Showing posts with label Pembaca Bertanya. Show all posts
Showing posts with label Pembaca Bertanya. Show all posts

Wednesday, February 17, 2016

KOMPAS | Kompas Kita: Q&A Dee Lestari | Mei, 2015 | by Susie Berindra


Sudah lama Dee menuangkan ide lewat cerita dan juga lagu. Jika harus memilih, manakah yang paling memuaskan bagi Dee? - Anggun Gita Sari

Saya juga punya kebutuhan berbeda untuk setiap pendekatan bercerita. Bagi saya fiksi dan lagu itu komplementer sifatnya, tidak saling menggantikan. Kepuasan yang dihasilkan masing-masing format juga berbeda, meski pada intinya sama-sama bercerita.

Apakah ada misi khusus Dee dibalik penulisan Supernova sampai 5 jilid dan bahkan akan menerbitkan lagi yang keenam? Sejak awal sudah direncanakan Supernova akan sampai 6 jilid? - Iko Boangmanalu

Sudah direncanakan dari awal. Misinya sederhana: menyelesaikan cerita. Supernova episode pertama hanya sepotong dari keseluruhan cerita dalam kepala saya.

Apa yang menjadi resep Dee selalu produktif berkarya, baik itu dalam literasi atau musik? Lalu syarat apa yang mesti dipenuhi agar sebuah karya dapat diterima masyarakat? Bagus Setyoko Purwo

Tujuan saya berkarya semata-mata karena banyak yang ingin saya ungkapkan. Mungkin kalau sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, baru saya berhenti. Saya rasa tidak ada syarat khusus agar karya kita diterima masyarakat, yang jelas karya yang disukai adalah karya yang mampu menciptakan ikatan dengan penikmatnya.

Sebagai penulis, pernahkan Anda  mengalami kebuntuan ide? Lalu bagaimana cara mengatasinya? Christina M

Kebuntuan yang ringan cukup diatasi dengan hal-hal yang sederhana, seperti istirahat, mandi, atau baca buku. Kalau cerita stagnan berkepanjangan, biasanya perlu dirombak secara teknis. Elemen fiksinya dikaji ulang dan diganti, bahkan ditulis ulang.

Bermusik dan menulis adalah kanal untuk berekspresi, itu yang saya baca dalam sebuah artikel ttg Mbak Dee. "Ritual" seperti apa sih yang selalu dilakukan untuk mendapatkan ekspresi yang mendalam saat bercerita lewat novel? Apa secangkir kopi punya "dongeng" tersendiri yg mempengaruhi setiap karya Mbak Dee Lestari? – Uniqa Wardhani

Tidak ada ritual khusus selain disiplin mendedikasikan waktu dan fokus sampai proyeknya selesai. Bekerja dengan takaran yang terhitung dan punya deadline. Kadang ditemani kopi, kadang tidak. Saya berusaha tidak fanatik pada satu ritual khusus karena saya tidak ingin menciptakan ketergantungan yang merepotkan. Kalau nggak ada kopi lalu jadi nggak bisa kerja, kan repot jadinya.

Kira-kira apa yang menginspirasi Dee sehingga film Filosofi Kopi berhasil ditayangkan? Apakah ada tokoh sehingga membuat Dee terinspirasi untuk membuat film tersebut? – Hesrianus Cengga
              
Keberhasilan Filosofi Kopi sebagai film adalah hasil kerja keras tim dari Visinema. Saya hanya melepas hak adaptasi dan membantu pembangunan cerita pada tahap awal. Cerpen Filosofi Kopi sudah saya tulis lama sekali, dari tahun 1996. Saya tidak membasiskannya pada siapa-siapa. Hanya ingin membuat cerita seputar kopi, itu saja.

Sejak kapan Anda menekuni aktivitas menulis? Apa motivasi Anda terjun ke dunia literasi? – Ardiansyah Bagus Suryanto

Sebagai hobi, dari kecil. Dari usia 9 tahun saya sudah mulai mencoba menulis cerita panjang. Secara profesional, baru tahun 2001 ketika Supernova terbit. Saya menulis karena saya merasa tema-tema yang saya suka belum banyak ditemukan di pustaka Indonesia. Pada dasarnya saya menulis apa yang saya ingin baca.

Membuat tulisan bertema science fiction tidaklah mudah. Kendala apa saja yang muncul ketika menulis? – Dwi Atika Sari

Intinya, membuat novel memang tidak mudah. Kita harus punya komitmen, intuisi bercerita, paham struktur dan menguasai teknik menulis. Mau itu science fiction atau chick lit, akan susah kalau penulisnya tidak punya minat kuat atas apa yang ia tulis. Selama penulisnya suka dan tertarik dengan tema tulisannya, ia akan menggali dengan semangat. Kesulitan utama menulis bukan di tema, tapi bagaimana bercerita sebaik dan sejernih mungkin.

