Di zaman serba digital ini
banyak kekhawatiran terjadi pasalnya sejumlah toko buku akhirnya tutup karena
perubahan perilaku masyarakat. Bagaimana Dee melihat kondisi ini? Beberapa
penerbit buku sudah mati, tapi menurut IKAPI minat baca masyarakat Indonesia
justru semakin meningkat. Menurut Dee mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Perubahan
tren pasar berbelanja buku secara online, dalam pengamatan saya, sebetulnya
hanya mengubah outlet fisik menjadi outlet digital, tapi minat baca maupun
ketertarikan masyarakat terhadap bacaan belum tentu ikut mati dengan matinya
beberapa toko buku fisik. Tutupnya banyak rantai toko buku fisik besar di
Amerika misalnya, tetap saja dibarengi dengan peningkatan volume penjualan buku
secara keseluruhan. Artinya, bukan penjualan bukunya yang turun, outletnya yang
berubah. Itu terefleksikan juga pada bisnis retail, bukan daya beli masyarakat
yang menurun dengan tutupnya banyak department store, hanya masyarakat lebih
cenderung membeli online.
Untuk
penerbit kurang lebih serupa kondisinya. Karena penerbit banyak bergantung
kepada outlet fisik dan memproduksi buku secara fisik, sementara rabat dari
toko buku terus meningkat dan bahan baku produksi buku semakin mahal. Tentu
tidak mudah untuk menghidupkan bisnis jika judul-judul bukunya tidak laku.
Jadi, dalam hal ini hukum pasar yang mendasar tetap berlaku, entah bukunya yang
harus laris, bisnisnya harus lebih ramping, mencari alternatif penjualan yang
lebih bisa menghemat profit, atau gabungan semua itu.
Sementara,
sebagai kreator konten yang bergerak di hulu seperti saya, sebetulnya tidak
banyak yang perlu dikhawatirkan, karena masyarakat tetap membutuhkan konten,
hanya cara mendapatkannya saja yang berbeda.
Apa dampak dari masifnya teknologi informasi di berbagai bidang ini berpengaruh pula terhadap penjualan buku yang Dee tulis?
Sejauh
ini tidak. Bahkan lebih baik, karena sekarang ada outlet tambahan, yakni toko
buku online yang menjual fisik, dan toko buku digital yang menjual format
digital.
Apakah pernah mengalami
ditolak oleh beberapa penerbit?
Belum,
karena latar belakang saya dari self-publishing.
Dee sendiri lebih memilih
mencetak buku di penerbit indie atau penerbit mayor? Alasannya?
Keduanya
punya keuntungan dan tantangan masing-masing. Menerbitkan sendiri lebih punya
keleluasaan, termasuk keuntungan yang bukan hanya datang dari royalti melainkan
juga dari profit penjualan. Penerbit indie biasanya lebih punya sedikit penulis
jadi bisa lebih fokus, tapi modal dan SDM-nya belum tentu kuat. Penerbit mayor
biasanya punya modal dan SDM kuat, meski keleluasaan penulis, pembagian
royalti, relatif lebih ketat dibandingkan self-publishing
ataupun penerbit indie. Karena saat
ini volume penjualan buku-buku saya selalu dalam jumlah besar, modal dan SDM
penerbitnya harus kuat, untuk itu saat ini saya lebih merasa pas dengan
penerbit mayor.
Dengan fenomena ini tidak
sedikit toko buku yang sengaja mengobral buku agar terjual. Ini bagaikan
bertolak belakang, satu sisi miris karena buku yang merupakan seni berfikir ini
dihargai rendah. Satu sisi lainnya menjadi keuntungan pembeli bisa membeli buku
harga murah. Bagaimana Dee melihatnya?
