Showing posts with label Musik Favorit. Show all posts
Showing posts with label Musik Favorit. Show all posts

Wednesday, February 17, 2016

Majalah TEMPO | Musik & Memori '90-an | November, 2015 | by Aisha Shaidra

Sebagai salah satu musisi yang terkenal di era 90-an adakah musisi di era yang sama yang jadi idola Dee Lestari? Siapa dan kenapa?

Banyak. Pada umumnya saya menyukai para penulis/pencipta lagu (singer-songwriter) seperti Sarah McLachlan dan Paula Cole. Untuk band saya menyukai Tears For Fears (walaupun mereka lebih 80’s ketimbang 90’s). Dan, secara umum saya menyukai musik-musik 90’s seperti Pearl Jam, Blind Melon, Crowded House, dsb. Untuk musik Indonesia tahun segitu saya senang juga Sheila On 7, Padi, Tic Band, Jikustik.

Banyak lagu yang diciptakan Dee untuk RSD, jika bisa kembali ke era 90-an adakah lirik lagu yang ingin diubah dari lirik atau segi musiknya? Kenapa?

Nggak, sih. Saya rasa, baik lirik maupun musik, memang akan selalu mencirikan sebuah zaman. Kalau diubah malah bisa jadi berubah nuansa waktunya. Kecuali kalau konteksnya re-make untuk dibuat lebih dekat ke zaman sekarang. Tapi kalau konteksnya “menyesal”, andaikan dulu dibikin begitu dan begini, nggak ada perasaan seperti itu, sih.

Banyak orang dewasa saat ini mengelu-elukan banyaknya tontonan menarik pada masa kecil mereka dibandingkan dengan tontonan saat ini, bagi Dee sendiri tontonan di era 90-an apa yang saat itu paling menarik dan berkesan? Kenapa?

Saya bukan penonton televisi. Tapi, yang saya ingat, tahun 90’an adalah masa kejayaan MTV Indonesia. Selain itu, sitkom Friends juga sangat terkenal. Saya juga ingat beberapa sinetron di Indosiar pada awal mereka berdiri itu bagus-bagus, seperti Abad 21, Kipas-Kipas Asmara, dll.

Pertanyaan serupa berlaku juga untuk beragam jenis permainan dan jajanan, jenis permainan dan jajanan apa yang di era 90-an banyak dimainkan dan sangat berkesan buat Dee?

Tahun ‘93 saya sudah kuliah, jadi nggak terlalu lagi melakukan permainan kanak-kanak dan jajan. Tapi, yang saya ingat sih, saya main PS dan sering ke warnet untuk browsing karena waktu itu belum punya koneksi internet sendiri. Jajanan rasanya nggak ada yang terlalu spesifik, tapi saya ingat itu adalah awal-awalnya kuliner di Bandung mulai terkenal ke Jakarta. Banyak yang datang untuk memborong pisang molen, batagor, dan variasi serabi mulai macam-macam, bukan cuma oncom dan gula merah.

Barang seperti apa yang pada era tersebut menurut Dee sangat keren (barang di sini misalnya mainan, atau benda-benda pakai yang hits pada saat itu)? Kenapa?

Sepatu Doctor Marten. Keren, karena memang keren, sih. Sampai sekarang juga model sepatu Docmart tetap tidak lekang oleh zaman, dan kualitasnya memang bagus. Juga jins Levi’s 501 yang pakai kancing (bukan ritsleting). Bagi saya, model jins seperti itu lebih manusiawi ketimbang model skinny jeans zaman sekarang yang mencekik kaki.

Kalau misalnya Dee diberi kesempatan untuk menjadi salah satu tokoh kartun anak yang terkenal di tahun 90-an Dee pilih menjadi siapa? Kenapa?

Saya nggak ingat tokoh kartun terkenal tahun ’90-an. Seingatku, Doraemon. Tapi sampai sekarang Doraemon tetap beken. Saya nggak pengin jadi Doraemon, tapi mau kalau punya teman kayak Doraemon

Seantusias apa Dee menyiapkan diri untuk berpartisipasi dan menyambut konser 90-an (The 90's Festival di Istora Senayan)?

