Showing posts with label Pengaruh Musik Terhadap Menulis. Show all posts
Showing posts with label Pengaruh Musik Terhadap Menulis. Show all posts

Thursday, April 2, 2020

Permata Magazine | Quality Life | Nov, 2017



1. Apa saja kesibukkan Anda saat ini?

Saya baru saja menyelesaikan manuskrip novel baru yang telah saya kerjakan selama sembilan bulan. Sedang dalam masa penyuntingan.


2. Karier Anda yang sebagai musisi dan penulis, sebenarnya dari manakah pengaruh tersebut datang?

Kalau musik, saya memang tumbuh besar di keluarga yang suka musik dan suka seni. Bermain instrumen dan bernyanyi adalah kegiatan sehari-hari di rumah. Kakak dan adik saya juga sampai sekarang berprofesi di bidang seni. Kalau menulis, kami sekeluarga senang membaca. Tapi, memang yang punya ketertarikan kuat terhadap menulis adalah saya. Pada dasarnya saya senang mengkhayal dan akhirnya belajar mengonstruksikan khayalan tersebut ke dalam bentuk tulisan.


3. Anda memulai karier awalnya di bidang musik, walaupun ambisi menjadi penulis juga telah tumbuh sejak lama. Apakah menjadi musisi dan penulis memang menjadi passion dan ambisi yang harus dijalani bersamaan? Or, which one actually came first?

Saya tidak menggunakan rumus “harus” dalam hal ini. Di luar dari karier, masih banyak hal yang harus saya kerjakan juga, khususnya yang berkenaan dengan keluarga. Jadi, saya menekuni karier yang sesuai dengan prioritas dan kondisi saya dari waktu ke waktu. Saya lebih aktif menulis ketimbang bermusik karena menulis memberikan saya fleksibilitas waktu dan tidak harus mengharuskan saya terlalu mobile, jadi saya bisa banyak di rumah. Aktivitas saya di musik saat ini lebih ke menulis lagu buat orang lain. Saya tetap terpikir ingin berkarya lagi membuat album, tapi akan lihat situasi prioritas dulu.


4. Bagaimana jam kerja Anda? 


Setiap saya sedang menulis manuskrip, saya langsung menyusun jadwal kerja untuk sekian bulan ke depan. Misalnya, sembilan bulan, delapan bulan, dan seterusnya. Pada bulan-bulan saya menggarap manuskrip, saya bekerja dari pagi sampai siang menjelang sore. Tepatnya, sampai anak-anak saya pulang sekolah. Sore ke malam biasanya sudah waktu dengan keluarga. Jadwal ini kadang-kadang bisa berubah. Ada kalanya saya menulis subuh. Dulu, sebelum menikah, saya biasanya menulis malam. Dalam satu minggu saya biasanya ambil break 1-2 hari. 


5. Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?

Sedapat mungkin saya bekerja selama anak-anak sekolah dan suami bekerja. Jadi, ada takarannya, dan tetap mengakomodir kebutuhan mereka akan saya. Di sela-sela menulis, saya juga mengerjakan beberapa pekerjaan domestik seperti ke pasar dan memasak, dan seterusnya. Saya juga ingin tetap ada waktu berkualitas dan rekreasi bersama keluarga. Untuk beracara di luar biasanya saya batasi antara 6-7 event per bulan.


6. Kegiatan apa saja yang sering Anda lakukan bersama keluarga?

Menonton bioskop, makan bersama, atau keluar kota jika ada liburan panjang. Kalau di rumah biasanya kami main board game, bermusik, atau membantu mereka membuat prakarya.


7. Hal apa saja yang membuat Anda ingat untuk bersyukur bisa berada di posisi sekarang? (pencapaian karier dan sebagai ibu)

Saya merasa beruntung sekali bisa menjalankan pekerjaan yang memang merupakan hobi dan passion saya. Memang tidak selalu mudah, tapi sangat memuaskan secara batin. Saya pun bersyukur bisa punya penghidupan yang baik dan layak melalui profesi yang saya miliki ini. Sebagai seorang ibu dan istri, saya merasa memiliki keluarga yang luar biasa. Mereka sangat suportif, menghibur, dan kompak. Bahkan dua anak saya yang sekarang umurnya 13 tahun dan 8 tahun. Rasanya seperti serumah bersama sahabat-sahabat.