Dee, walaupun hanya bisa berjumpa lewat tulisan ini, aku ingin menyampaikan bahwa aku apreciate dengan karya-karyamu. Kamu telah merampas tiga malamku untuk menyelesaikan tiga karyamu! Melalui media Kompas Kita ini, aku mau bertanya kepadamu, passion apa yang paling membuatmu berkarya sampai saat ini? Sekaligus apa yang Dee lakukan untuk menjaganya tetap ada dan membara? – Jois Efendi

Terima kasih untuk apresiasinya. Banyak ide dalam kepala saya. Medium yang saya suka adalah lagu dan tulisan. Keduanya adalah skill yang menarik dan menantang. Setiap karya adalah ajang saya untuk belajar dan melepas ide-ide dalam kepala saya.

Saat ini semakin banyak para penulis novel seperti Dee yang saling berebut untuk memenangkan hati para pembaca. Bagaimana Dee menanggapi hal ini, apa saja yang dilakukan Dee agar karya Dee dapat mendapat tempat di hati para pembaca untuk selalu menunggu karya-karya Dee selanjutnya? – Nurus Syarifah

Berusaha memuaskan pembaca adalah motivasi berbahaya bagi penulis. Pertama, karena kita tidak mungkin memuaskan semua orang. Kedua, kita kehilangan otensisitas atas apa yang menurut kita paling penting. Tulislah apa yang bagi kita penting, mendesak, menggemaskan. Dan, tulislah sebaik dan sejernih yang kita bisa. Itu saja resep saya.  

Saya baru baca Filosofi Kopi dan Madre. Dulu baca Supernova (Akar) tapi nggak ngeh dan pusing, hehe. Kapan bikin novel true story tentang Tuhan versi Dee yang teologinya kayaknya ‘timur’ banget? Atau tentang kehidupan pribadi Dee bagaimana kegetiran perceraian dan tentang anak-anak, atau cerita-cerita tentang riak-riak kehidupan di rumah? – Amin Nurrokhman

Belum tahu. Sekarang belum tergerak.

Saya sangat antusias membaca karya Mbak. Madre, Filosofi Kopi, adalah salah satu kegemaran saya. Materinya ringan tapi sarat dengan makna. Yang ingin saya tanyakan, pertama, apa arti menulis buat Mbak? Kedua, apakah Mbak merasakan apa yang Mbak tulis? – Nordin                   

Menulis bagi saya adalah seni menyampaikan ide. Merasakan dalam arti emosi, tentu pernah. Kalau saya menulis tentang hal yang sedih tapi tidak ikut merasakan kesedihannya, berarti tulisan itu belum berhasil.  

Apakah ide dari cerita yang Dee tuangkan dalam novel merupakan ide murni dari pemikiran Dee sendiri ataukah ditambah ide yang telah ada di novel kebanyakan? Saya juga sering mendapatkan ide untuk cerita tetapi ketika dituangkan rasanya sulit sekali. Pernahkah Dee mengalami hal seperti itu dan bagaimana solusinya? – Dharmana Dhini Cipta Telaga

Yang saya tulis selalu kombinasi dari imajinasi, hasil pengamatan, hasil pengalaman. Termasuk mungkin di dalamnya buku-buku yang pernah saya baca. Kesulitan menuangkan ide biasanya karena kurang latihan dan jam terbang, begitu sering dilakukan, kita akan tahu sendiri tekniknya.  

Adakah di antara karya Dee, baik buku maupun lagu, yang merupakan pengalaman pribadi Mbak Dewi? Saya mengusulkan bagaimana kalau yang menjadi tokoh utama dalam layar lebarnya adalah Mbak sendiri. – Zenny Anaria

Kalau pun ada pengalaman pribadi, biasanya sudah tercampur unsur lain. Saya belum pernah berkarya yang sifatnya otobiografis. Untuk menjadi tokoh utama dalam layar lebar, sejauh ini belum terpikir dan belum tertarik. 

