Anda masih sangat muda (25 tahun) ketika
me-launching novel pertama dulu. Berapa lama proses pembuatan novel itu?
Sekitar
sembilan bulan, termasuk masa riset pustaka.
Anda berhasil membuat teori kuantum menjadi
liris dalam novel pertama anda. Kenapa memutuskan untuk membuat novel bergenre
fiksi ilmiah? Apakah ini semacam pendobrakan terhadap novel-novel kitsch yang
mulai menjamur saat itu?
Prinsip
saya adalah menuliskan apa yang saya suka dan apa yang menjadi minat saya. Saat
itu saya sedang terpesona dengan fisika kuantum dan hubungannya dengan
kesadaran manusia serta semesta. Karena itu, saya lantas mengolahnya dalam
cerita. Saya malah tidak terlalu memerhatikan tren novel saat itu, karena
memang bukan itu yang menjadi motivasi saya. Saya tidak datang dengan keinginan
untuk mendobrak, melainkan sekadar berbagi apa yang menjadi minat saya.
Novel bergenre fiksi ilmiah bukan hal baru di
dunia, meski baru di Indonesia (yang Anda jadi pelopornya). Siapa
penulis-penulis luar yang menjadi inspirasi Anda dan kenapa?
Saya
pribadi tidak terlalu sepakat jika Supernova dikategorikan fiksi ilmiah. Saya
merasa Supernova adalah fiksi dengan "bumbu" ilmiah, tapi ia tidak
memuntir realitas dengan basis ilmiah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh
cerita bergenre fiksi ilmiah. Tapi saya juga tidak ingin terlalu memusingkan
kategorisasi Supernova karena menurut saya itu tugasnya kritikus sastra, bukan
saya. Jadi, silakan saja jika Supernova dianggap fiksi ilmiah. Saya sendiri
lebih banyak baca buku nonfiksi ketimbang fiksi, dan tidak terbatas pada topik
sains saja. Saya senang membaca buku-buku Amit Goswami, F. David Peat, David
Bohm, Gregg Braden, dan seterusnya. Dari genre fiksi imliah saya cukup suka
dengan Michael Crichton, Carl Sagan.
Sastra tidak pernah lepas dari kepentingan
ideologi. Dan kadang dunia sastra juga tergantung ideologi yang berkembang.
Contohnya, Ayat-Ayat Cinta maupun Laskar Pelangi tidak akan laris bila
momentumnya tidak tepat. Bagaimanakah pendapat anda soal dunia sastra? Apakah
dunia sastra adalah dunia yang putih bersih dijaga para wali berhati suci, atau
seperti dunia industri pada umumnya?
Sepertinya
kita harus membedakan mana dunia sastra dan mana industri buku. Laku atau
tidaknya sebuah buku menurut saya lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor
yang bermain di industri buku, di mana banyak faktor X yang bermain, terutama
faktor marketing dan timing. Dunia
sastra sendiri merupakan ajang yang lebih spesifik, yang melibatkan dinamika
antara pembaca, penulis, kritikus, dan komunitas. Kadang industri buku dan
dunia sastra seiring sejalan, kadang keduanya punya jagoan yang berbeda. Saya
rasa tidak ada dunia seni yang "putih bersih", karena itu berarti
harus melibatkan dikotomi seberangnya yakni "hitam kotor". Bagi saya
dunia seni adalah senantiasa dunia yang abu-abu, yang subjektif, yang relatif.
Harapan Anda terhadap dunia sastra Indonesia
seperti apa? Terutama semakin banyaknya buku-buku tak jelas (seperti buku-buku
copy-paste dari internet, diedit asal-asalan, dan diberi cover yang bagus).
