Monday, December 22, 2014

Wawancara Penelitian | Sastra Ambang | April, 2014 | by Wahmuji


Dalam obrolan dengan Dewi Anwar di program Tea Time with Desi Anwar, Anda menyatakan bahwa Anda tidak ingin hanya menjadi penulis sekedar, penulis yang hanya mengandalkan popularitas sebagai penyanyi pop. Anda menyatakan serius dalam berkarya lewat tulisan. Selain semacam ‘panggilan-untuk-menulis’ yang Anda rasakan, latar belakang historis macam apa (baik intelektual maupun personal) yang mendorong kerja penulisan Anda hingga sekarang?

Menulis adalah hobi yang saya tekuni sejak kecil. Dan, saya selalu serius menyikapi menulis sebagai profesi, sebagaimana saya serius menyikapi musik sebagai profesi. Keluarga saya sendiri memang akrab dengan kebiasaan membaca dan kreativitas. Jadi, menulis dan buku pada umumnya sudah merupakan saluran kreativitas yang saya akrabi sejak kecil.

Latar belakang intelektual dan personal Anda itu pasti berpengaruh pada visi kepengarangan Anda. Apa yang ingin Anda capai dalam dan lewat karya-karya fiksi Anda?

Bagi saya, menulis adalah kendaraan. Di dalamnya, saya menumpangkan minat saya, pertanyaan saya, ketertarikan saya, pergelutan saya, pengamatan saya akan hidup, manusia, alam, dsb. Saya juga yakin ada orang-orang di luar sana yang punya ketertarikan yang sama, minat sama, dsb. Saya ingin berkomunikasi dengan mereka. Kalau lantas ada yang ternyata tidak sepakat atau punya sudut pandang ya, silakan. Tapi minimal sudah ada dialog. Jadi, itu yang ingin saya capai. Dialog.  Di luar itu, tentu menulis juga punya aspek teknis. Menulis adalah skill yang dilatih seumur hidup. Dalam aspek ini, saya juga ingin terus berkembang. Saya ingin terus belajar untuk menulis sebaik mungkin.

Setelah beberapa tahun menulis dan novel pertama Anda, Supernova: Ksatria dan Bintang Jatuh, diapresiasi dan dirayakan oleh banyak orang, Anda praktis memasuki dan sekaligus menjadi figur di dalam sebuah arena baru dalam hidup Anda, yakni arena sastra. Kini, belasan tahun telah berlalu sejak novel pertama Anda itu terbit. Bagaimana pendapat Anda saat ini mengenai arena sastra yang sekarang Anda geluti dibandingkan, misalnya, dengan arena tarik-suara yang Anda geluti sebelumnya? Lebih praktisnya, apa yang sedang dipertaruhan dan ingin dicapai oleh orang-orang sastra?  

Salah satu yang berkesan bagi saya ketika memasuki dunia perbukuan adalah, Supernova berhasil mempunya pengaruh atas bagaimana sebuah buku diperkenalkan dan dipasarkan. Sebelum itu, promosi buku cenderung pasif. Sementara saya berangkat dari dunia entertainment di mana promosi merupakan aspek penting, dan promosi berarti harus ada upaya aktif dari penulis. Itu yang dulu saya lakukan dengan Supernova. Dan, sampai saat ini, saya melihat perubahan besar yang terjadi. Karena sebetulnya tidak banyak beda antara industri buku dan industri musik. Penulis ingin karyanya dibaca, ingin karyanya menjangkau sebanyak mungkin orang. Penyanyi/musisi juga sama. Mereka juga senang kalau karyanya diapresiasi, diakui, mendapat penghargaan, dan bisa menjadi sumber nafkah. Dalam level yang lebih dalam, mereka juga ingin meninggalkan jejak perubahan dalam masyarakat. Jadi, saya tidak melihat perbedaan yang prinsipil antara kedua industri tersebut, instrumen yang dipilihnya saja yang berbeda. Apa yang ingin dicapai saya rasa sama-sama saja.

Dari awal karier kepenulisan Anda hingga sekarang, karya-karya fiksi apa yang paling berpengaruh pada Anda? Apa pendapat Anda tentang karya-karya itu dan kenapa berpengaruh?