Bagi saya novel-novel Mbak Dee adalah sebuah alternatif. Alternatif dari miskinnya gagasan di Indonesia kontemporer. Saat ini adalah eranya pragmatisme, materialisme, dan budaya instan. Jadi, novel, juga film yang diadaptasi dari novel Mbak Dee-lah jawaban atas budaya yang diusung dunia modern tadi. Saya berharap Mbak Dee terus menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk novel. Pertanyaan buat Mbak Dee, apa pendapatnya tentang kemalasan berpikir, budaya baca yang rendah, dan tradisi menulis yang belum mengakar dalam masyarakat Indonesia saat ini? – Darwinto

Terima kasih atas apresiasinya. Kalau kita bicara kultur, tentu kita bicara proses ratusan tahun, dan untuk membalikkannya tidak bisa dalam waktu singkat. Kita bisa menjadi agen perubahan dengan ikut aktif menjadi pelaku komunitas baca dan tulis. Mulai dari diri sendiri dan keluarga sendiri, misalnya. Setelah itu kita bisa melangkah lebih jauh dengan berkarya, bisa lewat blogging atau tulisan singkat. Dari level pemerintah juga banyak kebijakan yang bisa diberlakukan, salah satunya adalah bagaimana pemerintah bisa memproduksi buku lebih murah, mendorong penerjemahan, dan meningkatkan jumlah perpustakaan. 

Setiap penulis mempunyai diferensiasi pada karyanya, dan diferensiasi karya Dee ada pada tema yang selalu mengusung pencarian jati diri. Bagaimana defferensiasi itu awalnya terjadi? Apakah sengaja dibuat untuk membedakan karya Dee dgn karya-karya lain, atau ada dengan sendirinya? – Muh Turmudi              

Setiap penulis umumnya umumnya berkarya diawali oleh kegelisahan. Kegelisahan itu tidak bisa “diatur”. Segala bentukan lingkungan dan konstruksi batin seseorang akan memicu adanya kegelisahan yang kemudian diburu lewat mempertanyakan, lewat ekspresi seni, lewat kreasi, dan seterusnya. Kegelisahan saya yang terbesar memang sejak dulu berpusat di aspek spiritualitas.

Siapa sajakah yang menjadi inspirasi Dee dalam menulis novel ? – Laras Kusumaningtyas

Saya mengamati banyak orang, dan biasanya orang-orang yang saya temui bercampur menjadi karakter. Saking banyaknya saya tidak bisa lagi menyebutkan satu-satu.

Saya penasaran, dari mana nama pena "Dee" itu, serta apakah ada makna terselip di dalamnya? Bagaimana Dee menjalani multiperannya, yaitu ibu, penulis, penulis lagu, penyanyi? Mengalir saja, ataukah ada manajemen waktu sedemikian rupa sehingga tetap dapat menjalankan tugas di dalam rumah sekaligus menjalankan karier-kariernya? – Hesty Puji Rahayu

Waktu kuliah dulu, saya pakai ransel dengan inisial “D”. Sejak itu mulai suka dipanggil “D” (Dee) oleh beberapa orang. Saya senang dengan sebutan itu karena simpel. Menjalani multiperan mengalir saja dengan banyak trial and error, tentunya. Yang menantang adalah bagaimana menyusun prioritas dari waktu ke waktu, dan konsisten menjalaninya. Misal, ketika saya sudah harus intensif menulis, saya harus berani menolak banyak tawaran pekerjaan dan proyek kreatif lain, sebab waktu saya untuk rumah dan keluarga juga sudah memakan besar porsi hari-hari saya. Kalau saya ambil semuanya, pasti ada yang keteteran. Saya tidak ingin keluarga saya jadi korban hanya karena saya mengejar karier. Waktu 24 jam sehari tidak bisa ditambah, jadi saya harus memaksimalkan ketersediaan waktu yang ada.

Dee dan Arina (Mocca) kan adik kakak kandung, bagaimana bisa jadi figur yang keduanya penuh karya dan menginspirasi? Kalau boleh tahu bagaimana kebiasaan didikan keluarga sehingga bisa menjadi figur yang menginspirasi banyak orang? – Nida Hadaina Farida

Ketika kami kecil, kami tidak terpikir untuk bercita-cita jadi seniman. Tapi hidup kami sehari-hari memang sudah dipadati kegiatan seni, dari main musik, nyanyi, menggambar, dan sebagainya. Orang tua kami sangat mengutamakan soal akademis, dan itu jadi syarat untuk kami tetap meneruskan hobi seni. Di sisi lain, orang tua kami juga sangat suportif. Kami semua diberi kesempatan les musik. Rumah kami menjadi markas besar untuk kegiatan musik, latihan paduan suara sekolah, gereja, vokal group, band, dan lain-lain. Jadi, kegiatan berkesenian itu sudah seperti atmosfer tetap di rumah kami.

Sunday, December 21, 2014

Komunitas Kastil Fantasi | Supernova PARTIKEL | Juli, 2012 | by Dian Kartawiria


Sewaktu dulu pertama kali menulis serial Supernova, apa yang ada di bayangan Dee mengenai serial ini? Apa ekspektasi Dee terhadap serial ini sewaktu pertama kali ditulis? 

