Tuesday, December 23, 2014

Majalah Cita Cinta | Rubrik Intermezzo | Desember, 2014 | by Dian Probowati


Bagaimana perasaan Anda saat ada yang tertarik meminang novel Anda untuk diangkat ke layar lebar?

Biasanya sih yang pertama muncul adalah rasa penasaran. Ingin tahu apa jadinya ketika kreativitas saya diolah oleh orang lain menjadi format yang berbeda.

Bagaimana proses terpilihnya Supernova untuk dijadikan film? Sempatkah tebersit keraguan untuk mengiyakan tawaran tersebut?

Produsernya, Sunil Soraya, sudah menghubungi saya sejak 6 tahun yang lalu. Tapi saat itu saya masih belum tertarik karena saya merasa Supernova adalah cerita yang belum selesai. Setelah sekian lama, perspektif saya berubah. Sama seperti bukunya, saya rasa Supernova bisa dinikmati setiap episodenya secara terpisah-pisah. Jadi, ketika tahun 2012 Sunil menghubungi saya lagi, mind set saya sudah berbeda. Dan saya melihat keseriusan niatnya dalam menggarap film Supernova. Setelah beberapa kali berbincang-bincang, akhirnya saya melepas hak adaptasinya.

Setelah film Supernova selesai digarap, apakah Anda puas dengan hasilnya?

Saat wawancara ini dilakukan, saya belum melihat, jadi untuk hal ini saya belum bisa komentar.

Apakah Anda terlibat langsung dalam memilih aktor-aktor yang akan memerankan tokoh dalam novel Anda? (Beberapa waktu lalu saya sempat wawancara Arifin Putra, katanya Mbak Dee sendiri yang meminta dia membaca novelnya karena menurut Anda ada karakter yang cocok dimainkan untuknya.)

Terlibat langsung sih, tidak. Tapi awal-awal ketika proses casting baru dimulai saya sempat diajak diskusi oleh Sunil perihal casting. Pada akhirnya tentu dia yang memutuskan karena itu sesuai kapasitas dia sebagai produser. Saya sebatas kasih usulan saja. Arifin Putra adalah salah satu aktor Indonesia favorit saya. Saya memang pernah mengusulkan Arifin, tapi sebenarnya bukan sebagai Reuben (perannya yang sekarang), melainkan sebagai Ferre. Hanya saja peran Ferre sudah dikunci di Herjunot Ali. Saya sih oke-oke saja dengan itu. Tahunya, setelah The Raid 2 keluar, Arifin diundang casting lagi, tapi kali ini sebagai Reuben. Karena saya tahu dia aktor bagus, saya sih menyambut positif. Saya yakin dia bisa memerankan Reuben dengan baik.

Sejauh apa keterlibatan Anda sebagai penulis dalam proses produksi film?
Bisa dibilang hampir tidak terlibat sama sekali. Hanya berupa diskusi di awal saja. Atau kalau ada yang Sunil ragu-ragu mengenai makna dalam cerita Supernova, dia tanya saya.

Durasi film yang terbatas (90-120 menit) akan sulit menggambarkan keseluruhan cerita pada ratusan halaman buku. Sering kali pembaca novel kecewa ketika menonton film adaptasi novel favorit mereka. Bagaimana cara Anda agar hal itu nggak terjadi pada film yang diadaptasi dari novel Anda?

Sayangnya, kendali itu bukan di saya. Dan, saya rasa bukan itu tugas utama sebuah film yang diadaptasi dari buku. Kalau bikin film dari buku hanya sekadar untuk memuaskan pembacara, jelas itu nggak mungkin dilakukan. Setiap orang punya persepsi dan “theatre of mind”-nya masing-masing. Tugas utama pembuat film adalah bikin film bagus. Itu saja. Cerita bisa diadaptasi dari buku atau naskah orisinal, nggak masalah. Dan setiap karya, mau itu film atau buku, pasti akan ada yang suka dan tidak. Jadi, menurut saya sama-sama saja.

Apakah ada kekhawatiran tersendiri soal filmnya karena novel Anda menyandang title Best Seller?

Saat ini, enggak sih.

Apa kendala terbesar bagi Anda dalam proses pembuatan film adaptasi ini?

Karena saya nggak ikutan produksi, saya tidak merasakan kendala apa-apa.

Saat ini mulai banyak film di Indonesia yang merupakan adaptasi dari novel Best Seller, seperti 5 CM, Refrain, Mika, Laskar pelangi, dsb. Bagaimana Anda melihat fenomena film adaptasi novel di Indonesia?

Saya rasa itu memang pilihan yang dinilai strategis oleh para produser. Ketimbang naskah orisinal yang belum dikenal, cerita dari buku laris otomatis sudah punya pembaca dan massanya sendiri. Setidaknya film itu nanti sudah akan menarik perhatian para pembaca buku.

Ada nggak film adaptasi favorit Anda (dalam dan luar negeri). Sertakan alasannya.

Serial The Lord of the Rings adalah favorit saya sejauh ini, karena saya lebih bisa menikmati filmnya ketimbang bukunya. The Hunger Games juga efeknya sama di saya, bagi saya filmnya lebih charming ketimbang bukunya. Saya juga cukup suka The Giver tanpa baca bukunya.

Lebih seru mana, menulis buku atau proses membuat filmnya?

Saya lebih suka menulis buku, karena cuma sendirian dan nggak harus melalui persetujuan banyak orang.

Next, apakah sudah ada lagi yang tertarik memfilmkan novel Anda lainnya? Ataukah sekuel Supernova akan dibuat juga?

Filosofi Kopi akan difilmkan, rencana rilis April 2015, proses praproduksinya sudah dimulai. Untuk sekuel Supernova sejauh ini belum ada rencana. Kontrak saya dengan Soraya Intercine hanya sebatas episode pertama Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh saja.