Showing posts with label Karier. Show all posts
Showing posts with label Karier. Show all posts

Monday, April 27, 2015

Elle Magazine | Pendidikan Formal & Karier | April, 2015 | by Giovani Untari


Background pendidikan Anda bisa dibilang 180 derajat berbeda dengan pekerjaan Anda geluti sekarang, apa yang membuat Anda  akhirnya memilih karier yang berseebrangan dengan jurusan Anda?

Sebenarnya saya tidak “memilih” untuk berseberangan, tapi karier saya memang sudah dimulai dari sejak bangku kuliah. Saya mulai menyanyi profesional dari semester pertama kuliah. Jadi, sepanjang perkuliahan saya sudah menyambi kuliah dengan menyanyi.  Otomatis ketika lulus, saya sudah tinggal meneruskan karier saya.

Bagaimana rasanya memiliki pekerjaan yang berbeda dengan jalur pendidikan Anda? 

Biasa saja, sih. Karena pada kenyataannya memang banyak sekali yang demikian, jadi saya nggak merasa aneh sendiri. Lulusan Hubungan Internasional yang benar-benar berkarier di jalur diplomatik sangat sedikit. Setidaknya dari yang saya tahu, kebanyakan berkarier di luar itu, entah jadi humas, penyiar, advertising, atau yang menempuh jalur akademis (jadi dosen, dsb).

Apakah awalnya Anda merasa aneh / tidak nyaman dengan pekerjaan Anda yang berbeda dengan jurusan Anda tersebut ?

Tidak, karena menyanyi dan menulis sudah menjadi hobi saya sejak kecil. Kuliah lebih terasa “sampingan” malah, ketimbang kedua hobi tersebut.

Apakah ada ilmu yang dibawa dari jurusan Anda tersebut terhadap pekerjaan ini?

Skill menulis saya cukup banyak dilatih lewat jurusan Hubungan Internasional karena soal-soal ujian kebanyakan esai, jadi harus terbiasa mengungkapkan pikiran lewat tulisan.

Apa suka dan dukanya memiliki karier yang berbeda dengan jurusan Anda?

Waktu kuliah saya sempat terpikir untuk berhenti karena merasa memang nggak bakal nyambung dan ilmu saya nggak akan terpakai untuk pilihan karier saya kelak. Tapi saya bertahan karena janji saya pada orang tua. Dan akhirnya saya mulai menikmati kuliah justru di saat-saat terakhir yakni waktu membuat skripsi.

Apakah Anda puas dengan karier yang Anda miliki sekarang?

Sangat puas.

Bagaimana pesan Anda bagi perempuan yang mungkin saja ingin mencoba peruntungan bidang pekerjaan yang berbeda dengan lulusan mereka sebelumnya?

Sebenarnya sangat umum untuk orang-orang akhirnya berkarier di luar dari pendidikan formal mereka. Saya rasa karena pada akhirnya orang memilih pekerjaan berdasarkan passion atau kondisi alias terpaksa. Jadi, beruntunglah mereka yang akhirnya bisa memilih bukan karena terpaksa tapi karena memang passionate di bidangnya. Saya rasa itu bisa diraih dengan menemukan apa yang paling kita suka dan apa yang kita gemari, lalu kita tekuni hingga passion itu akhirnya menjadi skill.

Monday, December 22, 2014

Bloomberg | Wanita & Karier | Maret, 2013 | by Dita Mustafa


Apa project yang sedang Anda kerjakan saat ini?

Dalam waktu dekat akan meluncurkan coffee table book Madre dalam rangka menyambut rilisnya film Madre. Coffee table book ini kurang lebih isinya novelet Madre yang digabung dengan foto-foto behind the scene produksi film Madre.

Adakah perbedaan signifikan rutinitas yang Anda kerjakan sebelum dan sesudah berkeluarga?

Ada. Sekarang saya jauh lebih banyak bekerja di rumah. Hanya mengambil pekerjaan di luar rumah jika benar-benar penting dan valuable. Rutinitas saya sehari-sehari sangat domestik; mengurus anak, rumah, dan suami. Kecuali jika sedang memproduksi buku, maka saya banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan disiplin menulis harian 2-5 jam sehari.

Pernahkah Anda melewatkan momen penting, dalam karier atau keluarga, karena Anda harus memilih salah satu, momen dengan keluarga atau karier atau sebaliknya?

Untuk karier cukup sering. Beberapa undangan ke luar negeri, rencana riset lapangan baik di dalam maupun luar negeri, dan cukup banyak tawaran pekerjaan yang saya tolak demi keluarga. Tapi, bagi saya, itu bukan hal yang terlampau besar. Prinsip saya dalam mengatur prioritas adalah dahulukan yang penting saat ini dan sekarang. Saya total berhenti bekerja waktu baru melahirkan hingga anak saya umur 2 tahun lebih. Dan tidak terlalu merasa kehilangan kesempatan, karena anak saya adalah prioritas pada saat itu. Kalau memang ada kesempatan yang jadinya tidak bisa saya ambil, saya anggap memang belum waktunya.

Perempuan memimpin dengan hati, laki-laki lebih memakai logika. apa pendapat Anda mengenai hal ini? Menurut Anda, apa yang harus perempuan lakukan saat menghadapi diskriminasi gender saat menjalani karier?

