Bagaimana
Dewi Lestari melihat sosial media saat ini sebagai penulis? Apakah ide tulisan
bisa muncul dari sana?
Media sosial saat ini menjadi media saya berkomunikasi
dengan pembaca. Konten media sosial saya upayakan lebih banyak ke pekerjaan
ketimbang personal, karena saya memang lebih ingin teridentifikasi dengan karya
saya daripada kehidupan pribadi. Ide tulisan pada dasarnya bisa didapat dari
mana saja, termasuk media sosial, karena isi media sosial sangat beragam, mulai
dari berita sampai gunjingan. Jadi, sama saja seperti kita berhadapan dengan
kehidupan riil. Namun, saya belum pernah mengangkat cerita khusus dari media
sosial. Kalau terbantu untuk riset, sering. Cukup sering saya melempar
pertanyaan lewat media sosial, seperti nama tempat, atau narasumber, dan cukup
sering saya terbantu.
Sekarang
ini sepertinya sedang tren penulis membuat karya secara online (seperti di Wattpad),
setelah banyak respons positif dan banyak permintaan untuk diterbitkan baru
dibuat buku fisik. Bagaimana Dewi Lestari melihat ini?
Dari sisi kreator, semua kanal yang bisa dipakai
berbagi, tentunya menjadi celah baginya berkarya. Menurut saya ini baik, karena
para kreator tidak harus lagi bergantung kepada jalur-jalur konvensional untuk
bisa berkarya dan membagikan karyanya. Jika kemudian penerbit yang mengubah
manuvernya, berburu penulis dan bukan lagi diburu, saya rasa itu adalah
perkembangan wajar mengingat kondisi di era teknologi ini. Informasi semakin
tidak bisa dibendung. Termasuk kreativitas. Perkembangan yang kita lihat
sekarang ini tak lain tak bukan adalahP demokratisasi informasi. Dan, pada
akhirnya, pembacalah yang menentukan diterima atau tidaknya sebuah karya.
Dari
seluruh karya Dewi Lestari, mana yang prosesnya paling singkat? Buku apa dan
berapa lama pembuatannya dari ide, penulisan hingga akhirnya terbit?
Yang sifatnya antologi atau kumpulan cerpen, seperti Filosofi Kopi dan Madre, biasanya perampungannya lebih singkat dibandingkan novel.
Singkat, karena sebagian besar isinya merupakan stok karya yang sudah saya
kerjakan 5 bahkan 10 tahun sebelum kumcernya terbit. Jadi, “singkat” di sini
adalah waktu yang dibutuhkan untuk penulisan beberapa karya baru. Mungkin 3-4
bulan untuk penulisan 3-4 cerita baru, dan 1-2 bulan ekstra untuk penyuntingan
keseluruhan antologi, dan 1 bulan lagi untuk produksi serta distribusi. Tapi,
jika dihitung-hitung, buku-buku kumcer saya sebagian isinya sudah ditulis
bertahun-tahun yang lampau. Akibatnya, dipandang singkat atau tidak jadi
tergantung perspektif kita melihatnya bagaimana.
Apakah
lama tidaknya proses pembuatan buku memengaruhi kepuasan penulis akan karyanya?
Sekaligus tips bagi penulis pemula yang mungkin kerap ingin segera melihat
karyanya di toko buku tapi kurang matang tulisannya.
Lama tidaknya proses pembuatan buku menurut saya tidak
berpengaruh kepada kualitas maupun kepuasan. Ada tendensi untuk kita menilai
bahwa buku yang bagus itu ditulisnya pasti lama, sementara buku yang ditulisnya
kilat itu cenderung tidak bermutu. Sebetulnya tidak sesederhana itu. Buku
sendiri wujudnya bermacam-macam. Kita tidak bisa menyamakan novelet 10.000 kata
dengan novel epik 100.000 kata, walau hasil akhirnya sama-sama jadi satu buku.
Yang mengerjakan 10.000 kata pasti akan lebih cepat daripada yang 100.000 kata,
tapi belum tentu yang 10.000 bakal lebih jelek hasilnya. Jadi, lama atau
tidaknya pengerjaan kembali kepada jenis buku apa yang hendak ditulis serta
tingkat kesulitannya, tetapi tidak berarti yang ditulis lama hasilnya bakal
berkualitas. Bisa saja lamanya itu karena ternyata tidak digarap dengan
sungguh-sungguh, disambi dengan banyak pekerjaan lain, nulisnya
berhenti-berhenti, dsb.
Matang atau tidaknya penulisan kadang tidak bisa
jernih dinilai oleh penulisnya sendiri. Yang kita tulis hari ini bisa saja kita
anggap mahakarya, tapi 10 tahun lagi sudah kita anggap sampah. Untuk penulis
pemula yang ingin berkarya, luangkanlah waktu dan sumber dayamu untuk
penyuntingan yang baik. Ada editor-editor lepasan yang bisa membantu memoles
naskah kita. Jangan cepat berpuas diri. Menulis adalah keahlian yang harus
terus digali seumur hidup. Selalu belajar. Ketika kamu membaca karya orang
lain, baca bukan cuma untuk terhibur, melainkan juga untuk sambil belajar.
Siapa
saja sih penulis yang menginspirasi Dewi Lestari? Kenapa?
Terlalu banyak untuk disebut
satu-satu. Saat ini saya sedang sangat menyukai tulisannya Yuval Noah Harari. Kemampuannya
mengolah materi, kejernihan dan ketajamannya bertutur sangat mengagumkan.