Kapan tepatnya karya ini dibuat? Berapa lama
prosesnya?
Sebetulnya ini
karya lama yang ”dibangunkan” kembali. Pertama kali saya menuliskan Perahu
Kertas (dulu judulnya Kugy & Keenan) adalah tahun 1996, lalu pada saat
sudah tigaperempat selesai proses menulisnya sempat terhenti. Sebelas tahun
kemudian, tepatnya tahun 2007, saya mendapat tawaran dari sebuah perusahaan content provider untuk menerbitkan novel
digital dalam bentuk WAP yang akan dipasarkan oleh perusahaan telco lewat HP
(pada saat itu Excelcomindo). Jadi orang-orang bisa baca novel lewat layar HP
mereka. Pada saat itulah saya terpikir untuk menulis ulang Perahu Kertas dan
menjadikannya novel digital pertama di Indonesia, karena saya memang ingin
memberikan materi yang fresh dan
bukan sekadar digitalisasi novel-novel saya yang sudah beredar di pasaran.
Kendala semacam apa yang menjadi tantangan dalam
proses pembuatannya?
Karena naskah
lama, tentunya banyak sekali penyesuaian waktu, konteks, bahkan jalan cerita.
Bisa dibilang saya memang memulai lagi dari nol. Dan pada saat itu deadline saya cukup mepet, jadi saya pun
dipaksa untuk mengubah sistem menulis saya. Pada akhirnya novel tersebut bisa
diselesaikan dalam waktu 60 hari kerja, padahal itulah novel terpanjang yang
pernah saya tulis (hampir 450 halaman).
Anda sengaja kost untuk menulis novel ini dengan
para mahasiswi, seperti apa efeknya bagi proses penulisan?
Sebetulnya nggak
sengaja ngekost. Hehe. Untuk sistem kerja yang intensif sebagaimana yang saya
terapkan dalam penulisan Perahu Kertas, saya membutuhkan semacam ”markas besar”
untuk menulis, di mana tempat itu aman dari segala distraksi, dan saya bisa
menerapkan jam kerja yang disiplin. Akhirnya saya pilih cari tempat kost.
Nulisnya sih seperti ngantor, saya berangkat pagi lalu pulang sore, atau pergi
siang lalu pulang lagi menjelang makan malam. Dan begitu sampai di rumah saya
nggak menyentuh lagi pekerjaan saya. Tapi ternyata punya tempat kost seperti
itu membantu juga untuk mengembalikan spirit dan suasana kuliah sebagaimana setting di cerita Perahu Kertas. Rasanya
lebih menjiwai. Waktu saya nulis, kadang-kadang suka kedengaran
tetangga-tetangga kamar saya, yang notabene anak-anak kuliah, berkumpul,
menggosip, ngobrolin tugas, dsb. Kadang-kadang juga kita makan bareng di meja
makan bersama. Jadi, secara suasana lebih dapet rasanya.
Apa beda PK dengan buku-buku sebelumnya?
Bisa dibilang
inilah cerita saya yang benar-benar ada di kategori fiksi populer. Karya-karya
saya sebelumnya lebih bernuansa sastra atau berada di tengah-tengah antara
sastra dan fiksi populer. Jadi segmen pembaca yang dituju untuk Perahu Kertas
pun lebih lebar secara usia.
Kenapa pilihan ceritanya lebih kepada pembaca
remaja?
Perahu Kertas
menceritakan tentang dua anak lulusan SMA yang masuk ke dunia perkuliahan dan
kemudian menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai impian mereka. Otomatis
pembaca yang bisa relate dengan
masalah seperti itu adalah pembaca dengan usia remaja, tepatnya muda-dewasa.
Anda punya tujuan khusus dalam hal ini?
Nggak juga, sih.
Kebetulan memang tema naskah Perahu Kertas dari sebelas tahun yang lalu isinya
demikian. Dan saya nggak berniat mengubahnya hanya karena umur saya sekarang.
Saya justru ingin mengawetkan spirit dan fondasi cerita Perahu Kertas
sebagaimana yang saya tulis sebelas tahun yang lalu, karena di situlah memang ”nyawa”-nya.
Bagaimana novel ini mengakomodasi pembaca bukan
remaja?
Menurut saya,
Perahu Kertas adalah bacaan dengan rentang usia pembaca yang lebar. Walaupun
usia karakter-karakternya muda dan gaya penulisannya lebih ngepop, dalam Perahu
Kertas banyak lapisan permasalahan yang esensial dan mendalam, mis. hubungan
orangtua-anak, keberanian untuk jujur pada kata hati, kegigihan untuk mencapai
cita-cita, dsb. Dan menurut saya tema-tema itu adalah persoalan universal yang
menjadi pergelutan siapa saja, terlepas dari umurnya berapa.
Anda tidak khawatir dianggap melenceng dari
karya-karya sebelumnya?
Tidak terlalu.
Bukan berarti nggak khawatir sama sekali. Haha! Yang penting siap mental saja,
bahwa karya ini pastinya beda dengan karya saya sebelumnya. Tapi sebetulnya
saya memang nggak pernah ingin stagnan dalam satu warna saja. Jika diperhatikan
dengan jeli, setiap buku saya warnanya beda-beda, sekaligus mirip-mirip. Ada
benang merah yang menautkan semuanya. Tidak terkecuali Perahu Kertas. Saya
tetap yakin para pembaca yang mengenal karakter tulisan saya dengan baik akan tetap
menemukan ”Dee” di dalam Perahu Kertas.
Ini merupakan ”petualangan” baru anda dalam proses
berkarya?
Iya. Petualangan
baru dalam tema, genre, dan juga proses kreatifnya.
Adakah keinginan
khusus tentang respons pembaca atas novel ini?
Saya hanya ingin mereka menikmatinya seperti saya pun sangat
menikmati proses menulisnya. Perahu Kertas saya rancang sedemikian rupa
sebetulnya untuk memenuhi kehausan saya pribadi akan fiksi populer yang seru,
menyentuh, sekaligus bernas. Saya berharap semoga pembaca juga mengalaminya
seperti itu.
Adakah perbedaan buku ini dengan versi WAP?
Versi cetak ini
lebih lengkap, ada beberapa bagian cerita yang bahkan dalam versi WAP tidak
ada. Bisa dibilang ini adalah versi yang lebih sempurna, juga lebih enak dibaca
tentunya, karena nggak harus lihat dari layar mungil sebuah HP.