Thursday, April 2, 2020

Blog Putra Sasmita | Profil & Teknik Menulis | Mei, 2017 | Putra Sasmita

Bagaimana Anda memulai menulis novel? Apakah Anda membuat outline sebelum menulis?

Dari waktu ke waktu, teknik maupun metode saya menulis terus saya perbarui. Dulu saya menulis tanpa outline, walau hampir selalu membuat semacam peta cerita meski sederhana. Sekarang saya selalu membuat outline dan time table. Jadi, bukan hanya konten yang saya petakan, tapi sama pentingnya adalah jadwal kerja. Saya memberlakukan pemakaian outline hanya untuk novel. Prosa singkat, cerpen, atauapun novelet, biasanya saya tulis spontan.

Apa Anda punya target harian?

Ada. Bisa bervariasi sesuai kebutuhan. Untuk draf pertama, hitungan saya biasanya adalah jumlah kata. 1000 kata per hari. Jika sudah mendekati akhir cerita, lebih ke target ke berapa adegan yang bisa saya selesaikan (karena jalan cerita sudah semakin jelas). Pada tahap editing, target saya adalah menyunting sekian bab per hari (jumlahnya bergantung ada berapa banyak bab dan berapa lama waktu yang saya punya sebelum target cetak – yang biasanya saya tentukan sendiri).

Tampaknya Anda begitu disiplin dalam menulis. Anda memiliki target-target yang jelas, bahkan sampai target cetak yang Anda tentukan sendiri. Apakah kedisiplinan ini sudah ditanam oleh keluarga Anda sejak kecil?

Kedisiplinan menulis saya tumbuhnya berangsur, tidak serta merta, semata-mata karena akhirnya saya menemukan dan merasakan sendiri bahwa disiplin memiliki manfaat yang nyata bagi produktivitas kepenulisan saya sekaligus merupakan cara kerja yang realistis dengan kondisi saya yang berkeluarga. Pada aspek lain, saya orangnya cenderung santai.

Apakah Anda mengedit saat menulis atau setelahnya?

Tahapan pertama adalah penuntasan draf pertama. Melakukan penyuntingan pada tahap ini bagi saya kontraproduktif, karena bisa memperlambat jadwal kerja. Saya melakukan penyuntingan menyeluruh setelah draf pertama selesai. Ada kalanya di tengah jalan (biasanya mulai memasuki babak 2B), saya harus berhenti sejenak untuk meninjau ulang jalan cerita. Tapi, saya batasi untuk tidak jadi menyunting seluruh naskah, karena buat saya beda banget setting berpikir antara menulis dan menyunting. Kalau menulis saya harus di dalam cerita. Kalau menyunting saya harus di luar cerita. Kalau sudah di luar, cukup sulit untuk balik lagi ke dalam. Jadi, lebih baik penyuntingan dilakukan setelah draf pertama selesai.

Apa Anda punya rutinitas selama menulis?

Saya sudah mencoba berbagai macam jadwal dan kebiasaan. Dari menulis malam sampai menulis subuh. Dari nulis di keramaian sampai menulis sendirian. Saat ini saya cenderung menulis pagi hari hingga setelah makan siang, umumnya sebelum anak saya pulang sekolah. Biasanya saya olah raga dulu, mandi, ngopi, baru mulai menulis. Yang penting buat saya adalah tidak diinterupsi (diajak ngobrol). Tidak masalah dalam keramaian atau kesendirian.

Maya Angelou bercerita, saat menulis Ia akan menyewa sebuah kamar hotel dan harus ada sebotol Sherry, kamus, thesaurus, notepad, asbak, dan Injil. Bagaimana dengan Anda? Boleh gambarkan sedikit seperti apa ruang kerja Anda? Adakah kebiasaan yang Anda lakukan sambil menulis, misalnya sambil mendengarkan musik?