Menurut saya, itu cenderung generalisasi dan stereotipe. Tidak mungkin manusia bisa eksklusif cuma logika atau hati. Keduanya pasti mengambil porsi, cuma mungkin kadarnya yang beda-beda. Tidak semua laki-laki melulu logis, banyak yang intuitif juga. Sebaliknya demikian juga dengan perempuan. Yang barangkali membedakan dengan jelas adalah hal-hal kodrati seperti menstruasi, kondisi fisik, dsb, di mana kondisi fisik kita yang fluktuatif dapat menyebabkan perubahan hormonal yang kemudian berdampak pada bagaimana kita menjalani atau memutuskan suatu hal. Jadi, saya tidak percaya stereotipe tadi. Dalam bidang pekerjaan yang saya jalani, saya tidak pernah merasa ada diskriminasi gender. Jika ternyata ada, saya merasa tidak pernah mengalami secara pribadi. Jadi, saya bukan sumber yang tepat untuk dimintai tips mengenai hal tersebut.

Menjadi penulis kadang menemui writer’s block. Bagaimana cara Anda menyiasatinya?

Punya deadline. Bagi saya, deadline adalah kutukan sekaligus berkah bagi penulis. Kutukan karena menyebabkan stres, tapi berkah karena kita jadi insentif untuk bekerja. Tidak ada istilah writer's block jika kita memang betulan punya deadline. Kita akan selalu menemukan cara untuk kembali menulis. Tips gampang yang saya lakukan jika sudah mumet adalah mandi. Jangan tanya kenapa, it just works for me.

Memiliki karier dan keluarga. Apakah Anda merasa kehilangan "me time"? Biasanya apa yang Anda lakukan di kala "me time"?

Kadang-kadang. "Me time" bagi saya sederhana, yakni melakukan hal-hal yang saya suka tanpa ada tekanan waktu atau beralih fokus. Dan kegiatan yang saya sukai dan sangat personal bagi saya adalah membaca, melamun, dan jalan-jalan.

Kira-kira hal seperti yang akan membuat Anda nantinya "pensiun" dari karier Anda sekarang? contoh: kejenuhan atau mengurus anak yang tumbuh besar?

Pada satu titik saya tentu ingin pensiun. Tapi, dalam profesi seperti saya, tentunya pensiun memiliki arti lain yang nggak sama dengan mereka yang berkarier kantoran, misalnya. Bagi saya, pensiun adalah ketika saya bisa lepas berkarya tanpa beban mencari nafkah. Yang artinya, independensi finansial secara total. Saat ini, pendapatan utama saya dari royalti. Jadi, saya masih mengandalkan menulis sebagai profesi, sekalipun itu juga hobi saya. Satu saat saya ingin bisa berkarya hanya untuk senang-senang saja, dengan waktu yang sesuka-suka saya. Tanpa perlu memikirkan income sama sekali.

Wanita yang berpenghasilan lebih besar dari pasangannya kadang memicu konflik. Apa pendapat Anda?

Dalam konstelasi saya dengan suami saya, Reza Gunawan, bagi kami yang lebih krusial dari penghasilan adalah fokus dan atensi. Buat kami nggak masalah siapa yang punya penghasilan lebih besar, tapi adalah masalah jika satu dari kami kurang memberikan atensi pada keluarga dan anak-anak. Tentunya, dalam kasus umum, hal tersebut bisa terjadi karena kesibukan berkarier, misalnya. Karena itu saya dan suami selalu mencari cara agar kami bisa tetap produktif tanpa kelewat sibuk.

Bagaimana cara anda berkomunikasi dengan keluarga Anda? Memanfaatkan teknologi atau mem-blok hari tertentu untuk bertemu keluarga?

Saya hampir selalu di rumah, jadi tidak perlu sampai mengandalkan teknologi tertentu secara intensif untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga. Paling hanya menelepon jika saya sedang di luar rumah. Kami jarang memblok hari tertentu karena pekerjaan saya dan suami tidak rutin di hari yang sama, kadang kami bekerja pada weekend atau saat orang-orang liburan. Kami juga kadang menyelipkan liburan keluarga saat saya atau suami bekerja, dapat undangan ke luar kota misalnya, kami jadikan sekalian ajang berlibur.  

Apa yang masih menjadi kekhawatiran Anda dalam menjalani profesi dan memiliki keluarga saat ini? contoh: apakah Anda takut tidak menikmati tumbuh kembang anak, Anda takut kehilangan kesempatan berkarier lebih jauh lagi karena repot mengurus keluarga?

Awalnya saat transisi mengurus anak total, sempat takut juga kehilangan momen dalam berkarier. Tapi setelah saya jalani, lama-lama kekhawatiran itu hilang dengan sendirinya. Jujur, saya lebih khawatir kehilangan kesempatan bersama keluarga dan anak ketimbang profesi. Apalagi dalam profesi saya, akselerasi berkarier lebih ditentukan oleh produktivitas saya, bukan tawaran dari luar. Setidaknya untuk saat ini saya tidak merasa kehilangan kesempatan karier.

Apa yang masih menjadi cita-cita Anda saat ini?

