekarang Perahu Kertas bekerja sama dengan Bentang sebagai penerbitnya, maka selaku paying dari Bentang, Mizan Production-lah yang maju terlebih dahulu. Soal penyelewengan, saya sih cukup realistis, tidak akan pernah mungkin naskah buku sama persis ketika difilmkan. Jadi “penyelewangan” pasti terjadi. Tinggal sekarang bagaimana “penyelewengan” itu tetap bagus dan manis sehingga bisa diapresiasi sebagai karya seni yang baik.

Kalau harus memilih fokus ke satu hal, Anda akan memilih jadi apa: penyanyi, penulis, pemain film, ibu rumah tangga, atau apa?

Ibu rumah tangga yang hobi nyanyi dan cari uang sambilan dari menulis. Main film? Tidak pernah terlintas di benak saya.

Dari semua buku-buku Anda, ada yang jadi favorit Anda? Kenapa?

Sejauh ini, saya paling suka Petir dan Perahu Kertas. Semata-mata karena dua buku itu proses pembuatannya sangatlah menghibur.

Apa yang paling mempengaruhi Anda dalam menulis: pengalaman atau pengamatan sehari-hari ATAU ide-ide liar tentang apa saja yang tiba-tiba muncul di kepala?

Kesemuanya. Menurut saya tidak ada “single factor” dalam menulis, apa pun yang menjadi pengalaman mental, fisik, maupun rohani dalam kehidupan nyata kita, akan menjadi bahan yang keluar tiba-tiba ketika kita menulis.

Apa yang paling sulit dan memakan waktu ketika menulis novel: mencari ide, membuat riset, menulis, atau justru saat melemparnya ke pembaca? Dari semua itu, mana yang paling Anda nikmati dan kenapa?

Paling makan waktu: riset. Paling bikin pusing tapi mengasyikkan: menulis. Paling melelahkan: promosi buku. Saya paling menikmati saat buku sudah jadi tapi belum rilis. Itu fase ‘tengah-tengah’ di mana ada kelegaan karena sudah selesai, tapi stres berikutnya yakni mempromosikan buku, belum datang.

Apa proyek atau karya Anda berikutnya? Apakah tetap berkisar di buku dan musik atau mungkin sesuatu yang sama sekali berbeda?

Supernova Partikel dan skenario film Perahu Kertas. Ada proyek-proyek lainnya yang nonfiksi, tapi masih dalam tahap penggodokan.

Apa film terakhir yang Anda tonton dan sangat suka? Kenapa?

Saya lagi jarang nonton film layar lebar, apalagi ke bioskop, karena masih ngurus bayi. Saya lagi senang nonton film serial, favorit saya: Criminal Minds, Lie To Me, Castle, dan Fringe. Serial-serial itu menurut saya mencerdaskan karena saya jadi tahu banyak hal sekaligus terhibur.

Apa buku terakhir yang Anda baca dan bagian apa yang paling Anda suka?

Saya lagi baca buku fotografi, Understanding Exposure oleh Bryan Peterson.