Sebagai
penulis, apa saja persiapan yang dilakukan untuk menghadiri event internasional
seperti LBF ini?
Persiapan saya lebih ke persiapan
teknis—membuat visa, mencocokkan agenda dengan jadwal keberangkatan, dsb.
Dengan pihak British Council yang menjadi sponsor sekaligus penyusun program,
kami berdiskusi mengenai topik dari panel-panel yang akan kami isi. Kami juga
mendapat beberapa kali briefing dari
pihak KBN mengenai program selama di London, logistik di sana seperti apa, dsb.
Ada juga permintaan wawancara media yang kami penuhi sebelum berangkat ke
London, yakni wawancara-wawancara dari media UK yang sudah diatur lewat agensi
relasi publik yang ditunjuk resmi oleh pihak British Council dan KBN. Wawancara
itu ditujukan sebagai persiapan/pemanasan public
awareness tentang Indonesia, baik tentang industri buku, budaya, maupun
literasi.
Selama
proses persiapan (misal saat meeting) topik apa yang paling sering dibahas?
Kalau dengan KBN sifatnya yang lebih
teknis dan berhubungan dengan logistik, karena koordinasi untuk rombongan besar
tentunya membutuhkan pengecekan banyak detail.
Proses apa
saja yang dilalui dan dilakukan bersama-sama (dengan tim LBF) sebelum sampai di
London?
Kami berkomunikasi lewat grup WA. Sepertinya
ada banyak grup, tapi yang saya ikuti adalah grup penulis saja. Selain
briefing, konferensi pers, dan pertemuan dengan media UK, kami juga melakukan
sesi pemotretan dan pengambilan video untuk materi promosi acara.
Bagaimana
pendapat Mbak Dewi secara umum atas acara Indonesia Paviliun di LBF 2019?
Programnya sangat ekstensif dan
bagus-bagus, ada 100 acara yang total diselenggarakan dalam rangka LBF, dan
tidak semuanya diadakan di paviliun, melainkan meliputi fringe event di berbagai tempat di London dan di luar London dalam
rentang waktu kurang lebih sebulan. Yang saya pantau dari KBN, target pembelian
rights di LBF telah tercapai, bahkan melebihi target. Target BEKRAF kepada KBN
adalah 50 judul, dan sekarang rights yang
sudah terjual 60, plus masih ada 400 judul dalam negosiasi. Jadi, dari tolok
ukur target penjualan rights, bisa dibilang LBF 2019 ini sukses.
Apakah added
value untuk Mbak Dewi sebagai penulis dengan adanya event sejenis London Book
Fair 2019 ini?
London Book Fair tidak dibuka untuk
umum, hanya untuk pelaku bisnis, jadi memang tidak bisa disamakan dengan
festival literasi. Acara utama di book
fair seperti LBF adalah perdagangan rights.
Diskusi panel yang diisi oleh para penulis hanyalah pelengkap saja. Kendati
demikian, para penulis yang berangkat ke LBF tentunya beroleh pengalaman dan
ekspos media internasional. Bagi saya, nilai tambahnya adalah pengalaman dan
wawasan. Kehadiran saya di sana belum tentu menggolkan buku saya tembus pasar
internasional, tetapi lebih untuk berbagi sudut pandang serta situasi perbukuan
dan literasi Indonesia ke publik UK.
Selain itu,
adakah commercial value yang Mbak Dewi dapatkan sebagai penulis melalui event
ini?
Nilai komersial rasanya tidak ada.
Menurut Mbak
Dewi apa yang seharusnya dikejar dalam event seperti ini?
Book Fair adalah perdagangan rights, jadi yang harus dikejar memang
penjualan rights sebanyak-banyaknya. Dalam
hal itu, saya rasa jalur yang ditempuh saat ini sudah benar. Yang lebih harus
diperhatikan dan dibina sebetulnya justru yang terjadi di luar book fair, yakni persiapan penerjemahan,
peningkatan kualitas SDM penerjemah, pengenalan penulis-penulis Indonesia ke
agen-agen literasi, dan peningkatan kualitas penulis itu sendiri. Di luar itu,
cukup banyak penulis yang menurut saya punya kesalahpahaman terhadap acara book fair besar seperti LBF dan FBF,
seakan-akan ketika sudah berangkat ke book
fair maka kita pasti dikenal secara internasional, buku kita pasti
diterjemahkan, dst. Kepenulisan kita itu justru dibangun di luar book fair, lewat karya dan hubungan kita
dengan pembaca. Untuk menjangkau pasar internasional yang kita butuhkan adalah
agen. Namun, kadang-kadang menjadi delegasi book
fair dianggap sebagai pinnacle keberhasilan
seorang penulis, padahal tidak seperti itu.
Kalau ini
bukan book fair pertama yang pernah Mbak Dewi ikuti, apa pengalaman baru yang
ditemukan saat di London?
LBF menurut saya pelaksanaannya cukup
rapi. Jumlah rombongan tidak sebesar FBF 2015 jadi lebih mudah ditata.
Pengalaman yang sama sekali baru sih tidak ada, tapi saya justru menikmati
kebersamaan dengan para penulis Indonesia lainnya karena di LBF ini kami punya
banyak program bersama-sama, berangkat dan pulang bersama. Saat FBF rasanya
lebih terpencar-pencar.
Bagaimana
opini personal atas literasi Indonesia hari ini?
Sejauh pengamatan saya, industri buku
sendiri cukup bergairah. Semakin banyak platform
alternatif yang bisa dipilih calon penulis, genre yang semakin semarak, dan
banyak penulis muda bermunculan. Namun, masih banyak juga bagian dari ekosistem
buku kita yang harus diperbaiki. Perhatian saya saat ini lebih ke hal-hal yang
sifatnya kebijakan, seperti pajak royalti dan pajak buku, serta pembajakan
buku, karena ini berpengaruh ke semua penulis dan ke keberlangsungan profesi
penulis di Indonesia.
Adakah
rencana proyek baru yang sedang atau akan dikerjakan dalam waktu dekat?
Buku saya ke-13, dan juga nonfiksi
pertama saya, akan terbit setelah bulan Lebaran, yakni Di Balik Tirai Aroma
Karsa. Sebuah buku yang mengupas teknik serta metode yang saya pakai untuk menulis
novel Aroma Karsa.
Selama
perjalanan ini, adakah buku bacaan yang memang dibawa oleh Mbak Dewi sebagai
bahan bacaan selama berkegiatan?
Waktu ke London, saya masih sedang
meneruskan buku Genome karya Matt Ridley.
Adakah
makanan tertentu yang dicari atau memang ingin dimakan saat sedang berada di
London?
Yang spesifik nggak ada. Tapi, saya
menikmati pastry dan steak di London. Di seberang Olympia
tempat LBF diadakan, ada restoran steak Argentina yang berkesan. Di dekat hotel
tempat kami menginap juga ada kafe yang menjual pastry enak, setiap pagi saya bela-belain jalan kaki dari hotel
beli croissant ke sana.