1. Waktu ketemu Presiden
di BEKRAF 2015, masih ingat dialog yang terjadi? Apa yang Mbak Dee bilang
tentang pajak royalti penulis dan bagaimana tanggapan Presiden?
Waktu
itu, Presiden pada dasarnya menampung masukan tersebut karena saat itu bukan
saya saja yang bicara, ada juga beberapa pekerja kreatif lain dari berbagai
bidang. Yang jelas, setahun setelah dialog tersebut, saya mendengar bahwa sudah
disusun aturan NPPN bagi para penulis, yang akhirnya berlaku mulai 2017 ini.
2. Bisa ceritakan maksud
dari 'mengkapitalisasi diri'? Apa saja yang biasanya dilakukan penulis untuk
tetap dapat pemasukan lain selain menunggu royalti?
Mengajar
seminar, mengisi talkshow, kasih workshop, jadi motivator, menulis lepasan
(dibayar putus dan bukan royalti) untuk order dari perusahan maupun perorangan,
dsb.
3. Mbak Dee sendiri
harus berapa lama menunggu pembayaran royalti? Sekali per semester?
Setahun
dua kali, setiap enam bulan.
4. Mbak Dee juga pernah
melakukan self-publishing. Bisa ceritakan pengalaman itu? Bagaimana hasilnya?
Self-publish
intinya kita berperan jadi penerbit. Artinya, segala modal, tugas, dan profit
penerbit menjadi porsinya penulis. Keuntungannya adalah kita fleksibel
menentukan konten, jadwal, maupun cara promosi dan distribusi, tapi
tantangannya tentu kita harus punya modal dan SDM yang kuat untuk menjalankan
bisnisnya.
5. Menurut Mbak Dee,
seberapa penting penerbit bagi penulis Indonesia? Tolong ilustrasikan.
Pada
dasarnya, penerbit dan penulis sama-sama membidani lahirnya buku, dengan tugas
yang dibagi-bagi. Penulis setor konten, dan penerbit mengolahnya hingga produk
jadi. Elemen tugas yang dikerjakan penerbit cukup banyak, dari mulai berurusan
dengan percetakan, distributor, toko buku, promosi, dsb. Jadi, kalau dibilang
penting ya sangat penting. Karena belum tentu semua penulis punya kapasitas
untuk melakukan itu semua. Tugas utama penulis adalah mengolah konten. Kalau
memang ada penulis yang kuat menjalankan bisnisnya, ya silakan saja. Profitnya
pasti lebih besar, tapi tanggung jawabnya juga besar.
6. Apakah mencabut buku
dari penerbit sebagai protes terhadap pajak adalah laku yang bijak, menurut
Mbak Dee? Bukankah penerbit sendiri sudah kena pajak di sana-sini?
Menurut
saya, keputusan Tere Liye mencabut buku dari penerbit bukanlah yang difokuskan
kepada penerbit, melainkan kondisi ekonomi perbukuan secara keseluruhan
termasuk komponen pajaknya. Jatah penerbit dari sebuah buku tidak terlalu
besar, kok. Jauh di bawah toko buku. Dalam kasus Tere Liye, saya melihat
upayanya sebagai upaya membebaskan diri dari rantai perdagangan buku
konvensional yang di dalamnya melibatkan kebijakan pajak yang tidak ia setujui.
Toh, beliau sendiri menyatakan bahwa ia akan mencari cara lain untuk menulis.
7. Di luar masalah pajak
penulis, gimana pandangan Mbak Dee tentang regenerasi penulis di Indonesia?
Sebetulnya
saat ini regenerasi penulis cukup cepat karena diterimanya berbagai macam
variasi genre oleh penerbit dan pasar. Kita punya pasar teenlit, Wattpad,
maupun platform self-publish yang lebih bervariasi. Para penulis muda sekarang
jauh lebih mudah untuk bisa berkarya. Pada akhirnya, mereka yang serius akan
terus menekuni bidang ini. Seleksi alam akan berlaku. Yang jelas, ada pasar
besar untuk para penulis muda.
8. Perkembangan
teknologi membawa perubahan tabiat membaca. Generasi lebih muda punya karakter
lebih senang bacaan singkat, grafis yang banyak. Buku dituntut untuk
mengimbangi teknologi hiburan lainnya yang menunjukkan kenaikan peminat,
misalnya di sektor musik atau film streaming (https://tirto.id/revolusi-gaya-menonton-ala-gen-z-ctUd).
Apa pendapat Mbak Dee tentang hal ini?
Perubahan
zaman tidak bisa ditolak, hanya bisa dirangkul. Betul, tabiat membaca secara
umum berubah, tapi kebutuhan orang akan konten menurut saya akan terus
berjalan. Buku fisik bisa jadi bergeser jadi buku digital, tapi kebutuhan orang
akan fiksi, akan cerita, terus berjalan. Maksud saya, jangan sampai tertukar
antara medium dan konten. Perubahan medium bisa ke mana saja, tapi konten yang
bagus akan tetap dibutuhkan. Jadi, penulis jangan dipusingkan soal medium dulu,
fokus pada konten. Hanya karena orang senang baca cerita bergambar, tidak
berarti saya juga harus bikin cerita bergambar karena tren. Hanya karena orang
senang baca cerita singkat, tidak berarti saya berhenti bikin cerita panjang.
Tetaplah mengolah konten yang kita sukai.
9. Bagaimana pengalaman
Mbak Dee sebagai penulis yang menghadapi pembaca secara langsung?
Saya
kurang paham pertanyaan ini.
10. Apakah perubahan
tabiat ini juga memengaruhi penulis-penulis muda yang ingin masuk ke industri?
Akankah lebih mudah atau susah?
Ini
hubungannya dengan nomor 8 ya? Saya rasa nggak terlalu berpengaruh ke susah
atau mudah. Filter untuk masuk ke industri biasanya kualitas naskah, dan
relevansi dengan visi penerbit.
11. Menurut Mbak Dee,
apakah book fairs (misalnya IIBF, Beijing International Book Fair, Frankfurt
Book Fair, atau LBF) masih relevan dikunjungi dan berpengaruh pada penjualan
buku?
Book
Fair sifatnya lebih ke perdagangan lisensi, bukan soal volume retail. Jadi, sebetulnya
book fair semacam itu fungsinya lebih “B to B” (business to business) bukan “B
to C” (business to consumer). Yang diperdagangkan lebih ke hak penerjemahan.
Tentu penting untuk memperkenalkan karya-karya penulis kita ke luar, dan juga
sebaliknya.