Buat saya sih, dibawa santai saja. Tidak terlalu tegang juga, karena toh, sebetulnya orang datang kebanyakan untuk nostalgia. Kami nyanyi juga bukan untuk lagi mengejar ambisi tertentu atau ingin eksis, tapi karena untuk bersenang-senang.

Monday, April 27, 2015

Free Magazine | Simangunsong Sisters & Gelombang | Januari, 2015 | by Mikhail Teguh Pribadi


Simangunsong Sisters
 
Bagaimana ide awalnya bisa tercetus untuk kumpul kembali ?

Sebenarnya nggak ada konsep “kumpul kembali” sih, karena secara formal kami memang nggak pernah menjadi satu group. Tapi dari kecil kami sering nyanyi bareng dan bermusik bareng. Kami saling membantu kalau satu sama lain bikin album solo atau proyek musik. Kami juga pernah ikut group vokal dan paduan suara bareng-bareng. Cuma memang yang jarang terjadi adalah kami bernyanyi untuk publik (umum) dengan tema di luar dari Natal / acara keluarga. Dan itu akhirnya kejadian di acara Tribute to Carpenters yang diadakan oleh @America.

Mengapa memilih The Carpenters sebagai perform awal untuk tampil ?

Itu pun sebetulnya bukan kami yang pilih. Salah satu kurator @America, Chico Hindarto, berteman baik dengan Imel, dan Chico terpikir untuk mengadakan Tribute to Carpenters sebagai salah satu program spesial @America. Chico lalu menghubungi Imel dan menanyakan apakah kami bertiga, sebagai bersaudara, mau tampil membawakan lagu-lagu Carpenters. Setelah ada tanggal yang kosong, akhirnya Imel mengiyakan. Bagi kami sih sebetulnya bukan Carpenters-nya yang utama, cuma pengalaman nyanyi bareng untuk publik umumlah yang menjadikan tawaran itu menarik.

Dengan kesibukan masing-masing yang berbeda dan superpadat, bagaimanakah kalian mengatur scheduling untuk latihan akhirnya tampil?

Terus terang latihan agak minim karena kesibukan masing-masing, terutama Arina yang super sibuk dengan Mocca, plus kami sudah tidak tinggal sekota. Jadi, kami latihan waktu kumpul keluarga pas Natal 2014, lalu pas Arina ada acara di Jakarta, Imel menyengajakan pergi ke Jakarta untuk latihan bareng. Kami latihan di rumah saya di BSD, sudah bareng dengan para pemusik tambahan, Jesse (drum) dan Chaka (bass), termasuk suami saya, Reza, yang “ditodong” jadi pianis tamu. Berikutnya, kami langsung ketemu di @America pas sound-check. Jadi, agak mepet memang. Untungnya beberapa lagu sudah familier karena sering dengar dari kecil. 

Ke depan, akankah kalian akan lebih sering tampil bersama seperti ini?

Ide itu menarik sih untuk dieksplorasi, yang jelas hanya bisa dilakukan kalau Arina sedang berada di Indonesia. Mudah-mudahan acara @America tempo lalu jadi pemicu untuk kesempatan tampil lainnya.

Sejauh mana The Carpenters menginspirasi kalian ?

Sejujurnya kami nggak pernah (setidaknya saya) merasa ngefans amat sama Carpenters, tapi setelah kami mengulik lagu-lagunya, ternyata banyak sekali lagu mereka yang sudah kami mainkan sejak kecil tanpa sadar. Banyak lagu Carpenters menjadi lagu-lagu pelajaran waktu kami les musik. Dan, Carpenters juga banyak menyanyikan lagu-lagu orang lain, termasuk lagu-lagu yang kami suka, seperti lagunya Jim Henson “Rainbow Connection”, lagunya Joe Raposo “Sing”, dan lagunya Neil Sedaka “Solitaire”. Di luar itu, lagu-lagu yang ditulis oleh Richard Carpenters-nya sendiri memang banyak yang bagus. Dan gara-gara ngulik untuk acara tempo hari, saya jadi mengapresiasi ulang kepiawaiannya menulis lagu.


Gelombang

Setelah merilis Novel Supernova #5 : Gelombang, adakah rencana untuk kembali bermusik ?

