Tuesday, December 16, 2014

Bintang Indonesia | Sosok Inspiratif | Agustus, 2012 | by Wayan Diananto


Saya ucapkan selamat, karena Perahu Kertas (PK) telah diproduksi dan siap tayang menjelang Lebaran. Beberapa pengamat sinema menyebut film ini sebagai “kuda hitam” alias pengumpul penonton terbanyak pada putaran Lebaran 2012. Bisa diceritakan kapan persisnya dan bagaimana Starvision Plus-Mizan Production meminang novel PK?

Kelahiran novel Perahu Kertas diawali dengan format digital pada tahun 2007, dan setelah lewat setahun kontrak eksklusifnya dengan perusahaan content provider, Perahu Kertas pun saya siapkan untuk terbit dalam format hardcopy alias buku. Ada beberapa penerbit yang ikut pitching meminang naskah Perahu Kertas pada tahun 2008 itu. Bentang Pustaka adalah satu-satunya penerbit yang tidak datang "sendirian". Sejak awal, Bentang Pustaka sudah bergandeng tangan dengan Mizan Production yang tertarik untuk mengangkat Perahu Kertas ke layar lebar. Jadi, hanya Bentanglah yang maju dengan dua penawaran sekaligus. Saya sendiri merasa cocok dengan chemistry yang terjadi dengan pihak Bentang saat kami bertemu langsung. Sementara, sejak kali pertama saya menulis Perahu Kertas, inilah naskah yang seketika saya bayangkan menjadi film. Jadi, saya pun menerima penawaran Bentang dan Mizan. Saat proses bergulir, Mizan lalu bekerjasama dengan Starvision, yang mereka anggap sangat berpengalaman dalam mengolah film genre drama. Pak Parwez dari Starvision pun tampaknya jatuh cinta pada buku tersebut dan bersemangat ingin memfilmkannya. Hanung dan Dapur Film adalah pihak terakhir yang ikut bergabung. Sejak awal, Pak Parwez sangat yakin bahwa Hanunglah orang yang paling tepat untuk menyutradarai Perahu Kertas. Tapi, jadwal Hanung sempat bentrok, dan akhirnya kami sempat pitching nama-nama lain. Namun, berhubung jadwal tayang Perahu Kertas bergeser, jadwal Hanung kembali dimungkinkan. Dan akhirnya, pilihan tersebut kembali jatuh pada Hanung.
 
Waktu itu, apa pertimbangan Anda mengiyakan tawaran untuk memfilmkan novel ini? Adakah syarat-syarat yang Anda ajukan sebelum akhirnya novel PK dikonversi ke layar perak? 

Saya mengajukan dua syarat. Pertama, saya akan menjadi penulis skenarionya. Kedua, saya ikut terlibat dalam pemilihan casting. Karena menurut saya dua hal itulah yang paling penting untuk menggawangi adaptasi Perahu Kertas.
 
Saya melihat di barisan kasting, ada Mbak Dee sebagai Rani. Wah, ternyata punya bakat akting juga ya, Mbak?

Sebetulnya lebih karena dipaksa terlibat, sih. Hehe. Dari awal saya padahal sudah bilang sama Zaskia, saya nggak suka syuting, dan paling malas kalau disuruh syuting. Tapi semua pihak merasa kalau penulisnya muncul akan lebih seru. Sayangnya, tidak ada ruang dalam skenario untuk pemunculan cameo. Akhirnya saya akan dikasih peran. Tadinya, saya berharap jadi figuran saja. Tapi, tokoh Rani ternyata masih kosong karena beberapa pemain yang dicalonkan mendadak nggak bisa. Jadi, akhirnya sayalah yang dijadikan Rani. Saya nggak bermasalah dengan akting sih, tapi syuting. Males banget. Haha! 
 
Apakah film PK adalah pengalaman pertama Mbak Dee sebagai penulis naskah?

Iya. 

Bagaimana Anda memandang terpilihnya Maudy Ayunda, Reza Rahadian, dan Adipati Dolken yang terpilih sebagai pelakon film ini?
 
Karena saya selalu diajak diskusi dan konsultasi oleh Zaskia mengenai casting, jadi terpilihnya Maudy, Reza, dan Adipati, adalah hasil rembukan bersama. Walaupun lewat cukup banyak perdebatan, tapi akhirnya casting sekarang adalah hasil kesepakatan semua pihak, termasuk saya. Maudy sebagai Kugy, saya yang menjagokan. Reza sebagai Remi, Hanung yang menjagokan. Adipati sebagai Keenan, Zaskia yang menjagokan. Para produser yang lain pun memiliki vote mereka masing-masing. Sejujurnya saya cukup surprised dengan hasilnya ketika sudah di layar lebar, saya rasa semua cast memainkan perannya dengan sangat baik. 