Traveling dan retreat meditasi lebh banyak . Tapi ini bisa saya lakukan kapan-kapan.

Sunday, December 21, 2014

The Jakarta Post | 2013 New Year Resolution | Desember, 2012 | by Indah Setiawati


What is your NY resolution for 2013, both for your career and personal life? Please elaborate details.

My main target is to release another Supernova series, which is titled Gelombang. Since I just moved into a new house this mid-December, I think I'll still be busy arranging and settling into the new house until January next year. It'll be great if I can start working in February. 

What do you plan to do to achieve them?

As usual, I'll start with research, and research. That usually includes huge volumes of reading material, mapping down details, and lots of pondering. I'll be cutting down public activities as best as I can so I can maximize my time working at home. 

Do you think it's important to have NY resolution?

Back in my 20's, it felt important. Now, I simply see them as to-do-list. Having resolution is nice, but now I lead my life with simpler approach. Whatever comes, I deal with it. The rest, I just try enjoying life with curiosity and playfulness. 

Do you have any resolution from last year that you don't yet accomplish this year? What is it? What is your plan for it -- are you going to add it up to your NY resolution for next year?

That's the thing. Since I don't actually have resolution last year, I couldn't really measure. But, I remember I wanted to take swimming lesson, and yet I couldn't make it happen because the new house building process was really absorbing and taking most of my focus. So, yes, maybe a swimming lesson this year. And, yes, I cannot swim. YET. Will get there in time. 

What is your biggest regret this year?

I cannot remember. I don't think I hold any major regrets. Small ones, perhaps. But they're too insignificant for me to hold onto. 

Last question, what is your biggest hope for the year to come -- personally and in general?

Personally, writing more books. In general, I wish humanity would find better ways to live without torturing this planet. We've taken so much from Mother Earth and other living beings for things and lifestyle we don't essentially need. This kind of living has to change.

Majalah Economica | Profil | April, 2012 | by Nadya Restu Mayestika


Boleh minta Mbak berbagi cerita sewaktu dulu kuliah? Bagaimana Mbak Dewi menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa?

Waktu kuliah saya sudah mulai berkarier jadi penyanyi, jadi saya nggak bisa terlalu sering di kampus karena disibukkan oleh kegiatan menyanyi, latihan, dsb. Benar-benar seperlunya saja. Untung ada beberapa teman yang cukup dekat di kampus, jadi masih bisa bergaul, walaupun terbatas dan nggak sering.

Adakah mimpi Mbak yang masih ingin dicapai?

Sekarang saya lebih tertarik menjalani hidup apa adanya. Mungkin namanya bukan mimpi lagi, tapi target. Seperti menulis buku, menyelesaikan serial Supernova, dsb, itu bukan lagi mimpi tapi sudah jadi target.

Antara nyanyi dan menulis, mana yang lebih passionate buat Mbak?

Dua-duanya sebetulnya senangnya sama. Tapi saat ini saya lebih dimungkinkan untuk menulis karena anak-anak di rumah masih kecil, dan butuh kehadiran saya lebih sering. Jadi saya cuti dulu dari segala kegiatan nyanyi-menyanyi. Lagian, saya memang kurang senang manggung, lebih senang rekaman. Namun saat ini fokus saya sedang tidak ke sana.

Dari kecil, memangnya Mbak sudah memiliki passion dalam bidang menulis? Apa dulu Mbak mempunyai passion yang sebenarnya ingin dicapai, tapi tidak tercapai?

Dari kecil sudah menulis. Pertama kali menulis dengan serius waktu kelas 5 SD. Saat ini sih rasanya saya sudah menjalani apa yang saya suka sejak dulu, yaitu musik dan menulis. Passion lain, memasak, sudah dilaksanakan juga di rumah.

Bisa ceritain nggak Mbak, bagaimana caranya Mbak bisa mengetahui passion Mbak sebenarnya dan bisa menjalaninya dengan sukses?

Dengan banyak mencoba. Akhirnya kita tahu mana yang benar-benar kita suka. Dan jika memang berjodoh, banyak jalan yang terbuka dengan mudah. Kita juga harus konsisten berkarya, dan berani mencoba, meski melalui kegagalan.

Mbak Dewi sampai sekarang kan masih aktif menyanyi dan menulis ya, gimana cara Mbak menyinergikan kedua aktivitas tersebut?

Jalani apa adanya saja. Sesuai dengan prioritas yang saat ini realistis dengan situasi dan kondisi saya. Rasanya nggak ada tips khusus.

Sejauh ini tulisan Mbak selalu memiliki tema yang mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas, apa yang menginspirasi Mbak Dewi untuk menulis dalam tema tersebut? Apa ada alasan khusus kenapa Mbak sering memilih tema tersebut?

Karena spiritualitas adalah passion saya. As simple as that. Tentu kita lebih semangat untuk berkarya jika tema yang kita pilih adalah apa yang menjadi passion kita, kan?

Sejauh ini dari buku-buku yg sudah ditulis Mbak Dewi, dari Perahu Kertas sampai Partikel, apa dalam proses penulisannya ada yang paling berkesan?

Karena yang paling terakhir adalah Partikel, tentu yang terasa paling berkesan adalah Partikel, soalnya ingatan saya tentang prosesnya masih segar.

