AWAL MENULIS & PROFESI PENULIS
Sejak kapan Anda mulai
mengenal dan tertarik pada dunia tulis menulis?
Sejak
kecil, seingat saya sejak kelas 5 SD, umur saya 9 tahun waktu itu. Saya memulai
dengan menulis cerita di buku tulis, judulnya “Rumahku Indah Sekali”, bercerita
tentang seorang anak perempuan yang mendamba kuda poni. Saya menulis tanpa
berhenti, dan sangat asyik dengan segala prosesnya, sejak itu saya tahu saya
jatuh cinta pada dunia fiksi.
Sejak kapan mulai
menekuninya secara intensif?
Sejak
saya menulis “Rumahku Indah Sekali”, saya terus berkarya. Temanya, ya, sesuai
umur. Waktu SMP misalnya, mulai bikin cerpen cinta. Waktu SMA mulai membuat
artikel yang lebih reflektif, membuat koran sekolah. Waktu kuliah mulai membuat
novel dengan tema lebih dewasa. Intinya, proses menulis saya memang tidak
pernah berhenti, hanya saja tidak pernah dipublikasi jadi tidak banyak orang
tahu. Hanya untuk kalangan terbatas saja, teman-teman atau keluarga.
Bagaimana ceritanya Anda
bisa menjadi penulis seperti sekarang?
Tahun
2000, saya mulai membuat draf Supernova. Waktu itu niat saya ingin membuat
novel dengan tema spiritualitas, tapi dikemas dalam fiksi bertema cinta, ada
sainsnya, ada puisinya, pokoknya eklektik—sesuai dengan minat saya yang
beragam. Ketika draf itu selesai, seketika intuisi saya mengatakan bahwa
Supernova akan menjadi buku pertama saya yang dipublikasikan. Dan saya
iseng-iseng bertekad untuk meluncurkannya tepat saat ulang tahun saya yakni 20
Januari 2001. Karena waktu yang mepet, dan saya dengar dari beberapa sumber
bahwa naskah yang masuk ke penerbit biasanya harus menunggu lama, akhirnya saya
putuskan untuk mencetak sendiri demi mengejar deadline ultah tadi. Dan begitu
Supernova dipublikasi, ternyata gaungnya sangat besar, jauh dari dugaan saya.
Akhirnya, saya pun tergiring untuk menjadi penulis profesional, hingga
sekarang.
Apakah orangtua Anda
memiliki darah penulis sehingga berpengaruh pada Anda?
Sepertinya
tidak secara langsung. Yang jelas, ayah saya seorang pencerita yang luar biasa,
dan ibu saya orangnya sangat sistematis. Mungkin gabungan keduanya menghasilkan
saya yang seperti ini. Mungkin. Tapi yang jelas, orang tua saya bukan penulis.
Siapa penulis yang Anda
kagumi? Penulis asing dan luar negeri? Mengapa?
Sapardi
Djoko Damono – karena metaforanya yang luar biasa. Ayu Utami – menurut saya dia
penulis yang sangat detail dan rapi. Seno Gumira Ajidarma – karena dia mampu
mengetengahkan tema-tema segar namun masih dengan napas sastra yang kental. Ana
Castillo – tulisannnya sangat romantis, deskriptif dan menyentuh. Dave Eggers –
karena penuturannya lucu, cerdas, otentik, dan tak terduga. Rattawut
Lapcharoenshap (penulis Thailand yang tinggal di Amerika) – seorang pengamat
dan pencerita yang luar biasa.
Dari sekian banyak buku
yang Anda baca buku apa yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan Anda
sebagai penulis?
Hujan
Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono), Saman (Ayu Utami), Peel My Love Like An
Onion (Ana Castillo), Sightseeing (Rattawut Lapcharoenshap), The Heartbreaking
Work Of A Staggering Genius (Dave Eggers).