8. Aktivitas apa yang Anda lakukan untuk membuat hidup tetap seimbang? (misal olahraga, meditasi, etc)

Saya menjalankan puasa (intermittent fasting) sudah lebih dari setahun. Saya merasa efeknya sangat baik untuk menjaga metabolisme dan kesehatan secara umum. Untuk olahraga saya paling sering berenang, kadang dikombinasi dengan jogging dan weight training. Meditasi saya jalankan harian, tapi tidak panjang-panjang, antara 15-30 menit sehari. Penting juga untuk mendengar badan dan tidak memaksanya untuk terlalu lelah, terlalu aktif, atau terlalu malas. Istirahat yang cukup, memberi jeda yang cukup antara satu pekerjaan/event, sekaligus bergerak yang cukup, adalah hal-hal yang selama ini berusaha saya jaga keseimbangannya.


9. Bagaimana Anda menanamkan hidup seimbang di dalam keluarga?

Saya berolahraga renang dengan suami secara rutin. Kami juga meditasi bersama, kadang melibatkan anak-anak juga. Anak-anak punya kegiatan olahraganya masing-masing. Anak saya yang perempuan les balet, sementara yang laki-laki les renang. Kami sekeluarga juga sering renang bersama sebagai rekreasi maupun olahraga. Kepada anak-anak, kami membatasi jam gadget mereka. Mereka juga belum punya hp dan gadget sendiri. Kami memang tidak ingin mereka terlalu cepat berinteraksi dengan gadeget maupun media sosial.


10. Tantangan apa yang Anda hadapi dalam menyeimbangkan hidup sebagai seseorang yang telah mapan dan tinggal di kota besar?

Saya rasa tinggal di kota besar itu riskan distraksi. Kita mudah terbuai untuk sibuk walaupun belum tentu produktif. Perhatian kita juga semakin pendek dan kita menghabiskan banyak waktu di jalan. Butuh upaya yang sadar untuk tidak terseret dalam distraksi dan menentukan porsi-porsi tertentu dalam hidup kita yang membuat diri kita lebih baik, seperti menghabiskan waktu dengan keluarga, dengan teman, berolahraga, menjalani hobi, dll.


11. Menurut Anda, hidup yang berkualitas itu seperti apa?

Hidup yang layak, damai, dan bertumbuh. Layak tidak berarti kaya raya tapi berkecukupan. Damai tidak berarti tanpa konflik tapi kita mampu menghadapi kesulitan tanpa berkubang terlalu lama di dalamnya. Bertumbuh dalam arti pengetahuan, pengalaman, pemahaman atas diri kita dan lingkungan.


12. Elemen apa saja dalam hidup Anda yang berkontribusi dalam membuat hidup Anda berkualitas?

Keluarga, meditasi, memasak, menulis, membaca, seni, dan memelihara rasa ingin tahu.


Grand Magazine | Perkembangan Literasi | Juni, 2017 | Fiqih A. Dennoto


Bagaimana pandangan narasumber tentang perkembangan literasi di Indonesia mengingat menurut beberapa riset yang dilakukan, literasi di Indonesia masih cukup rendah?

Kalau kita melihat fenomena pameran buku, seperti Big Bad Wolf baru-baru ini yang mampu meraup target pengunjung di atas ekspektasi, bagaimana orang bisa membeli dan memborong buku sampai subuh, berarti semangat dan ketertarikan kepada buku sebenarnya besar. Tapi, kalau kita memotret Indonesia secara keseluruhan, tentu kita juga harus memasukkan profil masyarakat yang pergi ke sekolah saja susah, akses perpustakaan dan buku terbatas, dan akhirnya secara keseluruhan kita jadi punya angka literasi (berapa banyak buku yang dibaca setahun oleh rata-rata penduduk Indonesia) menjadi rendah. Berarti untuk bisa meningkatkan literasi butuh perbaikan yang sistemik dan menyeluruh. Dari mulai kebijakan pajak buku, menekan harga produksi buku, penyebaran perpustakaan, menggairahkan pemain-pemain industri buku seperti outlet, penerbit, dan juga menyokong para penulis agar kesejahteraannya meningkat. Jadi, ini pe-er besar, dan tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang, tapi sudah harus skala kebijakan pemerintah dan industri.

Bagaimana pandangan narasumber tentang media-media apa saja yang bisa digunakan untuk mempopulerkan literasi?