Saya
lebih bisa bicara tentang industri buku secara umum. Saya berharap industri
buku bisa melewati transisi yang lebih mulus ke era digital dan format
elektronik, dibandingkan industri musik, misalnya. Saya berharap akan ada lebih
banyak pemain baru yang berani berinvestasi, khususnya di toko buku, sehingga
persaingan dan aturan main bisa lebih sehat. Dalam minat menulisnya sendiri
menurut saya memang ada kemajuan pesat, terutama justru karena sekarang
seseorang bisa berekspresi dan eksis lewat tulisan tanpa harus menunggu peran
penerbit dan jalur konvensional. Dengan media sosial, blog, penerbitan buku
independen, setiap orang dimudahkan untuk berkarya. Soal kualitas menurut saya
akan ada seleksi alami. Yang memang berbakat dan kualitasnya teruji akan bertahan.
Anda tergolong penulis yang menulis sesuai
dengan keyakinan anda. Bukan karena tuntutan pasar. Benarkah? Dan bisa
diceritakan bagaimana proses anda menulis?
Seperti
yang saya bilang saya sebelumnya, prinsip saya simpel saja, saya menulis apa
yang ingin saya baca, dan membuat musik yang saya ingin dengar. Di tahap
pertama berkreasi, saya berkreasi untuk kepuasan diri. Interaksi yang terjadi
sebatas antara diri saya dan alam ide. Faktor eksternal seperti pembaca,
penerbit, dan pemasaran, akan muncul kemudian pada tahap-tahap selanjutnya.
Syukurnya, proses demikian terjadi alamiah pada saya. Jadi, saya tidak merasa
harus memaksakan diri untuk berprinsip seperti itu. Karena, jujur saja, fondasi
seperti itu sangat menolong saya untuk bisa berkarya dengan minim beban.
Sungguh berat jika tujuan awal kita adalah memuaskan orang banyak. Jauh lebih
realistis jika tujuan awal kita adalah untuk memuaskan diri kita sendiri dulu.
Menulis dan mencipta lagu. Dua hal mana yang
lebih Anda sukai?
Keduanya
punya tantangan berbeda dan sama-sama saya sukai.
Soal Indonesia dan Muda. Anda terpilih
menjadi salah satu dari 100 tokoh muda yang menginspirasi Indonesia versi kami.
Apa yang Anda lakukan dengan hal ini?
Berterimakasih
dan bersyukur, tentunya. Saya harap karya saya dapat memicu kreativitas dan
berkontribusi positif bagi masyarakat muda Indonesia.
Bagaimana menurut anda situasi orang muda
Indonesia sekarang ini? (parah, tapi masih ada harapan, atau benar-benar
menjanjikan?)
Selalu
ada harapan. Memang tidak mudah jika kita ingin bicara untuk seluruh orang muda
Indonesia, berhubung setiap daerah bisa memiliki realitas yang sama sekali
berbeda. Orang muda di kota besar dengan orang muda di pelosok terpencil
Indonesia tidak bisa dipukul rata kondisinya. Tapi, saya menaruh harapan besar
pada mereka, orang muda golongan menengah yang berpendidikan, saya rasa
merekalah pemegang potensi perubahan paling besar di negara ini. Selalu saja
ada muncul individu-individu exceptional yang
dengan persisten berhasil melakukan terobosan.
Menjadi muda yang ideal itu menurut Anda
seperti apa?
Kaki
berpijak teguh di tanah, tangan meraih langit setinggi mungkin. Dengan akar
yang kuat, kita tidak perlu gentar dengan perubahan dan kecepatan zaman. Yang
berbahaya adalah mereka yang melayang tinggi tanpa arah atau berpijak di bumi
tanpa punya perspektif dan visi untuk maju.
Dalam konteks Indonesia, apa yang sebaiknya
dilakukan oleh orang muda? Apakah muda harus berarti radikal dan revolusioner?
Kalau memang harus radikal dan revolusioner, seperti apakah bentuk atau
konkretnya yang ideal dari dua hal tersebut?
Muda
diidentikkan dengan radikal menurut saya miskonsepsi dan stereotipikal. Ada
juga orang-orang muda yang punya wisdom dan
kematangan cukup untuk bisa melakukan perubahan tanpa harus selalu jadi
radikal. Satu hal yang sebaiknya menjadi ciri orang muda adalah kehausan untuk
belajar dan keingintahuan. Jalur pendidikan dan pemberdayaan diri menurut saya
adalah yang paling efektif. Pendidikan tentu saja tidak berarti hanya formal, justru
penggalian hobi dan passion seringkali
akhirnya lebih penting dan produktif ketimbang jalur formal. Ini yang menurut
saya sebaiknya jadi fokus orang muda. Menggali bakat dan memperkaya minat.
