Pada
tahun 2001 atau tepatnya 16 Februari 2001 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta,
Anda merilis novel Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang
Jatuh. Novel ini merupakan novel pertama Anda di mana Anda pun bertindak
sebagai penerbit. Bisa cerita mengapa Anda memilih menerbitkan novel itu
sendiri?
Sebetulnya alasan saya menerbitkan sendiri sederhana sekali, saya ingin menerbitkan Supernoa tepat pada ulang tahun saya, dan saat itu yang saya tahu kebanyakan penerbitan biasanya harus mengantre untuk menerbitkan naskah. Dan keberanian saya menerbitkan sendiri lebih banyak justru karena ketidaktahuan saya tentang seluk-beluk dunia penerbitan, jadinya modal nekat saja. Waktu itu saya hanya minta tips dari teman saya yang kebetulan direktur sebuah penerbitan di Bandung, dan beliau berbaik hati memberi tahu langkah-langkah dasar dari mulai ke percetakan, mendaftar ISBN, dsb.
Berapa banyak oplah novel tersebut saat pertama kali dicetak?
Saya mencetak 7000 eksemplar. Itu juga karena ketidaktahuan. Waktu itu ada uangnya segitu ya saya cetak saja secukupnya uang saya. Baru belakangan saya tahu kalau rata-rata cetakan pertama sebuah judul berkisar di 3000 eks. Untungnya 7000 eks itu habis di dua minggu pertama.
Berapa dana yang dikeluarkan untuk menerbitkan buku itu?
Untuk produksi saja sekitar 30 juta-an, ada dana sedikit untuk launching, benar-benar ngepas. Untungnya yang menangani launching buku saya itu (Musyawarah Burung) punya jaringan yang cukup kuat sehingga acara yang bisa dibilang sederhana itu punya gaung yang bagus.
Sampai hari ini sudah memasuki cetakan keberapa?
Sampai Supernova ke-3 saya tidak punya patokan baku untuk jumlah eks tiap cetakan, beda dengan penerbit2 pada umumnya. Supernova 1 itu kadang-kadang bisa cetak sekali langsung 12.000 bahkan 20.000 eks. Sekarang sudah memasuki cetakan ke-7, total 103.000 eks.
Apakah untuk cetak ulang, novel tersebut masih ditangani Anda atau ditangani penerbit lain?
Untuk cetak ulang Supernova 1, 2, 3 saya tangani sendiri. Baru dilempar ke distributor. Tapi awal2 saya sempat bekerja sama dengan penerbit lain, Supernova 2 dengan Bark Comm dan Supernova 3 dengan AKOER, tapi sekarang ini semua Supernova kembali saya produksi sendiri. Khusus untuk Filosofi Kopi saya bekerja sama dengan Gagas Media, kami join modal dan bagi hasil.
Selain novel tersebut, adakah novel-novel karya Anda yang lain yang Anda terbitkan sendiri?
Jawaban sudah ada di atas, ya. Saya juga merilis album solo Out of Shell yang juga saya produksi sendiri, distribusinya baru titip edar.
Bagaimana Anda memasarkan novel-novel tersebut?
Sebetulnya setelah pengalaman dari Supernova 1, jaringan buku dan juga pemasarannya sudah kelihatan polanya, jadi tidak terlalu susah. Dulu saya sempat distribusi independen juga, tapi terlalu repot karena SDM-nya harus cukup banyak dan kuat, sementara Truedee itu isinya hanya 3 orang. Jadi saya lempar saja ke distribusi dan mereka yang memasarkan. Untuk promosi, karena yang masih program promo hanyalah Filosofi Kopi, jadi saya dibantu oleh Gagas Media. Tapi pada prinsipnya, karya-karya itu saling mendukung. Jadi, kalau ada judul baru, yang lama juga ikut terangkat lagi.
Kendala yang Anda hadapi saat menerbitkan dan memasarkan novel-novel karya Anda tersebut?
