Sebelum berkarier sebagai penulis,
Dee dikenal sebagai musisi. Seperti apa transformasi dari musisi jadi penulis?
Sebetulnya
tidak ada transformasi yang khusus, sih. Hanya lambat laun karena saya lebih
produktif menulis, orang jadi mengenal dan mengasosiasikan saya lebih kuat ke
menulis ketimbang musik/menyanyi. Saya juga masih membuat album sampai tahun
2009, dan sesekali menulis lagu untuk penyanyi lain, maupun soundtrack film.
Jadi, sebenarnya masih berjalan paralel, hanya saja di menulis saya lebih rutin
memproduksi buku baru.
Adakah kesamaan menulis lirik untuk
lagu dengan menulis untuk cerpen, novel pendek, atau novel panjang?
Bagi saya,
semuanya sama-sama harus memiliki struktur cerita, meski lirik hitungannya jauh
lebih pendek dan ruang geraknya lebih sempit karena dibatasi durasi. Hanya
saja, keuntungan lirik adalah hadirnya melodi, aransemen, yang kesemuanya bisa
memperkuat cerita.
Banyak orang maupun penulis yang
punya penulis idola. Untuk Dee pribadi, siapa penulis favoritnya (baik luar
maupun dalam negeri)?
Saya jarang
mengikuti katalog karya satu penulis yang sama terus menerus. Koleksi buku saya
juga sebetulnya lebih banyak nonfiksi karena saya adalah pembaca yang dipicu
oleh ketertarikan saya akan topik tertentu. Namun, tentunya ada karya-karya
penulis yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya, baik dari gaya tulisan
maupun kepenulisan (produktivitas, keberanian menggebrak, dsb). Buku-buku
tersebut antara lain: Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono, Saman – Ayu
Utami, Sightseeing – Rattawut Lapcharoensap, Manusia Harimau – Eka Kurniawan.
Saya pun menyukai gaya tulisan Dave Eggers dan mengagumi kemampuan Dan Brown
dalam membuat struktur. Secara personal, saya juga mengagumi sosok Pak Sapardi
dan Goenawan Mohamad karena produktivitas dan aktivitas mereka yang terus
berlanjut hingga usia senior.
Dee banyak mengambil Indonesia,
entah tempat maupun budayanya, untuk latar cerita. Mengapa demikian?
Tentu saja
karena saya tinggal di Indonesia, sehingga pengamatan saya banyak datang dari
sekeliling saya. Semata-mata karena kebutuhan cerita, saya hampir tidak pernah
punya misi khusus untuk mengangkat budaya tertentu. Tapi, sebenarnya tulisan
saya lebih kontemporer ketimbang tradisional. Jadi, meskipun ada budaya lokal
yang saya ambil, seringnya dikombinasikan dengan kehidupan masyarakat modern.
Selain setting lokal, sebenarnya saya cukup sering mengambil setting di luar
negeri.
Oh ya, kalau boleh tahu, buku apa
saja yang ada di Must Read List-nya Dee (mungkin empat atau lima judul) dan
mengapa?
The
Life-Changing Magic of Tidying Up – Marie Kondo
Self-Aware
Universe – Amit Goswami
Hujan Bulan
Juni – Sapardi Djoko Damono
On Writing –
Stephen King
The Joy of
Living – Yongey Mingyur Rinpoche
Alasannya,
karena kesemuanya penting, menarik, dan transformatif.