Friday, April 3, 2020

Jawa Pos | Hari Buku Nasional | Mei, 2018 | Fahmi Samastuti


Sebelum berkarier sebagai penulis, Dee dikenal sebagai musisi. Seperti apa transformasi dari musisi jadi penulis?

Sebetulnya tidak ada transformasi yang khusus, sih. Hanya lambat laun karena saya lebih produktif menulis, orang jadi mengenal dan mengasosiasikan saya lebih kuat ke menulis ketimbang musik/menyanyi. Saya juga masih membuat album sampai tahun 2009, dan sesekali menulis lagu untuk penyanyi lain, maupun soundtrack film. Jadi, sebenarnya masih berjalan paralel, hanya saja di menulis saya lebih rutin memproduksi buku baru.

Adakah kesamaan menulis lirik untuk lagu dengan menulis untuk cerpen, novel pendek, atau novel panjang?

Bagi saya, semuanya sama-sama harus memiliki struktur cerita, meski lirik hitungannya jauh lebih pendek dan ruang geraknya lebih sempit karena dibatasi durasi. Hanya saja, keuntungan lirik adalah hadirnya melodi, aransemen, yang kesemuanya bisa memperkuat cerita.

Banyak orang maupun penulis yang punya penulis idola. Untuk Dee pribadi, siapa penulis favoritnya (baik luar maupun dalam negeri)?

Saya jarang mengikuti katalog karya satu penulis yang sama terus menerus. Koleksi buku saya juga sebetulnya lebih banyak nonfiksi karena saya adalah pembaca yang dipicu oleh ketertarikan saya akan topik tertentu. Namun, tentunya ada karya-karya penulis yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya, baik dari gaya tulisan maupun kepenulisan (produktivitas, keberanian menggebrak, dsb). Buku-buku tersebut antara lain: Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono, Saman – Ayu Utami, Sightseeing – Rattawut Lapcharoensap, Manusia Harimau – Eka Kurniawan. Saya pun menyukai gaya tulisan Dave Eggers dan mengagumi kemampuan Dan Brown dalam membuat struktur. Secara personal, saya juga mengagumi sosok Pak Sapardi dan Goenawan Mohamad karena produktivitas dan aktivitas mereka yang terus berlanjut hingga usia senior.

Dee banyak mengambil Indonesia, entah tempat maupun budayanya, untuk latar cerita. Mengapa demikian? 

Tentu saja karena saya tinggal di Indonesia, sehingga pengamatan saya banyak datang dari sekeliling saya. Semata-mata karena kebutuhan cerita, saya hampir tidak pernah punya misi khusus untuk mengangkat budaya tertentu. Tapi, sebenarnya tulisan saya lebih kontemporer ketimbang tradisional. Jadi, meskipun ada budaya lokal yang saya ambil, seringnya dikombinasikan dengan kehidupan masyarakat modern. Selain setting lokal, sebenarnya saya cukup sering mengambil setting di luar negeri.

Oh ya, kalau boleh tahu, buku apa saja yang ada di Must Read List-nya Dee (mungkin empat atau lima judul) dan mengapa?

The Life-Changing Magic of Tidying Up – Marie Kondo
Self-Aware Universe – Amit Goswami
Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono
On Writing – Stephen King
The Joy of Living – Yongey Mingyur Rinpoche

Alasannya, karena kesemuanya penting, menarik, dan transformatif.