Ada, tapi saya kayaknya ingin mendahulukan menyelesaikan Supernova 6, setidaknya sampai manuskripnya selesai, baru bisa fokus ke proyek-proyek kreatif lain. Nggak bisa disambi.

Adakah plan untuk kembali mengadakan reuni bersama RSD ?

Sejauh ini belum. Kalau hanya untuk show saja sebenarnya kami terbuka, tapi memang kesempatannya belum ada.

Sejauh mana musik mempengaruhi seorang Dee untuk berkarya dalam menulis?

Sangat berpengaruh. Dan itu awalnya tidak saya sadari. Tapi semakin ke sini, saya makin sadar bahwa cara saya menulis dan menyusun kalimat itu sangat terpengaruh dengan bunyi dan tempo. Bagi saya kalimat yang dibacanya enak itu adalah kalimat yang juga enak dibunyikan, punya ritme, dan temponya pas dengan keseluruhan cerita. Feeling semacam itu saya dapatkan dari bermusik.

Siapa musisi saat ini yang menginspirasi Anda?

Saya selalu suka dengan singer/songwriter yang liriknya bagus. Dari dulu saya senangnya ya seputar Sarah McLachlan dan Indigo Girls. Yang agak baru saya suka Corrine May dan Sara Barreiles. Dari Indonesia, saya lagi suka Tulus.

Monday, December 22, 2014

MNC Network Magazine | Profil | April, 2013 | by Roy Wicaksono


Sebagai Penulis:

Bisa ceritakan singkat mengenai asal-usul nama “Dee” yang menjadi identitas Anda dalam menulis sebuah karya tulis?

"Dee" sebetulnya pengucapan inisial dari huruf D, sebuah emblem yang menempel di ransel sekolah saya bertahun-tahun, dan juga signature saya di buntut setiap e-mail. Beberapa teman jadi ada yang memanggil saya "Dee". Saya lalu memakai inisial tersebut sebagai nama pena, karena waktu saya menerbitkan buku, saya ingin memisahkan image saya sebagai penyanyi di RSD dan sebagai penulis. Waktu itu saya lebih dikenal sebagai "Dewi RSD". Sementara nama "Dewi Lestari" sendiri cukup pasaran di Indonesia. Akhirnya saya pilih saja inisial "D" atau Dee.

Setelah lebih dari 10 tahun sejak karya pertama Anda muncul di pasaran (Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh), bagaimana kini Anda memandang diri Anda sendiri sebagai seorang penulis?

Penulis sudah menjadi profesi yang nyaman untuk saya kenakan. Menulis sendiri adalah hobi sejak  kecil, dan saat ini menulis sudah menjadi second nature. Semakin digali lebih dalam, semakin saya menemukan keindahan dan pelajaran baru dalam dunia kepenulisan.  Saya memandangnya sebagai seni. Dan saya merasa beruntung bisa menjadikan hobi ini sebagai profesi dan saluran nafkah.

Berbagai prestasi telah hinggap pada karya Anda, hingga penghargaan seperti Top 5 dalam Khatulistiwa Literary Award tahun 2001 dan 2008 berhasil diraih. Bagaimana tanggapan Anda mengenai hal ini?

Prestasi dalam bentuk award bagi saya adalah bonus, yang menyenangkan, tentunya. Tapi tidak pernah dan sebaiknya tidak menjadi target. Saya menulis bukan untuk award, tapi untuk mengomunikasikan ide. Menjadikan diri saya medium dari pesan yang lebih besar. Untuk itu, bagi saya jauh lebih penting dan berharga ketika ide-ide yang saya kemas dalam buku, bisa berbicara bagi banyak orang, terlebih lagi jika kemudian mengubah hidup mereka. Bagi saya, itu penghargaan yang tertinggi.

Bagaimana perasaan Anda saat menjadi pembicara dalam Ubud Writers Festival dan Byron Bay Writers Festival beberapa waktu silam?