Singkat kata, berbagi apa yang menjadi ketertarikan sekaligus penelusuran pribadi saya. Magnet utama saya dalam menulis adalah spiritualitas. Tema tentang pencarian jati diri dan kontemplasi akan makna kehidupan, keilahian, dan cinta, adalah sesuatu yang menarik buat saya. Dan saya ingin berbagi itu. Tidak ada ekspektasi saat kali pertama menerbitkan Supernova, sejujurnya saya menulis Supernova hanya untuk menghadiahi diri sendiri kado ulang tahun ke-25. Ada yang baca syukur, enggak juga nggak apa-apa. 

Apakah ada pesan khusus yang ingin disampaikan Dee melalui Supernova Partikel? Pesan moral, misalnya? 

Saya bukan penulis yang suka dengan pesan moral. Saya tidak suka bacaan yang disisipi pesan-pesan moral. Saya suka bacaan yang membuat orang terusik, bertanya, mencari, merenung, dan bukan pasif menerima. Demikian juga ketika saya menulis Supernova, termasuk Partikel, saya tidak berniat memberikan pesan moral, melainkan mengungkapkan banyak pertanyaan tentang asal-usul manusia, relasi manusia dengan lingkungan, dan seterusnya. Bagaimana pembaca menyikapinya, menurut saya itu akan tergantung keingintahuan mereka sendiri, dan saya tidak punya kendali atasnya. 

Siapa karakter terfavorit Dee di Supernova Partikel? Adegan/plot apa yang jadi terfavorit Dee di buku itu? 

Firas. Dia mewakili orang-orang yang terpinggirkan di masyarakat, yang karena kecerdasan dan rasa ingin tahunya, mengakibatkan ia menjadi sosok yang tidak konvensional, akibatnya ia terlihat begitu kontras dengan lingkungannya. Saya juga sangat menyukai Zachary Nolan, ia adalah sosok yang bisa menjadi sahabat saya di dunia nyata. Adegan yang sangat meninggalkan kesan bagi saya adalah kelahiran Adek. Adegan itu sangat mencekam saya, dan itulah kali pertama saya meneteskan air mata dalam proses menulis Partikel. 

Apakah Sarah adalah tokoh fiktif? 

Iya. 

Saya dengar Bukit Jambul terinspirasi setelah Dee menonton Tintin, benarkah? 

Sama sekali tidak. Dengar dari mana, ya? Bukit Jambul secara fisik saya ambil dari sebuah bukit yang sering saya lewati di perjalanan Bandung-Jakarta. Di kilometer 90-an Tol Cipularang, ada sebuah bukit yang berbeda sendiri dari bukit-bukit sekitarnya. Pohonnya tua dan besar-besar. Saya sering mengamati dan penasaran, bagaimana bisa dia beda sendiri? Kenapa tidak dijadikan ladang seperti bukit sekitarnya? Lalu, saya menamainya dalam hati: Bukit Jambul. Itulah yang kemudian saya ambil. Sementara untuk fenomena Bukit Jambul di dalam Partikel itu sih murni imajinasi, saya ciptakan untuk kebutuhan plot. 

Selain menulis, apa kegiatan sehari-hari Dee yang lain sekarang ini? Bagaimana cara Dee membagi waktu untuk menulis? Apa ada tips mengenai ini untuk teman-teman yang ingin mulai menulis juga? 

Sekarang saya sedang nggak menulis. Saya malah sedang beristirahat. Memberikan benak saya rihat setelah menulis intensif hampir setahun. Jeda seperti ini bagi saya penting. Seperti baru melahirkan anak, fisik kita pun harus istirahat total dulu agar bisa pulih seperti sediakala. Demikian juga yang selalu saya lakukan sehabis menulis buku. Saat ini saya sedang menjalankan tur booksigning keliling Indonesia. Ada 15 event yang akan berjalan hingga bulan September. Sekarang baru setengahnya.
Tidak ada tips khusus untuk membagi waktu. Saya pun menjalaninya dengan trial and error. Punya deadline akan sangat membantu kita agar disiplin dan punya target waktu yang jelas. Setelah ada deadline, manajemen waktu akan terbentuk dengan sendirinya. Ada yang mungkin menulis harian, atau menulis tiap akhir pekan, bebas saja. Sesuaikan dengan ritme dan aktivitas harian kita. Saya sendiri menggunakan patokan jumlah halaman. Ada jumlah tertentu yang harus saya penuhi setiap harinya. 

Apa proyek menulis Dee setelah Supernova Partikel? Apakah sekarang tengah melanjutkan ke Gelombang atau mungkin sedang mengerjakan buku lain? 

