Showing posts with label Generasi Muda. Show all posts
Showing posts with label Generasi Muda. Show all posts

Saturday, April 4, 2020

Arkuma Kidz Magz | Cita-cita Penulis | Juni, 2018 | Debby Lukito


Adakah peristiwa seru yang membuat Kak Dee suka menulis? Apakah ini cita-cita sejak kecil? Siapa tokoh yang menginspirasi dalam bidang literasi?

Saya sudah senang menulis sejak kecil. Walau tidak pernah mencantumkan cita-cita sebagai penulis, sejak umur 9 tahun saya sudah mulai mencoba menulis novel dan mengangankan satu hari akan melihat buku saya dijual di rak toko buku. Memutuskan senang menulis karena awalnya saya senang berkhayal, senang merangkai cerita, dan ingin membagikannya ke orang lain. Saya merasa hal itu bisa terfasilitasi dengan baik lewat menulis.

Kak Dee sempat eksis sebagai penyanyi, adakah keinginan untuk kembali ke dunia tarik suara dan apa rencana ke depan dalam bidang penulisan?

Keinginan untuk kembali berkarya di bidang musik tetap ada, tetapi saya belum tahu pasti kapan. Mudah-mudah bisa di tahun 2018 ini. Untuk di bidang penulisan, dalam waktu dekat saya akan melansir buku tentang proses kreatif.

Jika ada pembaca cilik yang nantinya ingin menjadi seorang penulis, apa kiat-kiat / "do atau don't" yang ingin Kak Dee bagikan untuk mereka?

Do: Banyak membaca, banyak mencoba, dan upayakan setiap tulisanmu bisa tamat. Menulis adalah keahlian yang harus terus diasah. Jam terbang sangat menentukan.
Don’t: Takut gagal, takut tulisan kita jelek. Fase itu harus dilewati, menulislah sampai kamu benar-benar puas dengan hasil tulisanmu.

Pesan Kak Dee untuk 'kids jaman now'?

Galilah minatmu, seluas-luasnya. Hari ini mungkin kamu suka melukis, besok suka menyanyi, tidak apa-apa. Eksplorasi saja. Begitu ketemu bidang atau hobi yang kamu suka, coba tekuni dengan semangat ingin menjadi yang terbaik.

Friday, April 3, 2020

Media Indonesia | Aroma Karsa & Profesi Penulis | April, 2018 | Rizky Noor Alam


Sebagai seorang penulis senior, bagaimana Anda melihat perkembangan dunia menulis Indonesia saat ini?

Secara umum, profesi penulis saat ini mendapatkan lebih banyak perhatian. Dari soal pajak, program residensi, festival penulis baik lokal maupun internasional, pemunculan beberapa asosiasi penulis, kesemua itu menunjukkan adanya geliat yang lebih dinamis. Berbicara soal penulis tidak bisa lepas dari industri. Industri yang sehat dan bergairah akan memunculkan lebih banyak penulis. Secara industri, industri perbukuan masih sangat kecil dibandingkan industri kreatif lain, yang artinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Terutama menyangkut minat literasi, akses ke buku yang lebih merata, dan pengadaan buku yang lebih terjangkau.

Buku terbaru Anda yang berjudul Aroma Karsa bisa dibilang booming di pasaran. Bisa dijelaskan apa latar belakang serta pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca? Mengingat tampaknya Anda melakukan riset yang mendalam untuk ini.

Saya bukan tipe penulis yang punya pesan khusus kepada pembaca. Saya menuliskan sesuatu semata-mata karena itu menarik bagi saya. Sejam empat tahun lalu, saya memang sudah tertarik untuk mengolah topik indra penciuman di dalam fiksi. Dari sanalah muncul ide dasar untuk Aroma Karsa.

Bagian mana dari buku Aroma Karsa yang paling menarik/berkesan buat Anda? Mengapa begitu?

Saya tidak bisa mengisolasi beberapa bagian saja dari cerita. Bagi saya, semuanya merupakan satu kesatuan. Di Aroma Karsa, selain tema penciuman, mungkin yang bisa dibilang hal baru bagi saya di Aroma Karsa adalah penggalian mitologi Jawa khususnya Majapahit, yang meski dalam Aroma Karsa hampir semuanya fiktif, dalam risetnya saya tetap mempertimbangkan aspek epigrafi yang relevan. Unsur semacam ini belum pernah sebelumnya muncul di karya saya.

Apa harapan Anda dengan kemunculan buku Aroma Karsa? Mau dibawa ke mana komunitas pembaca Aroma Karsa yang sudah terbentuk?

Dinamika pembaca semacam ini merupakan hal lazim, sebetulnya. Yang membedakan adalah saya, sebagai kreator, sempat ikut di dalamnya. Meski sekarang ini pastinya keterlibatan saya tidak seintensif ketika cerbung Aroma Karsa masih berjalan. Saya tidak ingin mengorganisir pembaca karena itu akan memakan fokus dan atensi saya yang seharusnya bisa dipakai untuk berkarya. Saya juga yakin pembaca lebih membutuhkan saya untuk berkarya ketimbang mengorganisir mereka. Saya lebih cenderung membiarkan komunitas pembaca semacam ini  berjalan organik, seperti halnya Komunitas Supernova. Jadi, biarlah para pembaca yang sudah bersilaturahmi ini yang kemudian memutuskan arahnya bagaimana. Grup FB Aroma Karsa yang sekarang ada tidak akan ditutup.

Berapa eksemplar buku Aroma Karsa yang sudah terjual? Adakah target jumlah buku yang terjual? Dan, apakah akan muncul sekuel lanjutan Aroma Karsa?

10.000 buku PO sudah terjual. Di luar dari itu, jika tidak salah, penerbit mencetak 40.000 eksemplar. Detailnya bisa dipastikan ke Bentang Pustaka. Kalau jumlah terjual harus dicek beberapa bulan kemudian, karena penyerapan di toko buku tidak bisa dilaporkan serta merta.
Sekuel Aroma Karsa sejauh ini belum direncanakan, meski tidak menutup kemungkinan.

