Saturday, April 4, 2020

BeritaBaik.ID | Penulis & Media Sosial | Sept, 2018 | Chaedar Ambadar


Bagaimana Dewi Lestari melihat sosial media saat ini sebagai penulis? Apakah ide tulisan bisa muncul dari sana?

Media sosial saat ini menjadi media saya berkomunikasi dengan pembaca. Konten media sosial saya upayakan lebih banyak ke pekerjaan ketimbang personal, karena saya memang lebih ingin teridentifikasi dengan karya saya daripada kehidupan pribadi. Ide tulisan pada dasarnya bisa didapat dari mana saja, termasuk media sosial, karena isi media sosial sangat beragam, mulai dari berita sampai gunjingan. Jadi, sama saja seperti kita berhadapan dengan kehidupan riil. Namun, saya belum pernah mengangkat cerita khusus dari media sosial. Kalau terbantu untuk riset, sering. Cukup sering saya melempar pertanyaan lewat media sosial, seperti nama tempat, atau narasumber, dan cukup sering saya terbantu.  


Sekarang ini sepertinya sedang tren penulis membuat karya secara online (seperti di Wattpad), setelah banyak respons positif dan banyak permintaan untuk diterbitkan baru dibuat buku fisik. Bagaimana Dewi Lestari melihat ini?

Dari sisi kreator, semua kanal yang bisa dipakai berbagi, tentunya menjadi celah baginya berkarya. Menurut saya ini baik, karena para kreator tidak harus lagi bergantung kepada jalur-jalur konvensional untuk bisa berkarya dan membagikan karyanya. Jika kemudian penerbit yang mengubah manuvernya, berburu penulis dan bukan lagi diburu, saya rasa itu adalah perkembangan wajar mengingat kondisi di era teknologi ini. Informasi semakin tidak bisa dibendung. Termasuk kreativitas. Perkembangan yang kita lihat sekarang ini tak lain tak bukan adalahP demokratisasi informasi. Dan, pada akhirnya, pembacalah yang menentukan diterima atau tidaknya sebuah karya.  

Dari seluruh karya Dewi Lestari, mana yang prosesnya paling singkat? Buku apa dan berapa lama pembuatannya dari ide, penulisan hingga akhirnya terbit?

Yang sifatnya antologi atau kumpulan cerpen, seperti Filosofi Kopi dan Madre, biasanya perampungannya lebih singkat dibandingkan novel. Singkat, karena sebagian besar isinya merupakan stok karya yang sudah saya kerjakan 5 bahkan 10 tahun sebelum kumcernya terbit. Jadi, “singkat” di sini adalah waktu yang dibutuhkan untuk penulisan beberapa karya baru. Mungkin 3-4 bulan untuk penulisan 3-4 cerita baru, dan 1-2 bulan ekstra untuk penyuntingan keseluruhan antologi, dan 1 bulan lagi untuk produksi serta distribusi. Tapi, jika dihitung-hitung, buku-buku kumcer saya sebagian isinya sudah ditulis bertahun-tahun yang lampau. Akibatnya, dipandang singkat atau tidak jadi tergantung perspektif kita melihatnya bagaimana.   


Apakah lama tidaknya proses pembuatan buku memengaruhi kepuasan penulis akan karyanya? Sekaligus tips bagi penulis pemula yang mungkin kerap ingin segera melihat karyanya di toko buku tapi kurang matang tulisannya.

Lama tidaknya proses pembuatan buku menurut saya tidak berpengaruh kepada kualitas maupun kepuasan. Ada tendensi untuk kita menilai bahwa buku yang bagus itu ditulisnya pasti lama, sementara buku yang ditulisnya kilat itu cenderung tidak bermutu. Sebetulnya tidak sesederhana itu. Buku sendiri wujudnya bermacam-macam. Kita tidak bisa menyamakan novelet 10.000 kata dengan novel epik 100.000 kata, walau hasil akhirnya sama-sama jadi satu buku. Yang mengerjakan 10.000 kata pasti akan lebih cepat daripada yang 100.000 kata, tapi belum tentu yang 10.000 bakal lebih jelek hasilnya. Jadi, lama atau tidaknya pengerjaan kembali kepada jenis buku apa yang hendak ditulis serta tingkat kesulitannya, tetapi tidak berarti yang ditulis lama hasilnya bakal berkualitas. Bisa saja lamanya itu karena ternyata tidak digarap dengan sungguh-sungguh, disambi dengan banyak pekerjaan lain, nulisnya berhenti-berhenti, dsb.
Matang atau tidaknya penulisan kadang tidak bisa jernih dinilai oleh penulisnya sendiri. Yang kita tulis hari ini bisa saja kita anggap mahakarya, tapi 10 tahun lagi sudah kita anggap sampah. Untuk penulis pemula yang ingin berkarya, luangkanlah waktu dan sumber dayamu untuk penyuntingan yang baik. Ada editor-editor lepasan yang bisa membantu memoles naskah kita. Jangan cepat berpuas diri. Menulis adalah keahlian yang harus terus digali seumur hidup. Selalu belajar. Ketika kamu membaca karya orang lain, baca bukan cuma untuk terhibur, melainkan juga untuk sambil belajar.


Siapa saja sih penulis yang menginspirasi Dewi Lestari? Kenapa?

Terlalu banyak untuk disebut satu-satu. Saat ini saya sedang sangat menyukai tulisannya Yuval Noah Harari. Kemampuannya mengolah materi, kejernihan dan ketajamannya bertutur sangat mengagumkan.