Apa yang mendorong Dee untuk menulis
Supernova?
Saya
tergerak menulis Supernova awalnya karena terjadi pergeseran paradigma dalam
diri saya mengenai ketuhanan dan spiritualitas. Pada saat itu saya melihat
bahwa akar segala konflik dan perpecahan manusia adalah karena pemahaman akan
diri dan Tuhan yang terpecah pula.
Manifestasinya bisa dilihat di mana-mana, salah satunya adalah perpecahan
antara sains dan agama. Saya mulai bergeser menuju paradigma holistik yakni
melihat realitas sebagai fenomena utuh yang melampaui dualitas hitam-putih. Dan
Supernova menjadi wahana bagi saya untuk berbagi sudut pandang ini. Pada
dasarnya, Supernova adalah ‘sharing’ saya perihal spiritualitas yang dikemas
dalam bentuk fiksi.
Apa
yang melatarbelakangi Anda membuat tokoh Diva? Mengapa Diva di sini
berprofesi sebagai PSK?
Sebetulnya
hal ini sudah saya ungkapkan dalam buku lewat percakapan Dimas - Reuben. Bahwa
Diva adalah tokoh yang menggambarkan paradoks. Di satu sisi, ia memiliki
profesi yang identik dengan pelacuran, tapi di sisi lain ia memiliki kebebasan
dengan derajat amat tinggi. Dalam perspektifnya, ia melihat dunia yang penuh
dengan pelacuran yang tak disadari. Semua orang melacurkan dirinya dalam satu
dan lain hal. Mereka yang melacur pikiran dan waktu demi uang, demi jabatan,
dan status sosial. Sementara bagi Diva, apa yang ia lakukan hanyalah pelacuran
fisik, sesuatu yang menurut dia paling layak dilacurkan, tapi ia tidak pernah
melacurkan pikiran dan kebebasannya berpikir.
Mengapa
diberi nama Diva?
Saya suka nama itu.
Dalam
novel ini, disebutkan Diva sebagai Bintang Jatuh, mengapa demikian?
Kembali, hal ini sudah diungkapkan langsung
oleh Dimas dan Reuben dalam percakapan mereka. Semua tokoh dalam dongeng yang
mereka susun secara paralel memiliki manifestasi di realitas lain. Seperti
halnya Ferre adalah Kesatria, Rana adalah Puteri, dan Diva adalah Bintang
Jatuh.