Sebelum Aroma Karsa, Anda sudah menerbitkan banyak buku dan beberapa diantaranya diangkat menjadi sebuah film seperti Supernova, Filosofi Kopi, dan Perahu Kertas. Bisa dijelaskan bagaimana perjalanan buku-buku Anda tersebut dapat diangkat menjadi sebuah film?

Tawaran menjadi film sepenuhnya merupakan inisiatif rumah produksi/produser. Saya tidak pernah aktif menawarkan atau mencanangkan buku-buku saya jadi film. Jadi, kalau ada yang tertarik, maka yang bersangkutan akan mengontak saya. Jika segalanya pas, jadi. Jika tidak, ya, tidak jadi. Sesederhana itu saja.

Bagaimana soal hak cipta dari buku/cerita yang Anda tulis yang kemudian diangkat ke film? Mengingat jika sebuah buku diangkat menjadi film, tidak semuanya isi buku tersebut difilmkan? Dan, kalau tidak keberatan, berapa nilai dari setiap buku yang diangkat menjadi film tersebut?

Hak cipta tetap ada di tangan penulis. Proses ekranisasi atau alih wahana dari fiksi menjadi film disebut sebagai hak adaptasi. Artinya, buku diadaptasi, dan bukan garansi bahwa isi buku 100% diterjemahkan menjadi film. Dalam proses alih wahana tersebut pasti akan penyesuaian. Penulis memberikan hak adaptasi kepada pihak film, dan selebihnya merupakan hak pembuat film untuk menentukan.
Poin yang kedua tidak bisa saya jawab karena menyangkut pasal kerahasiaan dalam kontrak.

Dalam menulis buku, apa target Anda? apakah Anda selalu menargetkan menjadi film saat menulis buku? Atau Anda memang sudah membayangkan akan diangkat menjadi film?

Target saya adalah menulis buku yang ingin saya baca, dan menulis sebaik-baiknya. Alih wahana tidak pernah menjadi target.

Setelah Aroma Karsa, buku apa lagi yang sedang dalam proses penulisan? Adakah target jumlah buku yang harus Anda terbitkan setiap tahunnya?

Saat ini saya masih menjalani masa promosi Aroma Karsa, dan belum merencanakan apa yang akan saya garap berikutnya. Tentunya saya sudah punya beberapa opsi, tapi saya tidak mau memikirkan soal itu dulu hingga masa promosi selesai. Setelah itu, saya rihat dulu sambil pelan-pelan mulai merencanakan proyek kreatif berikut. Saya tidak punya target tahunan, karena kecepatan saya berkarya sejauh ini selalu lebih dari setahun, paling cepat setahun setengah.

Di era digital saat ini, banyak orang yang sudah mulai beralih membaca via tablet atau smartphone-nya. Namun masih ada pula beberapa kalangan yang masih setia membaca menggunakan kertas. Bagaimana Anda melihat fenomena ini? Akankah Anda akan mulai beralih menerbitkan buku secara digital?

Saya sudah memulai menerbitkan naskah secara digital sejak tahun 2007, dimulai dari Perahu Kertas. Saat ini, selain Aroma Karsa, semua versi digital dari buku saya juga sudah tersedia. Saya merasa teknologi saat ini merupakan kesempatan emas untuk meningkatkan minat literasi. Meski buku cetak masih mendominasi dan memiliki peran penting, kita bisa memanfaatkan teknologi buku digital untuk pemerataan buku-buku di daerah, ketimbang harus mengirimkan/menyebarkan buku fisik yang juga memakan biaya dan membutuhkan perawatan. Beberapa daerah yang saya kunjungi akhir-akhir ini, salah satunya Kalimantan Selatan, Dinas Perpustakaan-nya sudah bersiap meluncurkan perpustakaan digital, yang mana anggota perpus dapat meminjam buku secara gratis dalam kurun waktu tertentu. Hal seperti ini menurut saya adalah terobosan penting dan mudah-mudahan dapat diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Untuk itu, penting sekali bagi pemerintah untuk menyiapkan jaringan/infrastruktur bagi layanan internet memadai di Indonesia. Buku bukan berhenti sebatas kertas. Buku adalah konten dan informasi. Dan, teknologi saat ini memungkinkan kita mengakses konten buku di luar dari batasan fisik. Tergantung kita siap memanfaatkannya secara maksimal atau tidak.

BEKRAF pernah bilang bahwa media multiplatform cocok untuk orang-orang yang bergerak di industri kreatif, konten tulisan Anda dapat pun dapat dikembangkan melalui banyak media. Maksudnya inti dari industri kreatif adalah hak cipta. Misalnya komik Marvel yang menjelma menjadi banyak film dan dibuat merchandise-nya, Laskar Pelangi yang selain menjadi film juga mampu berdampak pada menghidupkan industri pariwisata di daerahnya, lalu Filosofi Kopi yang tidak hanya diangkat menjadi film tapi sekarang juga ada gerai-gerai kopinya. Bagaimana pendapat Anda dengan hal tersebut?

Menurut saya, memang ke arah sanalah industri perbukuan harus bergerak. Dan, secara umum, ke arah sana jugalah industri kreatif harus bergerak. Sekat antar medium saat ini sudah semakin cair dan fleksibel. Satu ide yang sama dapat bertransformasi menjadi berbagai output, lintas industri.

Bagaimana pendapat Anda soal pengenaan pajak bagi penulis yang dilakukan Pemerintah?

