Bagaimana
Anda memulai menulis novel? Apakah Anda membuat outline sebelum menulis?
Dari waktu ke waktu, teknik maupun
metode saya menulis terus saya perbarui. Dulu saya menulis tanpa outline, walau hampir selalu membuat
semacam peta cerita meski sederhana. Sekarang saya selalu membuat outline dan time table. Jadi, bukan hanya konten yang saya petakan, tapi sama
pentingnya adalah jadwal kerja. Saya memberlakukan pemakaian outline hanya untuk novel. Prosa
singkat, cerpen, atauapun novelet, biasanya saya tulis spontan.
Apa
Anda punya target harian?
Ada. Bisa bervariasi sesuai kebutuhan. Untuk draf
pertama, hitungan saya biasanya adalah jumlah kata. 1000 kata per hari. Jika
sudah mendekati akhir cerita, lebih ke target ke berapa adegan yang bisa saya
selesaikan (karena jalan cerita sudah semakin jelas). Pada tahap editing,
target saya adalah menyunting sekian bab per hari (jumlahnya bergantung ada
berapa banyak bab dan berapa lama waktu yang saya punya sebelum target cetak –
yang biasanya saya tentukan sendiri).
Tampaknya
Anda begitu disiplin dalam menulis. Anda memiliki target-target yang jelas,
bahkan sampai target cetak yang Anda tentukan sendiri. Apakah kedisiplinan ini
sudah ditanam oleh keluarga Anda sejak kecil?
Kedisiplinan menulis saya tumbuhnya
berangsur, tidak serta merta, semata-mata karena akhirnya saya menemukan dan
merasakan sendiri bahwa disiplin memiliki manfaat yang nyata bagi produktivitas
kepenulisan saya sekaligus merupakan cara kerja yang realistis dengan kondisi
saya yang berkeluarga. Pada aspek lain, saya orangnya cenderung santai.
Apakah
Anda mengedit saat menulis atau setelahnya?
Tahapan pertama adalah penuntasan draf
pertama. Melakukan penyuntingan pada tahap ini bagi saya kontraproduktif,
karena bisa memperlambat jadwal kerja. Saya melakukan penyuntingan menyeluruh
setelah draf pertama selesai. Ada kalanya di tengah jalan (biasanya mulai
memasuki babak 2B), saya harus berhenti sejenak untuk meninjau ulang jalan
cerita. Tapi, saya batasi untuk tidak jadi menyunting seluruh naskah, karena
buat saya beda banget setting berpikir antara menulis dan menyunting. Kalau
menulis saya harus di dalam cerita. Kalau menyunting saya harus di luar cerita.
Kalau sudah di luar, cukup sulit untuk balik lagi ke dalam. Jadi, lebih baik
penyuntingan dilakukan setelah draf pertama selesai.
Apa
Anda punya rutinitas selama menulis?
Saya sudah mencoba berbagai macam
jadwal dan kebiasaan. Dari menulis malam sampai menulis subuh. Dari nulis di
keramaian sampai menulis sendirian. Saat ini saya cenderung menulis pagi hari
hingga setelah makan siang, umumnya sebelum anak saya pulang sekolah. Biasanya
saya olah raga dulu, mandi, ngopi, baru mulai menulis. Yang penting buat saya
adalah tidak diinterupsi (diajak ngobrol). Tidak masalah dalam keramaian atau
kesendirian.
Maya
Angelou bercerita, saat menulis Ia akan menyewa sebuah kamar hotel dan harus
ada sebotol Sherry, kamus, thesaurus, notepad, asbak, dan Injil. Bagaimana
dengan Anda? Boleh gambarkan sedikit seperti apa ruang kerja Anda? Adakah kebiasaan
yang Anda lakukan sambil menulis, misalnya sambil mendengarkan musik?