Apakah Anda juga turut memberi sumbang saran terkait keputusan film PK “dipecah” menjadi dua film?
 
Nggak. Ini saya tahu belakangan, ketika menjelang preview. Sejujurnya, saya cukup kaget juga ketika tahu hasil syuting Hanung ternyata sampai lima jam. Padahal naskah saya cuma 101 halaman. Dan irama film yang saya bayangkan memang lebih cepat. Pada pelaksanaannya, ternyata cukup banyak adegan yang ditambahkan oleh Hanung. Selain itu eksekusi ritme para aktor dan aktris tidak secepat yang saya bayangkan. Tapi, bagi saya sih, nggak terlalu masalah. Kalau memang itulah yang terbaik bagi cerita, ya, nggak apa-apa. Daripada dipaksakan menjadi satu film tapi malah merusak cerita. 

Banyak remaja yang jatuh hati pada novel PK. Mereka merasa terwakili oleh kisah cinta yang tergurat didalamnya. Mbak Dee mendapat ide menulis babak Keenan-Kugy ini dari mana?
 
Melihat ke belakang, sepertinya cukup banyak pemicu ide saya untuk menulis kisah Kugy dan Keenan. Saya menuliskan kisah itu waktu saya masih kuliah, jadi suasana kampus dan dunia perkuliahan amat dekat dengan saya saat itu. Saya suka komik Jepang "Popcorn", format cerita serial, lagu Indigo Girls, dan film Reality Bites, gabungan kesemua itu kemudian memunculkan ide untuk menuliskan Perahu Kertas, perjalanan panjang dua orang sahabat dalam menemukan cinta dan cita-cita. Dan saya rasa itu memang menjadi perjalanan banyak orang. 
 
Saya dengar ada pula omnibus Rectoverso yang melibatkan Marcella Zalianty, Rachel Maryam, Cathy Sharon, Olga Lydia, dan Happy Salma. Boleh digambarkan bagaimana perkembangan proyek ini dan kapan rencana akan dirilis?

Syutingnya sudah selesai dan sekarang Marcella lagi menggarap penggabungan plot kelima cerita tersebut, jadi masih tahap editing. Rencana rilis ada dua alternatif, akhir tahun ini atau Februari tahun depan. Saya belum tahu akhirnya jadi kapan. 
 
Dee disebut sebagai salah satu penulis novel dengan ide dan diksi terunik di negeri ini, apa tanggapan Anda?

Tentu senang. Terus terang, menjadi unik bukanlah tujuan saya. Tujuan saya menulis itu hanya satu, yakni berbagi apa yang saya rasa lewat jenis tulisan yang saya suka. Jadi, intinya saya hanya menuliskan buku yang kira-kira bakal saya suka, jika saya jadi pembaca. Tapi saya akui, latar belakang saya sebagai musisi dan penulis lagu punya pengaruh juga dalam tulisan saya. Saya menjadi lebih peka terhadap ritme dan "suara" dari kalimat-kalimat saya. Dalam membuat kalimat, saya cenderung menyusunnya sedemikian rupa hingga enak dan berirama jika diucapkan. Tuntutan efektivitas dalam membuat lagu juga mendorong saya untuk menyusun kalimat yang padat makna. Lama-lama itu menjadi kebiasaan tersendiri, dan akhirnya menjadi ciri khas. Saya senang kalimat yang berlagu dan kalimat yang bermakna padat. 
 
Saya sebenarnya sudah “mencium” kehebatan Mbak Dee dalam menulis, setelah membaca lirik “Satu Bintang Di Langit Kelam”, “Di Sudut Malam Bisu”, “Jalanmu”, dan yang paling saya favoritkan (semoga tidak salah) lagu “Tak Perlu Memiliki” dari album Satu (1999). Persisnya, sejak kapan Mbak mulai berani menulis?
 
Saya menulis sejak kecil. Seingat saya dari kelas 5 SD saya membuat tulisan yang digarap "serius", sebuah novel tentang anak kecil. Memang cerita itu nggak selesai, tapi saya menuliskannya sepenuh hati, sampai satu buku tulis habis. Sejak itu saya terus menulis sebagai hobi yang dipendam sendiri. Paling-paling saya bagikan ke keluarga atau orang-orang dekat saja. Tahun '97, cerpen saya pertama kali dimuat di majalah. Itu pun Hilman (Hariwijaya) yang mengajukan ke majalah Mode. Saya sendiri nggak pernah berani lagi ngirim ke majalah, karena pernah ditolak waktu SMP. Begitu juga dengan mencipta lagu, dari kecil saya sudah suka. Tapi titik balik saya memang saat menulis "Satu Bintang Di Langit Kelam". Sejak itu jadi lebih pede dan berani menulis lebih banyak lagu. 