Saat ini saya sedang tidak punya ruang kerja khusus, biasanya saya menulis di kamar atau meja makan. Kalau di luar rumah, saya biasanya bekerja di kedai kopi. Saya berusaha tidak usah banyak “benda ritualistik” agar tidak repot. Yang penting ada air putih dan suhu ruangan tidak terlalu dingin/terlalu panas agar bisa menulis nyaman (saya menghindari tempat duduk yang terlalu dekat dengan tiupan angin AC). Kamus saya biasa pakai aplikasi KBBI, jadi tidak pakai versi cetak lagi. Terkecuali jika ada beberapa buku atau kamus spesifik yang saya butuhkan berkenaan dengan cerita. Musik tidak wajib, hanya kalau dirasa perlu. Kadang-kadang saya gunakan untuk membangun suasana saat menulis adegan tertentu. Tapi, tanpa musik juga bisa.

Siapa yang membaca draf pertama tulisan Anda?

Biasanya suami. Habis itu baru saya bagikan ke beberapa orang beta reader, yang biasanya teman-teman di penerbit.

Apakah suami Anda memberikan masukan?

Iya, dan juga kesannya terhadap cerita.

Ketika mengedit atau menulis, apakah Anda membaca keras-keras (read out loud)?

Iya. Tidak terus-terusan dalam setiap kali menyunting, tapi hampir selalu saya mengetes kalimat saya dengan membunyikannya (membacanya dengan bersuara).

Tema spiritualitas dan sains kerap muncul di serial Supernova, bagaimana Anda menggabungkan dua hal yang kelihatannya berseberangan ini ke dalam karya tulis Anda?

Bagi saya, justru keduanya tidak berseberangan, malah berkaitan. Dan keterkaitan itu yang menarik untuk ditulis. Tidak ada metode khusus untuk menggabungkan keduanya selain berusaha membangun cerita yang solid.

Bisa tolong jelaskan bagaimana Anda melihat keterkaitan spiritualitas dan sains?

Sains dan spiritualitas sama-sama bertujuan mengungkap realitas, memahami manusia, dan mekanisme kehidupan.

Sepertinya Ibu Dee tertarik dengan spiritualitas, sains, dan filsafat. Bagaimana ketertarikan ini bermula? Apakah Anda memiliki pengalaman pribadi?

Kalau saya ingat-ingat, memang hal-hal itu yang menarik minat saya sejak kecil. Mungkin belum saya bahasakan sebagai spiritualitas-sains-filsafat, tapi saya sering melamunkan bagaimana kehidupan ini bermula, dan buat apa saya (dan manusia lain) hidup dan terlahir di Bumi.

Apakah karena ini Anda menulis fiksi? Untuk mengungkap realitas, memahami manusia, dan menjelaskan mekanisme kehidupan?

Yang saya ungkapkan di atas itu lebih tepat sebagai alasan saya menulis Supernova. Karya fiksi saya yang lain tidak semuanya setema dengan Supernova. Saya menulis fiksi pada dasarnya karena saya suka seni bercerita.

Apakah pop culture ada pengaruhnya terhadap karya-karya Anda?

Saya tidak pernah benar-benar menyadari atau menyengajakannya, tapi saya percaya kita semua terpengaruh oleh budaya apa pun yang berlaku pada zaman kita hidup. Karena saya hidup dan besar di zaman ketika pop culture ada, tentunya saya terpengaruh. Seberapa banyak dan seberapa besar, saya tidak mengukurnya.

Bagaimana Anda melakukan riset untuk karya-karya Anda?

Riset yang saya lakukan umumnya dua macam. Riset langsung dan tidak langsung. Riset langsung contohnya ketika saya ke Sianjur Mula-mula untuk penulisan Gelombang, atau mencoba terapi listrik ketika menulis Petir. Namun, tidak semua kebutuhan riset bisa saya penuhi melalui riset langsung. Biasanya karena keterbatasan waktu. Misalnya, ketika saya masih punya bayi yang nggak bisa saya tinggal-tinggal, otomatis saya tidak bisa bepergian, meski kebutuhan cerita menuntut saya menulis berbagai tempat yang belum pernah saya kunjungi. Untuk itu saya melakukan riset tidak langsung, melalui riset pustaka (membaca buku, atau browsing), riset video / dokumenter, dan wawancara narasumber.