Suka-dukanya banyak sekali. Pertama-tama, saya harus mengenal sistem produksi dan pemasaran buku dengan baik. Dulu tidak tahu apa-apa, dan terpaksa belajar karena kalau tidak merugi. Saya sempat juga mandek mencetak karena modal terlambat kembali meskipun buku ludes, untung ada investor yang mau membantu jadi bisa cetak ulang. Saya juga sempat dibantu jaringan mahasiswa dan agen-agen lepasan, dari sisi promosi memang baik sekali, tapi karena mereka kerjanya temporer dan bukan badan usaha jadi susah dipegang. Kerja sama dengan penerbit pun belum tentu mulus, semuanya berpulang pada komitmen dan itikad baik. Sejauh ini saya cukup puas dengan pola Filosofi Kopi, yakni sistem join production dan bagi hasil.
Saat ini apakah penerbitan (Truedee) yang Anda kelola masih aktif?
Masih. Tapi saya belum merambah ke karya-karya penulis lain, jadi sejauh ini hanya menerbitkan karya sendiri saja.
Sampai saat ini masih banyak penulis yang coba menerbitkan dan memasarkan karya mereka sendiri. Tanggapan Anda mengenai "Indie" (self) Publisher?
Menurut saya, gejala ini baik sekali dan patut didukung. Pertama, saya melihat dari semangat entrepreneurship-nya. Kedua, sebaik atau seburuk apapun hasilnya pasti usaha self-publishing itu akan mendatangkan segudang pengalaman bagi para penulis. Ketiga, jangan sungkan untuk belajar dari mereka yang lebih berpengalaman, juga ke penerbit-penerbit besar, karena sebaiknya sebelum terjun ke self-publishing kita harus tahu banyak dulu mengenai sistem industri perbukuan.
Saat ini, ada novel lagi yang sedang Anda tulis? Bisa cerita sedikit tentang novel itu?
Saya sedang mengerjakan dua proyek sekaligus. Yang pertama adalah Supernova seri selanjutnya yakni Partikel. Kedua, sebuah karya eksperimental bernama Rectoverso, yang konsepnya adalah penggabungan dua jenis seni yakni sastra dan musik. Kebetulan saya memang bergerak di kedua bidang tersebut, jadi saya pikir tidak ada salahnya saya mencoba bereksperimen dengan menggabungkan keduanya. Jadi saya menggubah lirik menjadi cerpen, barangkali namanya fiksikalisasi musik/lirik. Ada sepuluh lagu dan sepuluh cerpen yang saling bercermin (Rectoverso). Jadi nanti buku dan CD-nya bergabung jadi satu.
Sebetulnya alasan saya menerbitkan sendiri sederhana sekali, saya ingin menerbitkan Supernoa tepat pada ulang tahun saya, dan saat itu yang saya tahu kebanyakan penerbitan biasanya harus mengantre untuk menerbitkan naskah. Dan keberanian saya menerbitkan sendiri lebih banyak justru karena ketidaktahuan saya tentang seluk-beluk dunia penerbitan, jadinya modal nekat saja. Waktu itu saya hanya minta tips dari teman saya yang kebetulan direktur sebuah penerbitan di Bandung, dan beliau berbaik hati memberi tahu langkah-langkah dasar dari mulai ke percetakan, mendaftar ISBN, dsb.
Berapa banyak oplah novel tersebut saat pertama kali dicetak?
Saya mencetak 7000 eksemplar. Itu juga karena ketidaktahuan. Waktu itu ada uangnya segitu ya saya cetak saja secukupnya uang saya. Baru belakangan saya tahu kalau rata-rata cetakan pertama sebuah judul berkisar di 3000 eks. Untungnya 7000 eks itu habis di dua minggu pertama.
Berapa dana yang dikeluarkan untuk menerbitkan buku itu?
Untuk produksi saja sekitar 30 juta-an, ada dana sedikit untuk launching, benar-benar ngepas. Untungnya yang menangani launching buku saya itu (Musyawarah Burung) punya jaringan yang cukup kuat sehingga acara yang bisa dibilang sederhana itu punya gaung yang bagus.
Sampai hari ini sudah memasuki cetakan keberapa?
Sampai Supernova ke-3 saya tidak punya patokan baku untuk jumlah eks tiap cetakan, beda dengan penerbit2 pada umumnya. Supernova 1 itu kadang-kadang bisa cetak sekali langsung 12.000 bahkan 20.000 eks. Sekarang sudah memasuki cetakan ke-7, total 103.000 eks.
Apakah untuk cetak ulang, novel tersebut masih ditangani Anda atau ditangani penerbit lain?