Sesungguhnya, literasi itu sudah populer, kok. Kehidupan manusia sudah melibatkan kegiatan menulis, story-telling, dsb. Film-film Indonesia saat ini banyak sekali yang bersumber dari adaptasi buku. Jadi, bukannya masyarakat tidak kenal atau aware dengan pentingnya buku. Cuma, belum menjadi lahan subur saja, beda jika kita bandingkan dengan kuliner, misalnya. Masih sedikit yang tergerak terlibat menjadi pemain serius, baik dari kalangan bisnisnya maupun kreatifnya. Yang bisa hidup benar-benar dari menulis itu masih sedikit. Industri buku masih jadi penyumbang sangat kecil terhadap ekonomi kreatif Indonesia. Caranya seperti yang saya ungkap tadi. Menulis dan membaca harus menjadi satu paket kegiatan yang didorong sejak kecil. Selain itu, secara industri, harus bisa dibuat ekosistem yang subur.

Sebagai seorang penulis, penyanyi, serta pencipta lagu, bagaimana pandangan narasumber tentang literasi yang diaplikasikan melalui musik?

Format karya yang menggabungkan literasi dan lagu sudah pernah saya buat tahun 2008 saat saya membuat Rectoverso. Sekarang ini juga cukup banyak yang membuat karya gabungan semacam itu, seperti Fahd Pahdepie dan Sudjiwo Tejo, misalnya. Tapi, tentu itu bukan satu-satunya format. Saya rasa dari mulai komposisi lagu pun sudah harus melibatkan kemampuan literasi. Jadi, kalau dilihat secara umum, sebenarnya kemampuan menulis/literasi itu bersinggungan dengan banyak sekali industri.

Supernova, Perahu Kertas, Filosofi Kopi merupakan karya dari narasumber yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Pandangan narasumber tentang pencapaiannya sebagai seorang penulis, penyanyi, sekaligus pencipta lagu yang membawa nama Dewi Lestari sampai ke luar negeri.

Jalur kreatif saya sejak kecil memang selalu dua itu, musik dan menulis. Dan, benang merah antara keduanya adalah story-telling atau seni bercerita. Baik dalam format buku maupun lirik lagu, yang saya kedepankan selalu adalah cerita. Saya merasa beruntung dapat menjadikan seni bercerita sebagai karier, identitas, maupun kontribusi saya bagi masyarakat. Pada titik ini saya pun merasa masih banyak sekali hal yang perlu saya pelajari tentang seni bercerita. Itu jugalah yang membuat saya amat mencintai pekerjaan saya, karena ruang untuk terus belajar selalu ada. Pencapaian terbesar yang saya rasakan adalah ketika banyak pembaca mengatakan bahwa mereka jadi menyukai fiksi, menyukai membaca, setelah bertemu dengan karya saya. Bagi saya, itu menjadi indikasi bahwa kecintaan saya terhadap seni bercerita mampu menular dan tersebar ke pihak lain.

Bagaimana pandangan narasumber tentang musisi serta penulis di Indonesia yang mempopulerkan literasi melalui media populer seperti musik dan novel serta seberapa besar perannya dalam mengajak anak muda untuk mulai mencintai literasi?

Saya ini sebetulnya lebih banyak berada di jalur yang soliter, di mana saya berkarya dan kemudian itu menjadi kontribusi saya. Tapi ada penulis-penulis lain yang memang mendedikasikan diri dan waktunya untuk mengembangkan komunitas, mendidik dan membina penulis-penulis muda, seperti Helvy Tiana Rosa dan Gola Gong. Juga ada orang-orang seperti Janet de Neefe penggagas Ubud Writers Festival dan Lily Farid penggagas Makassar Writers Festival, misalnya. Mereka ini menurut saya sungguh luar biasa. Terus terang, saya belum punya kapasitas ke arah sana saat ini. Kita membutuhkan orang-orang semacam mereka, karena mereka memegang peranan penting dalam regenerasi penulis dan juga pengembangan ekosistem kreatif.

Apa yang seharusnya dilakukan anak muda yang ingin mengembangkan budaya literasi agar bisa dinikmati berbagai kalangan?

Yang bisa dilakukan secara langsung dan nyata tentunya adalah dengan menciptakan karya. Sekadar menulis, semua banyak yang bisa. Tapi, ketika kita berkomitmen untuk menciptakan karya, bagi saya itu levelnya sudah beda. Ada banyak implikasi. Kita belajar bagaimana menjadi seorang kreator, kita merasakan pengalaman ketika karya kita berinteraksi dengan pembaca, dsb. Jalur untuk berkarya ini juga tentunya tidak mutlak harus lewat penerbit mapan. Banyak cara untuk berkarya sekarang ini. Lewat self-publishing, lewat perlombaan, atau bahkan lewat platform seperti Wattpad. Intinya, harus mencoba untuk berkarya.

Harapan narasumber sebagai penulis, penyanyi, serta pencipta lagu untuk generasi muda agar lebih peka terhadap literasi.