Sudah ada perhatian dengan tanggapnya pemerintah dan Menteri Keuangan terhadap isu pajak penulis tempo hari, dan juga perbaikan dengan adanya profesi penulis di daftar NPPN. Hanya saja, menurut saya pajak penulis masih bisa diperbaiki dan lebih merefleksikan sifat profesinya. Besaran NPPN tsb menurut saya masih bisa disesuaikan. PPh 23 saat ini juga masih terlalu besar (15%), dan pengaturan pemungutan langsung oleh penerbit berarti pemerintah menahan uang penulis dan berpotensi membuat perhitungan yang membutuhkan koreksi di SPT tahunan (bisa lebih atau kurang bayar – yang artinya menambah satu prosedur lagi yang merepotkan penulis, juga pemungut pajak).

Follower Anda di sosial media terbilang banyak. Bagaimana Anda memandang diri Anda sebagai seorang influencer?

Saya tidak memisahkan profesi saya dengan status saya sebagai influencer. Kredibilitas saya datang dari profesi yang saya lakukan. Jadi, yang lain-lain bisa dibilang hanya ‘bonus’. Yang jelas, di medsos saya berprinsip untuk membatasi tidak over-sharing hal-hal yang terlalu pribadi. Dan, ketika saya menampilkan keseharian, saya juga tidak ingin menampilkan citra artifisial, jadi sesuai dengan kepribadian saya saja. Interaksi dengan follower saya jaga tetap riil dan hangat. Bagi saya, medsos pada prinsipnya adalah penunjang pekerjaan, tapi saya tidak ingin “dimanfaatkan” medsos.

Apa saran Anda bagi para penulis muda Indonesia?

Tulis yang ingin kita baca. Tingkatkan jam terbang. Banyak mencoba sampai kita nyaman. Jangan takut gagal, jangan juga terlalu muluk. Mulai tulisan dengan niat menamatkannya.

Apa arti musik dan buku bagi Anda?

Medium untuk berekspresi.

Bagaimana Anda mendapatkan inspirasi dalam menulis? Akankah Anda tertarik untuk menulis berdasarkan fenomena sosial masyarakat terkini?

Inspirasi saya datang dari hidup itu sendiri, dari mengamati dan menjalaninya. Baik perenungan, ketertarikan, maupun buku-buku yang saya baca, menjadi bahan bagi saya menulis. Kalau ada fenomena sosial masyarakat terkini yang menarik, maka bisa saja itu menjadi ide. Tetapi, saya tidak pernah merencanakannya dengan sengaja. Kalau memang terpicu jadi ide, ya terjadilah.

Bagaimana cara Anda menghilangkan penat dan mengumpulkan semangat saat sudah mulai jenuh untuk menulis? 

Kebuntuan ringan cukup diatasi dengan hal-hal yang sederhana, seperti istirahat, nonton film, olahraga, mandi, atau baca buku. Kalau cerita stagnan berkepanjangan, biasanya perlu dirombak secara teknis. Elemen fiksinya dikaji ulang dan diganti, bahkan ditulis ulang. Berusaha terus semangat dalam menyelesaikan karya bukanlah target yang realistis, karena seperti cuaca, pasti ada naik-turunnya. Saya cuma berusaha mematuhi deadline yang saya buat. Semangat atau tidak semangat, jenuh tidak jenuh, kalau kita sudah punya deadline dan komitmen untuk mematuhinya, perintang seperti itu akan teratasi dengan sendirinya, apa pun caranya.


Hobi Anda di luang apa? Seberapa sering Anda lakukan? Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga d itengah kesibukan?

Berenang, memasak. Memasak hampir setiap hari karena merupakan bagian dari mengurus keluarga. Berenang kira-kira seminggu dua-tiga kali. Membagi waktu berdasarkan prioritas yang tepat sesuai kebutuhan, tidak ada rumus khusus. Kalau saatnya kerja dan keluar kota, ya, lakukan. Kalau memang harus di rumah, ya, di rumah. Saya berusaha membatasi diri saja untuk tidak over-work dan menjalankan prinsip produktif tanpa sibuk. Banyak orang sibuk tapi tidak produktif. Saya berusaha sebaliknya, produktif tapi minim sibuk.

Sebagai seorang penulis, nilai-nilai apa yang selalu Anda tanamkan pada anak Anda? Apakah Anda juga mendorongnya untuk mengikuti jejak Anda?

Di rumah kami berusaha menyuburkan kreativitas anak-anak, memberi mereka akses ke alat musik, kursus musik, dan buku. Saya tidak berusaha menjadikan mereka seperti saya. Saya percaya mereka lahir dengan potensi masing-masing dan ketertarikan yang juga mungkin berbeda dengan saya. Saya dan suami hanya berusaha memfasilitasi sebaik mungkin.

Sahabat Guru | Kegiatan Literasi | Maret, 2018 | Agung Yuswanto

 Adakah pengalaman literasi menarik (dikasih hadiah buku oleh ibu/ayah/paman/guru)? Apa latar belakang pengalaman menarik itu?

Saya anak keempat dari lima bersaudara, dan tiga kakak saya gemar membaca, jadi saya banyak membaca buku-buku maupun majalah milik mereka. Bacaan saya semasa kecil tergolong ringan dan sesuai usia. Keluarga kami pelanggan Donal Bebek bertahun-tahun, kami suka komik, cergam, dan fiksi-fiksi terjemahan seperti karya Enid Blyton, Alfred Hitchcock, Sydney Sheldon, dsb, yang populer pada zamannya. Saya senang mengkhayal dan menulis dari kecil. Salah satu pengalaman berkesan adalah ketika dipuji oleh ibu saya. Beliau bilang saya berbakat menulis. Ucapan beliau menyemangati saya untuk terus menulis meski cuma sebatas iseng dan kebanyakan disimpan sendiri.

Siapa tokoh literasi idola Dee?

Saya tidak punya tokoh tertentu yang diidolakan, tapi saya kagum pada para rekan penulis yang punya komitmen dan dedikasi untuk tidak sekadar menulis tapi juga membina komunitas penulis dan pembaca, seperti Gola Gong dan Helvy Tiana Rossa. Saya belum sanggup seperti mereka.

