Bagaimana perasaan Anda saat ada yang tertarik meminang
novel Anda untuk diangkat ke layar lebar?
Biasanya sih yang
pertama muncul adalah rasa penasaran. Ingin tahu apa jadinya ketika kreativitas
saya diolah oleh orang lain menjadi format yang berbeda.
Bagaimana proses terpilihnya Supernova untuk dijadikan
film? Sempatkah tebersit keraguan untuk mengiyakan tawaran tersebut?
Produsernya, Sunil
Soraya, sudah menghubungi saya sejak 6 tahun yang lalu. Tapi saat itu saya masih
belum tertarik karena saya merasa Supernova adalah cerita yang belum selesai.
Setelah sekian lama, perspektif saya berubah. Sama seperti bukunya, saya rasa
Supernova bisa dinikmati setiap episodenya secara terpisah-pisah. Jadi, ketika
tahun 2012 Sunil menghubungi saya lagi, mind
set saya sudah berbeda. Dan saya melihat keseriusan niatnya dalam menggarap
film Supernova. Setelah beberapa kali berbincang-bincang, akhirnya saya melepas
hak adaptasinya.
Setelah film Supernova selesai digarap, apakah Anda puas
dengan hasilnya?
Saat wawancara ini
dilakukan, saya belum melihat, jadi untuk hal ini saya belum bisa komentar.
Apakah Anda terlibat langsung dalam memilih aktor-aktor
yang akan memerankan tokoh dalam novel Anda? (Beberapa waktu lalu saya sempat
wawancara Arifin Putra, katanya Mbak Dee sendiri yang meminta dia membaca novelnya
karena menurut Anda ada karakter yang cocok dimainkan untuknya.)
Terlibat langsung
sih, tidak. Tapi awal-awal ketika proses casting baru dimulai saya sempat
diajak diskusi oleh Sunil perihal casting. Pada akhirnya tentu dia yang
memutuskan karena itu sesuai kapasitas dia sebagai produser. Saya sebatas kasih
usulan saja. Arifin Putra adalah salah satu aktor Indonesia favorit saya. Saya
memang pernah mengusulkan Arifin, tapi sebenarnya bukan sebagai Reuben
(perannya yang sekarang), melainkan sebagai Ferre. Hanya saja peran Ferre sudah
dikunci di Herjunot Ali. Saya sih oke-oke saja dengan itu. Tahunya, setelah The
Raid 2 keluar, Arifin diundang casting lagi,
tapi kali ini sebagai Reuben. Karena saya tahu dia aktor bagus, saya sih
menyambut positif. Saya yakin dia bisa memerankan Reuben dengan baik.
Sejauh apa keterlibatan Anda sebagai penulis dalam
proses produksi film?
Bisa dibilang
hampir tidak terlibat sama sekali. Hanya berupa diskusi di awal saja. Atau
kalau ada yang Sunil ragu-ragu mengenai makna dalam cerita Supernova, dia tanya
saya.
Durasi film yang terbatas (90-120 menit) akan sulit
menggambarkan keseluruhan cerita pada ratusan halaman buku. Sering kali pembaca
novel kecewa ketika menonton film adaptasi novel favorit mereka. Bagaimana cara
Anda agar hal itu nggak terjadi pada film yang diadaptasi dari novel Anda?
Sayangnya, kendali
itu bukan di saya. Dan, saya rasa bukan itu tugas utama sebuah film yang
diadaptasi dari buku. Kalau bikin film dari buku hanya sekadar untuk memuaskan
pembacara, jelas itu nggak mungkin dilakukan. Setiap orang punya persepsi dan
“theatre of mind”-nya masing-masing. Tugas utama pembuat film adalah bikin film
bagus. Itu saja. Cerita bisa diadaptasi dari buku atau naskah orisinal, nggak
masalah. Dan setiap karya, mau itu film atau buku, pasti akan ada yang suka dan
tidak. Jadi, menurut saya sama-sama saja.
Apakah ada kekhawatiran tersendiri soal filmnya karena
novel Anda menyandang title Best Seller?
Saat ini, enggak
sih.
Apa kendala terbesar bagi Anda dalam proses pembuatan
film adaptasi ini?
Karena saya nggak
ikutan produksi, saya tidak merasakan kendala apa-apa.
Saat ini mulai banyak film di Indonesia yang merupakan
adaptasi dari novel Best Seller, seperti 5 CM, Refrain, Mika, Laskar pelangi,
dsb. Bagaimana Anda melihat fenomena film adaptasi novel di Indonesia?
Saya rasa itu
memang pilihan yang dinilai strategis oleh para produser. Ketimbang naskah
orisinal yang belum dikenal, cerita dari buku laris otomatis sudah punya
pembaca dan massanya sendiri. Setidaknya film itu nanti sudah akan menarik
perhatian para pembaca buku.
Ada nggak film adaptasi favorit Anda (dalam dan luar
negeri). Sertakan alasannya.
Serial The Lord of
the Rings adalah favorit saya sejauh ini, karena saya lebih bisa menikmati
filmnya ketimbang bukunya. The Hunger Games juga efeknya sama di saya, bagi
saya filmnya lebih charming ketimbang
bukunya. Saya juga cukup suka The Giver tanpa baca bukunya.
Lebih seru mana, menulis buku atau proses membuat
filmnya?
Saya lebih suka
menulis buku, karena cuma sendirian dan nggak harus melalui persetujuan banyak
orang.
Next, apakah sudah ada lagi yang tertarik memfilmkan
novel Anda lainnya? Ataukah sekuel Supernova akan dibuat juga?
Filosofi Kopi akan
difilmkan, rencana rilis April 2015, proses praproduksinya sudah dimulai. Untuk
sekuel Supernova sejauh ini belum ada rencana. Kontrak saya dengan Soraya
Intercine hanya sebatas episode pertama Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh
saja.