Langsung Gelombang. Target saya sekarang adalah menyelesaikan serial Supernova. Jadi, saya tidak mengambil proyek menulis apa pun hingga Supernova selesai. Dan bukan cuma proyek menulis saja, biasanya saya rihat total dari berbagai pekerjaan non-menulis, termasuk talkshow, promosi, dll. Benar-benar saya seleksi dan sedikit sekali yang saya ambil.


Pertanyaan dari Fred, pembaca di Jakarta:

Saya beranggapan kalau perubahan gaya kepenulisan di tiap-tiap buku serial Supernova adalah karena sengaja menyesuaikan dengan gaya narasi tokoh utama yang menjadi sentral dalam tiap-tiap buku, misalnya Partikel ditulis dalam gaya narasi Zarah, Petir bergaya narasi Elektra, dst. Apa pendapat Dee tentang hal ini? 

Pengamatan yang sangat tepat. Untuk konsep serial Supernova, dan gaya penulisan saya secara umum, adalah berserah pada karakter. Mereka yang maju. Bukan saya. Dan konsekuensinya adalah, saya bercerita lewat suara mereka, gaya mereka, preferensi mereka. Bukan Dewi Lestari. Makanya setiap episode berbeda-beda. 

Kalau boleh tahu, kenapa Petir tidak mendapatkan surat dari Supernova, ya? 

Masih rahasia. Akan diungkap belakangan. Ditunggu saja. 

Ketika mencari referensi untuk tulisan-tulisan fiksi, sumber dari mana yang paling menjadi favorit Dee? Apakah ada contoh sumber yang menurut Dee paling/sangat menarik atau informatif sehingga sampai saat ini masih teringat selalu? (Misalnya: dari internet, yang masih teringat adalah website “ABCD”; atau dari buku-buku referensi, yang masih teringat judulnya “XYZ”) 

Metode favorit saya adalah wawancara dan observasi langsung ke lapangan. Baru riset pustaka. Namun, tidak banyak juga kesempatan wawancara atau observasi langsung yang saya miliki. Akhirnya, hampir semua riset yang saya lakukan, khususnya Partikel, adalah melalui riset pustaka. Yang juga sangat membantu adalah menonton video, belakangan itu yang saya sering lakukan. Karena kita tidak cuma membaca data, tapi melihat wujud visualnya, jadi nuansanya lebih kaya. Salah satu yang paling berkesan selama riset Partikel adalah ketika saya bertemu dengan karya-karyanya Paul Stamets tentang fungi, dan juga menonton video-video presentasinya. Selain itu, bisa berkenalan dengan Dr. Birute Galdikas yang bukunya benar-benar menjadi panduan saya untuk menuliskan babak Tanjung Puting.

Pertanyaan dari Michael, pembaca di Jakarta:

Menurut Dee, genre Supernova ini apa? 

Tidak tahu. Bagi saya, fiksi atau sastra saja sudah cukup. Saya sendiri tidak terlalu sependapat jika Supernova disebut sci-fi. Benang merah serial Supernova bukan terletak pada sains-nya. Buktinya, di Akar dan Petir, hal tersebut hampir tidak muncul. Yang menjadi benang merah justru penelusuran spiritualnya. Tapi saya merasa, orang-orang menyebutnya sci-fi sebagai simplifikasi saja, atau pengamatan parsial berdasarkan beberapa episode Supernova saja. 

Adakah penulis atau buku tertentu yang mempengaruhi penulisan Supernova Partikel? 

Untuk Partikel saya lebih banyak membaca buku nonfiksi, untuk keperluan riset. Jumlahnya banyak, tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Antara lain adalah karya-karyanya Graham Hancock, Andrew Collins, Paul Stamets, Birute Galdikas, Albert Hoffman, Daniel Pinchbek, dst. Sudah saya tulis di Kata Pengantar. Secara penulisan, tidak ada yang spesifik. Namun, saya banyak belajar dari beberapa novel luar genre suspense, saya mengamati cara mereka menyusun plot. Sedikit banyak itu mempengaruhi saya dalam penulisan Partikel.

Saat ini, Dee sangat dipengaruhi oleh penulis siapa? 

Fiksi, maksudnya? Tidak ada yang jelas. Karena jarang baca fiksi, saya tidak bisa menunjuk penulis atau buku yang saat ini sangat berpengaruh untuk saya. Nonfiksi sih, banyak. Antara lain yang tadi sudah saya sebutkan di atas. "Dipengaruhi" di sini maknanya adalah saya tertarik dengan apa yang mereka ungkapkan dalam karyanya.

