Monday, December 15, 2014

Good Housekeeping | Film Perahu Kertas | November, 2012 | by Fiona Yasmina


Film Perahu Kertas, kan, booming.  Kenapa Perahu Kertas yang dipilih sebagai novel pertama yang difilmkan? Apakah karena cerita dalam novel ini cenderung ringan dibandingkan karya-karya Anda lain yang cenderung “mikir”? Padahal mungkin banyak orang yang mengharapkan Supernova lebih dulu difilmkan dibandingkan karya Anda lainnya? 

Dalam hal ini sebenarnya saya tidak di posisi "memilih". Produserlah yang mendatangi saya dan kemudian menawarkan untuk membeli hak adaptasi dari karya saya. Perahu Kertas adalah karya saya yang pertama kali mendapat penawaran pembelian hak adaptasi film. Prosesnya terjadi dari tahun 2009. Jadi, kewenangan untuk menentukan mana yang duluan difilmkan bukan dari pihak saya, melainkan dari pihak pembeli hak adaptasi, yang mana pihaknya bukan cuma satu dan berbeda-beda. 

Sebenarnya sulit tidak menyatukan dunia novel ke dalam dunia nyata (film)? Karena dunia novel kan apa yang ada di dalam imajinasi kita. Imajinasi berkembang tetapi di dunia nyata kita stuck dengan apa yang ada. Boleh ceritakan bagaimana kesulitan perealisasiaannya? 

Yang memproduksi film, sih, tugasnya simpel, yakni membuat produksi film yang sebaiknya-baiknya. Film sudah punya aturan sendiri, punya batasan durasi, struktur bercerita yang lebih baku ketimbang novel. Jadi, yang perlu dilakukan sebenarnya hanya memindahkan novel ke dalam format film. Yang sulit memang bukan adaptasinya. Yang sulit adalah berusaha menyesuaikan film dengan teater yang sudah tercipta di benak pembaca dari sejak mereka membaca buku. Menurut saya, itu bahkan tak mungkin. Setiap pembaca pasti memiliki imajinasi yang unik dan berbeda satu sama lain. Jadi, tidak mungkin memuaskan keinginan semua orang sekaligus. 

Dari hasil syuting film Perahu Kertas, ada sumber yang mengatakan bahwa sebenarnya hasilnya 6 jam, tetapi karena Anda sayang memotongnya maka film ini dibuat jadi dua seri. Apakah ini benar? Kenapa bisa sepanjang itu? 

Perlu digarisbawahi bahwa peran saya dalam produksi Perahu Kertas hanyalah penulis skenario. Sesekali saya dimintai pendapat. Namun, banyak hal strategis yang bukan menjadi kewenangan saya. Saya tidak terlibat dalam keputusan menjadikan Perahu Kertas dua bagian. Itu semua keputusan produser. Bagaimana Perahu Kertas bisa jadi 6 jam, ya tentu, itu adalah pertanyaan yang seharusnya ditujukan ke sutradara. Bukan saya. Kenapa bisa jadi dua bagian? Itu adalah pertanyaan untuk produser. Namun, saya pribadi merasa itulah hal terbaik yang bisa diputuskan oleh para pihak tsb. 

Banyak orang bilang novel dan film adalah dua karya yang berbeda, kenapa harus disatukan? Memang sampai sedetail apa sih kesamaan yang ada di novel dan film? Kenapa harus sedetail itu? Apakah karena Anda takut kalau pembaca yang menonton jadi kecewa? Bisa dijelaskan? 

Banyak yang tidak bisa dipersiskan, kok. Struktur cerita film Perahu Kertas banyak berubah dibandingkan novel. Tokoh yang tadinya signifikan ada yang dikecilkan, tokoh yang tadinya tidak sigfinikan ada yang dibesarkan porsinya. Saya sendiri merasa format film memang beda dengan novel. Upaya untuk terlalu memirip-miripkan tentunya akan menyulitkan semua pihak dan berisiko pada filmnya. Dari namanya saja sudah jelas bahwa film adalah adaptasi novel, bukan visualisasi novel. Jadi, sejak awal saya sudah mengambil posisi bahwa cerita tidak mungkin persis sama. Karakterisasi juga demikian. Yang perlu dijaga adalah spiritnya. Spiritnya yang jangan berubah. 

Di dalam film Perahu Kertas, Anda sendiri menjadi penulis skenarionya. Apa pertimbangan sampai Anda sendiri yang harus menulis skenarionya? Apakah Anda memiliki ketakutan bahwa apa yang disampaikan di film berbeda dengan apa yang disampaikan di novel? 