Pembaca bisa menduga bahwa Anda tentunya melakukan riset mendalam untuk karya-karya Anda. Biasanya yang terjadi apakah Anda meriset setelah menentukan cerita (plot, karakter, dsb) atau sebaliknya, riset dulu baru dicocokkan dengan cerita dan karakter? 

Keduanya bisa berjalan paralel. Hasil riset bisa menentukan jalan cerita. Jalan cerita juga bisa menentukan kebutuhan riset. Biasanya saya melakukan riset di awal, tapi hampir selalu saya mengecek banyak hal selama proses menulis berjalan, jadi bisa dibilang berjalan paralel.

Karakter-karakter yang Anda ciptakan tergambar kuat di benak pembaca. Apakah Anda membayangkan orang tertentu di dunia nyata saat menciptakan karakter?

Setiap karakter yang saya buat bagai kain perca. Ada campuran orang nyata (biasanya saya ambil nama, profesi, ciri fisik – dan jumlahnya lebih dari satu) dan imajinasi saya sendiri. Tidak pernah ada orang tertentu di dunia nyata yang benar-benar saya ambil utuh menjadi karakter.

Apakah bagi Anda proses menulis cerpen dan puisi serupa dengan proses menulis novel?

Beda. Puisi cenderung spontan. Cerpen memiliki perencanaan seperti halnya novel tapi jauh lebih sederhana. Tantangan cerpen buat saya adalah membuat kejutan dan fokus yang tajam. Sementara novel ibarat lari marathon, persiapannya panjang, prosesnya panjang, dan butuh stamina yang luar biasa.

Menurut Anda adakah persamaan proses menulis dengan menciptakan lagu?
Ketika saya menulis lagu, intinya juga saya membuat cerita. Tantangannya berbeda. Dalam lagu, efektivitas kata menjadi amat penting. Kita membuat cerita seutuh mungkin dalam durasi terbatas, dengan suku kata yang harus pas dengan melodi. Selain itu, dalam pembuatan lagu ada aspek menciptakan melodi dan menyusun aransemen. Tapi intinya sama-sama membuat cerita.

Ada yang mengatakan menulis lagu dan menulis puisi berkaitan. Bagaimana menurut Anda?

Kurang lebih prinsipnya sama, tapi tentunya di lagu ada melodi. Jadi ada aspek lain yang harus diperhatikan ketimbang puisi. Juga ada keterbatasan dalam lagu karena mengikuti durasi dan struktur tertentu (bait, reff, dsb).

Adakah penulis yang berpengaruh terhadap gaya penulisan Anda? Apakah Graham Hancock memiliki pengaruh dalam gaya penulisan Anda?

Untuk gaya menulis, saya tidak pernah terlalu menyadari. Mungkin karena bacaan saya juga kebanyakan nonfiksi. Graham Hancock dan penulis-penulis nonfiksi lainnya memengaruhi saya dalam hal konten, bukan gaya menulis. Gaya menulis lebih banyak bisa kita dapat dari penulis fiksi. Untuk metafora saya mengagumi Sapardi Djoko Damono. Untuk plot, penulis-penulis seperti Dan Brown, JK. Rowling, James Patterson, Alfred Hitchcock, Michael Crichton, Stephen King, amat patut dipelajari. Penulis seperti John Green dan Margaret Atwood menurut saya pintar memainkan emosi. Dan, ada penulis-penulis lain yang temanya unik dan kuat seperti Yan Martell, Alan Lightman, Paulo Coelho. Setiap yang saya baca pasti meninggalkan pengaruh, tapi karena kekuatan masing-masing penulis berbeda dan tampaknya yang saya serap juga berbeda-beda, saya tidak menunjuk satu-dua nama saja. Gaya penulisan merupakan kumulasi dari begitu banyak hal yang kita baca maupun gali dari diri kita sendiri.

Kalau saya tidak salah lagu Anda "Satu Bintang Di Langit Kelam" terinspirasi puisi SDD "Hujan Di Bulan Juni". Adakah karya Beliau lainnya yang Anda sukai? Bagaimana Anda menilainya?