Waktu kecil saya banyak baca buku-buku fiksi terjemahan populer seperti Enid Blyton, Alfred Hitchcock, juga komik-komik seperti Tintin, Lucky Luke, Asterix, dsb, yang lalu bervariasi dengan komik serial Jepang seperti Candy-candy, Topeng Kaca, dst, termasuk baca cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dan cerbungnya Katyusha di Hai. Ketika kuliah saya jatuh cinta pada puisi-puisi Sapardi dan senang membuat lirik lagu. Tahun ’98 saya membaca Saman-nya Ayu Utami dan juga terkagum-kagum. Setelah itu saya lebih banyak membaca buku nonfiksi, seputar tema spiritualitas, sains populer, antropologi, dsb, diselingi dengan karya-karya fiksi. Jadi, kalau khusus fiksi saja, saya memang lebih banyak dipengaruhi karya populer. Terutama karena memang yang saya cari dalam sebuah karya adalah engagement, kemampuan karya tersebut mengikat pembaca. Saya senang dengan storyteller yang baik. Dan kebanyakan storyteller yang baik bukunya memang laku, karena kalau tidak, bukunya pasti tidak selaris itu. Dan, meski ada buku yang katanya bermutu tapi begitu saya baca saya tidak merasa diikat oleh penulisnya, saya langsung berhenti. Waktu saya untuk membaca, apalagi sekarang-sekarang ini, sangat terbatas. Jadi, saya sangat selektif untuk menginvestasikan waktu.

Dalam sastra Indonesia, khususnya prosa, terdapat pemisahan karya-karya yang dianggap Sastra (dengan ‘S’ besar atau ‘sastra serius’) dan fiksi populer atau novel populer. Paling tidak, hal itu menjadi kuat dan jelas pada tahun 1970an dan 1980an dengan kemunculan karya-karya Marga T dan Mira W dan upaya pengkategorian yang dilakukan oleh Jakob Sumardjo. Menurut Anda, apakah pemisahan semacam itu diperlukan? Kenapa dan untuk apa?

Kategorisasi dan klasifikasi tentu punya manfaat. Terutama kalau sudah di toko buku. Kita butuh kategorisasi, kalau tidak bisa kacau dan tersesat saat mencari buku. Dari sisi kritik sastra, juga pasti ada gunanya. Mungkin itu akan memudahkan penilaian, tolok ukur kualitas, dll. Sebagai penulis, kadang kita juga butuh petunjuk itu, entah sebagai panduan atau wawasan. Jadi, selama ditempatkan dalam konteks yang bermanfaat, pemisahan tersebut punya alasan yang riil dan praktis.

Diperlukan atau tidak, nyatanya secara umum banyak orang, atau paling tidak saya, merasakan adanya pemisahan yang cenderung hierarkis semacam  itu. Menurut pembacaan saya, pemisahan karya didasarkan pada baik kualitas internal teks atau literer maupun ekstra-literer. Penilaian literer biasanya berkaitan dengan ‘kedalaman’ dalam isi dan eksperimen dalam bentuk. Sedangkan ekstra-literer biasanya berkaitan dengan pasar atau kapitalisme. Kadang-kadang, pemisahan yang lebih tegas menyatakan bahwa karya Sastra itu seni dan fiksi populer bukan-seni. Bagaimana pandangan Anda tentang hal itu? Menurut pembacaan Anda sendiri, apa yang membuat sebuah karya disebut sebagai Sastra atau fiksi populer?

Saya tidak merasa ahli dalam hal ini. Tapi, yang saya amati adalah, sastra kadang melibatkan faktor waktu. Ada buku-buku yang pada masanya dianggap populer, dan bahkan dicemooh oleh kritikus sastra pada masa tersebut, tapi setelah lewat sepuluh-dua puluh-tiga puluh tahun, karya tersebut menjadi klasik, dan oleh generasi yang baru buku tersebut dikategorikan sebagai sastra. Jadi, kadang-kadang status “sastra” adalah pencapaian bagi buku yang terbukti tak lekang waktu, yang mampu menancapkan eksistensinya menembus zaman. Konten menjadi relatif. Apa yang dianggap nonsastra (bahkan ada yang menganggap Shakespeare karya picisan pada zaman tsb), terkadang hanya perihal selera pada era tertentu. Jadi, sastra vs nonsastra terkadang sifatnya fluid dan relatif. Secara umum, tentu sastra konon punya makna yang lebih dalam, penggunaan bahasa yang lebih serius, dan juga banyak lapisan interpretasi yang bisa dijadikan perenungan/diskusi. Sementara fiksi populer, konon menggunakan bahasa yang lebih ringan, tidak banyak permainan makna dan lebih superfisial. Tapi, kenyataannya memang banyak variasi karya di luar sana yang menggunakan berbagai elemen campuran, jadi perbedaannya kadang-kadang tidak sesederhana dua pilihan itu.