Untuk cetak ulang Supernova 1, 2, 3 saya tangani sendiri. Baru dilempar ke distributor. Tapi awal2 saya sempat bekerja sama dengan penerbit lain, Supernova 2 dengan Bark Comm dan Supernova 3 dengan AKOER, tapi sekarang ini semua Supernova kembali saya produksi sendiri. Khusus untuk Filosofi Kopi saya bekerja sama dengan Gagas Media, kami join modal dan bagi hasil.
Selain novel tersebut, adakah novel-novel karya Anda yang lain yang Anda terbitkan sendiri?
Jawaban sudah ada di atas, ya. Saya juga merilis album solo Out of Shell yang juga saya produksi sendiri, distribusinya baru titip edar.
Bagaimana Anda memasarkan novel-novel tersebut?
Sebetulnya setelah pengalaman dari Supernova 1, jaringan buku dan juga pemasarannya sudah kelihatan polanya, jadi tidak terlalu susah. Dulu saya sempat distribusi independen juga, tapi terlalu repot karena SDM-nya harus cukup banyak dan kuat, sementara Truedee itu isinya hanya 3 orang. Jadi saya lempar saja ke distribusi dan mereka yang memasarkan. Untuk promosi, karena yang masih program promo hanyalah Filosofi Kopi, jadi saya dibantu oleh Gagas Media. Tapi pada prinsipnya, karya-karya itu saling mendukung. Jadi, kalau ada judul baru, yang lama juga ikut terangkat lagi.
Kendala yang Anda hadapi saat menerbitkan dan memasarkan novel-novel karya Anda tersebut?
Suka-dukanya banyak sekali. Pertama-tama, saya harus mengenal sistem produksi dan pemasaran buku dengan baik. Dulu tidak tahu apa-apa, dan terpaksa belajar karena kalau tidak merugi. Saya sempat juga mandek mencetak karena modal terlambat kembali meskipun buku ludes, untung ada investor yang mau membantu jadi bisa cetak ulang. Saya juga sempat dibantu jaringan mahasiswa dan agen-agen lepasan, dari sisi promosi memang baik sekali, tapi karena mereka kerjanya temporer dan bukan badan usaha jadi susah dipegang. Kerja sama dengan penerbit pun belum tentu mulus, semuanya berpulang pada komitmen dan itikad baik. Sejauh ini saya cukup puas dengan pola Filosofi Kopi, yakni sistem join production dan bagi hasil.
Saat ini apakah penerbitan (Truedee) yang Anda kelola masih aktif?
Masih. Tapi saya belum merambah ke karya-karya penulis lain, jadi sejauh ini hanya menerbitkan karya sendiri saja.
Sampai saat ini masih banyak penulis yang coba menerbitkan dan memasarkan karya mereka sendiri. Tanggapan Anda mengenai "Indie" (self) Publisher?
Menurut saya, gejala ini baik sekali dan patut didukung. Pertama, saya melihat dari semangat entrepreneurship-nya. Kedua, sebaik atau seburuk apapun hasilnya pasti usaha self-publishing itu akan mendatangkan segudang pengalaman bagi para penulis. Ketiga, jangan sungkan untuk belajar dari mereka yang lebih berpengalaman, juga ke penerbit-penerbit besar, karena sebaiknya sebelum terjun ke self-publishing kita harus tahu banyak dulu mengenai sistem industri perbukuan.
Saat ini, ada novel lagi yang sedang Anda tulis? Bisa cerita sedikit tentang novel itu?
Saya sedang mengerjakan dua proyek sekaligus. Yang pertama adalah Supernova seri selanjutnya yakni Partikel. Kedua, sebuah karya eksperimental bernama Rectoverso, yang konsepnya adalah penggabungan dua jenis seni yakni sastra dan musik. Kebetulan saya memang bergerak di kedua bidang tersebut, jadi saya pikir tidak ada salahnya saya mencoba bereksperimen dengan menggabungkan keduanya. Jadi saya menggubah lirik menjadi cerpen, barangkali namanya fiksikalisasi musik/lirik. Ada sepuluh lagu dan sepuluh cerpen yang saling bercermin (Rectoverso). Jadi nanti buku dan CD-nya bergabung jadi satu.