1.
Bagaimana pendapat
dan tanggapan Mbak Dee tentang
buku-buku bajakan yang banyak dijual murah, baik yang dijual secara daring
maupun biasa?
Buku
bajakan tentunya merupakan kejahatan ekonomi terhadap penulis karena dalam buku
bajakan tidak ada komponen timbal balik royalti kepada penulis, penerbit, dan
pihak-pihak lain yang bekerja keras untuk melahirkan sebuah buku. Buku bajakan murni keuntungan pembajak dan
jaringannya. Tidak ada penghargaan terhadap penulis atas karya cipta
intelektualnya. Semua buku bajakan, daring atau tidak, merugikan penulis. Di
buku bajakan, yang ada hanyalah keuntungan penjual. Bajakan daring sesungguhnya
sedikit lebih mudah karena bisa ditelusuri dan bisa ditegur. Akan lebih sulit
melakukan itu ke buku bajakan yang berada di pasar-pasar dan asongan. Tentunya
peran pembaca sangat penting di sini. Kita perlu mengedukasi pembaca untuk
menghargai hak intelektual penulis dengan tidak membeli bajakan dan mau
menabung demi buuku, jika isunya tidak mampu, ada solusi perpustakaan dan taman
bacaan.
2.
Hingga saat ini, langkah atau upaya apa
yang telah dan akan ditempuh oleh Mbak Dee dan komunitas penulis untuk menyikapi
buku-buku bajakan yang dijual murah itu di toko daring?
Saya dan
suami sempat menelusuri buku-buku bajakan saya yang dijual di lapak-lapak
daring. Kami tegur satu-satu dan kami jelaskan bahwa perbuatan mereka
merugikan. Dalam tiga hari, sekitar 50 toko akhirnya menurunkan judul-judul
buku saya. Tapi, itu baru buku saya, belum buku-buku lain. Jadi, bisa
dibayangkan upayanya jika tidak ada yang mau meluangkan waktu untuk memberi
teguran. Suami saya juga sempat mengontak para founder tiga besar pasar daring di Indonesia yang di dalamnya
banyak lapak buku bajakan. Satu sudah menyambut baik, yakni Tokopedia. Saat ini
di aturan Tokopedia sudah disebutkan larangan menjual buku bajakan. Kami
berharap pasar-pasar daring besar lainnya ikut menyusul. Jadi, jika terjadi
pelanggaran – dan saya yakin ada – setidaknya ada perangkat aturan yang bisa
dijadikan dasar. Selama ini larangan tersebut hanya disebutkan untuk produk
musik, belum buku. Sejauh ini memang
belum ada upaya menyeluruh dan serentak dari para pihak berkepentingan untuk
menindak lebih jauh perihal pembajakan buku, meski secara sporadis sudah banyak
pembicaraan yang terjadi.
3.
Menurut Mbak Dee, bagaimana pemerintah seharusnya bersikap
mengenai peredaran dan penjualan buku bajakan di pasaran? Adakah usulan?
Pembajakan
buku marak salah satunya karena pembiaran. Pemerintah harus menyiapkan aturan
dan strategi efektif untuk mencegah, meniadakan, dan minimal mempersempit ruang
gerak pembajak. Mungkin tidak semua penulis mau turun tangan menegur satu demi
satu lapak, untuk itu harus ada sumber daya yang disediakan oleh penerbit dan
pihak-pihak berkepentingan lain untuk mengawasi, menegur, dan melaporkan.
Karena terlalu lama didiamkan, akhirnya kondisi buku bajakan ini dianggap
sebagai “the new normal”. Dan, itu salah menurut saya.
4.
Menurut Mbak Dee, fenomena maraknya penjualan buku bajakan itu menunjukkan apa?
Kurangnya apresiasi maupun pemahaman kita
terhadap karya intelektual. Buku bajakan subur karena ada yang beli. Jika
alasannya buku asli itu mahal, sebenarnya ada cara lain untuk menyiasatinya.
Yang paling umum tentunya adalah meminjam ke perpustakaan atau taman bacaan.
Dan, tidak berarti juga harga buku tidak bisa diperbaiki agar lebih terjangkau.
Untuk itu, harus ada insentif dari pemerintah, misalnya dengan meniadakan PPn
buku tanpa kecuali (bukan hanya buku pendidikan dan agama), meringankan pajak
impor untuk bahan baku buku, dan juga membuat aturan yang lebih “menarik” bagi
pajak royalti penulis sebagai hulu dari industri buku agar geliat perbukuan
semakin hidup.
5.
Sebagai penulis, pesan apa yang ingin disampaikan Mbak Dee kepada masyarakat terkait
maraknya penjualan buku bajakan secara daring?
Tidak
membeli buku bajakan adalah salah satu cara terefektif untuk meredakan
pembajakan. Menabunglah demi buku, daripada membeli murah tapi sebenarnya
mematikan penulis. Jika tetap sulit, pinjamlah ke perpustakaan. Sekarang
beberapa penerbit sudah melakukan terobosan kok, seperti penerbit digital
Bookslife (yang sudah menerbitkan dua buku saya), yakni dengan menjual buku
dengan sistem per bagian (“parts”) yang per bagiannya hanya 5000 rupiah agar
terjangkau dan bisa “dicicil” bacanya oleh pembaca.