Apa penilaian Dee terhadap gerakan literasi di sekolah dan di masyarakat pada hari ini? Apa yang kurang? Bagaimana sebaiknya sekolah dan masyarakat (khususnya orangtua) dalam upaya membangun kultur literasi? Apa pendapat Dee soal subsidi buku?

Akar masalah kita bukan hanya industri melainkan juga kultur. Tradisi lisan di masyarakat kita ketimbang tulisan. Namun, dengan tuntutan zaman, mau tak mau kita harus memperkuat tradisi tulisan. Upaya perbaikan itu tentu butuh waktu panjang dan menyeluruh, tidak cuma dari pemerintah dan sekolah, tapi dari unit keluarga. Sedini mungkin keluarga mengenalkan bacaan kepada anak lebih baik. Kita bisa dedikasikan sebuah sudut di rumah untuk menjadi semacam sudut baca dan sudut kreativitas, di mana ada rak buku dan tempat nyaman bagi anak bisa membaca.
Akses kepada bacaan perlu dipermudah. Kesadaran akan pentingnya membaca perlu terus digaungkan. Dan, industri buku perlu diberi insentif agar lebih bergairah dan produksi buku lebih murah. Berkaitan dengan subsidi buku, menurut saya perlu ada perluasan kategori subsidi buku, tidak cuma sebatas buku pelajaran atau agama tapi termasuk buku populer, karena pengajaran bahasa dan ilmu tidak berbatas pada buku pendidikan saja.

Apa dampaknya bagi masa depan Indonesa bila warga bangsa tidak memiliki tradisi literasi?

SDM kita jalan di tempat dan kalah saing dibandingkan dengan negara-negara yang tradisi literasinya lebih kuat.

Adakah hubungan antara gerakan literasi yg lambat dan dinamika sastra pada bangsa ini? Mengapa dunia sastra kita lemah? Sejak kapan itu terjadi?

Saya tidak merasa dunia sastra kita lemah, tetapi industri bukunya yang kurang berkembang pesat. Ini termasuk ke regenerasi penulis dan harga buku. Jadi, bicara sastra tidak bisa lepas dari industri buku secara keseluruhan. Saya tidak bisa jelaskan kapan persisnya terjadi karena itu bukan keahlian saya. Namun, dari sebatas yang saya tahu dari rekan-rekan di industri buku, baik dari penerbit, penulis, maupun toko buku, selama buku masih mahal dan tidak mudah diakses secara merata, yang bergerak lambat bukan hanya dunia sastra saja, tapi tingkat literasi bangsa ini. Sastra hanya sebagian dari dunia literasi. Saya rasa kita tidak kekurangan kreativitas maupun talenta, hanya untuk bisa mengembangkannya sampai ke taraf  “excellent” baik dari segi kualitas maupun kemapanan hidup, hanya segelintir yang bisa. Ini perlu diperbaiki secara sistemik dan menyeluruh.

Apa kesibukan Dee paling menarik/gres pada belakangan ini? Terkait literasi? Kegiatan sosial?

Sedang mempersiapkan rilis buku terbaru saya Aroma Karsa yang rencananya terbit pertengahan Maret. Saat ini Aroma Karsa versi digital sudah bisa dinikmati dalam format cerita bersambung melalui platform Bookslife (www.bookslife.co). Tentang Aroma Karsa bisa disimak di website saya www.deelestari.com. Di luar itu, saya masih aktif mengajar workshop dan seminar tentang kepenulisan.

Bagaimana Dee menjaga etos literasi selama ini?

Saya kurang paham yang dimaksud dengan “etos literasi”. Intinya, saya berkomitmen untuk berkarya setiap 1,5 – 2 tahun sekali. Dan dalam setiap karya saya coba menggarapnya semaksimal mungkin dan memberikan diri saya sendiri tantangan-tantangan baru, entah dari tema, kebutuhan riset, maupun format cerita dan cara marketing yang belum pernah saya coba.

Apa mimpi Dee yang belum tercapai?

Menulis buku resep masakan dan buku cerita anak-anak.

Thursday, April 2, 2020

Access Magazine | Tax & Royalty | Sept, 2017 | Satya Wacana

What is your reason for becoming a writer? Do you think that some writers may have the same reason at the first they start this field? Why?

As long as I remember, I always have a strong inclination towards story crafting. I enjoyed the sensation of being carried away by a story, and I’d like to do the same to others. So, basically it’s been a hobby since I was a child. I guess many writers felt the same passion early on.

Back then, there were some issues regarding to the regulation of royalty payment and the tax. I believe you as one of the experienced writers, you do know exactly what the problems are. In short explanation, what is the real problem that the writers (in this case Indonesian writers) have to struggle with?

In general, it’s not that easy to be a writer as a sole profession. Only the best-selling books can generate enough significant income to provide a living, and only a handful writers can be the best-selling ones. The issue with tax is, our taxation system doesn’t reflect its full understanding yet on the productivity cycle and the income pattern of a writer. We’re in the same category with artists, while how we generate income is far different. Royalties are considered passive income, while in reality writers need to actively create and promote their works.

Based on the 2 notes that you wrote and published on your Facebook page (attached), you are aware about the dilemma of Indonesian writers. But then, as you are now, you are successful in this field and known by most of the writers in Indonesia. Had you went through the problem too (as stated in the 2nd question) or do you still struggle with it until now? How do you overcome it?

I started out my writer career by doing self-publishing. And, lucky enough, the sales of my book was very good at that time. Writing was also not my sole profession because I was already a professional singer first. I had challenges in managing self publishing, but I didn’t struggle financially. To overcome it, I decided to work together with a publisher on my second book. Therefore, I could focus on the creative aspect of my work and let others handle the business aspect. But of course, my situation may not apply to all writers. In my article, I pointed the general situations with writers in Indonesia.

