Apa
yang membuat Anda memutuskan untuk menggeluti karier menulis setelah berkarya
dalam bidang musik melalui Rida Sita Dewi?
Sebetulnya menulis adalah hobi saya sejak
kecil, yang berjalan paralel dengan hobi saya di musik. Jadi, keputusan
berkarier dalam menulis bukan di posisi "either/or" dengan musik.
Bagi saya, keduanya adalah saluran ekspresi kreatif yang sama-sama esensial.
saya akhirnya berhasil menyiapkan manuskrip. Seiring waktu, saya harus akui
saya jadi lebih nyaman dengan menulis karena faktor-faktor eksternal seperti
berkeluarga dan punya anak. Dunia menulis memberikan saya lebih banyak
fleksibilitas ketimbang dunia entertainment.
Saya bisa lebih banyak di rumah dan mengatur jadwal kerja saya secara lebih
independen.
Bagaimana
Anda menjelaskan proses kreatif yang Anda lalui ketika menulis? Apakah riset
berperan besar seperti yang ditunjukkan melalui tetralogi Supernova?
Saya rasa proses kreatif itu mirip-mirip untuk
semua bidang. Intinya, kita menerjemahkan abstraksi dari alam ide ke sebuah
pemaparan konkret yang bisa dinikmati dan dimengerti oleh orang banyak,
termasuk oleh diri kita sendiri. Passion,
disiplin, serta jam terbang menjadi penentu untuk seseorang bisa lancar dan
konsisten berkarya. Riset menjadi salah satu metode saya untuk memperdalam
cerita dan menjadikannya lebih believable.
Lewat riset, bukan hanya pembaca yang diperkaya, saya yang melakukan risetnya
pun ikut diperkaya. Dan demikian jugalah selera saya dalam menikmati karya
orang. Saya senang dengan karya yang menantang cara berpikir dan memperkaya
saya dengan pengetahuan. Karena itu, ketika saya berkarya, saya juga ingin
melakukan hal yang sama.
Dari
mana inspirasi untuk karya-karya Anda umumnya datang?
Dari mengamati hidup, lingkungan, diri sendiri.
Apakah
Anda memiliki penulis favorit, baik dari Indonesia maupun negara lain, yang
menjadi role model Anda?
Terus terang, saya lebih banyak baca nonfiksi
ketimbang fiksi. Dalam nonfiksi yang biasanya ditekankan adalah materi
tulisannya ketimbang gaya penulisannya. Saya suka dengan tema neo-arkeologi
seperti buku-buku Graham Hancock, awareness-based
science seperti buku-buku Amit Goswami, David Bohm, F. David Peat, dst.
Belakangan saya senang dengan tulisan-tulisan Cheryl Strayed. Kalau dari
penulis lokal, saya pengagum Sapardi Djoko Damono.
Anda
telah menulis berbagai macam jenis sastra, dari novel dan cerita pendek hingga
puisi. Bagaimana perbedaan bentuk ini mempengaruhi proses menulis Anda?
Saya tidak pernah terkungkung oleh bentuk. Saya
rasa, idelah yang menentukan bentuk. Ada ide yang cukup diungkapkan lewat
puisi, tapi ada juga ide yang perlu ruang lebih lebar seperti novel. I serve the ideas. Not the other way
around. Saya tidak tahu pasti kreator lain bagaimana, tapi bagi saya, karya
punya jiwa sendiri yang ingin berbicara, dan ia memanfaatkan saya sebagai
medium. Jadi, ada kolaborasi dan kerja sama. Tapi, yang menjadi lokomotif
adalah ide itu sendiri. Tugas saya adalah menerjemahkan "kemauannya"
sebaik-baiknya dengan menjaga kepekaan dan mengasah skill saya menulis.
Apa
yang Anda lihat sebagai signature style Anda ketika menulis?