Tulislah buku yang ingin kamu punya. Tulislah cerita yang ingin kamu baca. Menulis adalah otot yang harus dilatih sesering mungkin untuk bisa menjadi tangguh. Dan, membacalah agar kita terus berkembang.

Monday, May 9, 2016

Majalah Kartini (Digital) | Proses Kreatif | April, 2016


Dari semua buku karangan Dewi Lestari, buku mana yang menjadi favorit dari Mbak Dewi sendiri? Kenapa?

Saya selalu merasa paling dekat dengan buku yang paling akhir saya tulis. Jadi, saat ini saya merasa buku favorit saya adalah Inteligensi Embun Pagi.

Dari mana saja inspirasi itu keluar saat menuliskan cerita di novel-novel Mbak Dewi?

Karena saya sudah terbiasa menulis dan bekerja kreatif bertahun-tahun, saya merasa ada mekanisme yang memang berjalan sendirinya. Inspirasi saya datang dari hidup itu sendiri, dari mengamati dan menjalaninya. Baik perenungan, ketertarikan, maupun buku-buku yang saya baca, menjadi bahan bagi saya menulis.

Saat kondisi mood seperti apakah saat yang paling banyak mengeluarkan inspirasi dalam tulisan Mbak Dewi?

Saya tidak lagi menulis berdasarkan mood. Ketika saya sudah berkomitmen untuk membuat sebuah karya kreatif, saya lebih melihatnya sebagai pekerjaan yang diletakkan pada timeline tertentu. Katakanlah, setahun atau sembilan bulan, dsb. Jadi, bukan lagi soal mood dan nggak mood. Jika saya sudah menetapkan deadline, saya berusaha untuk mematuhinya. Yang saya buat adalah jadwal produksi; kerja berapa lama, berapa jam sehari, berapa target halaman, dst. 

Musik jenis apa yang paling bisa membuat Mbak Dewi enjoy saat menulis? Dan biasanya, siapa band atau penyanyi yang paling sering didengarkan sebelum atau saat menulis?

Secara umum saya lebih senang bekerja tanpa musik. Bagi saya, ketimbang musik, yang lebih penting adalah punya slot waktu yang tidak terganggu. Katakanlah, dua jam, maka dalam dua jam tersebut saya tidak mengerjakan hal lain. Sesekali pakai musik hanya kalau memang ada keterkaitan langsung antara cerita yang saya tulis dengan lagu tsb. Seperti waktu Rectoverso, saya menulis cerpen berdasarkan lagu, jadi selama saya menulis cerpen, saya mendengarkan lagunya berulang-ulang.

Novel Mbak Dewi selalu disukai oleh setiap pembaca buku, apa harapan terhadap para pembaca setia novel Mbak Dewi?

Saya sebetulnya tidak berharap macam-macam. Saya sudah cukup bersyukur punya basis pembaca yang cukup setia dan terus bertumbuh. Saya lebih fokus kepada berkarya sebaik yang saya bisa. Saya yakin dengan itu pembaca juga akan selalu mendapatkan kualitas dari pekerjaan saya.

Sebagai seorang penulis, apa pesan Mbak Dewi terhadap penulis-penulis muda saat ini?

Saat ini sebetulnya menjadi penulis sudah jauh lebih mudah dalam beberapa aspek. Platform yang tersedia saat ini memungkinkan penulis untuk menerbitkan sendiri, lewat media sosial penulis juga bisa mempromosikan karya-karyanya. Namun, saat ini juga persaingan lebih sulit karena semakin banyak penulis yang lahir. Saya rasa, jika para penulis muda tetap fokus kepada kualitas, punya motivasi kuat untuk terus belajar dan mengembangkan diri, maka mereka akan punya potensi untuk berhasil dan punya basis pembaca yang kuat.

Monday, April 27, 2015

Free Magazine | Simangunsong Sisters & Gelombang | Januari, 2015 | by Mikhail Teguh Pribadi


Simangunsong Sisters
 
Bagaimana ide awalnya bisa tercetus untuk kumpul kembali ?

Sebenarnya nggak ada konsep “kumpul kembali” sih, karena secara formal kami memang nggak pernah menjadi satu group. Tapi dari kecil kami sering nyanyi bareng dan bermusik bareng. Kami saling membantu kalau satu sama lain bikin album solo atau proyek musik. Kami juga pernah ikut group vokal dan paduan suara bareng-bareng. Cuma memang yang jarang terjadi adalah kami bernyanyi untuk publik (umum) dengan tema di luar dari Natal / acara keluarga. Dan itu akhirnya kejadian di acara Tribute to Carpenters yang diadakan oleh @America.