Talking about the process of publishing a book, can you share your experience about it?  Was there any problem in the process? If there was, what was it? Do you have any idea how to solve similar problems in the future?

If you go to a publisher, then you need to have a strong manuscript. The story must be relatable. More polished is better, because the editor can gauge our writing ability and maturity from how we prepare our manuscript. You also need to find the right publisher. Don’t go with a nonfiction manuscript to a publisher that mostly publish fictions, for instance. So, know your own book and know which door to knock. If you’re doing self- publishing, then of course you will need capital to do it. You’ll need to do all the tasks that a publisher usually does, which include distribution planning, promotion planning, sales planning, etc. Both has its own advantage and challenge.

If the government still ignores the unsolved problem, do you think it will impact the next generation of Indonesian writers? How so?

I think, writing as a profession will remain a secondary job for most. We’ll have only few dedicated writers, thus a slow growth in literacy outcomes. Eliminating the PPN from all books and giving the right tax treatments for writers will be a great stimulus for Indonesian literacy.

What about the readers? Will it (refers to previous question) brings effects to the interest in reading of Indonesian?

Eliminating PPN from all books will make books become more affordable to people. Readers may also enjoy more various themes and increasing numbers of books from more writers.


While waiting for the government to make a move and take actions to the matters of Indonesian writers problems, what do you suggest or any advises for to-be writers out there, that have plan to publish their masterpiece?

We all should be doing what we love. Tax is one thing, and there are rooms to improve on that matter. But, however the situation is, we should always keep writing our hearts out, do what we love best.

Is there any additional advice for the writers in Indonesia that might be considered as an important thing to be prepared before and after they send their manuscript to publisher?

Writing is like a muscle. You need to use it a lot to grow stronger, to know yourself better. If you want to become a professional writer, you should perceive yourself like an athlete going for a race. You need to train. Learn as much as you can about writing, from books, workshops, and most importantly, from trying it often. There’s no shortcut to writing. It’s  skill that needs a lifetime to master.


Grand Magazine | Perkembangan Literasi | Juni, 2017 | Fiqih A. Dennoto


Bagaimana pandangan narasumber tentang perkembangan literasi di Indonesia mengingat menurut beberapa riset yang dilakukan, literasi di Indonesia masih cukup rendah?

Kalau kita melihat fenomena pameran buku, seperti Big Bad Wolf baru-baru ini yang mampu meraup target pengunjung di atas ekspektasi, bagaimana orang bisa membeli dan memborong buku sampai subuh, berarti semangat dan ketertarikan kepada buku sebenarnya besar. Tapi, kalau kita memotret Indonesia secara keseluruhan, tentu kita juga harus memasukkan profil masyarakat yang pergi ke sekolah saja susah, akses perpustakaan dan buku terbatas, dan akhirnya secara keseluruhan kita jadi punya angka literasi (berapa banyak buku yang dibaca setahun oleh rata-rata penduduk Indonesia) menjadi rendah. Berarti untuk bisa meningkatkan literasi butuh perbaikan yang sistemik dan menyeluruh. Dari mulai kebijakan pajak buku, menekan harga produksi buku, penyebaran perpustakaan, menggairahkan pemain-pemain industri buku seperti outlet, penerbit, dan juga menyokong para penulis agar kesejahteraannya meningkat. Jadi, ini pe-er besar, dan tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang, tapi sudah harus skala kebijakan pemerintah dan industri.

Bagaimana pandangan narasumber tentang media-media apa saja yang bisa digunakan untuk mempopulerkan literasi?

Sesungguhnya, literasi itu sudah populer, kok. Kehidupan manusia sudah melibatkan kegiatan menulis, story-telling, dsb. Film-film Indonesia saat ini banyak sekali yang bersumber dari adaptasi buku. Jadi, bukannya masyarakat tidak kenal atau aware dengan pentingnya buku. Cuma, belum menjadi lahan subur saja, beda jika kita bandingkan dengan kuliner, misalnya. Masih sedikit yang tergerak terlibat menjadi pemain serius, baik dari kalangan bisnisnya maupun kreatifnya. Yang bisa hidup benar-benar dari menulis itu masih sedikit. Industri buku masih jadi penyumbang sangat kecil terhadap ekonomi kreatif Indonesia. Caranya seperti yang saya ungkap tadi. Menulis dan membaca harus menjadi satu paket kegiatan yang didorong sejak kecil. Selain itu, secara industri, harus bisa dibuat ekosistem yang subur.

Sebagai seorang penulis, penyanyi, serta pencipta lagu, bagaimana pandangan narasumber tentang literasi yang diaplikasikan melalui musik?

Format karya yang menggabungkan literasi dan lagu sudah pernah saya buat tahun 2008 saat saya membuat Rectoverso. Sekarang ini juga cukup banyak yang membuat karya gabungan semacam itu, seperti Fahd Pahdepie dan Sudjiwo Tejo, misalnya. Tapi, tentu itu bukan satu-satunya format. Saya rasa dari mulai komposisi lagu pun sudah harus melibatkan kemampuan literasi. Jadi, kalau dilihat secara umum, sebenarnya kemampuan menulis/literasi itu bersinggungan dengan banyak sekali industri.

Supernova, Perahu Kertas, Filosofi Kopi merupakan karya dari narasumber yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Pandangan narasumber tentang pencapaiannya sebagai seorang penulis, penyanyi, sekaligus pencipta lagu yang membawa nama Dewi Lestari sampai ke luar negeri.