SBDLK tidak terinspirasi HBJ. Tapi gaya menulis lirik saya berubah setelah membaca buku HBJ. Lebih metaforis dan puitis. Secara umum saya menyukai puisi-puisi Beliau. Saya menyukai metaforanya, kepekaannya memilih kata, dan ritme kalimatnya.

Apa yang Anda dapatkan dari menulis puisi/lagu yang tidak Anda dapatkan dari menulis novel?

Saya merasa hampir tidak pernah menulis puisi. Prosa pendek, iya. Lagu, iya. Yang tidak didapatkan dari menulis novel dibandingkan keduanya tadi tentu saja adalah perkawinan kata dengan melodi serta keleluasaan waktu. Secara durasi pengerjaan membuat novel jauh lebih panjang dan lebih rumit.

Ketika mengadaptasi novel Anda menjadi naskah film apa saja tantangannya? Sejauh mana keterlibatan Anda dalam setiap adaptasi film?

Keterlibatan saya berbeda-beda di setiap film. Ada yang terlibat sampai menjadi penulis skenario seperti di Perahu Kertas, ada juga yang tidak terlibat sama sekali seperti Madre dan Supernova KPBJ. Ada juga yang terlibat secara konsultatif, seperti Rectoverso, Filosofi Kopi 1, dan Filosofi Kopi 2. Dari cerpen menjadi film menurut saya tidak terlampau sukar karena biasanya yang terjadi pengembangan. Sementara masalah atau pun pendapat yang kontra biasanya muncul karena terjadi pemotongan/pengurangan dari cerita asli. Biasanya itu terjadi dalam adaptasi dari novel. Tantangannya tentu karena buku dan film merupakan medium yang berbeda, produk dari dua industri yang berbeda, yang mana keduanya punya aturan dan pakem sendiri. Dalam film, kita bicara durasi, pemain, penyutradaraan, sinematografi, investasi produser, dan banyak faktor lain yang tidak ada di buku. Saya sendiri melihat bahwa dalam adaptasi ke film, yang berkarya adalah para pembuat film, bukan penulis. Begitu juga ketika saya menjadi penulis skenario. Film akan “ditulis ulang” oleh sutradara dan editor, jadi skrip saya bukan satu-satunya patokan. Pada prinsipnya, yang terjadi adalah kompromi dan bagaimana kita bisa menjembatani keinginan dan kepentingan banyak pihak.

Bagaimana perasaan Anda setelah melihat hasil akhirnya di film?

Bergantung hasilnya. Tapi, dari setiap film akan selalu ada hal yang saya sukai, ada yang tidak. Sama-sama saja seperti kita melihat film lain sebetulnya, tapi tentu ada kebanggaan karena melihat bagaimana karya kita bertransformasi menjadi bentuk lain, dan film adalah hasil kerja keras banyak orang. Membayangkan bagaimana sebegitu banyak orang berupaya untuk mewujudkan cerita kita menjadi produk film juga membanggakan sekaligus mengharukan.

Apakah aktif di media sosial adalah salah satu cara Anda menjaga basis pembaca (readership)?

Media sosial bagi saya fungsinya kadang-kadang untuk saluran ekspresi yang personal juga, bersilaturahmi dengan teman-teman lama, dsb. Meski demikian, pemakaian yang utama memang adalah untuk mendukung pekerjaan saya. Pada zaman ini, pembaca memang tidak hanya mengenal karya, tapi bisa juga mengenal penulisnya. Tinggal tergantung seterbuka apa kita menunjukkan dunia kita yang lebih personal. Bagi saya, media sosial adalah cara paling praktis saat ini untuk berkomunikasi langsung dengan pembaca.

Saat menulis apakah Anda membayangkan audiens tertentu?

Sejujurnya, tidak. Saya membayangkan kalau saya yang jadi pembaca. Intinya, saya harus menulis buku yang bisa memikat minat saya. Buku yang bisa membuat saya kepengin terus membaca. Setelah berkali-kali menerbitkan buku tentunya saya bisa membayangkan profil pembaca saya. Tapi ketika berkarya, fokus saya hampir selalu internal.