Barangkali yang paling mudah dikenali adalah
tema. Hampir semua tema tulisan saya, terlepas dari format dan segmentasinya,
bercerita tentang eksplorasi jati diri. Kedua, ritme dan pemilihan kata.
Mungkin karena saya berangkat dari penyanyi dan penulis lagu, saya sangat peka
pada ritme. Sebuah paragraf harus bisa menemukan ritme yang pas, dan itu
ditentukan oleh jumlah kata, bunyi, tekstur makna, dsb. Saya juga senang
menggunakan kata-kata yang kontras, seperti menyisipkan satu istilah ilmiah
dalam sebuah paparan puitis, misalnya. Semua ini mungkin terdengar abstrak,
tapi bagi yang mengikuti karya-karya saya pasti bisa mengenali style tersebut. Sama halnya saya juga
bisa mengenali jika style saya
dipakai atau memengaruhi penulis lain.
Dalam
Rectoverso, Anda menggabungkan novel dengan sebuah album musik. Apakah musik
memiliki pengaruh yang besar terhadap tulisan Anda?
Dalam Rectoverso, lirik menjadi titik awalnya.
Semua berkembang dari lirik. Jadi, lirik dulu baru fiksi, setelah itu aransemen
musik. Kalau kasusnya Rectoverso, jelas musik berpengaruh sangat besar. Di
tulisan-tulisan saya lain, pengaruh musik seperti yang saya jelaskan
sebelumnya, yakni mengenai ritme. Musik mengajarkan saya untuk peka ritme, dan
kepekaan itu kemudian saya tuangkan ke dalam cara saya menyusun kalimat,
paragraf, bahkan cerita.
Beberapa
karya Anda telah diadaptasi ke dalam film. Sejauh mana Anda memiliki andil
dalam pembuatan film-film ini? Apakah melalui medium ini, Anda berharap
penonton akan tergerak untuk mulai membaca karya-karya Anda?
Dalam setiap judul, keterlibatan saya
berbeda-beda. Waktu Perahu Kertas, saya terlibat cukup banyak. Saya menulis
skenario, saya membuat soundtrack, saya
ikut menentukan casting, dan juga
ikut editing. Bisa dibilang
keterlibatan saya hampir seperti produser informal. Di Rectoverso, saya sudah
lebih lepas tangan, dan hanya jadi konsultan saja. Di Madre, saya lepas sama
sekali. Ketiga-tiganya punya risiko dan keuntungan masing-masing. Dengan
bertransformasinya cerita menjadi film, memang ada potensi untuk menjangkau
lebih banyak audiens. Saya tidak punya harapan tertentu sebetulnya. Secara umum
memang ketika buku dijadikan film, otomatis ekspos terhadap buku tersebut
meningkat, dan akibatnya bisa meningkatkan penjualan. Itu memang terjadi di
ketiga buku yang saya dijadikan film. Tapi, sebelum itu pun buku-buku tersebut
pun sudah punya pembacanya sendiri.
Menurut
Anda, bagaimana situasi dunia sastra di Indonesia pada saat ini?
Anda
beserta beberapa penulis perempuan kontemporer lain di Indonesia seringkali
dicap sebagai penulis “sastra wangi.” Apa pendapat Anda mengenai karakterisasi
tersebut?
Saya sendiri heran mengapa "sastra
wangi" masih saja ditanyakan, padahal istilah itu munculnya sudah hampir
delapan tahun yang lalu, dan kondisi saat ini sudah tidak lagi mengakomodir
atau pun relevan untuk membahas "sastra wangi". Saya tidak punya
pendapat khusus tentang "sastra wangi". Kalau definisinya adalah serangkaian
penulis perempuan yang dengan berani mengungkap seksualitas yang selama ini
dianggap tabu, saya rasa karya saya tidak berada dalam definisi itu. Tema
seksualitas tidak pernah jadi tema sentral dalam tulisan saya. Saya juga lebih
cenderung humanis ketimbang feminis dalam berkarya. Satu-satunya irisan saya
dengan "sastra wangi" adalah jenis kelamin saya perempuan, saya
penulis, dan saya wangi... kalau baru mandi.