Jalur kreatif saya sejak kecil memang selalu dua itu, musik dan menulis. Dan, benang merah antara keduanya adalah story-telling atau seni bercerita. Baik dalam format buku maupun lirik lagu, yang saya kedepankan selalu adalah cerita. Saya merasa beruntung dapat menjadikan seni bercerita sebagai karier, identitas, maupun kontribusi saya bagi masyarakat. Pada titik ini saya pun merasa masih banyak sekali hal yang perlu saya pelajari tentang seni bercerita. Itu jugalah yang membuat saya amat mencintai pekerjaan saya, karena ruang untuk terus belajar selalu ada. Pencapaian terbesar yang saya rasakan adalah ketika banyak pembaca mengatakan bahwa mereka jadi menyukai fiksi, menyukai membaca, setelah bertemu dengan karya saya. Bagi saya, itu menjadi indikasi bahwa kecintaan saya terhadap seni bercerita mampu menular dan tersebar ke pihak lain.

Bagaimana pandangan narasumber tentang musisi serta penulis di Indonesia yang mempopulerkan literasi melalui media populer seperti musik dan novel serta seberapa besar perannya dalam mengajak anak muda untuk mulai mencintai literasi?

Saya ini sebetulnya lebih banyak berada di jalur yang soliter, di mana saya berkarya dan kemudian itu menjadi kontribusi saya. Tapi ada penulis-penulis lain yang memang mendedikasikan diri dan waktunya untuk mengembangkan komunitas, mendidik dan membina penulis-penulis muda, seperti Helvy Tiana Rosa dan Gola Gong. Juga ada orang-orang seperti Janet de Neefe penggagas Ubud Writers Festival dan Lily Farid penggagas Makassar Writers Festival, misalnya. Mereka ini menurut saya sungguh luar biasa. Terus terang, saya belum punya kapasitas ke arah sana saat ini. Kita membutuhkan orang-orang semacam mereka, karena mereka memegang peranan penting dalam regenerasi penulis dan juga pengembangan ekosistem kreatif.

Apa yang seharusnya dilakukan anak muda yang ingin mengembangkan budaya literasi agar bisa dinikmati berbagai kalangan?

Yang bisa dilakukan secara langsung dan nyata tentunya adalah dengan menciptakan karya. Sekadar menulis, semua banyak yang bisa. Tapi, ketika kita berkomitmen untuk menciptakan karya, bagi saya itu levelnya sudah beda. Ada banyak implikasi. Kita belajar bagaimana menjadi seorang kreator, kita merasakan pengalaman ketika karya kita berinteraksi dengan pembaca, dsb. Jalur untuk berkarya ini juga tentunya tidak mutlak harus lewat penerbit mapan. Banyak cara untuk berkarya sekarang ini. Lewat self-publishing, lewat perlombaan, atau bahkan lewat platform seperti Wattpad. Intinya, harus mencoba untuk berkarya.

Harapan narasumber sebagai penulis, penyanyi, serta pencipta lagu untuk generasi muda agar lebih peka terhadap literasi.

Tulislah buku yang ingin kamu punya. Tulislah cerita yang ingin kamu baca. Menulis adalah otot yang harus dilatih sesering mungkin untuk bisa menjadi tangguh. Dan, membacalah agar kita terus berkembang.

Wednesday, February 17, 2016

JAWA POS Deteksi | Menulis Cerpen ala Dee | November, 2015 | by Wicak

-->  
Bagaimana sih komposisi membuat cerita pendek ala Mbak Dee? Saya harap bisa dibagi minimal tiga komposisi saja.

Saya rasa semua cerita, baik novel maupun cerpen, komposisinya kurang lebih sama, yakni struktur 3 babak. Dimulai dengan tesis, kemudian anti-tesis, dan terakhir sintesis. Bedanya, dalam cerpen biasanya ditekankan unsur kejutan, sebuah pertanyaan atau perenungan yang mengusik. Jika dalam novel kita punya banyak kesempatan untuk mengungkapkan back-story atau cerita latar, dalam cerpen kita biasanya fokus cerita utama saja. Kalau dalam novel kita bisa leluasa memainkan karakter dengan jumlah banyak, dalam cerpen saya cenderung memakai karakter yang lebih sedikit.

Hal apa yang menginspirasi Mbak Dee sehingga dapat membuat cerita yang menarik?

Banyak sebetulnya, saya tidak bisa terlalu memformulasikannya. Yang jelas, ada hal-hal yang menurut saya punya unsur fiksi. Bisa dikembangkan menjadi sebuah drama. Fakta yang kering baru bisa punya drama ketika kita memasukkan unsur emosi, dramatisasi. Potensi itu yang saya lihat ketika saya memilih satu topik untuk dikembangkan. Dalam Filosofi Kopi, misalnya, sekadar segelas kopi belum tentu bisa berkembang menjadi drama, tapi ketika dilihat dari perspektif seseorang yang terobsesi dengan kopi dan punya ambisi membuat kopi terbaik, itu menjadi drama.

Isu seperti apa sih yang cocok diangkat oleh generasi muda khususnya pelajar SMP/SMA agar menciptakan plot cerita yang menarik? 

Setiap penulis, terlepas dari usianya, menurut saya sudah punya ketertarikan “bawaan”. Sesuatu yang menarik dan menggelisahkannya. Terkadang, penulis harus mengalami satu momen dramatis dalam hidupnya terlebih dahulu yang lantas mendorongnya untuk bercerita. Tiap orang tentu beda-beda, bergantung apa yang terjadi dalam hidupnya dan bagaimana ia mencernanya. Jadi, tidak bisa kita generalisasi topik-topik yang cocok untuk segmentasi usia tertentu. Pilihan tema atau isu adalah pilihan yang sangat personal. Ketertarikan seseorang tidak bisa dipaksakan. Namun, untuk menjadikannya cerita yang menarik dibutuhkan skill, pengetahuan, dan latihan. Hal ini bisa dilatih dan dipertajam dengan membaca, ikut workshop, dan terus menulis.

Monday, December 22, 2014

Jawa Pos | 100 Tokoh Muda Yang Menginspirasi Indonesia | November, 2013 | by Kardono

Anda masih sangat muda (25 tahun) ketika me-launching novel pertama dulu. Berapa lama proses pembuatan novel itu?