Menurut Anda apakah di
Indonesia orang bisa hidup hanya dengan hanya mengandalkan kemampuan
menulisnya? Dengan kata lain apakah menulis bisa dijadikan sebagai satu-satunya
mata pencaharian?
Rata-rata
penulis di Indonesia memiliki profesi sampingan, entah sebagai dosen, jurnalis,
seniman, dll. Jarang ada yang benar-benar mengandalkan menulis saja. Tapi
sebetulnya bisa saja, selama bukunya laku. Dan penulis tersebut berkomitmen
untuk terus berkarya. Karya ini tidak hanya berupa buku yang diterbitkan, bisa
juga membuat artikel untuk majalah, cerbung di koran, memberi pelatihan
kepenulisan, bikin skenario (kalau berminat), dsb. Jadi si penulis sendiri
harus kreatif untuk mengolah pasar.
Bisakah Anda menceritakan
suka dan duka Anda selama menulis?
Sukanya,
saya ketemu banyak orang-orang hebat, sesama penulis, para pembaca kritis, yang
kesemuanya memberikan saya motivasi dan inspirasi. Dukanya, waktu pertama kali
dikritik karena belum biasa, jadi masih dimasukkan ke hati. Saya pernah kirim
cerpen ke majalah waktu SMP dulu, dan nggak diterima, jadi sempet kecewa juga.
Duka lainnya, kadang-kadang kalau promo buku yang sudah sangat intensif, dan
harus ngomong hal yang sama berulang-ulang, jenuh juga. Kadang-kadang promo
buku sangat menyita waktu sehingga saya malah jadi tidak sempat berkarya untuk
buku selanjutnya.
Berapa jumlah honor yang
pertama kali Anda dapat?
Lupa. Sepertinya waktu cerpen saya Rico de Coro
dimuat di majalah Mode, saya dapat honor, tapi lupa lagi, sepertinya sekitar
250 ribu. Tapi esai saya pernah jadi juara di majalah remaja, dan dapat hadiah
750 ribu plus wisata ke Lombok.
Bisa diceritakan
pengalaman-pengalaman unik Anda selama menjadi penulis?
Wah.
Terlalu banyak. Tapi promo Supernova 1 adalah masa-masa paling melelahkan
sekaligus mendatangkan begitu banyak pengalaman bagi saya. Waktu itu,
dirata-rata, saya diskusi buku tiga hari sekali nonstop selama 4 bulan.
Sangat-sangat melelahkan, tapi juga pengalaman yang saya dapat dari sana banyak
sekali. Yang berkesan juga saat saya harus ikut festival penulis di Byron Bay,
Australia, waktu itu saya masih menyusui anak saya yang umurnya 2 tahun, jadi
belum bisa pisah. Sementara di Australia sedang musim dingin. Tapi akhirnya
saya nekat bawa dia ikut festival selama seminggu, dan meskipun banyak
tantangan tapi semuanya bisa dilewati dengan baik.
Buku terakhir yang saya
baca adalah kumpulan cerpen Anda “Filosofi Kopi” dan itu muncul tahun 2006,
mengapa sekarang Anda jarang menerbitkan buku lagi? Terhalang oleh kesibukan
apa? Dan buku apa yang akan Anda terbitkan
dalam waktu dekat?
Setiap
penulis memiliki kecepatannya masing-masing, saya paling cepat memang membuat satu
buku dalam satu tahun. Jadi, menurut saya pribadi, Filosofi Kopi merupakan
pemenuhan target yang tepat, tidak termasuk dalam kategori ‘jarang’. Saya sibuk
dengan keluarga dan pekerjaan yang mengharuskan saya banyak keliling dan ke
luar kota.
Buku yang mau terbit Rectoverso, kumpulan cerpen plus lagu.
Bagaimana perkembangan
karier menyanyi Anda?
Sementara
off dulu, mudah-mudahan dengan keluarnya Rectoverso—karena ada lagunya—saya
bisa kembali menyanyi.
Apakah Anda punya obsesi
atau cita-cita yang belum terwujud?