Selalu menyenangkan dan membanggakan jika diundang berpartisipasi ke dalam Writers Festival. Itu berarti posisi kita sebagai penulis telah dianggap mewakili aspek tertentu yang penting dalam skema besar dunia kepenulisan. Tapi, memang tidak semua undangan bisa saya terima, terutama yang di luar negeri. Kadang-kadang, karena kendala jadwal dan prioritas, saya terpaksa tidak berangkat. Tahun ini (2013) saya akan kembali berpartisipasi dalam Ubud Writers Festival, dan ada beberapa festival internasional lain yang masih tahap penjajakan.


Adaptasi Buku ke Layar Lebar:

Tiga karya buku Anda, berturut-turut telah diadaptasi ke panggung layar lebar selama 2 tahun belakangan seperti Perahu Kertas, Rectoverso dan Madre. Sebatas apa kontribusi Anda terhadap versi layar lebarnya?

Berbeda-beda di setiap judul. Saya paling banyak terlibat di Perahu Kertas, karena saya memang penulis skenarionya, dan saya juga ikut terlibat di proses casting, editing, dan menulis soundtrack. Keterlibatan itu tentunya punya konsekuensi. Waktu terlibat di Perahu Kertas, saya harus cuti setahun dari menulis buku. Saya tidak punya keleluasaan itu lagi di Rectoverso dan Madre. Karena masa produksi yang berdekatan dan simultan, saya memilih untuk menyelesaikan buku yang adalah  profesi utama saya. Di Rectoverso, saya masih terlibat secara informal sebagai konsultan skenario dan editing. Tapi di Madre, bisa dibilang saya nyaris melepas total. Hanya satu kali saya sempat baca skenario dan kasih masukan. Sisanya, saya memercayakan proses kreatifnya ke tangan Mizan Production dan Benni Setiawan yang menjadi sutradara sekaligus penulis skenarionya.

Anda juga diketahui sebagai penulis skenario untuk film Perahu Kertas dan juga Madre yang akan tayang sebentar lagi. Adakah hal-hal unik dalam penulisan ini dari versi buku ke versi layar lebarnya? Adakah kesulitan dalam hal tersebut? (menulis skenario film dari versi bukunya)

Saya tidak menulis untuk Madre, hanya Perahu Kertas. Menulis skenario sendiri adalah skill yang menurut saya tidak bisa disamakan dengan menulis buku fiksi. Untuk menulis skenario, saya perlu belajar dari nol. Dalam film sudah ada struktur dan kebutuhan yang jelas. Hitungannya adalah durasi dan budget. Kebutuhan grafik ceritanya juga pasti. Jadi, fleksibilitas yang kita miliki jauh berbeda dari menulis buku. Kesulitan dalam menulis skenario Perahu Kertas adalah memampatkan cerita yang begitu panjang ke dalam skenario 110 halaman. Itu pun pada akhirnya film tetap menjadi dua, karena rough cut film ternyata mencapai 4,5 jam. Dalam film, kita juga dihadapkan dengan banyak kepentingan. Sebuah setting tertentu bisa mengibatkan pembengkakan biaya. Jadi, kepraktisan juga faktor penting dalam menulis skenario. Hal-hal seperti ini tidak ditemui saat menulis buku. Imajinasi kita bisa bebas menciptakan apa saja. Dalam skenario, setiap imajinasi kita akan menentukan durasi dan budget.

Bagaimana komentar Dee terhadap tiga film layar lebar yang telah rampung? (Perahu Kertas, Rectoverso, dan Madre)

Sepertinya semua film yang diadaptasi dari buku akan selalu memiliki tantangan yang mirip-mirip. Pertama, menjembatani apa yang ada di imajinasi penulis, pembaca, dan pembuat film itu sendiri, tidaklah mudah. Perbedaan dan pertentangan pasti ada. Film adaptasi buku pasti tak akan luput dari pembandingan, jadi kebanyakan penonton tidak menyaksikannya dengan mind set yang fresh, melainkan komparasi. Ketiga film tersebut (Perahu Kertas, Rectoverso, dan Madre) juga mengalami tantangan serupa. Saya rasa Rectoverso memiliki lebih banyak kemudahan dibanding dua judul lain karena format aslinya yang cerpen-semi-puisi memberikan ruang pengembangan paling luas dibandingkan Perahu Kertas maupun Madre. Madre, sekalipun formatnya novelet/novel pendek yang lebih pas bagi format film, lebih definit ceritanya ketimbang cerpen-cerpen yang ada di Rectoverso. Karena itu ia pun punya keterbatasan seperti Perahu Kertas. Saya sebagai penulis tentu juga tidak luput dari perbenturan imajinasi ketika saya melihat format filmnya. Namun, terlibat langsung dalam produksi Perahu Kertas mengajarkan saya untuk bisa lebih relaks dan mengapresiasi film sebagai apa adanya film. Itu pun akan kembali lagi ke selera. Setiap sutradara adalah koki, dan ada yang saya suka dari masakannya, ada yang kurang suka. Tapi, yah, itu wajar-wajar saja.