Apa pengalaman yang paling mengubah pandangan Mbak Dewi terhadap sastra sehingga dari seorang penyanyi Mbak juga mulai menulis?

Saya menulis karena memang hobi dari kecil, nggak ada hubungannya dengan pandangan saya tentang sastra, atau bermotivasi "banting setir"profesi. Waktu itu malah saya nggak tahu apa-apa sama sekali dengan industri tulis menulis. Pokoknya inginnya ya menulis buku. Dunia sastra baru saya kenal setelah saya menulis.

Bagaimana perjuangan yang Mbak tempuh untuk merintis karier dulu di dunia musik dan kini di dunia sastra?

Wah, terlalu panjang untuk diceritakan. Kayaknya perlu buku biografi untuk menjawab pertanyaan "selebar" itu. Hehe.

Apa halangan terberat yang dirasakan dalam karier Mbak?

Saat ini adalah ketersediaan waktu. Karena yang perlu saya urus banyak, jadi mencari waktu luang yang memadai untuk menulis, riset, dsb, cukup sulit. Belum lagi dengan pekerjaan non-menulis, permohonan wawancara, dsb. Kalau bisa sih setiap nulis saya masuk gua dulu dan nggak diganggu siapa pun.

Apa Mbak juga concern dengan hal-hal di luar kesastraan, misalnya pada pendidikan atau lingkungan? Bagaimana cara Mbak mengekspresikan rasa concern tersebut?

Sejauh ini sih dengan menulis, atau sesekali mengisi talkshow yang bertema lingkungan.

Mengenai soal lingkungan, tema Economica kali ini adalah Green Economy. Bagaimana pendapat Mbak mengenai Green Economy?

Sepertinya itu memang akan menjadi tren yang tidak terelakkan, ya. Kalau ingin hidup kita lebih lama di Bumi, semua aspek kehidupan saat ini harus beriorientasi lingkungan.

Ada minat nggak, Mbak memulai tulisan dengan bermaksud memberikan nilai berupa bujuakan atau insight yang dapat membantu alam sekitar?

Sudah sering.

Apakah semangat Green Economy bisa ditularkan lewat media tulisan fiksi, misalnya novel, mengingat temanya yang bukan hanya tentang lingkungan tapi juga ekonomi?

Sudah saya lakukan lewat Partikel.

Apakah selama ini media buku fiksi sudah cukup mengulas banyak berita mengenai lingkungan yang bisa meningkatkan kepedulian masyarakat pada lingkungan?

Saya rasa ada beberapa. Tapi saya bukan pengamat sastra/fiksi, hanya penulis, jadi saya tidak bisa menjawab dengan pasti.

Menurut Mbak, berapa tingkat kepedulian masyarakat Indonesia pada lingkungan dari skala 1-10?
6.

Apa saran Mbak agar masyarakat Indonesia bisa meninggikan kepeduliannya pada lingkungan?

Edukasi dan penegakan hukum.

Apa harapan Mbak ke depannya untuk sastra di Indonesia?

Lebih banyak karya bermutu dan variasi genre yang semakin banyak.

Apa prinsip hidup Mbak?

Nggak ada. Saya cuma segalanya berubah. Jadi siap saja dengan perubahan.

Apa tips Mbak untuk menjalani kehidupan kita agar bisa sedekat mungkin mencapai kebahagiaan?

Lebih banyak menyelami diri sendiri, bermeditasi, karena sumber kebahagiaan adanya di dalam, bukan di luar.

Adakah pesan untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia sekarang?

Segeralah temukan apa yang menjadi passion kita, dan jangan terpaku pada struktur formal untuk menekuninya. Belajarlah dari segala hal.

Highlight UNPAR | Profil | Oktober, 2009 | by Tasya Dwi Permatasari


Ceritain dong, gimana awalnya terjun ke dunia entertainment?

Awalnya saya jadi backing vocal bareng Sita, mulai dari tahun 1993. Lalu 1995 diajak bikin grup RSD (Rida, Sita, Dewi). 2001 mulai nulis buku.

Setelah kuliah atau bersamaan dengan kuliah?

Bareng kuliah.

Ngeganggu kuliah gak, Kak?

Lumayan repot aja sih. Karena manggung banyak di weekend, paling berasa kalau dapat jadwal kuliah Senin pagi. Yang ada seringnya nggak masuk atau ketiduran di kelas tiap Senin pagi. Hehe.

Kapan nih main-main ke Unpar?

Selama ini suka diundang juga sama Unpar, buat acara bedah buku, inagurasi, dsb.

Waktu itu ikut UKM apa?

Karena waktu kuliah saya udah sambil nyanyi, saya nggak sempat lagi berkegiatan di kampus. Jadi datang ke kampus benar-benar hanya untuk kuliah, atau ketemu teman-teman saja.

Dosen favorit Kakak siapa?

Saya paling dekat sama Mas Nur dan Mas Banyu. Mas Nyoman juga lumayan dekat, setelah lulus juga lumayan dekat sama Bu Suke, karena pernah ketemu di Australia saat saya diundang ke sana dan beliau lagi sekolah.

Di Unpar biasa makan atau nongkrong di mana?