Sebetulnya itu hukum pasar saja. Daripada menumpuk di gudang dan jadi barang mati, tentu lebih baik diobral ketimbang menahannya demi gengsi seni. Bagaimanapun sebuah buku, ketika sudah diproduksi masif, menjadi produk. Mungkin miris bagi penulisnya ketika melihat bukunya dijual murah, tapi ia pun harus memahami bahwa ketika bukunya diterbitkan, maka buku tersebut menjadi barang dagangan. Dan, bukankah lebih baik jika ide dalam buku itu disebar ketimbang menumpuk di gudang? Semua penerbit pasti punya stok buku yang tidak bergerak. Supaya bisnisnya hidup, tentu ia harus melakukan berbagai strategi.
Apa yang dilakukan untuk menjadikan buku buatan Dee laku di pasaran? Apakah memanfaatkan medsos sendiri untuk melakukan branding juga?
Medsos
memegang peranan sampai batas tertentu untuk mempopulerkan sebuah produk, tapi
tidak ada artinya jika produknya tidak bagus. Menurut saya, yang paling
mendasar harus berangkat dari kualitas konten. Saya hampir tidak pernah
berpikir soal pasar ketika menulis buku. Fokus utama saya hanya menulis sebaik
mungkin. Tentu di titik ini saya punya
kemudahan karena sudah berkarier 17 tahun sebagai penulis profesional dan sudah
punya basis pembaca. Tapi, tidak jaminan juga kalau memang buku yang saya
hasilkan tidak berkualitas, karena orang lantas akan menilai dan bersuara.
Branding lebih kepada pemeliharaan medsos kita sebagai sebuah portofolio, di
mana kita mengasosiasikan diri, menampilkan diri, dsb. Hal itu membantu, tapi
sekali lagi, inti pekerjaan saya ada pada kreasi saya. Jadi, tugas saya
terpenting adalah menghasilkan karya yang berkualitas.
Kabarnya, novel terbaru
berjudul Aroma Karsa dirilis melalui format digital, bahkan versi cetak dibuat
menyusul. Mengapa?
Saya
lampirkan FAQ / Media Highlights untuk menjawab pertanyaan ini.
Bagaimana format bagi hasil dengan penerbit buku digital tersebut?
Formatnya
sama dengan penerbit buku fisik, ada pembagian royalti, hanya saja porsinya
bisa lebih besar karena beberapa komponen hilang, seperti biaya percetakan,
distribusi, dan rabat toko. Jadi, hanya antara penerbit dan penulis saja.
Sejauh ini hasil penjualannya
seperti apa? Adakah perbedaan yang signifikan antara penjualan digital dan
cetak sebelumnya?
Penjualan
cetak tetap jauh lebih besar. Digital kurang lebih 10-12% dari jumlah penjualan
cetak. Tapi, faktor lain yang harus diperhitungkan adalah, royalti dari produk
digital lebih besar. Jadi, meski secara angka penjualan lebih kecil, itu bisa
dikompensasi dari besaran royaltinya.
Apa saja tantangan penulis
buku di era digital? Bagaimana pula strategi untuk terus berkarya?
Berkarya
menjadi keputusan sepenuhnya dari pembuat karya, dalam era seperti apa pun.
Industrinya yang kemudian berubah dan berkembang. Di era digital, penulis punya
“channel” lain untuk dipelihara dan dimanfaatkan, yakni medsos. Penulis juga
punya banyak “mainan baru” untuk bereksperimen seperti blog, self-publishing, penerbit digital, dll. Tergantung mau dimanfaatkan atau
tidak. Yang jelas saat ini kita punya lebih banyak pilihan.
Menjadi penulis dan melihat
buku terpampang di rak toko buku menjadi mimpi Dee sejak lama. Bagaimana Dee
kembali melihat mimpi tersebut di era digital sekarang ini?
Sama
saja sebetulnya. Kalau dulu hanya bisa di rak toko buku, sekarang bisa juga di
laman situs toko digital di layar komputer .
Harapannya terhadap industri perbukuan di tanah air?
Menjadi
lebih baik, lebih sehat, buku lebih murah dan mudah diakses.