Apa
pandangan Anda akan budaya membaca di Indonesia? Apakah para pembaca mulai
apresiatif serta kritis terhadap sastra Indonesia?
Jika dibandingkan dengan masa-masa Orde Baru,
atau pra 1998, kondisi perbukuan Indonesia memang sudah jauh berkembang. Saya
tidak tahu persis tentang budaya membaca masyarakat, saya bukan pengamat. Tapi,
yang jelas, ada peningkatan jumlah penerbit, jumlah toko buku, jumlah penulis,
dan jumlah genre buku. Barangkali itu bisa disimpulkan bahwa ada peningkatan
budaya membaca di masyarakat modern Indonesia. Khususnya untuk genre sastra,
saya rasa ada juga peningkatan (dari jumlah penulis dan jumlah buku terjual),
tapi tidak sesignifikan genre-genre populer seperti chicklit, teenlit, atau buku-buku motivasi. Namun, saya tidak punya
kapasitas mencukupi untuk bicara soal kritik sastra Indonesia. Biarlah hal
seperti ini dijawab oleh mereka yang menekuni kritik sastra Indonesia. Peran
saya adalah menulis.
Menurut
Anda, apa yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam dunia
perbukuan—penulis, editor, penerbit, kritikus buku—untuk meningkatkan apresiasi
atas sastra Indonesia? Apakah penghargaan seperti Khatulistiwa Literary Award dapat
mendorong penulis-penulis Indonesia untuk berkarya dengan lebih baik?
Ajang penghargaan merupakan hal yang menarik,
bisa mengundang perhatian media dan publik, dan pada level tertentu bisa menyemangati.
Tapi, satu hal dalam perihal penghargaan, hampir semua ajang penghargaan selalu
berbau conflict of interest. Dan,
selalu saja akan ada nada-nada sumbang yang mengungkap adanya eksklusivitas
atau dominasi pihak-pihak tertentu dalam penentuan pemenang. Jadi, menurut
saya, sekalipun award adalah hal
positif, tapi jangan menggantungkan ekspektasi terlalu besar. Award tidak mungkin jadi pendorong
satu-satunya bagi perkembangan perbukuan. Bagi saya, untuk mendorong
penulis-penulis berkarya, yang lebih luas dan jangka panjang adalah lewat ajang
pelatihan, workshop, dsb, selama
dilakukan dengan konsisten dan merata. Lewat kegiatan tersebut, bibit-bibit
baru bermunculan, penulis atau editor yang sudah veteran pun berkesempatan
untuk berbagi ilmunya, penerbit pun punya banyak potensi yang bisa
dikembangkan. It's a win-win for
everybody. Saya berharap semakin banyak pihak swasta yang tertarik untuk
mensponsori pelatihan penulisan.
Beberapa
karya Anda telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Seberapa penting outreach
kepada audiens internasional dalam memajukan dunia sastra Indonesia?
Cukup penting. Sayangnya, belum banyak penulis
Indonesia yang bisa menembus pasar internasional tanpa terlepas dari
"kerangkeng" eksotisme. Saya masih merasa minat audiens internasional
terhadap kita dan penulis Asia lainnya terjebak dalam eksotisme—entah itu tema
budaya, sejarah, atau politik—jadi bukan fokus pada kualitas kepenulisannya.
Akibatnya, jarang ada penulis yang benar-benar diterima dan diakui secara
internasional. Lebih kepada pemenuhan katalog atau sensasi sejenak saja.
Karya seperti apa yang
Anda ingin terbitkan selanjutnya?
Saya ingin menyelesaikan serial Supernova dulu. Setelah itu,
saya ingin menulis nonfiksi. Ada cukup banyak topik yang ingin saya eksplorasi.