Saat ini saya sedang tidak punya ruang kerja
khusus, biasanya saya menulis di kamar atau meja makan. Kalau di luar rumah,
saya biasanya bekerja di kedai kopi. Saya berusaha tidak usah banyak “benda
ritualistik” agar tidak repot. Yang penting ada air putih dan suhu ruangan
tidak terlalu dingin/terlalu panas agar bisa menulis nyaman (saya menghindari
tempat duduk yang terlalu dekat dengan tiupan angin AC). Kamus saya biasa pakai
aplikasi KBBI, jadi tidak pakai versi cetak lagi. Terkecuali jika ada beberapa
buku atau kamus spesifik yang saya butuhkan berkenaan dengan cerita. Musik
tidak wajib, hanya kalau dirasa perlu. Kadang-kadang saya gunakan untuk
membangun suasana saat menulis adegan tertentu. Tapi, tanpa musik juga bisa.
Siapa
yang membaca draf pertama tulisan Anda?
Biasanya suami. Habis itu baru saya
bagikan ke beberapa orang beta reader, yang biasanya teman-teman di penerbit.
Apakah
suami Anda memberikan masukan?
Iya, dan juga kesannya terhadap cerita.
Ketika
mengedit atau menulis, apakah Anda membaca keras-keras (read out loud)?
Iya. Tidak terus-terusan dalam setiap kali
menyunting, tapi hampir selalu saya mengetes kalimat saya dengan membunyikannya
(membacanya dengan bersuara).
Tema
spiritualitas dan sains kerap muncul di serial Supernova, bagaimana Anda
menggabungkan dua hal yang kelihatannya berseberangan ini ke dalam karya tulis
Anda?
Bagi saya, justru keduanya tidak
berseberangan, malah berkaitan. Dan keterkaitan itu yang menarik untuk ditulis.
Tidak ada metode khusus untuk menggabungkan keduanya selain berusaha membangun cerita
yang solid.
Bisa
tolong jelaskan bagaimana Anda melihat keterkaitan spiritualitas dan sains?
Sains dan spiritualitas sama-sama bertujuan
mengungkap realitas, memahami manusia, dan mekanisme kehidupan.
Sepertinya
Ibu Dee tertarik dengan spiritualitas, sains, dan filsafat. Bagaimana
ketertarikan ini bermula? Apakah Anda memiliki pengalaman pribadi?
Kalau saya ingat-ingat, memang hal-hal itu yang
menarik minat saya sejak kecil. Mungkin belum saya bahasakan sebagai
spiritualitas-sains-filsafat, tapi saya sering melamunkan bagaimana kehidupan
ini bermula, dan buat apa saya (dan manusia lain) hidup dan terlahir di Bumi.
Apakah
karena ini Anda menulis fiksi? Untuk mengungkap realitas, memahami manusia, dan
menjelaskan mekanisme kehidupan?
Yang saya ungkapkan di atas itu lebih
tepat sebagai alasan saya menulis Supernova. Karya fiksi saya yang lain tidak
semuanya setema dengan Supernova. Saya menulis fiksi pada dasarnya karena saya
suka seni bercerita.
Apakah
pop culture ada pengaruhnya terhadap karya-karya Anda?
Saya tidak pernah benar-benar menyadari atau
menyengajakannya, tapi saya percaya kita semua terpengaruh oleh budaya apa pun
yang berlaku pada zaman kita hidup. Karena saya hidup dan besar di zaman ketika
pop culture ada, tentunya saya terpengaruh. Seberapa banyak dan seberapa besar,
saya tidak mengukurnya.
Bagaimana
Anda melakukan riset untuk karya-karya Anda?
Riset yang saya lakukan umumnya dua
macam. Riset langsung dan tidak langsung. Riset langsung contohnya ketika saya
ke Sianjur Mula-mula untuk penulisan Gelombang, atau mencoba terapi listrik
ketika menulis Petir. Namun, tidak semua kebutuhan riset bisa saya penuhi
melalui riset langsung. Biasanya karena keterbatasan waktu. Misalnya, ketika
saya masih punya bayi yang nggak bisa saya tinggal-tinggal, otomatis saya tidak
bisa bepergian, meski kebutuhan cerita menuntut saya menulis berbagai tempat
yang belum pernah saya kunjungi. Untuk itu saya melakukan riset tidak langsung,
melalui riset pustaka (membaca buku, atau browsing),
riset video / dokumenter, dan wawancara narasumber.
Pembaca
bisa menduga bahwa Anda tentunya melakukan riset mendalam untuk karya-karya
Anda. Biasanya yang terjadi apakah Anda meriset setelah menentukan cerita
(plot, karakter, dsb) atau sebaliknya, riset dulu baru dicocokkan dengan cerita
dan karakter?