Sebagai Musisi:

Setelah beberapa tahun berpisah, akhirnya trio RSD kembali lagi ke studio untuk mengisi salah satu lagu di film Perahu Kertas, bisa ceritakan mengenai hal ini?

Di Perahu Kertas, saya terlibat menulis soundtrack. Ada satu lagu (Langit Amat Indah) yang saya ciptakan yang menurut saya pas dinyanyikan oleh grup. Iseng, saya melontarkan ide mengumpulkan RSD kembali untuk menyanyikan lagu itu. Tahunya ide tersebut disambut baik oleh produser. Akhirnya kita bisa rekaman.

Adakah keinginan untuk comeback sebagai trio RSD dan kembali memproduksi album penuh lagi bersama dua personel lainnya?

Sejauh ini belum ada rencana ke sana. Sekarang kami sudah punya jalur karier masing-masing, jadi kalaupun sesekali reuni, itu lebih ke arah for fun, dan kami rasanya belum ingin terbebani target harus rekaman album lagi.

Anda diketahui sebagai salah satu saksi hidup dalam konser Metallica 1993 di stadion Lebak Bulus silam, apakah momen ini mempengaruhi Dee dalam berkarya musik?

Hehe, kayaknya sih nggak sampai mempengaruhi dalam berkarya. Sebagai generasi '90-an pada umumnya yang dekat dengan musik grunge, rock, dan metal, saya bisa menikmati musik Metallica. Tapi mereka tidak sampai menjadi pengaruh saya dalam berkarya. Saya lebih dipengaruhi musik band-band seperti U2, Tears for Fears, Pearl Jam, Radiohead, dll.

Siapakah musisi idola Dewi Lestari?

Kebanyakan dari genre singer/songwriter seperti Sarah McLachlan, Paula Cole, Sarah Bareilles, Corinne May. Untuk band saya cinta mati sama Tears For Fears.


Sebagai Musisi dan Penulis:

Anda dikenal memiliki profesi sebagai musisi dan penulis, bagaimana membagi waktu untuk dua hal tersebut?

Tidak ada resepnya. Masalah fluktuasi prioritas saja sih. Apa yang menjadi prioritas saya saat ini, ya, itu yang saya kerjakan. Kadang kalau saya harus fokus sama keluarga, saya cuti bekerja sama sekali. Saya tidak pernah membatasi secara rigid profesi saya. Prinsipnya adalah menjalankan apa yang perlu dan apa yang saya suka.

Apa ada perbedaan dalam menulis buku dan lirik dalam musik?

Beda sekali. Walau keduanya bisa saling memengaruhi. Dalam menulis lirik, saya cenderung suka lagu yang punya cerita, jadi ada unsur bikin plot di situ. Untuk menulis, saya cenderung suka menulis kalimat yang berirama, yang enak dibunyikan, yang liris. Jelas itu adalah pengaruh dari kebiasaan bikin lirik.

Adakah momen di waktu Anda kecil, yang mempengaruhi karier Anda saat ini menjadi penulis maupun musisi?

Saya hidup di keluarga penyuka seni. Dari kecil, kegiatan bermusik adalah kegiatan sehari-hari. Dari mulai kursus piano, ikut vokal group, paduan suara, dsb, adalah hal yang dilakoni satu keluarga. Keluarga saya juga penyuka buku dan senang dengan cerita, berkisah, dsb. Otomatis itu menjadi pembentuk minat dan hobi saya hingga kini.

Rectoverso merupakan salah satu wujud yang terbentuk atas kegemaran Anda dalam menyanyi dan menulis. Kemudian, apalagi rencana Dee ke depan?