Kepingin
menerbitkan Supernova dalam bahasa Inggris dan penerbitnya langsung dari luar
Indonesia, jadi bukan penerbit lokal.
Mana yang lebih
menyenangkan, menulis atau menyanyi? Mungkin keduanya, namun mana yang akan
Anda pilih jika Anda harus memilih satu di antaranya?
Dua-duanya
menyenangkan, tentu. Tapi menulis menurut saya adalah profesi yang lebih awet
dan langgeng.
Bagaimana peran keluarga
dalam kehidupan Anda?
Mereka
adalah penopang dan rumah saya untuk berpulang. Peran mereka sangat besar,
terutama dalam pendukung mental dan hati.
MINAT BACA & KEBIASAAN MEMBACA
Bagaimana tanggapan Anda
tentang reading habit masyarakat Indonesia, khususnya pelajar, mahasiswa,
dosen?
Dibandingkan
dulu, sebelum rezim Reformasi, karena kreativitas agak dibungkam, menurut saya
minat baca juga agak lesu, karena materi bacaan yang ada di pasaran tidak
terlalu banyak. Tapi sejak reformasi dan orang lebih bebas bersuara, makin
banyak orang yang berani berkarya, dan masyarakat pun memiliki bahan bacaan
baru, akhirnya penerbit pun semakin banyak. Jadi kalau saya lihat sekarang,
sebetulnya ada peningkatan. Terbukti dari banyaknya penulis baru yang
bermunculan, penerbit baru juga bermunculan, toko-toko buku baik yang besar
maupun kecil tambah banyak, taman bacaan juga mulai menjamur. Tapi kalau
dibandingkan dengan minat baca di negara-negara yang lebih maju, tentu saja Indonesia
masih jauh ketinggalan. Terutama dari segi mutu bacaan itu sendiri. Jumlah
semakin banyak, tapi masih seputar bacaan ‘ringan’. Tapi menurut saya tidak
apa-apa, karena membaca sebagai sebuah kebiasaan juga butuh pelatihan dan
proses, tidak bisa serta merta. Jadi, menurut saya ada harapan yang cukup cerah
soal reading habit ini.
Banyak orang yang beralasan
tidak membaca buku atau media massa cetak karena harganya mahal. Menurut Anda?
Menurut
saya tidak terlalu beralasan. Buktinya orang-oranbg yang mengeluh buku mahal
masih bisa beli pulsa buat SMS atau telepon. Menurut saya mereka yang mengeluh
begitu kebanyakan masih belum mengapresiasi buku sebagai kebutuhan. Soal mahal
atau tidak lebih cocok ditujukan untuk buku-buku sekolah, menurut saya ini yang
paling pertama harus disokong oleh pemerintah dan masyarakat agar harga jualnya
bisa murah karena menyangkut pendidikan dasar. Baru mungkin menyusul buku-buku ‘tersier’. Jadi kalau pun ada pergerakan ke arah buku murah, ya butuh proses
juga. Pemerintah bisa memulai dengan memberikan subsidi, misalnya. Karena kalau
bicara ongkos cetak dan harga kertas, kita akan bicara industri yang lebih
makro lagi, dan ini sulit untuk dikendalikan.
Bagaimana cara menurunkan
harga buku dan media massa cetak?
Tidak
tahu. Hehe. Menurut saya paling mungkin adalah subsidi. Dan memperbanyak taman
bacaan, sehingag mereka yang tidak mampu beli minimal tetap punya akses untuk
mendapatkan info atau bacaan yang mereka mau.
Apakah Anda rutin membaca?
Selagi
ada waktu, saya pasti usahakan untuk membaca.
Apakah membaca dan menulis
adalah kebutuhan primer bagi Anda?
Ya.
Untuk menulis saya butuh bahan, inspirasi, aspirasi, dan itu saya dapatkan dari
membaca.
Berapa rupiahkah belanja
buku dan bahan bacaan lainnya yang Anda keluarkan setiap bulan?