Dulu seringnya di kantin bawah (nggak tahu sekarang masih ada atau enggak), di jembatan (nggak tahu namanya apa sekarang), di Efata (nggak tahu masih ada atau enggak).

Yang paling ngangenin di Unpar?

Suasana di jembatan saat bubar kuliah pagi. Very refreshing.

Bagaimana pendapat Kakak tentang dunia musik di indonesia saat ini?

Lumayan berbeda jauh dengan zaman saya dulu dengan RSD. Sekarang orang bikin musik untuk RBT, bukan untuk album lagi. Kalau zaman saya yang lebih kuat vokalis-vokalis solo, sekarang didominasi band. Dan kedengerannya semua mirip-mirip.

Bagaimana pandangan Kakak mengenai generasi muda di indonesia saat ini?

Maju dan berkembang, sekaligus punya tantangan yang sangat besar. Karena generasi muda sekarang harus banyak sekali menanggung beban masa lalu yang diwariskan generasi sebelumnya (korupsi, perusakan lingkungan, dsb). Dengan kreativitas, keberanian untuk berubah, dan otentisitas, semoga beban itu bisa tidak terlalu berat.

Kesan pesan kuliah di Unpar?

Kuliah di Unpar menyenangkan dan membanggakan. Secara kualitas kita amat bersaing dengan institusi pendidikan top lainnya, secara jaringan pergaulan dan relasi juga sangat luas. Saya bersyukur banget pernah kuliah di Unpar.

Apa nih pesan atau tips nasehat buat mahasiswa/i Unpar sebagai generasi muda penerus bangsa indonesia?

Find your passion, and stay true with it. Educate yourself, and don’t just depend on formal institutions.

Monday, December 15, 2014

Wawancara Skripsi Part 1 | Mei, 2007 | by Diah Ismawardani


AWAL MENULIS & PROFESI PENULIS

Sejak kapan Anda mulai mengenal dan tertarik pada dunia tulis menulis?

Sejak kecil, seingat saya sejak kelas 5 SD, umur saya 9 tahun waktu itu. Saya memulai dengan menulis cerita di buku tulis, judulnya “Rumahku Indah Sekali”, bercerita tentang seorang anak perempuan yang mendamba kuda poni. Saya menulis tanpa berhenti, dan sangat asyik dengan segala prosesnya, sejak itu saya tahu saya jatuh cinta pada dunia fiksi.

Sejak kapan mulai menekuninya secara intensif?

Sejak saya menulis “Rumahku Indah Sekali”, saya terus berkarya. Temanya, ya, sesuai umur. Waktu SMP misalnya, mulai bikin cerpen cinta. Waktu SMA mulai membuat artikel yang lebih reflektif, membuat koran sekolah. Waktu kuliah mulai membuat novel dengan tema lebih dewasa. Intinya, proses menulis saya memang tidak pernah berhenti, hanya saja tidak pernah dipublikasi jadi tidak banyak orang tahu. Hanya untuk kalangan terbatas saja, teman-teman atau keluarga.

Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi penulis seperti sekarang?

Tahun 2000, saya mulai membuat draf Supernova. Waktu itu niat saya ingin membuat novel dengan tema spiritualitas, tapi dikemas dalam fiksi bertema cinta, ada sainsnya, ada puisinya, pokoknya eklektik—sesuai dengan minat saya yang beragam. Ketika draf itu selesai, seketika intuisi saya mengatakan bahwa Supernova akan menjadi buku pertama saya yang dipublikasikan. Dan saya iseng-iseng bertekad untuk meluncurkannya tepat saat ulang tahun saya yakni 20 Januari 2001. Karena waktu yang mepet, dan saya dengar dari beberapa sumber bahwa naskah yang masuk ke penerbit biasanya harus menunggu lama, akhirnya saya putuskan untuk mencetak sendiri demi mengejar deadline ultah tadi. Dan begitu Supernova dipublikasi, ternyata gaungnya sangat besar, jauh dari dugaan saya. Akhirnya, saya pun tergiring untuk menjadi penulis profesional, hingga sekarang.

Apakah orangtua Anda memiliki darah penulis sehingga berpengaruh pada Anda?

Sepertinya tidak secara langsung. Yang jelas, ayah saya seorang pencerita yang luar biasa, dan ibu saya orangnya sangat sistematis. Mungkin gabungan keduanya menghasilkan saya yang seperti ini. Mungkin. Tapi yang jelas, orang tua saya bukan penulis. 

Siapa penulis yang Anda kagumi? Penulis asing dan luar negeri? Mengapa?

Sapardi Djoko Damono – karena metaforanya yang luar biasa. Ayu Utami – menurut saya dia penulis yang sangat detail dan rapi. Seno Gumira Ajidarma – karena dia mampu mengetengahkan tema-tema segar namun masih dengan napas sastra yang kental. Ana Castillo – tulisannnya sangat romantis, deskriptif dan menyentuh. Dave Eggers – karena penuturannya lucu, cerdas, otentik, dan tak terduga. Rattawut Lapcharoenshap (penulis Thailand yang tinggal di Amerika) – seorang pengamat dan pencerita yang luar biasa.

Dari sekian banyak buku yang Anda baca buku apa yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan Anda sebagai penulis?

Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono), Saman (Ayu Utami), Peel My Love Like An Onion (Ana Castillo), Sightseeing (Rattawut Lapcharoenshap), The Heartbreaking Work Of A Staggering Genius (Dave Eggers).

Menurut Anda apakah di Indonesia orang bisa hidup hanya dengan hanya mengandalkan kemampuan menulisnya? Dengan kata lain apakah menulis bisa dijadikan sebagai satu-satunya mata pencaharian?

Rata-rata penulis di Indonesia memiliki profesi sampingan, entah sebagai dosen, jurnalis, seniman, dll. Jarang ada yang benar-benar mengandalkan menulis saja. Tapi sebetulnya bisa saja, selama bukunya laku. Dan penulis tersebut berkomitmen untuk terus berkarya. Karya ini tidak hanya berupa buku yang diterbitkan, bisa juga membuat artikel untuk majalah, cerbung di koran, memberi pelatihan kepenulisan, bikin skenario (kalau berminat), dsb. Jadi si penulis sendiri harus kreatif untuk mengolah pasar. 

Bisakah Anda menceritakan suka dan duka Anda selama menulis? 

Sukanya, saya ketemu banyak orang-orang hebat, sesama penulis, para pembaca kritis, yang kesemuanya memberikan saya motivasi dan inspirasi. Dukanya, waktu pertama kali dikritik karena belum biasa, jadi masih dimasukkan ke hati. Saya pernah kirim cerpen ke majalah waktu SMP dulu, dan nggak diterima, jadi sempet kecewa juga. Duka lainnya, kadang-kadang kalau promo buku yang sudah sangat intensif, dan harus ngomong hal yang sama berulang-ulang, jenuh juga. Kadang-kadang promo buku sangat menyita waktu sehingga saya malah jadi tidak sempat berkarya untuk buku selanjutnya. 

Berapa jumlah honor yang pertama kali Anda dapat? 

Lupa. Sepertinya waktu cerpen saya Rico de Coro dimuat di majalah Mode, saya dapat honor, tapi lupa lagi, sepertinya sekitar 250 ribu. Tapi esai saya pernah jadi juara di majalah remaja, dan dapat hadiah 750 ribu plus wisata ke Lombok. 

Bisa diceritakan pengalaman-pengalaman unik Anda selama menjadi penulis? 

Wah. Terlalu banyak. Tapi promo Supernova 1 adalah masa-masa paling melelahkan sekaligus mendatangkan begitu banyak pengalaman bagi saya. Waktu itu, dirata-rata, saya diskusi buku tiga hari sekali nonstop selama 4 bulan. Sangat-sangat melelahkan, tapi juga pengalaman yang saya dapat dari sana banyak sekali. Yang berkesan juga saat saya harus ikut festival penulis di Byron Bay, Australia, waktu itu saya masih menyusui anak saya yang umurnya 2 tahun, jadi belum bisa pisah. Sementara di Australia sedang musim dingin. Tapi akhirnya saya nekat bawa dia ikut festival selama seminggu, dan meskipun banyak tantangan tapi semuanya bisa dilewati dengan baik. 

Buku terakhir yang saya baca adalah kumpulan cerpen Anda “Filosofi Kopi” dan itu muncul tahun 2006, mengapa sekarang Anda jarang menerbitkan buku lagi? Terhalang oleh kesibukan apa? Dan buku apa yang akan Anda terbitkan dalam waktu dekat? 

Setiap penulis memiliki kecepatannya masing-masing, saya paling cepat memang membuat satu buku dalam satu tahun. Jadi, menurut saya pribadi, Filosofi Kopi merupakan pemenuhan target yang tepat, tidak termasuk dalam kategori ‘jarang’. Saya sibuk dengan keluarga dan pekerjaan yang mengharuskan saya banyak keliling dan ke luar kota.  Buku yang mau terbit Rectoverso, kumpulan cerpen plus lagu.

Bagaimana perkembangan karier menyanyi Anda? 

Sementara off dulu, mudah-mudahan dengan keluarnya Rectoverso—karena ada lagunya—saya bisa kembali menyanyi. 

Apakah Anda punya obsesi atau cita-cita yang belum terwujud? 

Kepingin menerbitkan Supernova dalam bahasa Inggris dan penerbitnya langsung dari luar Indonesia, jadi bukan penerbit lokal. 

Mana yang lebih menyenangkan, menulis atau menyanyi? Mungkin keduanya, namun mana yang akan Anda pilih jika Anda harus memilih satu di antaranya? 

Dua-duanya menyenangkan, tentu. Tapi menulis menurut saya adalah profesi yang lebih awet dan langgeng. 

Bagaimana peran keluarga dalam kehidupan Anda? 

Mereka adalah penopang dan rumah saya untuk berpulang. Peran mereka sangat besar, terutama dalam pendukung mental dan hati.


MINAT BACA & KEBIASAAN MEMBACA

Bagaimana tanggapan Anda tentang reading habit masyarakat Indonesia, khususnya pelajar, mahasiswa, dosen? 