Dengan segala keyakinan, pemikiran, dan batin
anda, maka seperti apa idealnya orang muda berbuat untuk Indonesia?
Saya
tidak merasa berkapasitas untuk menjawab bagi semua orang. Karena saya dari
bidang seni, maka berkarya menjadi jawaban saya yang personal. Itu jalan yang
saya tahu. Itu yang selama ini saya lakukan. Berkarya yang terbaik sesuai
kapasitas kita, memelihara rasa ingin tahu dan punya kehausan belajar.
Kenapa
memilih menulis dan bernyanyi? Lebih suka mana, menulis atau menyanyi, dan apa
alasannya?
Karena dua hal itulah yang
memang menjadi hobi dan minat saya sejak kecil, otomatis dua jalur itu juga
yang menjadi saluran nyaman bagi saya berekspresi. Saya tidak bisa memilih
antara menulis atau menyanyi, walau sekarang lebih banyak menulis, tapi itu
karena alasan praktis dan kesesuaian kondisi per saat ini. Sampai kapan pun
musik akan selalu menjadi bagian inheren dari diri saya. Akan selalu ada
dorongan untuk berkarya dalam musik. Menulis saat ini memang paling convenient dengan kondisi saya yang
sudah berkeluarga dan lebih senang di rumah, karena menulis memberikan
fleksibilitas jadwal bekerja yang saya butuhkan.
Dengan
segala yang ada, dan yang menurut kami Mbak Dewi adalah salah satu tokoh muda
yang menginspirasi indonesia, apakah Dewi Lestari merasa sudah menjalankan masa
muda secara maksimal, sesuai dengan konsep muda ideal Mbak Dewi?
Kalau dibilang puas, sih,
sudah puas. Saat masa sekolah saya aktif di bidang-bidang nonformal /
eksktrakurikuler yang saya suka, dan saat kuliah saya juga sudah profesional
berkarier sebagai penyanyi, dan cukup banyak pengalaman lain yang sangat
berharga. Jika ada satu andai-andai yang tersisa hanyalah perihal traveling.
Karena dulu sudah bekerja profesional, saya tidak punya banyak kesempatan untuk
pergi traveling lama-lama. Padahal setelah menikah dan punya anak, kesempatan
untuk traveling semakin susah. Tapi, mungkin kesempatan traveling akan kembali
lagi setelah anak-anak saya agak besar.
Dari
penuturan yang Mbak Dewi berikan, sekedar mempertegas saja, bahwa Mbak Dewi
lebih menempatkan kebijaksanaan, penggalian bakat, ketimbang gairah muda yang
berapi-api, dan mencoba sana-sini sebagai hal yang sebaiknya dilakukan kaum
muda?
Gairah muda yang berapi-api
secara alamiah pasti terjadi. Tapi, fatal sekalinya selip, karena kenekatan
anak muda kadang mengalahkan akal sehatnya. Kadang nekat itu berakibat positif,
tapi tidak jarang berakibat negatif. Self
control dan self awareness merupakan
unsur penting yang perlu dijaga dan dipelihara. Dan, tentu saja, yang berperan
di sini bukan cuma pemudanya, melainkan juga keluarga dan lingkungan.
Apakah
Mbak Dewi ketika berusia 20 - 25 tahun itu juga sudah wisdom dan lebih
menggunakan waktunya untuk pencarian minat dan memperdalam bakat?
Saya sudah mulai
mempertanyakan hal-hal eksistensial dari umur 17 tahun, dan mulai tertarik
spiritualitas sejak umur 22 tahun. Minat dan bakat itu penggalian panjang sejak
kecil. Jadi, setelah dewasa tinggal menuai saja. Tapi, saya tidak merasa
terlalu aneh, karena cukup banyak saya mengenal teman-teman seumur yang juga
serupa polanya.