Keduanya bisa berjalan paralel. Hasil riset bisa
menentukan jalan cerita. Jalan cerita juga bisa menentukan kebutuhan riset.
Biasanya saya melakukan riset di awal, tapi hampir selalu saya mengecek banyak
hal selama proses menulis berjalan, jadi bisa dibilang berjalan paralel.
Karakter-karakter
yang Anda ciptakan tergambar kuat di benak pembaca. Apakah Anda membayangkan
orang tertentu di dunia nyata saat menciptakan karakter?
Setiap karakter yang saya buat bagai kain perca.
Ada campuran orang nyata (biasanya saya ambil nama, profesi, ciri fisik – dan
jumlahnya lebih dari satu) dan imajinasi saya sendiri. Tidak pernah ada orang
tertentu di dunia nyata yang benar-benar saya ambil utuh menjadi karakter.
Apakah
bagi Anda proses menulis cerpen dan puisi serupa dengan proses menulis novel?
Beda. Puisi cenderung spontan. Cerpen
memiliki perencanaan seperti halnya novel tapi jauh lebih sederhana. Tantangan
cerpen buat saya adalah membuat kejutan dan fokus yang tajam. Sementara novel
ibarat lari marathon, persiapannya panjang, prosesnya panjang, dan butuh
stamina yang luar biasa.
Menurut
Anda adakah persamaan proses menulis dengan menciptakan lagu?
Ketika saya menulis lagu, intinya juga
saya membuat cerita. Tantangannya berbeda. Dalam lagu, efektivitas kata menjadi
amat penting. Kita membuat cerita seutuh mungkin dalam durasi terbatas, dengan
suku kata yang harus pas dengan melodi. Selain itu, dalam pembuatan lagu ada
aspek menciptakan melodi dan menyusun aransemen. Tapi intinya sama-sama membuat
cerita.
Ada
yang mengatakan menulis lagu dan menulis puisi berkaitan. Bagaimana menurut
Anda?
Kurang lebih prinsipnya sama, tapi tentunya di
lagu ada melodi. Jadi ada aspek lain yang harus diperhatikan ketimbang puisi.
Juga ada keterbatasan dalam lagu karena mengikuti durasi dan struktur tertentu
(bait, reff, dsb).
Adakah
penulis yang berpengaruh terhadap gaya penulisan Anda? Apakah Graham Hancock
memiliki pengaruh dalam gaya penulisan Anda?
Untuk gaya menulis, saya tidak pernah
terlalu menyadari. Mungkin karena bacaan saya juga kebanyakan nonfiksi. Graham
Hancock dan penulis-penulis nonfiksi lainnya memengaruhi saya dalam hal konten,
bukan gaya menulis. Gaya menulis lebih banyak bisa kita dapat dari penulis
fiksi. Untuk metafora saya mengagumi Sapardi Djoko Damono. Untuk plot,
penulis-penulis seperti Dan Brown, JK. Rowling, James Patterson, Alfred
Hitchcock, Michael Crichton, Stephen King, amat patut dipelajari. Penulis
seperti John Green dan Margaret Atwood menurut saya pintar memainkan emosi.
Dan, ada penulis-penulis lain yang temanya unik dan kuat seperti Yan Martell,
Alan Lightman, Paulo Coelho. Setiap yang saya baca pasti meninggalkan pengaruh,
tapi karena kekuatan masing-masing penulis berbeda dan tampaknya yang saya
serap juga berbeda-beda, saya tidak menunjuk satu-dua nama saja. Gaya penulisan
merupakan kumulasi dari begitu banyak hal yang kita baca maupun gali dari diri
kita sendiri.
Kalau
saya tidak salah lagu Anda "Satu Bintang Di Langit Kelam"
terinspirasi puisi SDD "Hujan Di Bulan Juni". Adakah karya Beliau
lainnya yang Anda sukai? Bagaimana Anda menilainya?
SBDLK tidak terinspirasi HBJ. Tapi gaya menulis
lirik saya berubah setelah membaca buku HBJ. Lebih metaforis dan puitis. Secara
umum saya menyukai puisi-puisi Beliau. Saya menyukai metaforanya, kepekaannya
memilih kata, dan ritme kalimatnya.