Wednesday, December 17, 2014

Kawanku | Pembaca Bertanya | Oktober, 2009 | by Ruth Davina


Mala/16 tahun/XI/SMA Unggul Setia Bhakti 
Mbak Dee, gimana sih caranya ngembaliin mood buat nulis saat kita bosen?

Kalau saya pribadi biasanya melakukan kegiatan lain di luar dari menulis. Menjalankan hobi yang lain, misalnya. Membaca buku yang kita suka juga biasanya membantu.

Fandita/17/XII/SMAN 1 Solo 
Mbak, gimana sih caranya biar novel kita diterbitin?

Tidak ada yang bisa menjamin buku kita bakal diterbitkan ataupun laku. Jadi, nggak ada rumus yang baku untuk itu. Yang jelas, setelah naskah kita jadi, kita sebaiknya mencari penerbit yang memang tepat. Artinya, penerbit yang memang menerbitkan genre buku yang sesuai dengan karya kita. Siapkan naskah dengan kualitas baik dan rapi. Kalau terlalu mentah, orang juga pasti malas bacanya, apalagi penerbit kan bisa menerima puluhan naskah setiap harinya.

Rayi/17/Semester 1 Universitas Kristen Satya Wacana 
Mbak, gimana cara bikin novel yang ‘hidup’ ceritanya? Thanks, ya.

Patokan saya: kalau saya pribadi bisa excited, bisa larut, bisa hanyut, dan bisa geregetan sendiri saat menuliskannya.

Clara/16/XII/SMAN 3 Gorontalo 
Kak, kadang ada merasa aku punya seribu ide buat nulis. Tapi pas ditulis, tiba-tiba ide itu hilang begitu saja. Apakah Kakak pernah merasakan hal yang sama? Terus gimana dong biar ide-ide yang bermunculan itu bisa berhasil aku jadiin karya?

Iya, pernah. Selain menangkap ide, kita juga perlu berlatih mewujudkan ide. Tapi, kita juga perlu mengerti bahwa nggak semua ide bakal jadi sesuatu. Jadi, kita harus belajar berpasrah juga. Coba aja ke mana-mana bawa notepad, begitu ada ide langsung tulis. Jadi nggak hilang. Nanti kalau kamu mau nulis, kamu bisa lihat catatan itu dan siapa tahu aja ada ide yang terpakai, walaupun nggak sebanyak yang kamu catat.

Cindy/14/IX/SMPN 1 Kediri 
Mbak Dee, kasih tips dong gimana cara bikin opening sebuah cerita. Soalnya kadang aku bingung gimana mengawali suatu cerita padahal inti ceritanya sudah ketemu…

Opening sebuah cerita haruslah menggugah dan nggak klise. Selalu mencoba dari perspektif yang nggak biasa. Banyak-banyak baca referensi cerita/buku yang kamu sukai dan pelajari gaya penulisnya, siapa tahu kamu bisa dapat inspirasi dari sana.

Wiwid/14/IX SMP 3 Pontianak 
Pernah enggak Mbak Dee dapat ide baru untuk nulis cerita lain di tengah-tengah cerita yang sedang Mbak tulis? Kalau sudah begitu Mbak Dee bakal bikin cerita baru dan ninggalin yang lama, atau gimana, Mbak?

Sering. Dan itu hal yang biasa. Dalam menulis itu kita harus siap dengan segala perubahan yang terjadi, karena bisa saja proses kreatifnya tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Namun, di sanalah justru magisnya yang namanya proses kreatif.

Iris/17/XII SMANSA Semarang 
Kak, bagi tips dong. Gimana caranya menuangkan ide yang sudah muter-muter di kepala, tapi enggak bisa kita tuangkan menjadi kata-kata yang bagus? Terus apa yang harus kita lakukan biar ide itu enggak hilang begitu saja. Makasih, ya.

Dicatat aja sebagai ide di sebuah buku khusus. Namakan saja “Buku Kumpulan Ide”. Jadi, walaupun belum tentu terpakai, minimal ide yang udah mutar-mutar di kepala kamu itu nggak hilang.

Lusiana/17/XII/SMAN 1 Jember 
Mbak nulis novel mulai kelas berapa? Dulu pas awal awal mau nerbitin juga susah diterima penerbit, nggak?

Saya nulis cerita secara serius itu pertama kali waktu kelas 5 SD, tapi cuma buat disimpan sendiri. Baru mulai bikin cerpen/novel waktu SMA. Awal saya menulis buku, saya menerbitkannya sendiri. Jadi, waktu itu nggak menemukan tantangan / kondisi di mana saya harus minta tolong ke penerbit untuk mempublikasi karya saya.