Mengapa memilih The Carpenters sebagai perform awal untuk tampil ?

Itu pun sebetulnya bukan kami yang pilih. Salah satu kurator @America, Chico Hindarto, berteman baik dengan Imel, dan Chico terpikir untuk mengadakan Tribute to Carpenters sebagai salah satu program spesial @America. Chico lalu menghubungi Imel dan menanyakan apakah kami bertiga, sebagai bersaudara, mau tampil membawakan lagu-lagu Carpenters. Setelah ada tanggal yang kosong, akhirnya Imel mengiyakan. Bagi kami sih sebetulnya bukan Carpenters-nya yang utama, cuma pengalaman nyanyi bareng untuk publik umumlah yang menjadikan tawaran itu menarik.

Dengan kesibukan masing-masing yang berbeda dan superpadat, bagaimanakah kalian mengatur scheduling untuk latihan akhirnya tampil?

Terus terang latihan agak minim karena kesibukan masing-masing, terutama Arina yang super sibuk dengan Mocca, plus kami sudah tidak tinggal sekota. Jadi, kami latihan waktu kumpul keluarga pas Natal 2014, lalu pas Arina ada acara di Jakarta, Imel menyengajakan pergi ke Jakarta untuk latihan bareng. Kami latihan di rumah saya di BSD, sudah bareng dengan para pemusik tambahan, Jesse (drum) dan Chaka (bass), termasuk suami saya, Reza, yang “ditodong” jadi pianis tamu. Berikutnya, kami langsung ketemu di @America pas sound-check. Jadi, agak mepet memang. Untungnya beberapa lagu sudah familier karena sering dengar dari kecil. 

Ke depan, akankah kalian akan lebih sering tampil bersama seperti ini?

Ide itu menarik sih untuk dieksplorasi, yang jelas hanya bisa dilakukan kalau Arina sedang berada di Indonesia. Mudah-mudahan acara @America tempo lalu jadi pemicu untuk kesempatan tampil lainnya.

Sejauh mana The Carpenters menginspirasi kalian ?

Sejujurnya kami nggak pernah (setidaknya saya) merasa ngefans amat sama Carpenters, tapi setelah kami mengulik lagu-lagunya, ternyata banyak sekali lagu mereka yang sudah kami mainkan sejak kecil tanpa sadar. Banyak lagu Carpenters menjadi lagu-lagu pelajaran waktu kami les musik. Dan, Carpenters juga banyak menyanyikan lagu-lagu orang lain, termasuk lagu-lagu yang kami suka, seperti lagunya Jim Henson “Rainbow Connection”, lagunya Joe Raposo “Sing”, dan lagunya Neil Sedaka “Solitaire”. Di luar itu, lagu-lagu yang ditulis oleh Richard Carpenters-nya sendiri memang banyak yang bagus. Dan gara-gara ngulik untuk acara tempo hari, saya jadi mengapresiasi ulang kepiawaiannya menulis lagu.


Gelombang

Setelah merilis Novel Supernova #5 : Gelombang, adakah rencana untuk kembali bermusik ?

Ada, tapi saya kayaknya ingin mendahulukan menyelesaikan Supernova 6, setidaknya sampai manuskripnya selesai, baru bisa fokus ke proyek-proyek kreatif lain. Nggak bisa disambi.

Adakah plan untuk kembali mengadakan reuni bersama RSD ?

Sejauh ini belum. Kalau hanya untuk show saja sebenarnya kami terbuka, tapi memang kesempatannya belum ada.

Sejauh mana musik mempengaruhi seorang Dee untuk berkarya dalam menulis?

Sangat berpengaruh. Dan itu awalnya tidak saya sadari. Tapi semakin ke sini, saya makin sadar bahwa cara saya menulis dan menyusun kalimat itu sangat terpengaruh dengan bunyi dan tempo. Bagi saya kalimat yang dibacanya enak itu adalah kalimat yang juga enak dibunyikan, punya ritme, dan temponya pas dengan keseluruhan cerita. Feeling semacam itu saya dapatkan dari bermusik.

Siapa musisi saat ini yang menginspirasi Anda?

Saya selalu suka dengan singer/songwriter yang liriknya bagus. Dari dulu saya senangnya ya seputar Sarah McLachlan dan Indigo Girls. Yang agak baru saya suka Corrine May dan Sara Barreiles. Dari Indonesia, saya lagi suka Tulus.