Dibandingkan dulu, sebelum rezim Reformasi, karena kreativitas agak dibungkam, menurut saya minat baca juga agak lesu, karena materi bacaan yang ada di pasaran tidak terlalu banyak. Tapi sejak reformasi dan orang lebih bebas bersuara, makin banyak orang yang berani berkarya, dan masyarakat pun memiliki bahan bacaan baru, akhirnya penerbit pun semakin banyak. Jadi kalau saya lihat sekarang, sebetulnya ada peningkatan. Terbukti dari banyaknya penulis baru yang bermunculan, penerbit baru juga bermunculan, toko-toko buku baik yang besar maupun kecil tambah banyak, taman bacaan juga mulai menjamur. Tapi kalau dibandingkan dengan minat baca di negara-negara yang lebih maju, tentu saja Indonesia masih jauh ketinggalan. Terutama dari segi mutu bacaan itu sendiri. Jumlah semakin banyak, tapi masih seputar bacaan ‘ringan’. Tapi menurut saya tidak apa-apa, karena membaca sebagai sebuah kebiasaan juga butuh pelatihan dan proses, tidak bisa serta merta. Jadi, menurut saya ada harapan yang cukup cerah soal reading habit ini. 

Banyak orang yang beralasan tidak membaca buku atau media massa cetak karena harganya mahal. Menurut Anda? 

Menurut saya tidak terlalu beralasan. Buktinya orang-oranbg yang mengeluh buku mahal masih bisa beli pulsa buat SMS atau telepon. Menurut saya mereka yang mengeluh begitu kebanyakan masih belum mengapresiasi buku sebagai kebutuhan. Soal mahal atau tidak lebih cocok ditujukan untuk buku-buku sekolah, menurut saya ini yang paling pertama harus disokong oleh pemerintah dan masyarakat agar harga jualnya bisa murah karena menyangkut pendidikan dasar. Baru mungkin menyusul buku-buku ‘tersier’. Jadi kalau pun ada pergerakan ke arah buku murah, ya butuh proses juga. Pemerintah bisa memulai dengan memberikan subsidi, misalnya. Karena kalau bicara ongkos cetak dan harga kertas, kita akan bicara industri yang lebih makro lagi, dan ini sulit untuk dikendalikan. 

Bagaimana cara menurunkan harga buku dan media massa cetak? 

Tidak tahu. Hehe. Menurut saya paling mungkin adalah subsidi. Dan memperbanyak taman bacaan, sehingag mereka yang tidak mampu beli minimal tetap punya akses untuk mendapatkan info atau bacaan yang mereka mau.

Apakah Anda rutin membaca? 

Selagi ada waktu, saya pasti usahakan untuk membaca. 

Apakah membaca dan menulis adalah kebutuhan primer bagi Anda? 

Ya. Untuk menulis saya butuh bahan, inspirasi, aspirasi, dan itu saya dapatkan dari membaca. 

Berapa rupiahkah belanja buku dan bahan bacaan lainnya yang Anda keluarkan setiap bulan? 

Tidak tentu. Kalau memang ada satu tema tertentu yang lagi saya cari, bisa beli banyak buku dalam sebulan, bisa sampai jutaan rupiah. Jumlahnya tidak tentu. Kekerapannya juga tidak tentu. Tergantung kebutuhan.   

Apakah hubungan antara membaca dengan menulis? 

Membaca dan menulis bagi saya ibarat napas. Dengan menulis, kita mengembuskan napas, yakni berbagi isi hati dan pikiran kita bagi orang lain. Membaca, seperti menarik napas, kita menabung informasi, referensi, bahkan inspirasi, yang memperkaya diri kita dan tulisan kita. 

Seberapa besar pengaruh aktivitas membaca dan menulis terhadap diri seseorang? 

Orang yang banyak membaca dan menulis pastinya lebih kreatif, ekspresif, konstruktif, dan kaya wawasan, ketimbang yang tidak suka membaca dan menulis. 

Apakah Anda setuju apabila menulis dijadikan sebagai life skill para mahasiswa dan dosen? Bagaimana cara mendidik dan melatihnya? 

Bukan hanya mahasiswa dan dosen, tapi masyarakat pada umumnya. Caranya dengan meningkatkan minat membaca dan menulis, dengan merangsang kreativitas baik di sekolah maupun di rumah. Tidak ada cara lain. Semuanya harus bermula dari minat. Dan minat bisa ditumbuhkan hanya dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk seseorang bisa kreatif.


PROSES KREATIF  

Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis? Apakah Anda menulis berdasarkan ide Anda sendiri atau orang lain? 

Proses kreatif dalam menulis dimulai dengan mengamati. Yang diamati itu bisa apa saja, dan sangat luas. Dari mulai perasaan orang lain sampai perasaan sendiri, dari mengamati tingkah laku orang lain sampai mengamati tingkah laku sendiri. Ide bisa muncul dari mana saja. Yang penting kita harus perseptif, reseptif, dan sensitif. Saya jarang menulis dari ide orang lain secara bulat-bulat. Biasanya faktor eksternal lebih seperti pemancing saja, sisanya saya olah sendiri lewat proses permenungan saya sendiri. 

Tolong ceritakan bagaimana proses kreatif menulis Anda dengan rinci (cara menemukan ide, pengembangan ide, proses penulisan, pengiriman dst)? 