Indri/18/Semester 1 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Halo Kak Dewi, saya suka banget buku kakak yang berjudul Rectoverso. Saya terkesan, bagaimana kakak bisa membuat sebuh cerita yang alurnya berkaitan dengan sebuah lagu? Terus, karakter di Rectoverso itu kan unik, dari mana kakak bisa dapet inspirasi untuk menciptakan karakter-karakter tersebut?

Khusus untuk Rectoverso, saya memulainya dari lirik dulu baru kemudian cerita dalam lagunya ‘dilebarkan’ menjadi cerpen. Ibaratnya, lensa kita diperluas sehingga pemandangan yang kita lihat lebih banyak lagi. Apa yang ada di lirik menjadi lebih punya banyak sisi. Karakter dalam Rectoverso, sih, saya ciptakan sesuai dengan kebutuhan cerita saja.

Nurul/17/XII/SMAN 4 Banda Aceh 
Kak, ada rencana mau ngeluarin novel lagi, nggak?

Yang baru keluar judulnya Perahu Kertas.

Grace/16/XII/Santa Maria 3 Cimahi 
Apakah setiap kali Kakak punya inspirasi langsung buru-buru menuliskannya? Maksudnya, langsung dirangkai jadi sebuah ceritakah? Atau ditampung dulu sebanyak-banyaknya? Kalau iya, apakah itu berarti selalu ada pensil atau laptop di dalam tas Kakak?

Biasanya ditampung dulu. Tapi tergantung ‘kekuatan’ idenya juga. Kadang-kadang ada ide yang saking kuatnya, saya nggak bisa menunda lagi, rasanya kepingin langsung dituliskan. Jadi nggak ada kondisi general. Ke mana-mana saya memang selalu bawa laptop, tapi kalau ada ide dan kebetulan saya nggak lagi nggak pakai laptop, biasanya dituliskan manual aja pakai kertas dan pulpen.

Queen/ 16/2 IPA/SMU Strada St. Thomas Aquino, Tangerang 
Kok Kakak bisa tertarik bikin novel science fiction? Kan jarang, tuh…

Hmm. Dalam science fiction ada manipulasi realitas berdasarkan sains, dalam Supernova (KPBJ) hal itu nggak ada. Realitasnya biasa-biasa saja, tapi ada karakter yang diceritakan menyukai sains dan banyak mengungkapkan sains dalam porsinya bercerita. Itu saja.

Irma/17/XII/SMKN 2 Balikpapan 
Kalau Kak Dee boleh minta apa pun, apa yang bakal Kak Dee kasih buat orang yang paling Kakak sayang?

Saya akan memberi waktu dan perhatian saya, sepenuh-penuhnya.

Dinta/13/SMPN 1 Jogja 
Kakak dapat inspirasi dari mana, sih? Kok bukunya selalu bagus-bagus? 

Dari mengamati kehidupan di sekitar saya aja, dan menuliskan apa yang saya suka. Pada prinsipnya, tulisan yang paling baik adalah tulisan yang temanya memang paling dekat dengan hati dan minat kita.

Jesslyn/17/kelas XII SMAN Ipeka Jakarta 
Kak, di buku Rectoverso, foto-fotonya tuh hasil foto Kakak sendiri, ya? Keren banget, lho!

Bukan. Untuk semua gambar, foto, dan urusan grafis lainnya dalam Rectoverso, dibuat oleh tim khusus bernama Kebun Angan. Keterangan tentang mereka ada di buku Rectoverso dan di web.

Saturday, December 13, 2014

Bookopedia | Pertanyaan dari Pembaca | Maret, 2012

@felicia_hana: Bagaimana cara nulis dengan pemilihan kata yang minim tapi feelnya bisa terasa dan bikin orang senyum/nangis? 

Pertama, karakter tersebut harus merasuk dulu ke dalam batin kita. Jadi kita menulis dari sudut pandangnya, bukan semata2 sudut pandang kita pribadi. Kalau kita ikut senyum/nangis, kemungkinan besar pembaca juga akan merasa begitu. Jadi, kita sebagai penulis harus ikut hanyut. Pemilihan kata yg efektif terbentuk dari latihan, dari editing, hingga lama-lama jadi kebiasaan/skill.  

@DeltaYordani: Adakah keinginan untuk membuat suatu tempat/organisasi untuk membuat anak-anak indonesia gemar baca? 

Saat ini belum. Dan untuk yang gemar baca sudah cukup banyak organisasi/individu yang membuat wadahnya. Pelatihan menulis masih sedikit. Tapi saya belum punya cukup keleluasaan waktu dan fokus untuk membuat wadahnya. 