Omong-omong, masih ingatkah Mbak kapan pertama kali menulis puisi atau essay atau cerpen dan apa judulnya ketika itu?  

Rumahku Indah Sekali, itu cerita yang saya buat waktu kelas 5 SD.
 
Oh ya, saya baca dari lini masa Twitter, akhirnya Rida Sita Dewi reuni setelah sepuluh tahun dalam mini album soundtrack PK. Boleh diceritakan bagaimana repotnya mengatur jadwal berkumpul dengan Rida dan Sita?

Terlalu repot sih nggak, karena cuma satu lagu. Tapi deadline pembuatan soundtrack Perahu Kertas memang sangat pendek, jadi kami nggak punya cukup waktu untuk persiapan. Begitu ketemu di studio, langsung rekaman. Padahal kami sudah lama sekali nggak kumpul, bahkan untuk ngobrol2 sekalipun. Jadi, dalam waktu singkat, kami harus kembali adaptasi dengan suasana rekaman bertiga. Tapi kami puas juga dengan hasilnya, ternyata di luar dugaan, hehe. Dengar satu reffrain aja kami langsung serasa kembali ke tahun '90'-an. 
 
Boleh digambarkan, suasana rekaman (lagi) sekaligus reuni bersama dua karib lama di studio saat itu? Judul lagunya apa dan dari mana datangnya ide reuni ini? 

Judul lagunya "Langit Amat Indah". Lagu lama saya, dibuat mungkin tahun '96-an. Ide saya memasukkan lagu ini sebetulnya sudah cukup lama, sejak saya menulis skenario Perahu Kertas. Saya selalu membayangkan inilah lagu terakhir yang akan muncul saat film nanti. Karena lagu itu sendiri saya tulis pas lagi suka-sukanya sama Indigo Girls, saya sudah mendesainnya untuk dinyanyikan bukan oleh solis, tapi grup. Makanya saya kepikir untuk membawakannya bersama RSD. Ketika ide itu saya lontarkan, para produser dan juga Trinity Optima ternyata semangat menyambut. Akhirnya, kami wujudkan.
 
Dalam pandangan Mbak, sejauh mana perkembangan penulis perempuan di Indonesia?
 
Sejak sepuluh tahun terakhir sih menurut saya tidak terlalu ada banyak perubahan dalam dunia penulisan Indonesia. Cukup banyak nama baru dan judul-judul fenomenal, tapi sepertinya tidak ada lagi dikotomi kuat antara penulis perempuan dan penulis laki-laki seperti waktu tahun 90'an akhir dan 2000 awal, saat Ayu Utami, saya, Djenar, mulai sering disebut-sebut sebagai "sastra wangi". Saat ini menurut saya kondisinya cukup lebur. Bukan lagi perihal laki-laki atau perempuan, tapi laku atau tidak laku. Jadi, saya cuma bisa bilang, dilihat dari perkembangan, terjadi perkembangan secara jumlah penulis yang lebih banyak, toko buku yang lebih banyak, dan penerbit yang lebih banyak.  

Beberapa pembaca kami menyatakan ingin sekali menulis, tetapi ketika menghadap komputer jinjing kebingunan mau memulai dari mana. Bolehkah Mbak Dee memberikan tip-tip menulis untuk para pemula?
 
Carilah buku yang kita suka, dan tulislah sebagaimana kita ingin membaca buku yang kita suka. 
 
Adakah kriteria yang harus dimiliki seseorang, yang ingin menjadi penulis?
 
Berani belajar dan berani gagal, dan tidak putus asa untuk terus mencoba. Carilah referensi buku yang baik, dan membacalah sebanyak-banyaknya.

Adakah buku dan album baru yang sedang disiapkan?
 
Sedang rihat dulu. Mungkin setelah Perahu Kertas dua-duanya diluncurkan, baru saya mulai kembali berproduksi. Rencananya sih saya akan kembali meneruskan episode ke-5 Supernova. 
 
Aktivitas lain di luar menulis buku dan lagu?

Lagi bangun rumah. Mudah-mudahan November selesai. 
 
Apa target yang ingin dicapai Mbak Dee tahun ini?

Pindahan yang lancar dan film Perahu Kertas-nya juga lancar, hehe.

Pertanyaan tambahan nih Mbak, adakah rencana ingin rekaman album lagi atas nama Rida Sita Dewi? Kangen juga nih mendengarkan RSD membawakan lagu-lagu Adjie Soetama, Adi Adrian dan Yovie Widianto, hehehe…

Untuk bikin full album sih belum ada rencana. Kita lihat satu lagu ini dulu aja, deh. Saya sendiri sebetulnya sudah lebih senang di belakang layar ketimbang nampil sebagai penyanyi/performer. Tapi untuk bersenang-senang sekali-sekali saja sih nggak apa-apa.