Friday, April 3, 2020

Tempo | Royalti Penulis | April, 2017 | Gabriel Yoga


Sejauh pengalaman Mbak Dee, bagaimana prosedur yang dijalani penulis dan dan penerbit untuk merilis buku di Indonesia? Bagaimana usaha dulu melobi penerbit? Apakah langsung sukses atau ada yang gagal?

Saya mengawali kepenulisan saya dengan melakukan self-publishing, baru setelah buku kedua saya mulai kerja bareng dengan penerbit. Otomatis saat itu saya sudah punya posisi tawar yang baik, jadi tidak ada masalah. Umumnya, penulis mengirimkan naskah kepada penerbit, lalu diseleksi oleh tim editor, yang lolos akan diterbitkan. Sekarang ini, dengan perkembangan platform menulis seperti Wattpad, blog, dsb, penerbit sekarang malah berburu penulis. Tidak lagi cuma menunggu naskah. Mereka yang punya reader base kuat, naskahnya banyak dibaca, biasanya menjadi incaran penerbit.

Berapa besar sebenarnya pembagian pendapatan, keuntungan dan royalti antara penulis dan penerbit? Apakah proporsinya tetap atau selalu berubah?

Kisaran royalti kira-kira di 10-15%, mungkin di kasus tertentu bisa sampai 17,5% tapi itu jarang sekali. Karena memang margin penerbit tidak besar, dan komponen sebuah buku kurang lebih sama; produksi/biaya cetak, distribusi, dan toko buku. Kalau antara penulis dan penerbit, yang mereka bagi paling hanya sekitar 30-40% dari “kue” sebuah buku. Sisanya sudah merupakan biaya untuk produksi dan toko.

Sejauh mana penulis bisa menawar proporsi pendapatan dan keuntungan (royalti)? Apa saja yang bisa mengurangi pendapatan penulis?

Tidak banyak ruang sebetulnya, karena memang ruang gerak penerbit juga tidak besar. Besaran royalti kadang ditentukan oleh senioritas dan posisi tawar penulis. Kalau penulis baru, bahkan bisa dimulai dari 5-7%, baru secara progresif – tergantung jumlah penjualan buku – royalti tersebut bisa naik hingga 10-12% misalnya.

Sejumlah buku Mbak Dee sudah diterjemahkan dalam bahasa asing dan diterbitkan di luar negeri. Bagaimana proses negoisasi dengan penerbit asing? Seperti apa proporsi pembagian royalti?

Dengan penerbit asing biasanya kita memakai agensi buku. Penerbit asing jarang yang mau berurusan langsung dengan penulis. Rata-rata memakai agensi. Jadi, kita harus punya agen yang kemudian menjadi perwakilan kita untuk bernegosiasi dengan penerbit. Royaltinya kurang lebih sama dengan proporsi royalti di Indonesia. Bahkan kalau pakai agen dan penerjemah, royalti itu masih kita bagi lagi ke mereka. Jadi, royaltinya terbagi tiga.

Apa yang paling dirasa berbeda jika menerbitkan buku di luar negeri dan di Indonesia? Soal transparansi penerbitan, apakah ada perbedaan antara penerbit lokal dan asing? 

Transparansi kurang lebih sama. Kalau penerbit yang bonafide, berbentuk badan hukum seperti PT, sudah sulit untuk licik-licikan karena risikonya akan kembali ke mereka. Dari penerbit luar negeri saya juga mendapat laporan penjualan yang rinci. Sama seperti di sini. Bedanya di luar, setidaknya yang saya alami dengan Amazon Crossing, mereka punya sistem online yang sangat kuat. Laporan bisa kita cek per bulan secara online. Dari mulai masukan buat kover, editorial, kontrak, dsb, semua dilakukan secara digital. Saya tidak perlu bertemu muka dan hampir tidak ada surat menyurat yang hardcopy, selain waktu mengirimkan bukti terbit buku.

Apakah Mbak Dee pernah mengalami masalah pajak royalti seperti yang diceritakan Tere Liye? Bukankah pajak royalti sudah dibayarkan penerbit? Bagaimana sebenarnya masalah perpajakan yang dialami penulis? Bagaimana Mbak Dee menyelesaikan masalah ini?

Soal isu perpajakan sudah saya ulas mendetail di blog saya: http://deelestari.com/memahami-profesi-penulis/ dan http://deelestari.com/royalti-dan-keadilan/
Dan pokok persoalannya bukan soal pajak royalti sudah dibayarkan oleh penerbit atau bukan. Dalam hal tsb, penerbit memang wajib memungut pajak dan menyetorkannya ke negara. Tapi, yang dibayarkan itu adalah bagian dari royalti kami (bukan artinya dibayarkan oleh penerbit dengan memakai dana dari penerbit). Dan isu kemarin pun bukan soal antar penerbit dan penulis, melainkan penulis dengan pihak perpajakan. Saya sendiri sejauh ini tidak punya masalah dengan KPP saya. Namun, beberapa teman memang ada yang jadi punya masalah karena adanya ketidakseragaman persepsi di lapangan, yang kemudian diluruskan oleh Ditjen Pajak pada tanggal 8 Sept 2017 lalu. Ke depannya, tentu masih ada hal-hal yang perlu diperjuangkan oleh para penulis agar pajak yang diberlakukan kepada kami benar-benar sudah merefleksikan dengan tepat profesi kami di mata perpajakan. Perumusannya harus dibicarakan bersama, dan rencananya akan diadakan Pokja antara penulis, pihak DJP, dan juga Bekraf.

Prestasi Mbak Dee menjadi salah satu pembuka bagi penulis-penulis muda lain untuk bergerak. Apa saran yang bisa diberikan kepada para penulis itu agar dilirik penerbit?

Penerbit akan selalu punya pertimbangan pasar. Tapi, penulis sebaiknya tidak berpikir ke arah sana. Menurut saya, penulis sebaiknya menulis buku yang ingin ia baca (bukan yang hendak dibaca pasar) dan lakukan itu sebaik mungkin. Artinya, tulislah apa yang kita suka dan gemari, dan buatlah tulisan yang sebaik mungkin dari segi teknis maupun perasaan. Itulah yang akan melahirkan karakter sekaligus kualitas. Dan dua hal itulah yang akan membuat seorang penulis disukai, bertahan, dan sekaligus punya kontribusi untuk genre yang ia tekuni.

Bisakah saya mendapat data lengkap buku-buku Mbak Dee yang diterbitkan di luar negeri dan di negara mana saja diterbitkan?

Buku saya yang diterbitkan oleh penerbit di luar Indonesia baru Perahu Kertas, versi Malaysia oleh Litera Utama, dan versi Bahasa Inggris (Paper Boats) oleh Amazon Crossings.