Bagaimana
Mbak Dewi melihat permasalahan perceraian, baik dalam perspektif umum maupun
dalam perspektif agama yang dianut?
Sebagaimana hal-hal yang barangkali dianggap
“kurang menyenangkan” secara umum, seperti halnya perpisahan dan kematian, saya
rasa manusia cenderung menghindari perceraian, meski kadang-kadang demikianlah
kenyataan hidup yang perlu dihadapi. Saya pun sendiri seperti itu. Jika
memungkinkan ya sebaiknya tidak berpisah, tidak bercerai, tapi jika memang itu
yang perlu dihadapi, ya akhirnya hadapi saja. Pada prinsipnya, menurut saya,
kita justru belajar dari yang pahit, bukan dari yang manis. Jadi pada hal-hal
yang dianggap kurang menyenangkanlah justru batin kita punya kesempatan paling
besar untuk bertumbuh. Jika saya kilas ke belakang, saya justru melihat saya
telah memetik pelajaran yang sangat berharga. Jadi pada akhirnya saya melihat
perceraian sebagai peristiwa hidup yang "biasa-biasa" saja, dalam arti: semua
peristiwa hidup punya tujuan dan makna, mau itu perceraian atau bukan. Dan
sebuah peristiwa jadi punya guna jika kita telah berhasil memetik pelajaran
darinya. Dari apa yang saya ketahui, di Buddhisme sendiri perceraian bukanlah
sesuatu momok menakutkan atau kutukan, melainkan sebuah fenomena. Sama halnya
dengan segala fenomena dalam hidup ini. Tapi tentunya mengadopsi hal itu
bukanlah hal yang mudah, karena secara riil kita hidup dalam kultur yang
cenderung mengagungkan persatuan/pertemuan dan mengutuk perpisahan/perceraian.
Sama seperti kita mengagungkan kelahiran dan menghindari kematian. Sementara
dalam pemahaman Buddhisme, kelahiran dan kematian hanyalah fenomena dalam
siklus tumimbal lahir yang keduanya netral-netral saja.
Ada
beberapa hipotesis, baik dari kalangan umum maupun selebritis, bahwa ‘separate
lives is a solution’ dalam arti adakalanya perpisahan/perceraian merupakan
suatu solusi. Apa pendapat Mbak Dewi?
Saya rasa, dalam hidup, segala sesuatu dapat
dipandang menjadi solusi. Bahkan hal paling ekstrem seperti kematian sekalipun.
Karena kita hidup dalam realitas yang dualitas, setiap permasalahan pasti sudah
datang bersama solusinya. Dan apakah solusi itu? Kita tidak pernah bisa tahu,
sampai solusi itu benar-benar datang dan tiba secara nyata dalam hidup kita.
Jadi, perceraian, perpisahan, kepergian, tentunya bisa menjadi sebuah solusi
jika memang pas dengan konteks dan perspektifnya. Ini akan kembali ke pandangan
dan belief system masing-masing orang. Jika mereka percaya bahwa perpisahan bukanlah
solusi, yah mungkin mereka akan terus bertahan untuk bersama, meski sudah
tersiksa luar biasa. Semata-mata karena bagi mereka, perpisahan bukanlah
pilihan. Dan hal itu sah-sah saja, menurut saya.
Beberapa
agama mempunyai doktrin mengenai perceraian. Dalam agama Buddha ‘perkawinan
bukan sesuatu yang sakral, begitu pula perceraian’ – sementara beberapa doktrin
agama lain, ‘perkawinan dan perceraian sama-sama sakral’ – lalu bagaimana
pandangan Mbak Dewi Lestari?
Sejak lama, saya pun merasa bahwa pernikahan
memang bukanlah segalanya. Tidak ada harga mati dalam hidup ini. Segalanya berubah dan
tidak tetap. Sama seperti situasi langit yang terus berubah; kadang jernih,
kadang berawan, kadang hujan, begitu jugalah hidup. Justru ketika kita
mengharapkan sesuatu adalah abadi, sakral, tak bisa ditawar-tawar, kita mulai
hidup dalam ketegangan batin dan ketidakbahagiaan. Namun bukan berarti kita
juga jadi main-main menghadapi pernikahan, atau pun perceraian. Saya yakin,
semua orang yang memasuki sebuah pernikahan atau pun memutuskan bercerai,
pastilah itu sebuah keputusan serius, yang dipikirkan masak-masak. Tidak ada
yang mengharapkan berpisah saat bertemu, tapi kenyataan hidup kan tidak ada
yang bisa menduga arahnya. Dengan menjalankan sebaik-baiknya sebuah keputusan,
apa pun itu, sekaligus menerima fakta dan hukum alam bahwa segalanya tidak ada
yang permanen, kita jadi bisa lebih realistis dan tidak terlampau mencengkeram
sesuatu. Meskipun sesuatu itu kita anggap baik dan penting.
Apakah
perceraian dalam konteks ‘it is a solution’ – bisa digeneralisir (either case
by case of person by person)?
Saya rasa tidak ada permasalahan yang benar-benar bisa digeneralisasi.
Setiap permasalahan adalah unik, dan tentu solusinya pun unik. Walaupun mungkin
ada kasus yang mirip-mirip, tak ada satupun dalam hidup ini yang identik. Jadi
bagaikan semua
individu di dunia ini, sebuah solusi pun
sifatnya pasti unik dan individual.