@tottilicious79: Buku mana yang penulisannya paling menguras energi dan emosi? 

Supernova 4, Partikel. Sejauh ini, ya. Nanti-nanti nggak tahu :) 

@YolandaHul: Bagaimana cara supaya mood buat nulis lagi, di saat kita malas nulis? 

Bikin deadline. Kalau sudah merasakan menulis dan diterbitkan, kita akan tahu sendiri bahwa mood tidak menjadi prasyarat mutlak untuk bisa menulis. Yg menjadi penggerak mutlak adalah ketika kita HARUS menulis. Kalau belum ada pihak yang memberi deadline, bikinlah sendiri, dan coba patuhi. 

@RMDalvin: Ada minat buat novel horor atau thriller, nggak? Terus berkarya dalam karya tulis atau ingin pindah ke yg lain? 

Untuk genre horor dan thriller, jujur saya belum kepikir. Mungkin karena minat saya memang bukan di sana. Genre lain yang mungkin saya jelajahi adalah nonfiksi dan buku anak.  

@Amel4thegunner: Pernah mengalami jatuh bangun selama menjadi penulis? Pernah punya keinginan ‘duet’ nulis sama penulis luar, kalau iya, sama siapa? 

Jatuh bangun amat sering. Sepertinya seluruh perjalanan karier menulis terbentuk dari yang namanya jatuh bangun. Duet penulis susah diwujudkan, karena itu seperti menggabungkan dua semesta tanpa konduktor. Beda dengan duet musik. Ada produser yang menengahi. Sejauh ini saya nggak punya cita-cita ke arah sana. 

@esvandiarisant: Andaikan Tuhan mengambil kemampuanmu menulis, apa yang akan kamu lakukan? 

Tetap hidup. Entah jadi apa, but I'll survive. 

@destiimnida: Setelah Perahu Kertas, cerita apa lagi yang mau diangkat ke layar lebar? 

Rectoverso, Filosofi Kopi, dan ada beberapa kemungkinan judul lain, tapi belum bisa saya kasih tahu. 

@NanaGensai_asl @FhilyAnastasya @arsachputri: Apa kiat-kiat untuk menjadi seorang penulis yang hebat sperti Mbak? Punya tips buat penulis pemula yang nggak pede ngirim karyanya ke penerbit atau self-publishing? 

Sering berlatih, sering gagal, dan tidak jera mencoba lagi. Nggak pede hanya bisa disembuhkan oleh yang bersangkutan. Self-publishing saat ini sangat dimungkinkan, yang penting punya modal. Sekarang sudah ada wadah seperti @NulisBuku yang memungkinkan para penulis menerbitkan sendiri. Bikin jalur sendiri juga bisa. Kuncinya, punya modal dan siap kerja keras.  

@hyukiein: Bagi Kakak lebih enak jadi penyanyi atau penulis, sih? 

Sejauh ini lebih enak jadi penulis. Saya bisa kerja dari rumah, nggak perlu make-up, nggak perlu hair-do, nggak perlu stand-by seharian nunggu syuting/manggung. Dan menulis adalah profesi yang nggak kenal umur. Sampai tua saya bisa terus produktif. 

@arsachputri: Gimana sih Mbak menciptakan karakter yg menarik kayak Kugy di Perahu Kertas? Gimana caranya supaya novel/cerpen endingnya nggak ketebak sama pembaca, Mbak? 

Karakter adalah segalanya. Kalau tidak bisa membuat karakter yang menarik dan mengikat, kemungkinan besar cerita tersebut akan gagal. Menyusun plot itu seperti exercise. Kita susun seperti puzzle. Yang lebih penting sebetulnya bukan nggak ketebak, tapi menarik. Bisa ditebak asal bagus juga nggak apa-apa, daripada nggak ketebak dan tidak bagus. 

@samunifu: Punya pengalaman apa yang tidak terlupakan tentang “janji”? 

Saat ini nggak ada yang ingat. 

@lucylucuu  @erma_pd @rabiaedra @diraasjingga: Adakah penulis idola kamu? Siapa? Apa alasannya? Apa/siapa inspirasi/inspirator terbesar Dee? 

Kalau dari sosok penulis sih nggak ada. Inspirasi terbesar saya adalah alam ini sendiri. Tidak ada inspirator tunggal. 

@T_jacks17: Mengapa Anda memilih Madre sebagai judul buku di karya ketujuh Anda? 

Karena Madre dari segi kuantitas halaman adalah cerita yang paling mendominasi dari kumpulan cerita tersebut.   

@mygsftri: Menurut Kakak menulis itu apa, sih? 

Salah satu cara homosapien berkomunikasi.