Prioritas saya saat ini adalah menyelesaikan Supernova. Setelah itu, cukup banyak rencana yang lain. Antaranya, membuat website yang memuat minat saya secara komprehensif, lalu membuat workshop menulis, dan buku atau memoar tentang proses kreatif. Selain itu, masih ada buku-buku tema lain yang ingin saya wujudkan.


Kehidupan Sosial:

Apa makna “Penggemar” bagi Dee? (baik penggemar karya musik maupun karya tulis berupa buku ataupun cerita-cerita pendek yang di-publish)

Saya agak risih menggunakan kata "penggemar", saya lebih melihat mereka sebagai pengapresiasi. Relasinya lebih seperti partner. Para pembaca buku dan penikmat musik saya adalah cermin bagi saya berkarya. Dari reaksi dan apresiasi mereka, saya dibantu untuk mengenal karya saya lebih baik. Dan pada akhirnya, untuk mengenal diri saya dengan lebih baik.

Apa yang Anda lakukan di waktu luang?

Main dengan anak dan keluarga, membaca, menjalankan hobi lain seperti berkebun, masak, dll. Kegiatan saya kebanyakan sangat domestik.

Adakah suka-duka profesi Anda?

Ini pertanyaan yang terlalu luas untuk dijawab. Tentu semua profesi punya suka-duka. Kesulitan dan kemudahan tersendiri. Apa yang saya lakukan adalah hobi bagi saya, jadi kesulitannya pun saya sambut dengan suka. Namun ketika hobi menjadi profesi, tentu punya tantangan yang sifatnya lebih profesional seperti manajemen waktu dan manajemen bisnis. Bagi saya, kesulitan yang terkadang terasa seperti "duka" adalah ketika menghadapi problem-problem dari aspek profesionalnya. Dan saya rasa ini hampir terjadi universal di semua profesi.


Tuesday, February 10, 2009

BINTANG INDONESIA Tabloid | Rubrik: Bintang Musik | Desember, 2009 | by Wayan Diananto

Saya mengikuti kiprah menulis lagu Dewi sejak Satu Bintang di Langit Kelam (Rida Sita Dewi, 1995), Jalanmu dan Di Sudut Malam Bisu (Bertiga, 1997) dan Tak Perlu Memiliki (Satu, 1999). Sejak kapan letupan bermusik muncul dalam diri Mbak Dee?

Saya menulis lagu sejak umur 7 tahun. Nggak jelas judulnya apa, sih. Tapi saya menyadari betapa senangnya saya merangkai kata dan melodi. Baru umur 10 tahun saya cukup “serius” menulis lagu, saya membuat mars untuk sekolah saya, judulnya “Mars SDN Banjarsari” (tapi nggak pernah berani dikasih dengar ke guru-guru, jadi saya nyanyiin sendiri dengan teman-teman), dan satu lagi “Nyiur Melambai”. Saya ajarkan ke adik-adik dan sepupu-sepupu saya, lalu kami nyanyi bersama-sama. Haha! Kebetulan saya memang bisa main piano, jadi sejak itu sampai besar saya bikin-bikin lagu aja sendiri. Baru lagu “Satu Bintang Di Langit Kelam” yang akhirnya direkam secara profesional. 

Apa bedanya bernyanyi bertiga dan kini tampil sendiri?

Wah, beda banget. Kalau nyanyi bertiga beban panggungnya dibagi tiga, dan kita tidak bisa menampilkan individualitas kita, melainkan kebersamaan grup. Jadi dari mulai dinamika, gerak, vokal, harus selalu lihat kiri-kanan biar tetap seimbang. Kalau nyanyi solo, ya, itu semua menjadi pe-er sendirian. Tapi kebebasannya juga jelas lebih luas karena kita bisa menampilkan karakter individu kita dengan maksimal. 

Rectoverso menyusul Out of Shell, perkembangan baru apa yang Anda suguhkan di album terbaru Anda?

Secara musik, Rectoverso merupakan lompatan jauh. Tidak semua penyanyi memiliki kesempatan untuk rekaman live dengan 45 musisi sekaligus. Jadi musik di Rectoverso boleh dibilang memang kualitas premium. Tapi yang menjadi pembeda Rectoverso dengan album-album yang lain adalah konsep hibridanya, yakni penggabungan fiksi dan musik yang saling melengkapi, dan menggunakan dua media yang berbeda. 