Tidak
tentu. Kalau memang ada satu tema tertentu yang lagi saya cari, bisa beli
banyak buku dalam sebulan, bisa sampai jutaan rupiah. Jumlahnya tidak tentu.
Kekerapannya juga tidak tentu. Tergantung kebutuhan.
Apakah hubungan antara
membaca dengan menulis?
Membaca
dan menulis bagi saya ibarat napas. Dengan menulis, kita mengembuskan napas,
yakni berbagi isi hati dan pikiran kita bagi orang lain. Membaca, seperti
menarik napas, kita menabung informasi, referensi, bahkan inspirasi, yang
memperkaya diri kita dan tulisan kita.
Seberapa besar pengaruh
aktivitas membaca dan menulis terhadap diri seseorang?
Orang
yang banyak membaca dan menulis pastinya lebih kreatif, ekspresif, konstruktif,
dan kaya wawasan, ketimbang yang tidak suka membaca dan menulis.
Apakah Anda setuju apabila
menulis dijadikan sebagai life skill para mahasiswa dan dosen? Bagaimana cara
mendidik dan melatihnya?
Bukan
hanya mahasiswa dan dosen, tapi masyarakat pada umumnya. Caranya dengan
meningkatkan minat membaca dan menulis, dengan merangsang kreativitas baik di
sekolah maupun di rumah. Tidak ada cara lain. Semuanya harus bermula dari
minat. Dan minat bisa ditumbuhkan hanya dengan menciptakan lingkungan yang
kondusif untuk seseorang bisa kreatif.
PROSES KREATIF
Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis? Apakah Anda menulis berdasarkan ide Anda sendiri atau orang
lain?
Proses
kreatif dalam menulis dimulai dengan mengamati. Yang diamati itu bisa apa saja,
dan sangat luas. Dari mulai perasaan orang lain sampai perasaan sendiri, dari
mengamati tingkah laku orang lain sampai mengamati tingkah laku sendiri. Ide
bisa muncul dari mana saja. Yang penting kita harus perseptif, reseptif, dan
sensitif. Saya jarang menulis dari ide orang lain secara bulat-bulat. Biasanya
faktor eksternal lebih seperti pemancing saja, sisanya saya olah sendiri lewat
proses permenungan saya sendiri.
Tolong ceritakan bagaimana
proses kreatif menulis Anda dengan rinci (cara menemukan ide, pengembangan ide,
proses penulisan, pengiriman dst)?
Pertama-tama,
saya tidak tahu cara menemukan ide, karena menurut saya idelah yang menemukan
saya. Pengembangan ide biasanya hadir seketika, ibarat benih, kalau benihnya
bagus dan kebetulan pikiran saya beresonansi dengan ide tsb, akhirnya pikiran
saya seolah-olah menjadi tanah yang subur bagi ide itu berkembang. Ide sih
banyak, tapi belum tentu semua bertumbuh. Sisanya ya tinggal ditulis. Kadang-kadang
ceritanya putus di jalan, kadang-kadang selesai. Kita terima saja apa adanya.
Karena bisa saja sebuah ide ber-evolusi lagi menjadi karya yang benar-benar
berbeda dari yang direncanakan. Kita tidak pernah tahu. Yang kita bisa lakukan
hanya berusaha terus menuangkan. Pengiriman sih sudah masalah teknis. Kalau
buat majalah ya dikirim, kalau mau diterbitkan ya cari penerbit. Karena
kebanyakan saya menerbitkan sendiri, ya tinggal hubungi desainer untuk tata
letak dan desain sampul, lalu menghubungi percetakan. Kalau sudah jadi, tinggal
hubungi distributor untuk disebarluaskan.
Dalam buku Hernowo yang
berjudul Quantum Writing disebutkan bahwa menulis itu menyehatkan. Apakah Anda
pernah merasakannya sendiri?