Sejak lama saya memang sudah ingin menulis skenario untuk Perahu Kertas. Bagaimana cerita itu tercipta dalam benak saya sudah seperti alur film. Banyak gimmick dan ciri khas dari cerita yang ingin saya pertahankan, hal-hal yang subtil sehingga belum tentu pas jika dikerjakan oleh orang lain, untuk itu saya mengajukan diri untuk menjadi penulis skenarionya. 

Bagaimana proses casting film Perahu Kertas hingga mendapat orang seperti Kugy, Remi, dan Keenan hingga pas seperti apa yang Anda inginkan? Sempat ada hambatan? Boleh diceritakan? Sejauh mana keterlibatan Anda dalam pemilihan pemeran? 

Untuk casting, saya memang menjadi konsultan, walaupun pelaksanaannya sepenuhnya dipegang oleh Zaskia. Casting Perahu Kertas adalah salah satu proses yang paling sulit karena karakternya saling berkaitan seperti orkestra. Satu pemain berubah, yang lain harus ikut berubah karena nggak jadi pas lagi. Proses mulai melancar ketika kami akhirnya mengunci pemeran Kugy di Maudy Ayunda. Dari sana, semuanya tinggal mengikuti patokan karakter Kugy. 

Misalnya seperti buku Harry Potter, ketika bukunya difilmkan memberi efek terbalik yaitu orang jadi ingin membaca bukunya. Apakah hal ini sama dengan Anda? Ingin memfilmkan agar bukunya laku? 

Sebelum ada film, Perahu Kertas juga sudah laku, kok, hehe. Menurut saya, hal yang tidak efisien dan berlebihan jika memfilmkan buku hanya demi bukunya laku. Banyak cara promo lain yang lebih murah daripada bikin film. Kalau ternyata filmnya jelek dan tidak dapat sambutan, akhirnya bukunya makin terpuruk, kan? Tambah rugi, dong. Buku difilmkan harus karena potensi ceritanya. Kalau setelah difilmkan, penjualan buku meningkat, itu berarti bonus. Dalam kasus Perahu Kertas, memang itu yang terjadi. Tahun 2009, Perahu Kertas jadi salah satu buku best-seller. Tahun ini, buku Perahu Kertas kembali jadi best-seller karena orang yang belum baca jadi curious karena gaung filmnya. 

Anda juga merupakan bagian dari cameo di dalam film Perahu Kertas. Apakah ini hanya sekadar iseng atau ada pertimbangan lain? 

Lebih tepatnya, dipaksa. Hehe. Saya sendiri tadinya nggak kepengin karena saya malas ikut syuting. Paling nggak betah nunggu syuting seharian. Tapi, Zaskia dan para produser kepengin saya muncul buat lucu-lucuan saja. Dari semua peran, memang cuma perannya Tante Rani (partner kerjanya Hans, ayahnya Wanda) yang belum ada. Akhirnya, saya disuruh mengisi porsi Tante Rani.

Apakah buku Rectoverso dan Madre ini difilmkan karena kesuksesan Perahu Kertas atau sudah direncanakan sebelumnya? 

Rectoverso dan Madre sudah dibeli hak adaptasinya sebelum Perahu Kertas tayang. Jadi, murni karena potensi cerita. Bukan karena animo Perahu Kertas. 

Dalam buku-buku Anda, Anda selalu bisa mendeskripsikan dengan detail suatu tempat atau makanan, misalnya dalam Madre. Sampai-sampai orang tergugah seleranya. Bagaimana di film Anda memberikan efek yang sama? 

Saya rasa, dalam film itu sudah menjadi tugas banyak pihak. Beda dengan novel di mana dalam novel itu bergantung sepenuhnya pada penulis dan kemampuan deskripsinya. Dalam film, itu menjadi tugas sutradara, penulis skenario, tim artistik, aktor/aktris, dst. Film adalah karya kolaborasi. 

Ceritakan dong bocoran tentang film Rectoverso, kenapa Anda memilih 5 cerita? Atas dasar apa cerita itu dipilih? Apa benang merah dan keistimewaannya dari kelima cerita itu? Apa yang ingin disampaikan dari lima cerita itu? Kenapa harus melalui 5 sutradara yang berbeda? Apakah tidak cukup dengan satu sutradara saja? 

Sekali lagi, bukan saya yang menentukan. Itu semua dipilih dan ditentukan oleh produser. Begitu juga penentuan lima sutradara, konsep omnibus, mengapa yang dipilih lima cerita tsb, dsb. Dalam Rectoverso, peran saya hanya sebatas penulis buku yang dibeli hak adaptasi. Sesekali saya diajak konsultasi sebatas pengecekan skenario dan preview film, tapi segala keputusan strategis bukan di tangan saya.