Apa
yang Anda dapatkan dari menulis puisi/lagu yang tidak Anda dapatkan dari
menulis novel?
Saya merasa hampir tidak pernah menulis puisi.
Prosa pendek, iya. Lagu, iya. Yang tidak didapatkan dari menulis novel
dibandingkan keduanya tadi tentu saja adalah perkawinan kata dengan melodi
serta keleluasaan waktu. Secara durasi pengerjaan membuat novel jauh lebih
panjang dan lebih rumit.
Ketika
mengadaptasi novel Anda menjadi naskah film apa saja tantangannya? Sejauh mana
keterlibatan Anda dalam setiap adaptasi film?
Keterlibatan saya berbeda-beda di
setiap film. Ada yang terlibat sampai menjadi penulis skenario seperti di
Perahu Kertas, ada juga yang tidak terlibat sama sekali seperti Madre dan
Supernova KPBJ. Ada juga yang terlibat secara konsultatif, seperti Rectoverso,
Filosofi Kopi 1, dan Filosofi Kopi 2. Dari cerpen menjadi film menurut saya
tidak terlampau sukar karena biasanya yang terjadi pengembangan. Sementara
masalah atau pun pendapat yang kontra biasanya muncul karena terjadi
pemotongan/pengurangan dari cerita asli. Biasanya itu terjadi dalam adaptasi
dari novel. Tantangannya tentu karena buku dan film merupakan medium yang
berbeda, produk dari dua industri yang berbeda, yang mana keduanya punya aturan
dan pakem sendiri. Dalam film, kita bicara durasi, pemain, penyutradaraan,
sinematografi, investasi produser, dan banyak faktor lain yang tidak ada di
buku. Saya sendiri melihat bahwa dalam adaptasi ke film, yang berkarya adalah
para pembuat film, bukan penulis. Begitu juga ketika saya menjadi penulis
skenario. Film akan “ditulis ulang” oleh sutradara dan editor, jadi skrip saya
bukan satu-satunya patokan. Pada prinsipnya, yang terjadi adalah kompromi dan
bagaimana kita bisa menjembatani keinginan dan kepentingan banyak pihak.
Bagaimana
perasaan Anda setelah melihat hasil akhirnya di film?
Bergantung hasilnya. Tapi, dari setiap film akan
selalu ada hal yang saya sukai, ada yang tidak. Sama-sama saja seperti kita
melihat film lain sebetulnya, tapi tentu ada kebanggaan karena melihat
bagaimana karya kita bertransformasi menjadi bentuk lain, dan film adalah hasil
kerja keras banyak orang. Membayangkan bagaimana sebegitu banyak orang berupaya
untuk mewujudkan cerita kita menjadi produk film juga membanggakan sekaligus
mengharukan.
Apakah
aktif di media sosial adalah salah satu cara Anda menjaga basis pembaca
(readership)?
Media sosial bagi saya fungsinya
kadang-kadang untuk saluran ekspresi yang personal juga, bersilaturahmi dengan
teman-teman lama, dsb. Meski demikian, pemakaian yang utama memang adalah untuk
mendukung pekerjaan saya. Pada zaman ini, pembaca memang tidak hanya mengenal
karya, tapi bisa juga mengenal penulisnya. Tinggal tergantung seterbuka apa
kita menunjukkan dunia kita yang lebih personal. Bagi saya, media sosial adalah
cara paling praktis saat ini untuk berkomunikasi langsung dengan pembaca.
Saat
menulis apakah Anda membayangkan audiens tertentu?
Sejujurnya, tidak. Saya membayangkan
kalau saya yang jadi pembaca. Intinya, saya harus menulis buku yang bisa
memikat minat saya. Buku yang bisa membuat saya kepengin terus membaca. Setelah
berkali-kali menerbitkan buku tentunya saya bisa membayangkan profil pembaca
saya. Tapi ketika berkarya, fokus saya hampir selalu internal.
Kalau
saya tidak salah Supernova 1 adalah self-published, kemudian karya berikutnya
dicetak penerbit lain. Bagaimana transisi ini terjadi? Adakah pengaruhnya
terhadap karya Anda?
