Sebagai seorang
penulis senior, bagaimana Anda melihat perkembangan dunia menulis Indonesia
saat ini?
Secara
umum, profesi penulis saat ini mendapatkan lebih banyak perhatian. Dari soal
pajak, program residensi, festival penulis baik lokal maupun internasional,
pemunculan beberapa asosiasi penulis, kesemua itu menunjukkan adanya geliat
yang lebih dinamis. Berbicara soal penulis tidak bisa lepas dari industri.
Industri yang sehat dan bergairah akan memunculkan lebih banyak penulis. Secara
industri, industri perbukuan masih sangat kecil dibandingkan industri kreatif
lain, yang artinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Terutama
menyangkut minat literasi, akses ke buku yang lebih merata, dan pengadaan buku
yang lebih terjangkau.
Buku terbaru
Anda yang berjudul Aroma Karsa bisa dibilang booming di pasaran. Bisa
dijelaskan apa latar belakang serta pesan yang ingin disampaikan kepada
pembaca? Mengingat tampaknya Anda melakukan riset yang mendalam untuk ini.
Saya
bukan tipe penulis yang punya pesan khusus kepada pembaca. Saya menuliskan
sesuatu semata-mata karena itu menarik bagi saya. Sejam empat tahun lalu, saya
memang sudah tertarik untuk mengolah topik indra penciuman di dalam fiksi. Dari
sanalah muncul ide dasar untuk Aroma Karsa.
Bagian mana
dari buku Aroma Karsa yang paling menarik/berkesan buat Anda? Mengapa begitu?
Saya
tidak bisa mengisolasi beberapa bagian saja dari cerita. Bagi saya, semuanya
merupakan satu kesatuan. Di Aroma Karsa, selain tema penciuman, mungkin yang bisa
dibilang hal baru bagi saya di Aroma Karsa adalah penggalian mitologi Jawa
khususnya Majapahit, yang meski dalam Aroma Karsa hampir semuanya fiktif, dalam
risetnya saya tetap mempertimbangkan aspek epigrafi yang relevan. Unsur semacam
ini belum pernah sebelumnya muncul di karya saya.
Apa harapan
Anda dengan kemunculan buku Aroma Karsa? Mau dibawa ke mana komunitas pembaca
Aroma Karsa yang sudah terbentuk?
Dinamika
pembaca semacam ini merupakan hal lazim, sebetulnya. Yang membedakan adalah
saya, sebagai kreator, sempat ikut di dalamnya. Meski sekarang ini pastinya
keterlibatan saya tidak seintensif ketika cerbung Aroma Karsa masih berjalan. Saya
tidak ingin mengorganisir pembaca karena itu akan memakan fokus dan atensi saya
yang seharusnya bisa dipakai untuk berkarya. Saya juga yakin pembaca lebih
membutuhkan saya untuk berkarya ketimbang mengorganisir mereka. Saya lebih
cenderung membiarkan komunitas pembaca semacam ini berjalan organik, seperti halnya Komunitas
Supernova. Jadi, biarlah para pembaca yang sudah bersilaturahmi ini yang
kemudian memutuskan arahnya bagaimana. Grup FB Aroma Karsa yang sekarang ada
tidak akan ditutup.
Berapa
eksemplar buku Aroma Karsa yang sudah terjual? Adakah target jumlah buku yang
terjual? Dan, apakah akan muncul sekuel lanjutan Aroma Karsa?
10.000
buku PO sudah terjual. Di luar dari itu, jika tidak salah, penerbit mencetak
40.000 eksemplar. Detailnya bisa dipastikan ke Bentang Pustaka. Kalau jumlah
terjual harus dicek beberapa bulan kemudian, karena penyerapan di toko buku
tidak bisa dilaporkan serta merta.
Sekuel
Aroma Karsa sejauh ini belum direncanakan, meski tidak menutup kemungkinan.
Sebelum Aroma
Karsa, Anda sudah menerbitkan banyak buku dan beberapa diantaranya diangkat
menjadi sebuah film seperti Supernova, Filosofi Kopi, dan Perahu Kertas. Bisa
dijelaskan bagaimana perjalanan buku-buku Anda tersebut dapat diangkat menjadi
sebuah film?
Tawaran
menjadi film sepenuhnya merupakan inisiatif rumah produksi/produser. Saya tidak
pernah aktif menawarkan atau mencanangkan buku-buku saya jadi film. Jadi, kalau
ada yang tertarik, maka yang bersangkutan akan mengontak saya. Jika segalanya
pas, jadi. Jika tidak, ya, tidak jadi. Sesederhana itu saja.
Bagaimana soal
hak cipta dari buku/cerita yang Anda tulis yang kemudian diangkat ke film? Mengingat
jika sebuah buku diangkat menjadi film, tidak semuanya isi buku tersebut
difilmkan? Dan, kalau tidak keberatan, berapa nilai dari setiap buku yang
diangkat menjadi film tersebut?