Ken Gelder dalam Popular Fiction: The Logics and Practices of a Literary Field memperlakukan fiksi populer sebagai sebuah medan (field, dalam pengertian yang diadopsi dari Bourdieu), bukan genre. Sebagai sebuah medan, fiksi populer didefinisikan dan mendefinisikan-diri secara oposisional dengan medan Sastra. Dan keduanya memiliki genre-genre beserta perkembangannya masing-masing. Di Barat, khususnya Amerika dan Eropa, mengacu pada buku Ken Gelder itu, posisi Sastra dan fiksi populer cukup jelas. Orang yang masuk dalam kedua medan itu pun menyadari posisi kulturalnya. Bahkan, mereka saling mengejek satu-sama-lain. Misalnya, berkaitan dengan jumlah pembaca, orang-orang fiksi populer mengejek karya Sastra yang tidak banyak dibaca, dengan pertanyaan klasik “apa bagusnya sebuah buku yang tidak banyak dibaca orang dan hanya nongkrong di perpustakaan?” Sedangkan orang Sastra mengejek karya-karya fiksi populer sebagai formulaic, mengikuti selera pasar, dll. Menurut Anda, bagaimana kondisinya di Indonesia? Bagaimana Anda melihat posisi Sastrawan dan karya Sastra vs penulis populer dan fiksi populer di Indonesia?

Saat ini sih rasanya biasa-biasa saja. Entah itu karena saya kurang bergaul atau bagaimana. Rasanya sekarang-sekarang ini belum ada debat yang berarti yang membenturkan sastra vs karya populer. Apalagi jika dilihat dari individu-individunya. Kalau sudah di festival penulis misalnya, saya sih berbaur dengan siapa saja, mau itu yang diklaim sastrawan atau penulis populer, demikian juga yang lain-lainnya. Dalam ajang-ajang sastra seperti Khatulistiwa Literary Award sekalipun, kelihatan terkadang ada pembauran itu. Contohnya, Perahu Kertas, yang jelas-jelas saya klaim sebagai fiksi populer, ternyata sempat masuk daftar long list Khatulistiwa. Siapa yang memasukkan, penilaiannya apa, entah. Itu salah satu contoh saja. Jadi, kalau menurut saya dikotomi itu saat ini di Indonesia sedang tidak runcing, entah nanti.

Sastra, juga seni secara umum, meski relatif otonom terhadap apapun di luarnya, secara terus-menerus tetap dipertanyakan fungsinya untuk masyarakat. Menurut Anda, tanggungjawab macam apa yang dipikul seorang Sastrawan Indonesia pada masyarakatnya? Apakah hal yang sama (seharusnya) berlaku bagi penulis fiksi populer?

Saya termasuk orang yang percaya bahwa karya seni, termasuk sastra, seharusnya menjadi representasi jujur atas zaman. Saya tidak setuju kalau sastrawan atau penulis fiksi populer atau seniman dalam bidang apa pun memiliki tanggung jawab tertentu di luar menjadi kamera yang jujur untuk memotret zaman. Jadi, biarkan penulis yang memilih untuk memikul tanggung jawab apa, kalau mau menjadi moralis, silakan, kalau mau galau-galauan juga silakan. Tapi itu baiknya menjadi pilihan internal yang mereka pilih sendiri. Jangan sampai ada aturan eksternal yang mengatur tanggung jawab seorang penulis, kecuali yang mengandung tatanan hukum (seperti bayar pajak – yang mana berlaku bagi seluruh wajib pajak).  Sastrawan bukan profesi suci maupun instrumen pemerintah. Sama seperti profesi umum lainnya, pada akhirnya yang menentukan karier seorang penulis adalah dedikasi, komitmen, dan kualitas.

Dalam dua medan yang dikotomis itu, yang seringkali direpresentasikan secara hierarkis, bagaimana Anda melihat posisi karya-karya Anda sendiri? Seandainya musti memilih di antara  dua medan itu, lebih memilih manakah Anda: Dianggap penulis fiksi populer karena tidak layak masuk Sastra, tapi karya-karya Anda dibaca banyak orang sehingga mungkin visi kepenulisan Anda lebih bisa dicapai atau dianggap penulis Sastra tapi karya-karya Anda tidak terlalu populer di masyarakat umum?