Saya
rasa menulis memang ada efek terapetik. Karena dalam menulis, kita berhadapan
langsung dengan perasaan kita, pikiran kita, prosesnya seperti mengupas lapis
demi lapis. Dan itu bisa menyehatkan karena kita bisa menumpangkan tumpukan
perasaan ataupun pikiran kita dalam tulisan, seperti proses defrag kalau dalam
komputer. Dan akibatnya kita bisa merasa lebih lega, karena berhasil
mengeluarkan ‘tumpukan’ yang ada dalam diri kita dan mentransformasikannya
dalam bentuk sebuah karya.
Adakah hambatan-hambatan
yang Anda rasakan pada saat menulis?
Sekarang
ini lebih ke hambatan waktu, karena kesibukan dan juga keluarga, saya susah
menemukan waktu yang panjang untuk menulis.
Apakah Anda menulis
berdasarkan mood?
Bisa
iya, bisa tidak. Sekarang ini lebih berdasarkan pada tujuan. Kalau saya memang
ada tujuan atau motivasi tertentu untuk menulis sesuatu, biasanya saya pasti
akan selesaikan, apa pun hambatannya. Kalau dulu sewaktu menulis cuma jadi hobi
dan bukan profesi, memang lebih banyak mengandalkan mood, kalau sekarang lebih
kepada komitmen.
Selain dari pengamatan
sehari-hari dari mana Anda mendapatkan ide yang orisinal? Membaca? Menulis?
Mengamati.
Merenung. Melamun.
Dapatkah Anda menuliskan
kiat dan tips kepada saya menjadi penulis hebat seperti Anda?
Sederhana
sebetulnya. Untuk menjadi penulis kita harus berani mencoba, berani gagal, dan
berani sukses. Karena belum tentu semua orang bisa menangani beban dan
konsekuensi yang dihadirkan oleh kesuksesan. Jadi seorang penulis harus siap
dengan segala skenario, baik gagal maupun berhasil. Dan terus mencoba untuk
berkarya, dan berkarya.
Bagaimana komentar anda
tentang trilogi Supernova yang dibahas banyak orang, bahkan dijadikan judul skripsi?
Jelas trilogi itu sangat sukses, dari mana Anda mendapatkan ide menulis Supernova?
Sebetulnya
Supernova itu heksalogi, jadi ada enam buku. Masih ada tiga lagi. Idenya
berawal dari niat saya untuk menuliskan masalah spiritualitas dalam kemasan
fiksi, karena selain masalah lingkungan, menurut saya dunia ini pun sedang
mengalami krisis spiritualitas, terbukti dari banyaknya orang-orang yang masih
saling membunuh atas nama agama, dan semua orang merasa paling benar. Menurut
saya, gambaran kita mengenai Tuhan dan iman sangat menentukan keputusan-keputusan
yang kita ambil dalam hidup. Karena itu saya mengetengahkan tema spiritualitas
yang sifatnya universal dan holistik, karena dunia yang kita huni sekarang
sudah sangat terpecah-pecah. Dan saya hanya ingin berbagi sudut pandang saja, syukur-syukur
jika banyak yang terinspirasi, bahkan sepakat.
Selain penulis buku,
artikel atau cerpen Anda adalah penulis lagu, menurut Anda mana yang lebih
sulit?
Menulis
lagu lebih sulit, karena ada melodinya, dan antara melodi dan lirik harus
sejiwa. Lagu lebih mengandalkan momentum dan kreativitasnya lebih banyak di
level hati dan rasa. Kalau artikel atau cerpen lebih banyak di level pikiran.
Jadi proses pengerjaan dan intensitasnya berbeda.
Bagaimana sensasi menulis
lagu, novel, cerpen, puisi dan artikel?
Berbeda-beda,
tapi ujungnya sama, kalau karya itu selesai, kita merasa puas dan lega.
Menurut Anda kriteria
tulisan yang bagus itu seperti apa?
Tulisan
yang jujur, otentik, berhasil menyampaikan maksud dan pesan si penulisnya,
sekaligus memberikan inspirasi bagi para pembacanya.