Hak
cipta tetap ada di tangan penulis. Proses ekranisasi atau alih wahana dari
fiksi menjadi film disebut sebagai hak adaptasi. Artinya, buku diadaptasi, dan
bukan garansi bahwa isi buku 100% diterjemahkan menjadi film. Dalam proses alih
wahana tersebut pasti akan penyesuaian. Penulis memberikan hak adaptasi kepada
pihak film, dan selebihnya merupakan hak pembuat film untuk menentukan.
Poin
yang kedua tidak bisa saya jawab karena menyangkut pasal kerahasiaan dalam
kontrak.
Dalam menulis
buku, apa target Anda? apakah Anda selalu menargetkan menjadi film saat menulis
buku? Atau Anda memang sudah membayangkan akan diangkat menjadi film?
Target
saya adalah menulis buku yang ingin saya baca, dan menulis sebaik-baiknya. Alih
wahana tidak pernah menjadi target.
Setelah Aroma
Karsa, buku apa lagi yang sedang dalam proses penulisan? Adakah target jumlah
buku yang harus Anda terbitkan setiap tahunnya?
Saat
ini saya masih menjalani masa promosi Aroma Karsa, dan belum merencanakan apa
yang akan saya garap berikutnya. Tentunya saya sudah punya beberapa opsi, tapi
saya tidak mau memikirkan soal itu dulu hingga masa promosi selesai. Setelah
itu, saya rihat dulu sambil pelan-pelan mulai merencanakan proyek kreatif
berikut. Saya tidak punya target tahunan, karena kecepatan saya berkarya sejauh
ini selalu lebih dari setahun, paling cepat setahun setengah.
Di era digital
saat ini, banyak orang yang sudah mulai beralih membaca via tablet atau
smartphone-nya. Namun masih ada pula beberapa kalangan yang masih setia membaca
menggunakan kertas. Bagaimana Anda melihat fenomena ini? Akankah Anda akan
mulai beralih menerbitkan buku secara digital?
Saya sudah memulai menerbitkan naskah secara digital
sejak tahun 2007, dimulai dari Perahu Kertas. Saat ini, selain Aroma Karsa,
semua versi digital dari buku saya juga sudah tersedia. Saya merasa teknologi
saat ini merupakan kesempatan emas untuk meningkatkan minat literasi. Meski
buku cetak masih mendominasi dan memiliki peran penting, kita bisa memanfaatkan
teknologi buku digital untuk pemerataan buku-buku di daerah, ketimbang harus
mengirimkan/menyebarkan buku fisik yang juga memakan biaya dan membutuhkan
perawatan. Beberapa daerah yang saya kunjungi akhir-akhir ini, salah satunya
Kalimantan Selatan, Dinas Perpustakaan-nya sudah bersiap meluncurkan
perpustakaan digital, yang mana anggota perpus dapat meminjam buku secara
gratis dalam kurun waktu tertentu. Hal seperti ini menurut saya adalah
terobosan penting dan mudah-mudahan dapat diterapkan di berbagai daerah di
Indonesia. Untuk itu, penting sekali bagi pemerintah untuk menyiapkan
jaringan/infrastruktur bagi layanan internet memadai di Indonesia. Buku bukan
berhenti sebatas kertas. Buku adalah konten dan informasi. Dan, teknologi saat
ini memungkinkan kita mengakses konten buku di luar dari batasan fisik.
Tergantung kita siap memanfaatkannya secara maksimal atau tidak.
BEKRAF pernah
bilang bahwa media multiplatform cocok untuk orang-orang yang bergerak di
industri kreatif, konten tulisan Anda dapat pun dapat dikembangkan melalui
banyak media. Maksudnya inti dari industri kreatif adalah hak cipta. Misalnya
komik Marvel yang menjelma menjadi banyak film dan dibuat merchandise-nya,
Laskar Pelangi yang selain menjadi film juga mampu berdampak pada menghidupkan
industri pariwisata di daerahnya, lalu Filosofi Kopi yang tidak hanya diangkat
menjadi film tapi sekarang juga ada gerai-gerai kopinya. Bagaimana pendapat
Anda dengan hal tersebut?
Menurut
saya, memang ke arah sanalah industri perbukuan harus bergerak. Dan, secara
umum, ke arah sana jugalah industri kreatif harus bergerak. Sekat antar medium
saat ini sudah semakin cair dan fleksibel. Satu ide yang sama dapat
bertransformasi menjadi berbagai output,
lintas industri.
Bagaimana
pendapat Anda soal pengenaan pajak bagi penulis yang dilakukan Pemerintah?