Sekitar sembilan bulan, termasuk masa riset pustaka.

Anda berhasil membuat teori kuantum menjadi liris dalam novel pertama anda. Kenapa memutuskan untuk membuat novel bergenre fiksi ilmiah? Apakah ini semacam pendobrakan terhadap novel-novel kitsch yang mulai menjamur saat itu?

Prinsip saya adalah menuliskan apa yang saya suka dan apa yang menjadi minat saya. Saat itu saya sedang terpesona dengan fisika kuantum dan hubungannya dengan kesadaran manusia serta semesta. Karena itu, saya lantas mengolahnya dalam cerita. Saya malah tidak terlalu memerhatikan tren novel saat itu, karena memang bukan itu yang menjadi motivasi saya. Saya tidak datang dengan keinginan untuk mendobrak, melainkan sekadar berbagi apa yang menjadi minat saya. 

Novel bergenre fiksi ilmiah bukan hal baru di dunia, meski baru di Indonesia (yang Anda jadi pelopornya). Siapa penulis-penulis luar yang menjadi inspirasi Anda dan kenapa?

Saya pribadi tidak terlalu sepakat jika Supernova dikategorikan fiksi ilmiah. Saya merasa Supernova adalah fiksi dengan "bumbu" ilmiah, tapi ia tidak memuntir realitas dengan basis ilmiah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh cerita bergenre fiksi ilmiah. Tapi saya juga tidak ingin terlalu memusingkan kategorisasi Supernova karena menurut saya itu tugasnya kritikus sastra, bukan saya. Jadi, silakan saja jika Supernova dianggap fiksi ilmiah. Saya sendiri lebih banyak baca buku nonfiksi ketimbang fiksi, dan tidak terbatas pada topik sains saja. Saya senang membaca buku-buku Amit Goswami, F. David Peat, David Bohm, Gregg Braden, dan seterusnya. Dari genre fiksi imliah saya cukup suka dengan Michael Crichton, Carl Sagan.

Sastra tidak pernah lepas dari kepentingan ideologi. Dan kadang dunia sastra juga tergantung ideologi yang berkembang. Contohnya, Ayat-Ayat Cinta maupun Laskar Pelangi tidak akan laris bila momentumnya tidak tepat. Bagaimanakah pendapat anda soal dunia sastra? Apakah dunia sastra adalah dunia yang putih bersih dijaga para wali berhati suci, atau seperti dunia industri pada umumnya?

Sepertinya kita harus membedakan mana dunia sastra dan mana industri buku. Laku atau tidaknya sebuah buku menurut saya lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang bermain di industri buku, di mana banyak faktor X yang bermain, terutama faktor marketing dan timing. Dunia sastra sendiri merupakan ajang yang lebih spesifik, yang melibatkan dinamika antara pembaca, penulis, kritikus, dan komunitas. Kadang industri buku dan dunia sastra seiring sejalan, kadang keduanya punya jagoan yang berbeda. Saya rasa tidak ada dunia seni yang "putih bersih", karena itu berarti harus melibatkan dikotomi seberangnya yakni "hitam kotor". Bagi saya dunia seni adalah senantiasa dunia yang abu-abu, yang subjektif, yang relatif.

Harapan Anda terhadap dunia sastra Indonesia seperti apa? Terutama semakin banyaknya buku-buku tak jelas (seperti buku-buku copy-paste dari internet, diedit asal-asalan, dan diberi cover yang bagus).

Saya lebih bisa bicara tentang industri buku secara umum. Saya berharap industri buku bisa melewati transisi yang lebih mulus ke era digital dan format elektronik, dibandingkan industri musik, misalnya. Saya berharap akan ada lebih banyak pemain baru yang berani berinvestasi, khususnya di toko buku, sehingga persaingan dan aturan main bisa lebih sehat. Dalam minat menulisnya sendiri menurut saya memang ada kemajuan pesat, terutama justru karena sekarang seseorang bisa berekspresi dan eksis lewat tulisan tanpa harus menunggu peran penerbit dan jalur konvensional. Dengan media sosial, blog, penerbitan buku independen, setiap orang dimudahkan untuk berkarya. Soal kualitas menurut saya akan ada seleksi alami. Yang memang berbakat dan kualitasnya teruji akan bertahan. 

Anda tergolong penulis yang menulis sesuai dengan keyakinan anda. Bukan karena tuntutan pasar. Benarkah? Dan bisa diceritakan bagaimana proses anda menulis?

Seperti yang saya bilang saya sebelumnya, prinsip saya simpel saja, saya menulis apa yang ingin saya baca, dan membuat musik yang saya ingin dengar. Di tahap pertama berkreasi, saya berkreasi untuk kepuasan diri. Interaksi yang terjadi sebatas antara diri saya dan alam ide. Faktor eksternal seperti pembaca, penerbit, dan pemasaran, akan muncul kemudian pada tahap-tahap selanjutnya. Syukurnya, proses demikian terjadi alamiah pada saya. Jadi, saya tidak merasa harus memaksakan diri untuk berprinsip seperti itu. Karena, jujur saja, fondasi seperti itu sangat menolong saya untuk bisa berkarya dengan minim beban. Sungguh berat jika tujuan awal kita adalah memuaskan orang banyak. Jauh lebih realistis jika tujuan awal kita adalah untuk memuaskan diri kita sendiri dulu.

Menulis dan mencipta lagu. Dua hal mana yang lebih Anda sukai?

Keduanya punya tantangan berbeda dan sama-sama saya sukai.  

Soal Indonesia dan Muda. Anda terpilih menjadi salah satu dari 100 tokoh muda yang menginspirasi Indonesia versi kami. Apa yang Anda lakukan dengan hal ini?

Berterimakasih dan bersyukur, tentunya. Saya harap karya saya dapat memicu kreativitas dan berkontribusi positif bagi masyarakat muda Indonesia.