“Keresahan” seperti apa yang Anda tuangkan dalam Rectoverso?

Saya ingin menampilkan aspek romantisme saya yang selama ini hanya bisa terekspresikan secara parsial dalam karya-karya saya yang sebelumnya. Rectoverso itu seperti menulis surat cinta yang panjang. Saya tidak fokus pada penokohan atau plot, melainkan emosi terdalam yang dirasakan oleh tokoh-tokoh, baik dalam lagu maupun cerpen di Rectoverso. 

Apakah “permasalahan intern” beberapa bulan silam, turut mempengaruhi proses kreativitas Anda di album ini?

Bisa iya, bisa tidak. Saya tidak tahu pasti. Buat saya, setiap karya sudah punya nyawanya sendiri yang tidak terganggu gugat oleh keadaan si penciptanya. Tapi tentu saja setiap proses kreatif tidak mungkin 100% imun dari kondisi eksternal. Jadi pengaruhnya pasti ada, tapi sedikit atau banyak, saya sendiri tidak tahu karena semuanya sudah melebur. 

Bisakah dikatakan Rectoverso merupakan album soundtrack dari novelnya?

Konsep soundtrack tidaklah tepat untuk Rectoverso karena kedua karya dalam Rectoverso berdiri sama tegak dan bisa dinikmati secara terpisah. Sementara dalam konsep soundtrack, film menjadi yang utama dan musik sebagai pendukung tambahan. 

Menarik, ketika Anda mengganti lirik Firasat versi Marcell. Di baris terakhir dengan: “Aku pun sadari, kau tak kan kembali lagi...” Seberapa penting pergantian lirik ini?

Sebenarnya, lirik asli Firasat adalah versi yang saya bawakan di Rectoverso. Dulu di album Marcell, sengaja saya ganti supaya lagunya jadi tidak terlalu sedih. Ada masukan juga dari perusahaan rekaman Marcell saat itu supaya Firasat lebih happy-ending agar lebih gampang jualan. Jadi ketika saya memutuskan untuk membawakan ulang Firasat, inilah kesempatan saya untuk membawakan versi aslinya dengan suasana sebagaimana yang ingin dihadirkan oleh lagu tersebut. 

Adakah sesuatu yang mendasari pergantian lirik Firasat, apa yang ingin Anda sampaikan kepada penikmat musik melalui pergantian lirik ini?

Sudah terjawab di atas. 

Peluk, seingat saya pernah muncul di debut album perdana Shanty (2000). Jujur, sebenarnya saya berharap Peluk menjadi single kedua Shanty waktu itu, karena ketajaman lirik dan aransemen yang simple. Apa pertimbangan Anda mengangkat kembali lagu ini?

Sama. Dulu saya juga pinginnya lagu itu jadi single kedua Shanty karena menurut saya, lagu itu komersil tapi tetap puitis dan emosional, hehehe... Pertimbangan saya memakai ulang lagu Peluk semata-mata karena kekuatan narasi dalam liriknya bisa dikembangkan menjadi cerita. Tidak semua lirik lagu bisa difiksikan. Dan ini yang menjadi kriteria dasar lagu-lagu di Rectoverso. 

Bisa diceritakan sedikit proses kreatif Anda saat menulis Peluk?

Saya menulis lagu tersebut sekitar tahun 2000 dan niatan saya adalah membuat lagu putus yang elegan, dewasa dan nggak cengeng. Karena hampir semua lagu putus isinya terlalu dramatis dan tragis. Kalau fiksinya saya benar-benar setia pada lirik, jadi pengembangannya hanya sampai pada menciptakan suasana antara dua kekasih yang memutuskan untuk berpisah. 

Selain bersaudara, apa yang membuat Anda tertarik untuk mengajak Arina berkolaborasi dalam Aku Ada?