Sudah
ada perhatian dengan tanggapnya pemerintah dan Menteri Keuangan terhadap isu
pajak penulis tempo hari, dan juga perbaikan dengan adanya profesi penulis di
daftar NPPN. Hanya saja, menurut saya pajak penulis masih bisa diperbaiki dan
lebih merefleksikan sifat profesinya. Besaran NPPN tsb menurut saya masih bisa
disesuaikan. PPh 23 saat ini juga masih terlalu besar (15%), dan pengaturan
pemungutan langsung oleh penerbit berarti pemerintah menahan uang penulis dan
berpotensi membuat perhitungan yang membutuhkan koreksi di SPT tahunan (bisa
lebih atau kurang bayar – yang artinya menambah satu prosedur lagi yang
merepotkan penulis, juga pemungut pajak).
Follower
Anda di sosial media terbilang banyak. Bagaimana Anda memandang diri Anda
sebagai seorang influencer?
Saya
tidak memisahkan profesi saya dengan status saya sebagai influencer.
Kredibilitas saya datang dari profesi yang saya lakukan. Jadi, yang lain-lain
bisa dibilang hanya ‘bonus’. Yang jelas, di medsos saya berprinsip untuk
membatasi tidak over-sharing hal-hal
yang terlalu pribadi. Dan, ketika saya menampilkan keseharian, saya juga tidak
ingin menampilkan citra artifisial, jadi sesuai dengan kepribadian saya saja.
Interaksi dengan follower saya jaga tetap riil dan hangat. Bagi saya, medsos
pada prinsipnya adalah penunjang pekerjaan, tapi saya tidak ingin
“dimanfaatkan” medsos.
Apa saran Anda
bagi para penulis muda Indonesia?
Tulis
yang ingin kita baca. Tingkatkan jam terbang. Banyak mencoba sampai kita
nyaman. Jangan takut gagal, jangan juga terlalu muluk. Mulai tulisan dengan
niat menamatkannya.
Apa arti musik
dan buku bagi Anda?
Medium
untuk berekspresi.
Bagaimana Anda mendapatkan
inspirasi dalam menulis? Akankah Anda tertarik untuk menulis berdasarkan
fenomena sosial masyarakat terkini?
Inspirasi saya datang dari hidup itu sendiri,
dari mengamati dan menjalaninya. Baik perenungan, ketertarikan, maupun
buku-buku yang saya baca, menjadi bahan bagi saya menulis. Kalau ada fenomena
sosial masyarakat terkini yang menarik, maka bisa saja itu menjadi ide. Tetapi,
saya tidak pernah merencanakannya dengan sengaja. Kalau memang terpicu jadi
ide, ya terjadilah.
Bagaimana cara
Anda menghilangkan penat dan mengumpulkan semangat saat sudah mulai jenuh untuk
menulis?
Kebuntuan ringan cukup diatasi dengan hal-hal yang
sederhana, seperti istirahat, nonton film, olahraga, mandi, atau baca buku.
Kalau cerita stagnan berkepanjangan, biasanya perlu dirombak secara teknis.
Elemen fiksinya dikaji ulang dan diganti, bahkan ditulis ulang. Berusaha terus
semangat dalam menyelesaikan karya bukanlah target yang realistis, karena
seperti cuaca, pasti ada naik-turunnya. Saya cuma berusaha mematuhi deadline
yang saya buat. Semangat atau tidak semangat, jenuh tidak jenuh, kalau kita
sudah punya deadline dan komitmen untuk mematuhinya, perintang seperti
itu akan teratasi dengan sendirinya, apa pun caranya.
Hobi Anda di
luang apa? Seberapa sering Anda lakukan? Bagaimana Anda membagi waktu dengan
keluarga d itengah kesibukan?
Berenang,
memasak. Memasak hampir setiap hari karena merupakan bagian dari mengurus
keluarga. Berenang kira-kira seminggu dua-tiga kali. Membagi waktu berdasarkan
prioritas yang tepat sesuai kebutuhan, tidak ada rumus khusus. Kalau saatnya
kerja dan keluar kota, ya, lakukan. Kalau memang harus di rumah, ya, di rumah.
Saya berusaha membatasi diri saja untuk tidak over-work dan menjalankan prinsip produktif tanpa sibuk. Banyak
orang sibuk tapi tidak produktif. Saya berusaha sebaliknya, produktif tapi
minim sibuk.
Sebagai seorang
penulis, nilai-nilai apa yang selalu Anda tanamkan pada anak Anda? Apakah Anda
juga mendorongnya untuk mengikuti jejak Anda?
Di rumah kami berusaha
menyuburkan kreativitas anak-anak, memberi mereka akses ke alat musik, kursus
musik, dan buku. Saya tidak berusaha menjadikan mereka seperti saya. Saya
percaya mereka lahir dengan potensi masing-masing dan ketertarikan yang juga
mungkin berbeda dengan saya. Saya dan suami hanya berusaha memfasilitasi sebaik
mungkin.