Bagaimana menurut anda situasi orang muda Indonesia sekarang ini? (parah, tapi masih ada harapan, atau benar-benar menjanjikan?)

Selalu ada harapan. Memang tidak mudah jika kita ingin bicara untuk seluruh orang muda Indonesia, berhubung setiap daerah bisa memiliki realitas yang sama sekali berbeda. Orang muda di kota besar dengan orang muda di pelosok terpencil Indonesia tidak bisa dipukul rata kondisinya. Tapi, saya menaruh harapan besar pada mereka, orang muda golongan menengah yang berpendidikan, saya rasa merekalah pemegang potensi perubahan paling besar di negara ini. Selalu saja ada muncul individu-individu exceptional yang dengan persisten berhasil melakukan terobosan. 

Menjadi muda yang ideal itu menurut Anda seperti apa?

Kaki berpijak teguh di tanah, tangan meraih langit setinggi mungkin. Dengan akar yang kuat, kita tidak perlu gentar dengan perubahan dan kecepatan zaman. Yang berbahaya adalah mereka yang melayang tinggi tanpa arah atau berpijak di bumi tanpa punya perspektif dan visi untuk maju.

Dalam konteks Indonesia, apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang muda? Apakah muda harus berarti radikal dan revolusioner? Kalau memang harus radikal dan revolusioner, seperti apakah bentuk atau konkretnya yang ideal dari dua hal tersebut?

Muda diidentikkan dengan radikal menurut saya miskonsepsi dan stereotipikal. Ada juga orang-orang muda yang punya wisdom dan kematangan cukup untuk bisa melakukan perubahan tanpa harus selalu jadi radikal. Satu hal yang sebaiknya menjadi ciri orang muda adalah kehausan untuk belajar dan keingintahuan. Jalur pendidikan dan pemberdayaan diri menurut saya adalah yang paling efektif. Pendidikan tentu saja tidak berarti hanya formal, justru penggalian hobi dan passion seringkali akhirnya lebih penting dan produktif ketimbang jalur formal. Ini yang menurut saya sebaiknya jadi fokus orang muda. Menggali bakat dan memperkaya minat.

Dengan segala keyakinan, pemikiran, dan batin anda, maka seperti apa idealnya orang muda berbuat untuk Indonesia?

Saya tidak merasa berkapasitas untuk menjawab bagi semua orang. Karena saya dari bidang seni, maka berkarya menjadi jawaban saya yang personal. Itu jalan yang saya tahu. Itu yang selama ini saya lakukan. Berkarya yang terbaik sesuai kapasitas kita, memelihara rasa ingin tahu dan punya kehausan belajar.

Kenapa memilih menulis dan bernyanyi? Lebih suka mana, menulis atau menyanyi, dan apa alasannya?

Karena dua hal itulah yang memang menjadi hobi dan minat saya sejak kecil, otomatis dua jalur itu juga yang menjadi saluran nyaman bagi saya berekspresi. Saya tidak bisa memilih antara menulis atau menyanyi, walau sekarang lebih banyak menulis, tapi itu karena alasan praktis dan kesesuaian kondisi per saat ini. Sampai kapan pun musik akan selalu menjadi bagian inheren dari diri saya. Akan selalu ada dorongan untuk berkarya dalam musik. Menulis saat ini memang paling convenient dengan kondisi saya yang sudah berkeluarga dan lebih senang di rumah, karena menulis memberikan fleksibilitas jadwal bekerja yang saya butuhkan.

Dengan segala yang ada, dan yang menurut kami Mbak Dewi adalah salah satu tokoh muda yang menginspirasi indonesia, apakah Dewi Lestari merasa sudah menjalankan masa muda secara maksimal, sesuai dengan konsep muda ideal Mbak Dewi?

Kalau dibilang puas, sih, sudah puas. Saat masa sekolah saya aktif di bidang-bidang nonformal / eksktrakurikuler yang saya suka, dan saat kuliah saya juga sudah profesional berkarier sebagai penyanyi, dan cukup banyak pengalaman lain yang sangat berharga. Jika ada satu andai-andai yang tersisa hanyalah perihal traveling. Karena dulu sudah bekerja profesional, saya tidak punya banyak kesempatan untuk pergi traveling lama-lama. Padahal setelah menikah dan punya anak, kesempatan untuk traveling semakin susah. Tapi, mungkin kesempatan traveling akan kembali lagi setelah anak-anak saya agak besar.

Dari penuturan yang Mbak Dewi berikan, sekedar mempertegas saja, bahwa Mbak Dewi lebih menempatkan kebijaksanaan, penggalian bakat, ketimbang gairah muda yang berapi-api, dan mencoba sana-sini sebagai hal yang sebaiknya dilakukan kaum muda?

Gairah muda yang berapi-api secara alamiah pasti terjadi. Tapi, fatal sekalinya selip, karena kenekatan anak muda kadang mengalahkan akal sehatnya. Kadang nekat itu berakibat positif, tapi tidak jarang berakibat negatif. Self control dan self awareness merupakan unsur penting yang perlu dijaga dan dipelihara. Dan, tentu saja, yang berperan di sini bukan cuma pemudanya, melainkan juga keluarga dan lingkungan.

Apakah Mbak Dewi ketika berusia 20 - 25 tahun itu juga sudah wisdom dan lebih menggunakan waktunya untuk pencarian minat dan memperdalam bakat?

Saya sudah mulai mempertanyakan hal-hal eksistensial dari umur 17 tahun, dan mulai tertarik spiritualitas sejak umur 22 tahun. Minat dan bakat itu penggalian panjang sejak kecil. Jadi, setelah dewasa tinggal menuai saja. Tapi, saya tidak merasa terlalu aneh, karena cukup banyak saya mengenal teman-teman seumur yang juga serupa polanya.