Kalau saya tidak salah Supernova 1 adalah self-published, kemudian karya berikutnya dicetak penerbit lain. Bagaimana transisi ini terjadi? Adakah pengaruhnya terhadap karya Anda?

Untuk sejarah self-publish Supernova 1 bisa dilihat di arsip saya www.dee-interview.blogspot.co.id ya, karena sudah sering sekali saya bahas.

Menurut Anda bagaimana cara latihan menulis? Apakah penulis harus belajar secara otodidak?

Belajar terbaik menurut saya adalah dengan punya mentalitas ingin belajar terlebih dahulu. Dengan demikian, ketika kita membaca buku orang lain, kita bukan cuma sekadar membaca, melainkan membaca sambil belajar. Belajar mengenali apa yang kita suka, mengenali apa yang kita tidak suka, berusaha mengadopsi apa yang menurut kita baik, dan menghindari apa yang menurut kita tidak baik/tidak cocok. Otodidak atau tidak menurut saya bukan patokan. Kalau memang ada kesempatan ikut workshop, seminar, atau masterclass, mengapa tidak? Tapi, kalau tidak ada kesempatan itu, yang otodidak tidak berarti akan lebih buruk dari yang ikut workshop atau masterclass. Jam terbang akan amat menentukan. Tapi yang lebih menentukan lagi adalah keinginan untuk memperbaiki diri. Dari satu karya ke karya lain, kita harus dengan sadar ingin melakukan perbaikan.

Apakah Anda pernah mengikuti kelas menulis? Jika iya, bisa ceritakan pengalaman Anda? Siapa pengajarnya?

Sejauh ini, saya pernah ikut Masterclass James Patterson, ikut beberapa kursus fiksi dari Steve Alcorn, saya juga pernah mengikuti kursus scriptwriting dari Sue Clayton. Terkecuali dengan Sue Clayton, kedua yang pertama dilakukan secara online.

Anda dikategorikan dalam gerakan "Sastra Wangi" (fragrant literature), tanggapan Anda?

Sastra Wangi tidak ada maknanya buat saya. Itu hanya istilah yang diciptakan media untuk merujuk ke satu masa di awal 2000-an ketika banyak penulis perempuan muncul dan menonjol. Tidak ada substansi lain.

Inspirasi bisa datang dari mana saja. Bagi Anda, apakah inspirasi itu datang dari dalam diri sendiri atau dari luar diri?

Dua-duanya.

Apakah ada hobi yang sedang Anda geluti saat ini?

Memasak dan berenang.

Jika boleh bertanya, buku apa yang sedang Anda kerjakan saat ini?

Saya sedang mengerjakan naskah buku baru, tapi detailnya saat ini belum bisa saya ungkap ke publik.

Setelah menjadi seorang ibu, adakah yang berubah pada diri Anda sebagai seorang penulis?

Perubahan utama adalah jadwal. Saya harus lebih disiplin dan lihai membagi waktu agar semua tugas dan kewajiban saya di rumah tetap terlaksana dan masih bisa berkarya.

Adakah pengaruh seni dari anggota keluarga Anda saat Anda kecil?

Tentunya ada, karena semua anggota keluarga saya suka seni, khususnya gambar dan musik. Semua suka membaca. Jadi, otomatis itu menjadi atmosfer saya sehari-hari di rumah sejak kecil.

Apa kendala teknis (dalam menulis) terberat yang sejauh ini Anda alami?

Bagaimana cara Anda mengatasinya?

Tantangan terbesar saya adalah penataan waktu. Hal tersebut tidak inheren termasuk dalam “teknik” menulis, tapi manajemen waktu menentukan produktivitas kita menulis. Bagaimana cara menjadikan menulis itu “habit”, kemudian merajutnya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita sudah punya dedikasi untuk menjadikan menulis agenda kita sehari-hari, kesulitan dalam menulis akan terurai dengan sendirinya karena kita sudah punya waktu dan komitmen untuk itu. Tapi, kalau aktivitas menulis masih menjadi hal yang sporadis, nunggu mood, dsb, maka akan banyak perkara teknis dalam menulis yang sulit semata-mata karena kita tidak punya cukup dedikasi dan waktu untuk mencari solusinya.