Untuk sejarah self-publish Supernova 1
bisa dilihat di arsip saya www.dee-interview.blogspot.co.id ya, karena sudah sering sekali saya bahas.
Menurut
Anda bagaimana cara latihan menulis? Apakah penulis harus belajar secara
otodidak?
Belajar terbaik menurut saya adalah
dengan punya mentalitas ingin belajar terlebih dahulu. Dengan demikian, ketika
kita membaca buku orang lain, kita bukan cuma sekadar membaca, melainkan
membaca sambil belajar. Belajar mengenali apa yang kita suka, mengenali apa
yang kita tidak suka, berusaha mengadopsi apa yang menurut kita baik, dan
menghindari apa yang menurut kita tidak baik/tidak cocok. Otodidak atau tidak
menurut saya bukan patokan. Kalau memang ada kesempatan ikut workshop, seminar,
atau masterclass, mengapa tidak? Tapi, kalau tidak ada kesempatan itu, yang
otodidak tidak berarti akan lebih buruk dari yang ikut workshop atau
masterclass. Jam terbang akan amat menentukan. Tapi yang lebih menentukan lagi
adalah keinginan untuk memperbaiki diri. Dari satu karya ke karya lain, kita
harus dengan sadar ingin melakukan perbaikan.
Apakah
Anda pernah mengikuti kelas menulis? Jika iya, bisa ceritakan pengalaman Anda?
Siapa pengajarnya?
Sejauh ini, saya pernah ikut Masterclass James Patterson,
ikut beberapa kursus fiksi dari Steve Alcorn, saya juga pernah mengikuti kursus
scriptwriting dari Sue Clayton. Terkecuali dengan Sue Clayton, kedua yang
pertama dilakukan secara online.
Anda
dikategorikan dalam gerakan "Sastra Wangi" (fragrant literature),
tanggapan Anda?
Sastra Wangi tidak ada maknanya buat
saya. Itu hanya istilah yang diciptakan media untuk merujuk ke satu masa di
awal 2000-an ketika banyak penulis perempuan muncul dan menonjol. Tidak ada
substansi lain.
Inspirasi
bisa datang dari mana saja. Bagi Anda, apakah inspirasi itu datang dari dalam
diri sendiri atau dari luar diri?
Dua-duanya.
Apakah
ada hobi yang sedang Anda geluti saat ini?
Memasak dan berenang.
Jika
boleh bertanya, buku apa yang sedang Anda kerjakan saat ini?
Saya sedang mengerjakan naskah buku baru, tapi
detailnya saat ini belum bisa saya ungkap ke publik.
Setelah
menjadi seorang ibu, adakah yang berubah pada diri Anda sebagai seorang
penulis?
Perubahan utama adalah jadwal. Saya harus lebih
disiplin dan lihai membagi waktu agar semua tugas dan kewajiban saya di rumah
tetap terlaksana dan masih bisa berkarya.
Adakah
pengaruh seni dari anggota keluarga Anda saat Anda kecil?
Tentunya ada, karena semua anggota
keluarga saya suka seni, khususnya gambar dan musik. Semua suka membaca. Jadi,
otomatis itu menjadi atmosfer saya sehari-hari di rumah sejak kecil.
Apa kendala teknis (dalam menulis)
terberat yang sejauh ini Anda alami?
Bagaimana
cara Anda mengatasinya?
Tantangan terbesar saya adalah penataan
waktu. Hal tersebut tidak inheren termasuk dalam “teknik” menulis, tapi
manajemen waktu menentukan produktivitas kita menulis. Bagaimana cara
menjadikan menulis itu “habit”, kemudian merajutnya dalam kehidupan
sehari-hari. Kalau kita sudah punya dedikasi untuk menjadikan menulis agenda kita
sehari-hari, kesulitan dalam menulis akan terurai dengan sendirinya karena kita
sudah punya waktu dan komitmen untuk itu. Tapi, kalau aktivitas menulis masih
menjadi hal yang sporadis, nunggu mood, dsb,
maka akan banyak perkara teknis dalam menulis yang sulit semata-mata karena
kita tidak punya cukup dedikasi dan waktu untuk mencari solusinya.