Saya melihatnya agak lain, mungkin karena saya pernah aktif dalam penerbitan, jadi saya melihat dikotomi tersebut lebih ke: buku laris dan kurang/tidak laris. Lalu, ada juga buku yang critically acclaimed – yang dapat penghargaan sastra atau kritik positif dari pengamat sastra, dan yang tidak. Sekat-sekat itu tentu tidak kaku. Terbukti juga bahwa buku laris bisa saja dapat penghargaan sastra dan kritik positif, sama halnya dengan buku yang tidak dilirik pengamat sastra bisa jadi buku laris. Pilihan saya sendiri awalnya tidak pernah ada di sekat itu semua. Saya adalah penulis yang berangkat dari keinginan untuk menuliskan apa yang ingin saya baca.

Sejauh ini, komentar atau ulasan atas karya Anda yang mana yang membuat Anda terkesan? Kenapa?

Sebetulnya cukup banyak. Tapi salah satu yang paling berkesan adalah waktu Pak Budi Darma membahas Filosofi Kopi di sebuah talk show tahun 2006 bersama saya. Beliau bilang, bahwa benang merah dari karya-karya saya adalah pencarian jati diri. Dan, memang betul. Saya senang akhirnya ada yang bisa menyimpulkan apa yang saya kerjakan selama itu dengan begitu sederhana.

Sastra Indonesia pada dekade pertama tahun 2000an ditandai dengan booming berbagai genre secara bergantian. Di antaranya muncul (kembali) fiksi remaja atau teenlit, chicklit, metropop, fiksi islami & fiksi ilmiah islami, fiksi ilmiah, “novel sejarah” dan apa yang sering disebut sebagai novel-novel motivasi. Apa pendapat Anda tentang booming berbagai genre itu dan secara umum perkembangan sastra Indonesia pada dekade awal abad XI ini?

Tren buku tentunya tidak lepas dari konteks global. Saya melihat teenlit/chicklit/metropop mulai berkembang dari generasi yang sejak kecil sudah terpapar oleh budaya global, rata-rata melek teknologi dan mahir Bahasa Inggris, jadi itulah realitas yang mereka tahu dan familiar. Seperti yang saya sebut sebelumnya tentang memotret zaman, ya itulah potret zaman yang mereka punya. Begitu juga dengan fiksi islami, novel sejarah, dan motivasi. Ada tren kultural dalam skala yang lebih besar yang kemudian mendorong terciptanya produk-produk tersebut. Jadi, perkembangan sastra tidak pernah lepas dari potret zaman.

Pernahkah Anda membaca karya-karya Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy? Secara umum, apa pendapat Anda tentang karya-karya mereka?

Andrea sudah. Habiburrahman belum, tapi saya tahu versi-versi filmnya. Dalam kapasitas penulis, saya tidak bisa komentar banyak, berhubung kurang lebih saya mengerti proses kreatif yang terjadi, pergelutan umum yang dialami kebanyakan penulis, dsb. Dan bagi saya karya mereka baik-baik saja, laris karena mungkin banyak pembaca yang merasakan ada koneksi dengan cerita mereka dan sedang berada dalam momen tren yang tepat. Itu saja. Mungkin akan beda kalau saya punya sudut pandang lain, sebagai kritikus misalnya. Tapi, saat ini saya tidak punya.

Jika Anda diharuskan untuk menempatkan karya-karya kedua penulis itu ke dalam sastra atau fiksi populer, di manakah Anda akan menempatkannya? Dan kenapa?

Ini selalu menjadi pertanyaan membingungkan bagi saya, karena saya bukan orang yang terlampau hirau dengan soal kategori. Apalagi saya belum baca buku Habiburrahman El Shirazy jadi rasanya makin tidak valid. Dengan karya Andrea, buat saya lebih mencolok permasalahan kefiksiannya ketimbang sastra atau nonsastra. Karena, saya menangkap bahwa buku Andrea dekat sekali dengan otobiografi (khususnya yang seri Laskar Pelangi), jadi sebetulnya fiksi atau nonfiksi? Kalau buku lainnya, secara umum, saya mungkin akan menempatkannya dalam sastra, bukan karena saya betulan paham, tapi rasanya lebih pas demikian ketimbang nonsastra.