Pertama-tama, saya tidak tahu cara menemukan ide, karena menurut saya idelah yang menemukan saya. Pengembangan ide biasanya hadir seketika, ibarat benih, kalau benihnya bagus dan kebetulan pikiran saya beresonansi dengan ide tsb, akhirnya pikiran saya seolah-olah menjadi tanah yang subur bagi ide itu berkembang. Ide sih banyak, tapi belum tentu semua bertumbuh. Sisanya ya tinggal ditulis. Kadang-kadang ceritanya putus di jalan, kadang-kadang selesai. Kita terima saja apa adanya. Karena bisa saja sebuah ide ber-evolusi lagi menjadi karya yang benar-benar berbeda dari yang direncanakan. Kita tidak pernah tahu. Yang kita bisa lakukan hanya berusaha terus menuangkan. Pengiriman sih sudah masalah teknis. Kalau buat majalah ya dikirim, kalau mau diterbitkan ya cari penerbit. Karena kebanyakan saya menerbitkan sendiri, ya tinggal hubungi desainer untuk tata letak dan desain sampul, lalu menghubungi percetakan. Kalau sudah jadi, tinggal hubungi distributor untuk disebarluaskan.  

Dalam buku Hernowo yang berjudul Quantum Writing disebutkan bahwa menulis itu menyehatkan. Apakah Anda pernah merasakannya sendiri? 

Saya rasa menulis memang ada efek terapetik. Karena dalam menulis, kita berhadapan langsung dengan perasaan kita, pikiran kita, prosesnya seperti mengupas lapis demi lapis. Dan itu bisa menyehatkan karena kita bisa menumpangkan tumpukan perasaan ataupun pikiran kita dalam tulisan, seperti proses defrag kalau dalam komputer. Dan akibatnya kita bisa merasa lebih lega, karena berhasil mengeluarkan ‘tumpukan’ yang ada dalam diri kita dan mentransformasikannya dalam bentuk sebuah karya. 

Adakah hambatan-hambatan yang Anda rasakan pada saat menulis? 

Sekarang ini lebih ke hambatan waktu, karena kesibukan dan juga keluarga, saya susah menemukan waktu yang panjang untuk menulis. 

Apakah Anda menulis berdasarkan mood? 

Bisa iya, bisa tidak. Sekarang ini lebih berdasarkan pada tujuan. Kalau saya memang ada tujuan atau motivasi tertentu untuk menulis sesuatu, biasanya saya pasti akan selesaikan, apa pun hambatannya. Kalau dulu sewaktu menulis cuma jadi hobi dan bukan profesi, memang lebih banyak mengandalkan mood, kalau sekarang lebih kepada komitmen.

Selain dari pengamatan sehari-hari dari mana Anda mendapatkan ide yang orisinal? Membaca? Menulis? 

Mengamati. Merenung. Melamun. 

Dapatkah Anda menuliskan kiat dan tips kepada saya menjadi penulis hebat seperti Anda? 

Sederhana sebetulnya. Untuk menjadi penulis kita harus berani mencoba, berani gagal, dan berani sukses. Karena belum tentu semua orang bisa menangani beban dan konsekuensi yang dihadirkan oleh kesuksesan. Jadi seorang penulis harus siap dengan segala skenario, baik gagal maupun berhasil. Dan terus mencoba untuk berkarya, dan berkarya.

Bagaimana komentar anda tentang trilogi Supernova yang dibahas banyak orang, bahkan dijadikan judul skripsi? Jelas trilogi itu sangat sukses, dari mana Anda mendapatkan ide menulis Supernova? 

Sebetulnya Supernova itu heksalogi, jadi ada enam buku. Masih ada tiga lagi. Idenya berawal dari niat saya untuk menuliskan masalah spiritualitas dalam kemasan fiksi, karena selain masalah lingkungan, menurut saya dunia ini pun sedang mengalami krisis spiritualitas, terbukti dari banyaknya orang-orang yang masih saling membunuh atas nama agama, dan semua orang merasa paling benar. Menurut saya, gambaran kita mengenai Tuhan dan iman sangat menentukan keputusan-keputusan yang kita ambil dalam hidup. Karena itu saya mengetengahkan tema spiritualitas yang sifatnya universal dan holistik, karena dunia yang kita huni sekarang sudah sangat terpecah-pecah. Dan saya hanya ingin berbagi sudut pandang saja, syukur-syukur jika banyak yang terinspirasi, bahkan sepakat. 

Selain penulis buku, artikel atau cerpen Anda adalah penulis lagu, menurut Anda mana yang lebih sulit? 

Menulis lagu lebih sulit, karena ada melodinya, dan antara melodi dan lirik harus sejiwa. Lagu lebih mengandalkan momentum dan kreativitasnya lebih banyak di level hati dan rasa. Kalau artikel atau cerpen lebih banyak di level pikiran. Jadi proses pengerjaan dan intensitasnya berbeda. 

Bagaimana sensasi menulis lagu, novel, cerpen, puisi dan artikel? 

Berbeda-beda, tapi ujungnya sama, kalau karya itu selesai, kita merasa puas dan lega.

Menurut Anda kriteria tulisan yang bagus itu seperti apa? 

Tulisan yang jujur, otentik, berhasil menyampaikan maksud dan pesan si penulisnya, sekaligus memberikan inspirasi bagi para pembacanya.