Saya adalah pengagum berat suaranya Arina. Menurut saya, dialah yang paling berbakat menyanyi di keluarga dan saya juga selalu berangan-angan ingin berkolaborasi dengan saudara-saudara saya. Kebetulan saya mencari karakter suara yang innocent dan seperti anak kecil untuk lagu Aku Ada. Arina adalah vokalis yang paling pas untuk itu. Duet tersebut sekaligus juga mewujudkan cita-cita saya untuk berkolaborasi dengannya. 

Malaikat Juga Tahu menjadi komposisi yang unik dan punya daya jual tinggi. Andi Rianto berada dibalik studio bersama Anda mengerjakan aransemennya. Piano dan orkestra terdengar pekat. Bisa Anda ceritakan bagaimana suasana pengerjaan lagu ini? Bagaimana kesan Anda bekerja sama dengan Andi?

Saya pengagum Andi Rianto sejak lama. Waktu saya merumuskan konsep musik Rectoverso di awal proyek ini, produser saya (Tommy Utomo) bilang bahwa khusus untuk lagu MJT, orang yang paling tepat mengaransirnya hanyalah Andi Rianto, dan saya setuju. Seperti berjodoh, Andi pun langsung jatuh cinta pada lagu itu. Secara keseluruhan, Andi sangat enak diajak kerjasama, dia idealis tapi masih punya ruang untuk diskusi. Suasana pengerjaan lagu tersebut dan juga semua lagu di Rectoverso, bagi saya, sangat sakral dan berkesan. Semua musisi memberikan yang terbaik yang mereka miliki dan itu dimungkinkan karena kita latihan cukup intensif sebelumnya, dan rekaman yang dilakukan secara live. 

Kelebihan lain dari Malaikat Juga Tahu, terletak pada video klipnya yang bagus. Sejauh mana campur tangan Anda dalam video klip tersebut?

Sejujurnya, saya hanya membekali sutradara dengan cerita pendek MJT dan berpesan agar video klipnya mengikuti cerita. Saya beruntung karena Lukman Sardi sangat antusias ingin mengambil peran dalam video klip tersebut, dan Lukman bermain dengan sangat cemerlang. 

Eksplorasi Anda di Rectoverso patut mendapat apresiasi positif. Single Cicak di Dinding, terdengar 'tengil' tapi pemaknaan Anda pada cinta membuat banyak orang termenung. Bisa Anda ulas sedikit, lagu ini untuk pembaca Bintang?

Kita cenderung melewatkan hal-hal kecil tapi sebetulnya dalam sesuatu yang kita anggap remeh, banyak sekali makna yang bisa digali. Cicak di Dinding adalah penggambaran situasi sederhana dimana kadang-kadang benda mati atau hewan kecil yang sering kita abaikan malah punya tempat yang sangat spesial, yang tidak bisa kita miliki. Contohnya, ketika kita jadi pengagum rahasia, rasanya kita rela memberikan apa saja demi jadi cicak di tembok orang yang kita kagumi. 

Berapa lama Anda mengerjakan album ini?

Rekamannya sendiri hanya 4 hari karena semua direkam secara live. Tapi pengerjaan dari mulai konsep sampai mastering butuh waktu 1,5 tahun. 

Seorang sutradara film Indonesia sempat mengenang dan terkesan pada susunan lirik Malaikat Juga Tahu. Khususnya pada baris: "Andai wajahku diganti..." Jika sekarang Anda dibatasi lima kata saja. Kata-kata apa yang akan Anda pilih untuk menggambarkan Rectoverso?

Air mata, hati, pulang, pergi, berharap. 

Musik Dee itu musik yang seperti apa sih?

Maksudnya yang saya suka? Kebanyakan saya menyukai genre singer/songwriter, karena biasanya karya-karya di genre ini kuat, menyentuh, dan berkarakter. Contoh: Sarah McLachlan, Paula Cole, Corrinne May, Indigo Girls. Saya suka lagu dengan lirik yang kuat dan melodius. 

Dari mana saja inspirasi menulis lagu dan lirik di album ini? Apakah inspirasi juga datang dari anak?

Inspirasi datang dari mana saja, termasuk juga dari anak dan orang-orang di sekitar saya. Umumnya setiap saya berkarya, selalu diinspirasikan 4 hal: pengamatan, pengalaman hidup sendiri, pengalaman hidup orang lain, dan imajinasi.